Sabtu, 14 Juli 2012

Mengapa PKS Anjlok di Pilgub DKI?

Banyak orang terkejut atas “kemenangan” Jokowi – Ahok pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Hasil quickcount menunjukkan bahwa pasangan ini unggul jauh di atas peringkat dua (Foke – Nara) dan Hidayat – Didik. Lebih mengejutkan lagi adalah peroleh suara Hidayat – Didik yang “anjlok” dan bahkan kemungkinan besar tidak akan mengikuti putaran ke-dua. Padahal, jika kita sama-sama mengingat pada Pilgub DKI 2007 lalu, PKS dengan percaya diri yang tinggi mengusung Adang Daradjatun – Dani Anwar sendiri. Adapun hanya beberapa ormas saja yang mendukung. Kondisi ini sangat berbeda jauh ketimbang koalisi Foke – Prijanto yang didukung oleh sekitar 20 partai politik. Hasilnya, meskipun kalah, namun PKS dengan hanya sendiri berhasil meraup hingga 42% suara. Mengejutkan!

Namun, kondisi sangat berubah di Pilgub DKI 2012 kali ini. Suara PKS yang mengusung Hidayat – Didik “anjlok”. Hal ini tentunya di luar ekspektasi para kader PKS. Pasalnya, ekspektasi ini nampak dari kepercayaan diri PKS untuk tetap maju seorang diri mengulang kejayaan 2007. Tidak hanya itu, tokoh yang dimajukan PKS kali ini juga merupakan orang yang populer, sama populernya dengan ketika Adang Daradjatun diusung pada 2007 yang lalu. Ada beberapa hipotesis yang harus kita jadikan evaluasi dan diskursus untuk menyikapi fenomena “anjlok”-nya suara PKS kali ini.


Euforia lalu

Hipotesis pertama yang perlu ditelaah adalah adanya euforia masa lalu. Pilgub DKI 2007 meskipun secara suara memberikan kekalahan pada PKS, namun nyatanya hal itu tetap membawa kabar gembira bagi PKS. Betapa tidak, PKS seorang diri bisa meraih hingga 42%, jika dibandingkan dengan 20 partai lainnya yang hanya meraih 58%.Tentunya euforia masa lalu inilah yang menjadi referensi utama PKS dalam memajukan Hidayat – Didik. Begitu juga dengan apa yang terjadi di tataran kader grassroot. Mereka begitu yakin bahwa suara PKS sudah sedemikian kuatnya di Jakarta.

Ada fakta bahwa pada pemilihan legislatif untuk DPRD DKI Jakarta tahun 2009 PKS menempati juara dua (di bawah Partai Demokrat) dengan perolehan 17%, namun hal ini nampaknya tidak banyak diingat. Memang pada awalnya PKS sempat mendekati Fauzi Bowo untuk berkoalisi, dimana PKS waktu itu mengajukan Triwisaksana sebagai cawagub. Namun, pada akhirnya PKS memajukan Hidayat – Didik dengan harapan kedua tokoh nasional ini dapat mendongkrak perolehan suara 17% ini menjadi –minimal– urutan kedua agar masuk ke putaran kedua.

Hipotesis kedua mengenai faktor figur calon. Euforia 2007 yang memajukan tokoh juga kembali diulang dengan memajukan tokoh yang juga populer, dengan harapan akan membuahkan hasil yang tidak jauh berbeda. Namun, meskipun Hidayat – Didik merupakan tokoh yang sudah berkapasitas nasional, tetap ada perbedaan dengan Adang Daradjatun. Adang Daradjatun merupakan mantan Wakil Ketua Polri, dan sedari awal memang merupakan tokoh yang bukan dibesarkan atau ditokohkan oleh PKS. Figur ini juga yang membuat Adang Daradjatun lebih terasa dimiliki oleh semua kalangan, mulai dari kaum agamis, preman, ormas, para pengusaha, hingga floating mass. Berbeda dengan Hidayat. Walaupun merupakan tokoh yang populer, namun masih dimiliki hanya kalangan tertentu saja, terutama dari kalangan muslim dan agamis. Sementara Didik juga masih dimiliki hanya oleh kalangan muslim dan akademisi.

Melihat kondisi ini, wajar jika dengan Hidayat – Didik suara PKS tidak dapat terdongkrak jauh. Hal ini membuktikan bahwa ternyata, fenomena besarnya suara PKS pada 2007 lebih banyak ditopang oleh keberadaan floating mass. Mereka tidak lagi setia dan loyal untuk memilih PKS karena figur yang tidak seperti Adang Daradjatun.

Kelas menengah

Kunci pertarungan PKS pada hampir di semua pilkada adalah keberadaan kelas menengah. Selama ini jika kita amati, kader PKS dan basis sosialnya memang dari kalangan kelas menengah dan kalangan intelektual. Namun, untuk kali ini PKS nampaknya hanya bisa merebut suara dari kalangan intelektual. Sementara suara dari kalangan kelas menengah beralih kepada calon-calon lainnya.

