Sistem
Ekonomi Neoliberal di Indonesia
Kita mengetahui tiga sistem perekonomian yang populer di
dunia: Sosialisme, Kapitalisme, dan sistem ekonomi Islam. Namun
kita harus mengakui bahwa sistem ekonomi yang sedang menghegemoni dalam dunia
ini adalah sistem ekonomi kapitalisme. Pada dasarnya
sistem ekonomi kapitalisme ini merupakan suatu suprastruktur dari suatu
ideologi yang disebut liberal (bebas). Namun, ideologi
ini lebih dikenal karena sistem ekonominya yang bernama Kapitalisme. Dikatakan liberal dikarenakan ideologi ini sangat menekankan
kebebasan individu dalam segala sendi kehidupan. Dalam
ilmu psikologi, kita mengenal Teori Hierarchy
Needs karya Abraham Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak
kebutuhan seorang manusia. Dalam ilmu ekonomi kita mengetahui Teori Invisible Hand karya Adam Smith yang
menyerahkan mekanisme demand – supply
pada kebebasan pasar, yaitu kebebasan para penjual, pembeli, dan para spekulan
dalam menentukan harga. Dalam ilmu politik kita mengenal
Demokrasi dan jargon terkenalnya Vox
Populi Vox Dei (Suara Masyarakat adalah Suara Tuhan) meskipun dalam hal ini
yang ditekankan adalah kebebasan masyarakat. Sisi kebebasan kapitalisme
berada pada bolehnya individu menguasai semua sendi kehidupan ekonomi, asalkan ia mampu. Seiring perkembangan zaman,
penguasaan individu ini diperluas maknanya kepada kepemilikan privat, yang
tidak hanya dimiliki oleh individu, namun juga keluarga, sejawat, kelompok,
ataupun lembaga yang status kepemilikannya adalah milik non-pemerintah.
Adam Smith, dalam bukunya The Theory Of Moral Sentiments (1754)
mengemukakan bahwa seharusnya kepemilikan privat tetap harus dikendalikan oleh
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai
regulator. Ia menyebut kepemilikan privat
sebagai self interest dan
pengendalian pemerintah sebagai self restraint.
Walaupun Adam Smith dikenal sebagai salah satu pencetus ekonomi liberal, namun ia tetap menyadari bahwa kebebasan individu (privat) tetap
harus ada batasnya. Namun tidak cukup hanya sampai di situ, pengendalian
dari pemerintah ini harus dilakukan secara lebih spesifik dan tegas. Dalam teori ekonomi modern –yang juga berkiblat pada teori ekonomi
kapitalis– dijabarkan tiga peran utama pemerintah dalam mengelola perekonomian.
Pertama, menjaga dan meningkatkan efisiensi perekonomian.
Kedua, menjaga dan meningkatkan keadilan dalam perekonomian.
Ketiga, menjaga kestabilan perekonomian.
Dalam menjaga dan meningkatkan efisiensi
perekonomian, pemerintah harus berperan aktif dalam peningkatan terjadinya
kompetisi dan mencegah terjadinya monopoli. Hal ini
sangat sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang menyatakan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Juga pada ayat 4 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan.
Monopoli jelas bertentangan dengan prinsip di atas,
dikarenakan yang dirugikan pada akhirnya adalah konsumen, yang dalam hal ini
menyangkut masyarakat banyak. Kemudian, peran
selanjutnya adalah menangani eksternalitas, yaitu segala hal yang berasal dari
faktor luar (uncontrollable factors),
yang berpengaruh pada kondisi perekonomian, seperti kebijakan penanganan
bencana dan lainnya. Selanjutnya, pemerintah harus
menyediakan public goods dan
melakukan intervensi pasar jika dinilai mekanisme pasar mengalami kegagalan.
Dalam menjaga dan meningkatkan keadilan
dalam perekonomian, pemerintah harus menangani adanya kesenjangan pendapatan
dan kemakmuran. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan mekanisme pajak dan redistribusi income kepada yang membutuhkan. Caranya antara lain dengan subsidi, pajak, transfer, dan lainnya.
