Kota seribu menara.
Itulah julukan yang disandang Kairo - salah satu kota penting dalam sejarah
peradaban Islam. Pada abad pertengahan, ibukota Mesir yang berada di benua
Afrika itu memainkan peranan yang hampir sama pentingnya dengan Baghdad di
Persia serta Cordoba di Eropa.
Kairo yang terletak di
delta Sungai Nil telah didiami manusia Mesir Kuno sejak tahun 3500 SM. Mesir
Kuno sempat mencapai kemakmuran di bawah penguasa Zoser, Khufu, Khafre,
Menaure, Unas dan lainnya. Di masa itu, ibukota Mesir Kuno itu sudah menjadi
salah satu kota yang berpengaruh di dunia.
Sejak 30 SM, Mesir
dikuasai bangsa Romawi. Kekuasaan Romawi di Mesir akhirnya tumbang ketika Islam
menjejakkan pengaruhnya pada tahun 641 M. Adalah pasukan di bawah komando
jenderal perang Muslim, Amar bin Al-Ash yang pertama kali menancapkan pengaruh
Islam di Mesir. Saat itu, Amar bin Al-Ash justru menjadikan Fustat - kini
bagian kota Cairo - sebagai pusat pemerintahannya.
Di Fustat itulah,
bangunan masjid pertama kali berdiri di daratan Afrika. Fustat tercatat
mengalami pasang-surut sebagai sebuah kota utama di Mesir selama 500 tahun.
Penjelajah dari Persia, Nasir-i-Khusron mencatat kemajuan yang dicapai Fustat.
Ia melihat betapa eksotik dan indahnya barang-barang di pasar Fustat, seperti
tembikar warna-warni, kristal dan begitu melimpahnya buah-buahan dan bunga,
sekalipun di musim dingin.
Dari tahun 975 sampai
1075 M Fustat menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus
salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti
Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar
- basis pendukung Abbasiyah. Kota itu bertahan menjadi ibukota pemerintahan
hingga tahun 868 M. Sekitar 1168 M, Fustat dibumihanguskan agar tak dikuasai
tentara Perang Salib.
Berdirinya Cairo sebagai
ibukota dan pusat pemerintahan diawali gerakan penumpasan golongan Syiah yang
dilancarkan penguasa Abbasiyah di Baghdad. Kongsi yang dibangun golongan Syiah
dengan Bani Abbas untuk menjatuhkan Bani Umayyah akhirnya pecah.
Penguasa Abbasiyah
mencoba meredam perlawanan golongan Syiah Ismailiyah di bawah pimpinan
Ubaidillah Al-Mahdi. Setelah sempat ditahan, Ubadilah akhirnya dibaiat menjadi
khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu’minin (909 M). Pengganti Khalifah
Ubaidilah Al-Mahdi, Muizz Lidinillah mulai mengalihkan perhatiannya ke Mesir.
Ia menunjuk Panglima
Jauhar Al-Katib As-Siqili untuk menaklukan Mesir. Tahun 969 M, Mesir berada
dalam kekuasaan Syiah Ismailiyah. Sejak itu, mereka membangun kota baru yang
diberi nama Al-Qahirah atau Kairo yang berarti ‘penaklukan’ atau ‘kejayaan’.
Pada 972 M, di Kairo telah berdiri Masjid Al-Azhar.
Kota Cairo tumbuh pesat
setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu’izz Lidinillah
dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat
pemerintahan Dinasti Fatimiyah. Dinasti itu menorehkan kegemilangan selama 200
tahun. Di masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara,
Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.
Kairo tumbuh dan
berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia.
Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya.
Tak heran, jika Cairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern
yang diperhitungkan dan berpengaruh.
Pada era itu pula, Cairo
menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa
pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing
dengan dua ibu kota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti
Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas
Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.
Jika kedua dinasti
lainnya mampu membangun istana, Bani Fatimiyah pun mampu mendirikannya. Selain
itu, ketiga dinasti yang tersebar di tiga benua itu juga berlomba membangun
masjid. Dinasti Abbasiyah di Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti
Umayyah memiliki Masjid Cordoba dan Fatimiyah memiliki Masjid Al-Azhar.
Fatimiyah mencapai
kemajuan yang pesat dalam administrasi negara. Karena, pada saat itu, dinasti
itu mengutamakan kecakapan dibandingkan keturunan dalam merekrut pegawai.
Toleransi pun dikembangkan. Penganut Sunni yang profesional pun diangkat kedudukannya
laiknya Syiah. Toleransi antarumat beragama pun begitu tinggi. Siapapun yang
mampu bisa duduk di pemerintahan.
Diakhir masa kejayaan
Fatimiyah, Kairo hampir saja jatuh ke dalam kekuasaan tentara Perang Salib pada
1167 M. Untunglah panglima perang Salahudin Al-Ayubi berhasil menghalaunya.
Sejak itu, Salahudin kemudian mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera
Dinasti Ayubiyah - penganut Sunni. Dinasti itu hanya mampu bertahan selama 75
tahun.
Kairo kemudian diambil
alih Dinasti Mamluk. Sekitar tiga abad lamanya Mamluk menjadikan Kairo sebagai
pusat pemerintahannya. Ketika Baghdad dihancurkan bangsa Mongol pada 1258 M,
pasukan Hulagu Khan tak mampu menembus benteng pertahanan Kairo. Selama periode
itu, Kairo menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan gudang barang-barang
dagang untuk Eropa dan dunia Timur.
Kairo juga sempat
dikuasai Turki. Sejak kekuasaan Turki berakhir pada 1517 M, kota itu sempat
tenggelam. Kairo kembali menggeliat ketika pada awal abad modern, Muhammad Ali
memimpin Mesir. Kota itu pun menjelma sebagai pusat pembaruan Islam zaman
modern. Demikianlah perjalanan panjang kota Kairo.
Jejak Ilmu
Pengetahuan di Bumi Cairo
Laiknya tiga metropolis
intelektual era abad pertengahan, seperti Baghdad, Cordoba, dan Bukhara, dari
Kairo juga muncul sederet ilmuwan Muslim yang berpengaruh. Pasalnya, pada era
kejayaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk Cairo telah menjadi kota tempat
berkumpulnya para ilmuwan serta sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.
Memasuki abad modern,
Kairo juga telah melahir sejumlah pemikir pembaruan Islam. Berikut adalah
beberapa nama di antara sederet ilmuwan dan sarjana serta pemikir pembaruan
Islam yang muncul dari pusat peradaban Islam di benua Afrika itu:
* Ibnu Al-Haytham
Dialah peletak dasar-dasar teori optik modern. Orang barat menyebutnya
Al-Hazen. Lewat karya ilmiahnya, Kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia
menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia.
Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir terus bertahan sebagai buku paling
penting dalam ilmu optik.
* Ibnu Al-Baytar
Nama lengkapnya Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baytar. Dia adalah ahli botani
sekaligus ahli obat-obatan terhebat banyak melakukan penelitian dan kegiatan
ilmiah di Cairo. Dia berhasil mengumpulkan dan memberikan catatan terhadap
lebih dari 1.400 jenis tanaman obat. Dialah ahli Botani terkemuka di Arab.
* Jamaluddin Al-Afghani
Dia adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang secara lantang menyuarakan
pentingnya menegakkan solidaritas pan-Islam dan pertahanan terhadap
imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam. Dalam perlawanannya terhadap
penjajah imperialisme Barat, Jamaluddin mengobarkan semangat persatuan Islam
dengan jalan mengajak kembali kepada Al-Qur’an serta menghilangkan bid’ah dan
khurafat.
* Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang
filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang
penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
* Sayyid Qutub
Sayyid bin haji Qutub bin Ibrahim, lahir tahun 1906 di sebuah desa bernama Qaha
di wilayah Asyith, Mesir. Ideologi Islam dikemukakan Qutub sebagai ideology
alternatif. Baginya tak ada jalan lain kecuali menegakkan Islam. Dalam bukunya
Hadza al-Din, dia menegaskan bahwa Islam satu-satunya agama wahyu dan di amin
kebenarannya dan dapat meningkatkan harkat manusia dan membebaskan dari berbagai
ikatan daerah dan keturunan.
* Mahmud Syaltut
Syekh Mahmud Syaltut adalah salah seorang pemikir asal di Mesir. Ia memberi
kontribusi dalah bidang hukum Islam. Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah risalah
tentang pertanggungjawaban sipil dan pidana Islam.
Para Khalifah Dinasti
Fatimiyah Penguasa Cairo
* Khalifah Ubaidilah
Al-Mahdi (910-934). Dia adalah pendiri Dinastii Fatimiyah
* Abu al-Qasim Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
* Isma’il al-Mansur bi-llah (946-953)
* Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah (953 M - 975) M. Mesir ditaklukkan
semasa pemerintahannya
* Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975 M - 996 M)
* Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M)
* Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021 M - 1036 M)
* Abu Tamim Ma’add al-Mustanhir bi-llah (1036 M - 1094 M)
*Al-Musta’li bi-llah (1094 M - 1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan
perpecahan Nizari.
* All-Amir bi-Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir
setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
* Abd al-Majid (1130 M - 1149 M)
* Al-Wafir (1149 M - 1154 M)
* Al-Fa’iz (1154 M - 1160 M)
* Al-’Adid (1160 M - 1171 M): Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti
Fatimiyah selama 200 tahun berakhir.
Republika
(heri ruslan )
http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=344
Tidak ada komentar:
Posting Komentar