Kamis, 30 September 2010

Pilihan...

Pilihan

 

Aku berbicara tentang pagi

Kala sinar mentari menyelinap dengan ramah

Saat kicauan burung menyapa dengan merdu

Ketika hawa sejuk menebar ketenangannya

 

Kini aku merindu siang hari

Saat ia memberi segenap energi

Sesekali memacu emosi

Agar jantung berdegup semakin tinggi

 

Sore tetap ku nanti

Langitnya teduh

Tidak gelap

Tidak pula terang

 

Dan malam akan ada di hati

Dihias bintang beriringan

Beberapa acak tak beraturan

Namun tetaplah ia berkilauan

 

Kini diri mulai bimbang

Mentari, matahari, atau bintang

Walau semua sama

Namun terasa berbeda

 

Dan memilih itu suatu kewajiban

Sekarang atau nanti

Dahului ia dengan keyakinan

Genapkan ia dengan azzam

Matangkan ia dengan pasrah

Semoga Allah memberi berkah

 

 

Senin, 27 September 2010

Long Way To Everlasting Beauty [1]

Long Way To Everlasting Beauty [1]

200 tahun bukan usia yang muda untuk sebuah kota, dan sebentar lagi Bandung akan mencapai usia ini. Baru saja Bandung merayakan pencapaian 200 tahunnya, dengan acara-acara yang sudah sedemikian rupa dirancang, baik oleh pemerintah kota maupun beberapa LSM dan komunitas. Momentum hari kelahiran biasanya dimanfaatkan untuk kembali melihat pencapaian yang telah dilakukan di masa lalu, ibarat siklus Plan-Do-Check-Action dalam ilmu manajemen kualitas, maka momentum ini merupakan momentum yang tepat untuk masuk ke tahap Check. Sehingga nantinya kesimpulan-kesimpulan yang didapat akan menggiring kita pada suatu masukan untuk selanjutnya melakukan follow up, sebuah aksi nyata (action), langkah apa yang seharusnya ditempuh: mengubah kebiasaan (habit), atau reorientasi tahap plan untuk rentang waktu selanjutnya. Pilihan biasanya terkait dua hal tersebut, rekonstruksi atau reorientasi.

Logo 200 Tahun Kota Bandung sudah tersebar di seantero kota, dengan mengambil tajuk bunga, dan slogan “Everlasting Beauty” yang tentunya menjadi sebuah harapan bagi Bandung untuk benar-benar menjadi cantik selamanya. Long way to become everlasting beauty, but it is possible. Butuh waktu yang panjang dan tekad yang kuat dan ini mungkin, menjadi Bandung yang benar-benar diidamkan. Kota yang memberi kenyamanan dan ketenangan di kala istirahat, serta menyejahterakan di kala beraktivitas.

Berbicara tentang Bandung dewasa ini, kita berkali-kali mendengar banyak isu yang mencuat di tengah-tengah masyarakat. Setidaknya ada empat isu utama yang belakangan ini terus menerus menjadi perhatian dalam pengelolaan Bandung yang kita cintai, yaitu isu Lingkungan, Infrastruktur, Tata Kota, dan Ekonomi. Dimana kesemuanya menyangkut kepentingan publik dan berkaitan langsung dengan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Pertama, mengenai isu lingkungan hidup di kota Bandung, dimana sorotan utamanya ada pada degradasi lingkungan. Kita sama-sama mengetahui bahwa Bandung adalah sebuah dataran tinggi berbentuk seperti cekungan yang dikelilingi pegunungan. Bagian utara Bandung adalah kontur perbukitan, sementara bagian selatan adalah dataran yang semakin rendah, hingga pada titik terendahnya adalah sungai terpanjang di Jawa Barat: Citarum. Setelah itu, dataran kembali naik hingga akhirnya bertemu dengan deretan tatar parahyangan selatan. Sementara bagian barat dan timur Bandung adalah perbukitan. Kontur pegunungan seperti ini menyebabkan Bandung adalah daerah basah, baik basah dari atas (frekuensi hujan yang tinggi) maupun basah dari bawah (aliran air yang banyak), yang kesemuanya mengalir ke arah selatan, ke sungai Citarum.

Citarum berhulu di Situ Cisanti, daerah lereng Gunung Wayang di pegunungan selatan. Kondisi Citarum sudah sedari hulu sudah tidak terjaga dengan baik. Sebelum Majalaya, Citarum mengalami eksploitasi pasir sungai yang cukup besar. Sedangkan ketika sudah mulai masuk Majalaya hingga daerah Curug Jompong, air Citarum akan bercampur dengan bermacam-macam limbah, baik itu industri, sawah, ataupun rumah tangga. Daerah Aliran Sungai (DAS) citarum tidak luput dari ulah manusia yang mendirikan kantong-kantong penduduk di sana. Bencana terjadi ketika musim hujan tiba, di mana DAS tersebut mau tidak mau harus juga terendam, dan akhirnya kawasan ini (Baleendah, Bojongsoang, Majalaya, dll) menjadi langganan banjir tiap tahunnya.