Pendapatan masyarakat tidak semuanya sama, dan untuk
mencegah ketidak samaan yang semakin ekstrem, dilakukanlah redistribusi seperti
subsidi listrik bagi masyarakat menengah ke bawah, subsidi biaya perguruan
tinggi, atau pengenaan pajak yang tinggi bagi penduduk yang kaya sesuai dengan
faktor kewajiban kena pajaknya. Semakin besar penghasilan
seseorang, semakin besar pula pajak penghasilan yang dikenakannya, dan
sebagainya. Hal ini sesuai juga dengan prinsip UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2
dan 3 tentang jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah. Juga tanggung jawab negara dalam menyediakan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Sedangkan dalam menjaga kestabilan
perekonomian pemerintah harus menggunakan kebijakan fiskal (berhubungan dengan
pajak) dan moneter (berhubungan dengan keuangan negara) untuk menekan
pengangguran dan inflasi. Kita mengetahui bahwa angka pengangguran Indonesia
(pada usia produktif) masih berkisar 9 – 10 juta jiwa
(Sumber: BPS). Karena itulah pemerintah harus memacu
terbukanya lapangan pekerjaan baru, salah satunya dengan memperbesar
kepemilikan privat pada salah satu faktor produksi di negara ini.
Sedangkan, dari sisi inflasi pada Agustus 2010 ini sudah mencapai 4.82% yang
mana angka ini termasuk tinggi jika dibandingkan pada akhir 2009 kemarin
inflasi hanya 2.78% (Badan Pusat Statistik). Hal ini akan
memacu peningkatan angka pengangguran di Indonesia.
Sisi buruk neoliberalisme –seperti yang
telah dijabarkan– ada pada kebebasan yang tidak terbatasi. Padahal hal ini sudah disangkal oleh Adam Smith. Di
Indonesia, neoliberalisme mulai tercium sejak masuknya IMF. Hal
ini semakin parah pasca krisis 1998, dan hingga sekarang makin menjamur, bahkan
di banyak sektor, tidak hanya ekonomi. Kita mengenal
adanya SAP (Structural Adjustment Program)
dan Washington Concencus yang semakin
memburamkan tiga peran utama pemerintah yang telah dibahas sebelumnya. Salah satu peran yang ‘diserang’ adalah tentang kewajiban
pemerintah menyediakan barang publik (public
goods). Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 dikemukakan bahwa
negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta bumi, air, dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, bahkan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pasal ini kita
sudah dapat menentukan bahwa barang-barang publik seperti tanah, air, tambang,
dan mineral yang terkandung dalam bumi seharusnya dikuasai oleh negara. Jikalaupun negara mempunyai keterbatasan dalam mengelolanya, negara
berhak menunjuk institusi privat untuk mengelolanya, dan negara memberikan
insentif. Namun, batas pengelolaan ini harus diutamakan untuk kemakmuran
rakyat, dalam artian mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan
privat atau bahkan bangsa lain.
Demikian halnya dengan cabang-cabang produksi penting,
seperti manusia, sandang, pangan, dan perumahan, pendidikan, kebudayaan, jalan raya,
jalan kereta api, infrastruktur pendukung utama dan
perhubungan, seharusnya benar-benar dikuasai negara. Namun
pada kenyataannya banyak tekanan-tekanan politik asing yang ‘mengebiri’
konstitusi tersebut, atau menimbulkan distorsi pemahaman atasnya. Selain memang keterbatasan negara dalam mengelolanya, seperti
keterbatasan anggaran, teknologi, dan sebagainya.
Namun, negara ini bukan penganut sistem
ekonomi sosialisme yang sangat tertutup dengan kepemilikan privat. Negara ini masih memberikan ruang untuk kepemilikan privat dan
derivasinya. Banyak contoh barang atau cabang produksi
yang dapat dimiliki oleh institusi privat. Contohnya, alat komunikasi,
mesin, alat transportasi penunjang seperti angkot, delman, kereta api, pesawat, hingga yang lebih kecil seperti sabun, sepatu,
shampoo, dan sebagainya. Pada intinya, cabang produksi yang
tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak boleh dikuasai oleh
institusi privat.