Kelas menengah memang merupakan fenomena yang menarik. Piliang (2011) menyebutnya manusia kota. Ada 10 karakteristik manusia perkotaan di abad postmodern seperti ini. Kita tidak akan membahas semua karakter tersebut satu per satu. Namun, yang menonjol dalam kehidupan berpolitik adalah, kelas menengah ini cenderung berpikir ekonomis ketimbang politis. Mereka juga individualis, mobilitas tinggi, padat aktivitas, melihat sesuatu dari citra dan simbol, dan mudah terbawa informasi. Hal inilah yang membuat kelas menengah atau manusia kota identik dengan apolitis dan menjadi floating mass. Mereka mengalami fenomena-fenomena yang terjadi dengan paparan tiap fenomena berkelebat dalam waktu yang singkat. Lantas digantikan dengan cepat oleh fenomena-fenomena lain. Sehingga, floating mass ini mudah melupakan sesuatu, kecuali jika ada pemantiknya. Hal ini seperti diungkapkan Virilio (1991) dalam Piliang (2011).  

Kali ini, floating mass tidak berada pada kubu Hidayat – Didik, namun terdistraksi ke beberapa kubu seperti Jokowi – Ahok dan Faisal – Biem. Akhirnya, suara floating mass paling besar jatuh kepada Jokowi – Ahok. Hal yang paling menjadi sebab adalah di detik-detik terakhir jelang isu pilkada hangat dibicarakan orang, Jokowi membuat sensasi dengan mobil Esemka. Sensasi inilah yang dijadikan pemantik dalam mempengaruhi floating mass untuk mengingat-ingat kembali kelupaan mereka akan karya-karya Jokowi yang telah dibuat olehnya dahulu di Kota Surakarta. Inilah hipotesis yang ketiga, yaitu beralihnya floating mass dari Hidayat – Didik ke Jokowi – Ahok dikarenakan isu pemantik.

Hipotesis terakhir yang menyebabkan suara PKS anjlok adalah kelas menangah yang sudah jenuh akan status quo. Sudah dikatakan bahwa karakter kelas menengah di antaranya adalah mempunyai mobilitas tinggi dan padat aktivitas. Hal ini –disadari atau tidak– membuat kelas menengah selalu menemukan hal-hal baru dan mengejutkan, seperti yang diungkapkan Bullock (1990). Fenomena-fenomena yang berkelebat secara cepat dalam pikiran dan pandangan kelas menengah membuatnya “ketagihan”, menerka-nerka sesuatu yang baru, dan cenderung mengabaikan fenomena yang sedang berkelebat ini kecuali hanya melihatnya sebatas permukaan. “Apa fenomena selanjutnya?” Begitu kira-kira pertanyaan yang menyeruak di imaji kelas menengah yang menjadi floating mass ini. Dampaknya, status quo adalah hal yang sangat dihindari.

Hidayat – Didik memang tidak mempunyai track record buruk selama pengalaman kepemimpinan dan karyanya, namun sekaligus juga tidak ada sesuatu yang “mengejutkan” yang dilihat kelas menengah. Inilah poin utamanya. Masyarakat kelas menengah tidak menemukan karakter “kejutan” dalam diri Hidayat – Didik, melainkan akan tetap pada status quo. Bahkan hal ini juga mungkin terhadap PKS yang dianggap tetap pada status quo. Meskipun sempat membawa isu “partai terbuka”, namun toh nyatanya masyarakat lupa terhadap “kejutan” yang dibuat oleh PKS ini.

Sebaliknya, Jokowi – Ahok, sekali lagi, melalui pemantik mobil Esemka dan “kejutan-kejutan” yang pernah mereka buat sebelumnya menjadi faktor kemenangan telak mereka atas PKS dan figur Hidayat – Didik. Boleh jadi Hidayat – Didik pernah membuat “kejutan”, namun sayangnya hal ini tidak tertangkap oleh media. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa masyarakat kelas menengah yang padat aktivitas dan mobilitas tinggi pasti kekurangan waktu untuk mengamati dan merenungi apa yang mereka rasakan melalui panca indera. Sehingga media menjadi rujukan utama mereka. Sempurna!

***
Itulah empat hipotesis yang dapat kita jadikan bahan telaah dan diskursus. PKS memang sudah mempunyai basis massa dari kalangan agamis, intelektual, dan pemuda. Namun, PKS harus lebih bisa memainkan peran media dalam mengambil simpati kelas menengah, yang notabene merupaka floating mass dan biasanya mempunyai massa dalam jumlah besar. Caranya, dengan melakukan “kejutan-kejutan” secara berkala, dan membuat pemantiknya pada masa-masa mendekati momentum pemilihan umum. Mungkin hal ini bisa dilakukan untuk Pilwalkot Bekasi, Pilgub Jawa Barat, dan Pilwalkot Bandung yang sebentar lagi akan datang.  

Tidak ada komentar: