Selasa, 27 September 2011

Evaluasi 2 Tahun SBY – Boediono: Menggugat Efektivitas Program Aksi Bidang Pendidikan


Evaluasi 2 Tahun SBY – Boediono:
Menggugat Efektivitas Program Aksi Bidang Pendidikan
Oleh: Ramadhani Pratama Guna

M
enjelang tanggal 20 Oktober 2011 sebagai hari evaluasi dua tahun pemerintahan SBY – Boediono dan tujuh tahun pemerintahan SBY, berbagai isu mengenai SBY mewacana di berbagai media. Isu yang tentu paling hangat adalah wacana reshuffle kabinet yang digadang-gadang akan dilakukan sebelum 20 Oktober. Terlepas dari banyaknya isu lain yang terus menerus dihembuskan, entah untuk mengalihkan perhatian atau memang isu itu benar-benar penting, kita harus tetap menyoroti kinerja pemerintah menjelang 20 Oktober ini.

Sadar atau tidak sadar, isu reshuffle ini merupakan pengalihan isu secara halus. Bagaimana tidak, masyarakat seakan sibuk mencari-cari siapa menteri yang akan diganti oleh presiden dan diganti dengan siapa. Namun hal yang justru lebih penting tentang sejauh apa kinerja pemerintahan dalam mengelola negara ini tertutupi. Banyak isu mengatakan bahwa menteri ESDM, meneg BUMN, menteri perhubungan, dan lainnya akan diganti, namun tidak banyak yang menjelaskan sejauh mana perkembangan pemnafaatan energi kita, sejauh mana BUMN dapat menyerap banyak tenaga kerja, ataupun seberapa besar prestasi olah raga sepak bola kita di dunia. Justru, isu reshuffle ini seakan mencitrakan bahwa yang mempunyai kinerja buruk hanya semata-mata menterinya.

Terlepas dari hal itu, dalam upaya evaluasi pemerintahan SBY, kita harus mengevaluasi dan membandingkan antara janji-janji politik ketika masa kampanye, dan realisasi yang ada di lapangan. Sehingga dengan itu, kita dapat mengevaluasi secara komprehensif dan lengkap, agar tuntutan yang ada benar-benar konstruktif untuk perbaikan kinerja pemerintahan, bukan untuk hal-hal yang berbau politis.

Dalam bundel janji kampanye SBY – Boediono berjudul “Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan: Visi, Misi, dan Program Aksi” dijelaskan bahwa SBY dalam kebijakannya akan memprioritaskan 13 program aksi, salah satunya adalah program aksi bidang pendidikan. Sebagai langkah awal dalam upaya evaluasi yang terstruktur, kali ini akan kita bahas mengenai capaian yang masih perlu dievaluasi dalam bidang pendidikan.

Adapun hal-hal yang harus kita soroti dalam program aksi bidang pendidikan ini antara lain mengenai pemanfaatan 20% APBN dalam bidang pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun yang gratis, kesenjangan aksesibilitas dan kualitas pendidikan, perbaikan kurikulum secara fundamental, serta partisipasi dan tanggung jawab pemerintah.

Hal yang mendasar dan paling disoroti dari pendidikan adalah mengenai politik anggaran. Sehingga hal ini kita jadikan bahasan pertama. Sesuai yang ada dalam UUD 1945, pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% APBN. Namun sayangnya, hal ini dijadikan pemanfaatan celah kebijakan oleh pemerintah untuk membungkus besaran 20% ini atas nama pendidikan, meskipun –sebagai contoh– anggaran ini salah satunya dipakai untuk program pendidikan dan latihan (diklat) pegawai kementerian. Bagaimana tidak, dari Rp248,9 triliun anggaran pendidikan 2011, hanya sebesar Rp89,7 triliun yang dikelola oleh pemerintah pusat, sementara Rp158,2 triliun sisanya dikelola oleh daerah. Dari Rp89,7 yang dikelola oleh pemerintah pusat, Rp55,5 triliun dikelola oleh Kemendiknas, Rp27,2 triliun oleh Kementerian Agama, dan Rp6,8 triliun sisanya dibagikan ke 13 kementerian dan 4 lembaga lain. Sedangkan dari Rp158,2 triliun yang dikelola oleh daerah, sebanyak Rp104 triliun dialokasikan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang mayoritas dimanfaatkan untuk gaji guru, Rp10 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Rp18,5 triliun untuk tunjangan profesi guru, Rp16,8 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lainnya sebesar Rp8,3 triliun.

Politik anggaran pemerintah pusat sangat kontraproduktif dengan semangat pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk hal-hal yang bersifat rutin dan tidak efektif untuk meningkatkan semangat pendidikan dasar gratis dan aksesibilitas yang baik.  Nyatanya, masih banyak SD maupun SMP yang memungut iuran dari orang tua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Hal ini terutama terjadi pada sekolah-sekolah bertaraf RSBI yang sedang menjadi tren. Rata-rata orangtua siswa dikenakan biaya Rp5 juta agar anaknya mengenyam pendidikan bertaraf “internasional” yang hanya menggunakan Air Conditioner dan bahasa inggris tanpa mengajarkan wawasan internasional yang lebih luas dan komprehensif.

Tidak hanya RSBI, sekolah standarpun masih banyak yang menarik iuran, terutama dengan embel-embel biaya buku, praktek, LKS, dan lainnya yang kesemuanya bisa menghabiskan uang tidak kurang dari Rp1 juta per tahun. Belum lagi mengenai keluhan kualitas sekolah gratis. Pertanyaannya, apakah seorang anak petani atau tukang cuci hanya berhak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang biasa-biasa saja atau bahkan dengan kualitas yang buruk? Tidak bolehkah mereka mengenyam pendidikan yang bertaraf internasional? Pendidikan adalah hak semua orang dan merupakan kebutuhan primer, sehingga seharusnya tidak ada pengkhususan pendidikan dan tidak boleh ada hak-hak masyarakat yang terabaikan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.

Sementara itu, kurikulum pendidikan nasional juga hingga sekarang masih jauh dari ideal. Isu mengenai pendidikan karakter hingga sekarang masih menjadi wacana tanpa dampak yang nyata. Ditambah lagi dengan tergerusnya nilai-nilai kearifan masyarakat dengan nilai-nilai globalisasi yang mengedepankan kompetisi dibandingkan kerja sama (gotong royong), individualistis dibandingkan sosialisasi. Dampaknya, masyarakat Indonesia hanya menjadi masyarakat mekanistik yang dibenaknya hanya terpikirkan tentang kesejahteraan diri, bukan kesejahteraan bersama. Kalau menggunakan falsafah pendidikan Paulo Freire, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. Manusia yang benar-benar terasah ketiga potensinya, tidak hanya pikiran dan raganya, namun juga hatinya.

Sorotan yang terakhir adalah terkait dengan tanggung jawab pemerintah. Kita harus membedakan antara tanggung jawab dan partisipasi. Dimanapun, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita negara yang ada dalam konstitusi, dan negara adalah sebuah institusi yang dibentuk untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Wajar jika UU Badan Hukum Pendidikan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 lalu dikarenakan adanya pasal yang menerangkan bahwa masyarakat bertanggung jawab atas pendidikan. Sehingga kita dapat mengambil sikap tegas bahwa partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan adalah sesuatu yang sifatnya opsional. Kuncinya kembali lagi kepada political will pemerintah, yang juga diwujudkan dalam politik anggaran dalam APBN.

Beberapa poin yang dijabarkan dalam pembahasan ini memberikan kesimpulan kepada kita bahwa pemerintah SBY – Boediono harus membenahi politik anggaran dalam pendidikan sehingga benar-benar murni menjadi 20% APBN. Karena hal ini merupakan sebuah masalah yang berdampak bagi masalah-masalah lain dalam pendidikan seperti aksesibilitas dan kesenjangan pendidikan, kurikulum, dan partisipasi masyarkat dalam pendidikan. Biar bagaimanapun, kita harus tetap memosisikan bahwa pendidikan adalah barang publik yang tanggung jawab penyelenggaraannya ada pada pemerintah, dan bukan pada masyarakat.

Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan pengelolaan negara ini. Namun biar bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti kita semua harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini, karena mengatakan yang benar adalah kesetiaan yang tulus. Semoga tenaga kita untuk mengevaluasi SBY tetap terjaga dan memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kebaikan bangsa ini. Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan!

Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang Eksternal KM ITB

Opini ini telah dimuat di detik.com pada alamat:
http://www.detiknews.com/read/2011/09/29/095903/1732912/471/menggugat-efektivitas-program-aksi-bidang-pendidikan

Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
ramadhani.pratama@ymail.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com

Senin, 19 September 2011

Sesuatu Banget Yah (SBY) di Bulan Oktober…


Sesuatu Banget Yah (SBY) di Bulan Oktober

Oleh: Ramadhani Pratama Guna – 13407126


T

idak lama lagi kita akan memasuki bulan Oktober. Bulan yang secara kultural dijadikan masyarakat sebagai ajang evaluasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang akrab dipanggil SBY. Pasalnya, tepat tanggal 20 Oktober 2009 silam SBY resmi dilantik menjadi Presiden RI untuk periode kali kedua, sehingga tepatlah nanti pada 20 Oktober 2011 dua tahun kepemimpinan SBY-Boediono di negeri ini. Khusus untuk SBY sendiri, akan menjadi evaluasi tujuh tahun, karena SBY sendiri menjadi presiden sejak 2004. Sementara jika kita hitung-hitung lebih jauh, SBY sudah memimpin setengah usia Indonesia pasca reformasi 1998, dan menjadi presiden dengan masa kepemimpinan terlama pasca reformasi. Sehingga wajar jika kita menjustifikasi bahwa SBY-lah yang bertanggung jawab paling besar dalam baik buruknya bangsa ini pasca reformasi. 

Dalam ilmu manajemen, dikenal siklus Plan-Do-Check-Action (PDCA) sebagai langkah-langkah dalam mengelola sebuah institusi, apapun itu, termasuk negara. Hakikatnya, tanpa check, kita tidak bisa mengetahui sejauh mana langkah-langkah yang kita lakukan efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang ada, dan apa yang harus kita lakukan seteleh mendapat feedback tersebut. Tanpa check, sebuah manajemen dikatakan akan pincang. Tentunya, proses evaluasi (check) yang paling efektif dan valid adalah evaluasi yang berasal dari objek manajemennya. Sehingga, kita sebagai rakyat perlu untuk menyampaikan apa yang kita rasakan dan perlu diperbaiki.

Setidaknya ada beberapa hal yang kita soroti selama dua dan atau tujuh tahun kepemimpinan SBY di negeri ini sebagai bahan evaluasi. Pertama, mengenai ekonomi masyarakat. Kedua, mengenai kesejahteraan rakyat. Ketiga, mengenai politik, hukum, dan keamanan.

 Dari segi perekonomian masyarakat, BPS (Badan Pusat Statistik) melansir bahwa pada tahun 2010 sebanyak 31.023.400 jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13.33%). Hal baiknya adalah jumlah ini menurun dibandingkan 2009 yang mencapai 32.530.000 jiwa (14.15%). Namun hal buruknya justru terletak pada aspek fundamental, yaitu perbedaan indikator kemiskinan. World Bank melansir bahwa seseorang dikatakan miskin ketika tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori standar untuk tubuhnya (2000 – 2500 kalori per hari), dimana jika dikonversi ke dalam dolar, dibutuhkan minimal US$1 per hari  atau US$30 per bulan (sekitar Rp270.000,00). Namun, BPS menggunakan indikator lebih rendah, yaitu Rp211.726,00 per kapita per bulan. Tidak hanya itu, pengamat Ekonomi Dr. Hendri Saparini mengklaim bahwa BPS juga tidak menganggap orang yang sudah bekerja sebagai orang miskin. Padahal, bekerja bukan jaminan semua kebutuhannya terpenuhi. Belum lagi indikator US$30 per bulan yang nilainya semakin turun untuk mendapatkan 2000 – 2500 kalori karena inflasi. Kemiskinan masih menjadi masalah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan, karena pasti jumlah yang ada lebih dari klaim yang diberikan pemerintah dan kecepatan pengurangannya masih tidak optimal.

Tidak hanya itu, kesenjangan ekonomi juga menjadi permasalahan yang semakin pelik. Pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Indonesia adalah Rp2.252.308,87 per bulan. Bandingkan dengan penghasilan Rp270.000,00, hampir 10 kali lipatnya. Itu berarti, lebih 31 juta masyarakat Indonesia mempunyai pendapatan kurang dari Rp270ribu per bulan dan jutaan orang juga yang pendapatannya antara Rp270 ribu sampai Rp2,5 juta per bulan. Bahkan, jika kekayaan 14 orang terkaya di Indonesia 2011 menurut majalah Forbes dijumlahkan, mencapai Rp290,7 triliun. Jumlah itu setara dengan 22% APBN 2011, atau 4,5% PDB 2010. Angka yang sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan.

Masih banyak fakta-fakta yang menggambarkan betapa buruknya pemerintahan SBY mengelola perekonomian sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak pro poor dan tidak efektif. Namun untuk kali ini, kita akan berdiskusi seputar kulit-kulitnya saja.

Dalam bidang kesejahteraan rakyat, hal-hal yang masih perlu disoroti adalah terkait jaminan sosial dan pendidikan. Luka mendalam bagi rakyat Indonesia ketika RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sangat memakan waktu lama dalam pembuatannya. Hal ini dikarenakan masih terjadinya tarik ulur kepentingan antara DPR dengan pemerintah. Terjadi deadlock mengenai posisi empat BUMN yang selama ini menjadi penyelenggara jaminan sosial (Taspen, Asabri, Jamsostek, dan Askes). Akibat tertundanya UU yang seharusnya disahkan tahun 2009 ini, hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan jaminan sosial terabaikan. Data yang didapat BEM UI menyatakan bahwa dari 236 juta penduduk Indonesia, baru 95,1 juta atau 39% saja yang tercakup dalam berbagai skema jaminan kesehatan. Fakta lain yang terungkap adalah dari 32 juta pekerja formal yang bekerja, baru 4,5 juta jiwa  atau 4% yang dilayani skema jaminan kesehatan dari Jamsostek dan dari 30 juta buruh, hanya 9 juta atau 27% yang terlayani Jamsostek. Padahal, idealnya jaminan sosial ini mencakup 100% masyarakat Indonesia.

Dalam pendidikan, hal yang menjadi masalah juga sangat besar. Hingga sekarang, pemerintah sering menjadikan justifikasi anggaran sebagai alasan mengapa kualitas pendidikan Indonesia masih buruk. Bagaimana tidak, anggaran pendidikan yang seharusnya Rp248,9 triliun, namun yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional hanya Rp55,5 triliun. Sisanya ada pada kementerian lainnya dan transfer ke daerah. Namun yang lebih parahnya lagi Rp104 triliun ditransfer ke daerah untuk Dana Alokasi Umum (DAU), semisal menggaji pegawai di daerah-daerah. Sehingga kita dapat menemukan bahwa aksesibilitas pendidikan, terutama pendidikan tinggi semakin sulit. Hal inimenurut BPS– terlihat dari hanya sekitar 50% saja penduduk usia 16 – 18 tahun yang menempuh pendidikan. Jumlah yang terus menurun ada pada usia 19 – 24 tahun, dimana biasanya usia-usia tersebut adalah saat menempuh pendidikan tinggi. Jumlah yang mengikuti pendidikan hanya sekitar 13.77%. Hal ini harus menjadi sorotan kita bersama agar masyarakat tidak hanya berhenti pada tingkat dasar atau menengah saja, namun mengenyam hingga pendidikan tinggi.

Sementara dalam bidang terakhir yaitu politik, hukum, dan keamanan, hal-hal yang menjadi sorotan utama adalah korupsi dan penegakan hukum.

Kita sama-sama mengetahui bahwa hampir tiap tahun bahkan tiap enam bulan sekali, media-media baik cetak maupun elektronik memfokuskan beritanya pada kasus-kasus korupsi, suap, dan kolusi. Belum hilang ingatan kita terkait kasus Century, timbul lagi kasus menghebohkan Gayus Tambunan, lalu susul menyusul tentang Nazaruddin, dan yang terakhir ini adalah kasus Kemenakertrans dan Kemendagri. Bahkan dari beberapa kasus kita dapat mempelajari bahwa korupsi dan perampasan harta negara tidak hanya dilakukan oleh satu-dua orang, namun oleh banyak mafia dan tim, yang bekerja secara terorganisasi dan rapi. Belum lagi permasalahan korupsi di daerah, dan sebagainya. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2010, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp3,6 triliun. Sementara, sektor korupsi berdasarkan jumlah kerugian negara ditempati sektor keuangan daerah sebanyak Rp344,7 miliar dengan jumlah kasus 44 kasus. Dilanjutkan sektor energi Rp240,3 miliar (4 kasus), pertanahan/lahan Rp143 miliar (18 kasus), pajak Rp47,3 miliar (8 kasus), dan sektor infrastruktur merugikan negara Rp40,9 miliar (53 kasus).

Begitu juga dengan penegakan hukum yang hingga saat ini masih bobrok. Setidaknya, beberapa kasus yang mencuat akhir-akhir ini memberi pelajaran bagi kita bagaimana penegakan hukum di Indonesia masih lemah serta mudahnya hukum untuk diinjak-injak. Pekerjaan rumah dari reformasi terkait dengan kejelasan pelaku penembakan mahasiswa Trisakti saat demonstrasi 1998 hingga sekarang belum menemukan titik terang. Tidak hanya itu, kasus Munir juga saat ini belum memberikan kesimpulan tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Kasus Century juga turut menambah luka itu. Kemudian kasus Antasari Azhar yang perlahan tapi pasti menemukan titik terangnya.

Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan pengelolaan negara ini. Namun biar bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti kita mahasiswa ITB harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini, karena mengatakan yang benar adalah kesetiaan yang tulus. Semoga tenaga kita untuk mengevaluasi SBY tetap terjaga dan memberi manfaat bagi sebesar besarnya kebaikan bangsa ini. Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan!

Opini ini dimuat Detik.com di alamat:
http://www.detiknews.com/read/2011/09/21/072933/1726916/471/sesuatu-banget-yah--sby--di-bulan-oktober