Tekanan politik dari pihak privat dan asing telah membuat
adanya overlap kepemilikan publik
menjadi kepemilikan privat. Kita dapat melihat contoh Blok
Cepu atau Gunting yang dikuasai oleh perusahaan asing dari Amerika ExxonMobil,
atau Blok Semai V yang ‘diberikan’ kepada Hess. Serupa,
tembaga dan emas di Mimika, Papua yang dikuasai Freeport. Sementara, kebijakan yang membuka lebar-lebar overlap ini sudah mulai diberlakukan secara sistematis seperti
pemberlakuan UU Migas pada tahun 2001, UU Ketenagalitrikan tahun 2009,
pengurangan subsidi secara terus menerus (bukan memperbaiki agar tepat
sasaran), dan lainnya. Dampak kepemilikan publik yang
menjadi privat sangatlah berbahaya. Dampak yang dapat
terlihat langsung adalah prioritas kemakmuran. Penguasaan
negara menuntut prioritas kemakmuran ada pada bangsa sendiri, sedangkan penguasaan
privat menuntut prioritas kemakmuran pada institusi privat tersebut. Sementara penguasaan asing jelas menuntut prioritas pada kemakmuran
bangsa asing. Dampak lainnya adalah monopoli atau
kenaikan harga barang tersebut, atau bahkan rentannya harga barang tersebut
terhadap instabilitas yang disebabkan spekulan-spekulan yang beredar.
Itu baru dari sektor energi. Sedangkan dalam kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan dalam
bangsa ini kita masih banyak menemukan nafas-nafas neoliberalisme, dan banyak
juga ditemui dari sektor-sektor lainnya. Seperti
sektor ekonomi, pendidikan, sumber daya alam non-mineral, dan sosial budaya.
Dalam sektor ekonomi, kita dapat dengan
mudah menemukan bahwa aroma-aroma neoliberalisme sudah sedemikian jauhnya
memasuki sendi peraturan di negeri ini. Pengurangan
subsidi salah satunya. Dengan pengurangan ini, langkah pemerintah untuk
membuat ekonomi semakin adil agaknya akan semakin jauh
dari harapan. Pasalnya, redistribusi pendapatan tidak akan
berjalan dengan baik. Pengurangan-pengurangan ini semakin
menjadi-jadi dengan alasan penghematan. Akan tetapi,
banyak dari pengurangan ini yang tidak dibarengi dengan resegmentasi subsidi,
sehingga subsidi masih banyak yang tepat sasaran. Contohnya
adalah subsidi BBM, subsidi BBM untuk listrik, dan lainnya. Privatisasi BUMN juga merupakan salah satu cirinya, dimana peran
negara dalam menyediakan kepemilikan publik semakin dikebiri.
Dari sektor pendidikan yang merupakan
salah satu urat nadi penting pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa, dapat
juga ditemukan aplikasi neoliberal. Salah satunya
adalah dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP, meskipun telah dibatalkan),
yang membuka sebesar-besarnya peran privat bagi pengelolaan pendidikan di
negeri ini dan mengurangi peran pemerintah. Bahkan
dalam tataran yang lebih filosofis adalah adanya paradigma bahwa universitas
sekarang adalah penyedia tenaga kerja bagi industri dan riset yang dilakukan
adalah untuk industri (triple helix).
Dalam sektor Sumber Daya Alam (SDA)
non-mineral kita juga dapat menemukan banyak sekali kepemilikan publik yang boleh
dimiliki kepemilikan privat, dimana hutan yang seharusnya dikuasai oleh negara
ternyata dikuasai oleh pihak privat hingga bertahun-tahun dan mengambil manfaat
banyak darinya.
Terakhir, dari sosial budaya juga kita
dapat menemukan aroma neoliberal, yaitu dijadikannya kebudayaan bangsa menjadi
komoditas privat. Padahal, kita sendiri mengetahui
bahwa budaya adalah karakter bangsa, dibentuk dari pendidikan masyarakat dan
transformasi sosialnya. Hal ini terlihat dari
pembentukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), bukan lagi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Pada
akhirnya, kita memang harus mengawasi segala sisi buruk neoliberalisme dengan
terlebih dahulu mengenal filosofinya, dan usaha-usaha untuk menjadikan negeri
ini berkiblat pada sistem ekonomi tersebut.