Meskipun sebenarnya Sungai Citarum tidak masuk ke dalam daerah administratif Kota Bandung, namun banjir yang terjadi tiap tahunnya juga dipengaruhi dari Kota Bandung, di mana banyak sungai yang airnya mengalir ke Citarum, dan hal ini berdampak pada semakin tingginya debit air di sungai Citarum, sehingga luapan air tidak dapat dihindari. Pemerintah Kota Bandung seharusnya bisa lebih berperan dalam konservasi kawasan hulu sungai yang mengalir di Bandung dan bermuara di Citarum.

Salah satu sungai yang mengalir di tengah-tengah Bandung adalah Sungai Cikapundung. Kondisinya setali tiga uang dengan Citarum, namun cenderung lebih baik. Cikapundung berasal dari lereng gunung Bukittunggul di sebelah utara Bandung. Sungai ini melewati maribaya dan beberapa daerah pemukiman, membuatnya sudah mulai tercemar sejak dari hulu. Adanya Taman Hutan Raya yang menjaga kelestarian DAS Cikapundung sejauh sekitar 6 km memang belum begitu efektif mengingat degradasi ini terjadi sebelum melewati hutan ini. Di pusat kotapun sungai ini bertambah pencemarannya karena melewati dan dekat sekali dengan daerah pemukiman penduduk, sehingga sangat berpotensi besar tercemar oleh limbah rumah tangga. Belakangan timbul wacana untuk memperluas daerah konservasi DAS, yaitu sekitar sebelum Kebun Binatang Kota Bandung hingga Jembatan Pasupati, namun kepadatan daerah pemukiman di situ menjadi salah satu kendala.

Minggu, 19 September 2010

Menuju Dies 40 Tahun MTI (1971 - 2011)

Menuju Dies 40 Tahun MTI (1971 – 2011)

Sebuah Prolog

Jika Indonesia hanya butuh 10 tahun untuk berperan aktif dalam peradaban dunia, lalu berapa banyak waktu yang dibutuhkan MTI untuk berperan aktif dalam peradaban Indonesia?”

Ya, saat itu pada tahun 1955, tepat 10 tahun setelah Indonesia merdeka, negara ini sudah mulai memikirkan bagaimana berkontribusi dalam peradaban dunia. Saat itu, peradaban dunia sedang dalam masa pergolakan politik yang hebat, pertentangan ideologi kapitalisme dan sosialisme membawa Indonesia bersama negara-negara Asia-Afrika menjadi inisiator dalam Konferensi Asia Afrika, di Bandung. Seakan membuat poros baru, Asia-Afrika yang didominasi negara yang sama-sama baru merdeka duduk bersama dalam rangka membicarakan kesejahteraan dunia yang terkotak-kotak antara masing-masing ideologi. Dan mereka sepakat untuk meneruskan gerakan ini menjadi gerakan Non-Blok.

Sekarang, mari kita berkaca padanegarakecil kita, Keluarga Mahasiswa Teknik Industri (MTI) ITB. 40 tahun sudah MTI berada di bumi Ganesha, bumi Indonesia. Sudah banyak warna-warni yang ditorehkannya, sudah banyak riak-riak kemahasiswaan yang diciptakannya, sudah banyak ide-ide hebat yang diinspirasikannya. MTI kita sekarang sudah mencapai kematangan sebuah usia.

Kedewasaan Sebuah Organisasi

Kedewasaan dan kematangan seseorang tidak dilihat dari berapa umurnya. Namun seberapa banyak problematika kehidupan mengajarinya tentang arti penting sebuah kepedulian. Kematangan pribadi menandakan bahwa ia sudah tidak lagi egois terhadap dirinya sendiri. Sifat lebih objektif dalam menerima kritik, dan sifat peduli terhadap kondisi lingkungannya adalah beberapa sifat yang mencirikan kematangan dan kedewasaan.

Begitu juga dengan MTI kita. Sudah matangkah MTI kita? Jika perhatian kita selalu saja disita dengan urusan-urusan pribadi kita yang tiada habisnya. Solusi untuk urusan pribadi sebenarnya hanya satu: yaitu perbaikan pribadi, dan bukan berharap akan perbaikan orang lain. Maka, hal-hal yang menyita perhatian MTI dan menghambatnya menuju kematangan pada akhirnya kembali kepada pengontrolan diri kita. Self restraint, bahasa yang digunakan oleh Adam Smith, pelopor industrial engineering dunia. MTI kita terdiri dari banyak manusia, yang seharusnya bisa meledakkan segenap potensi yang ada untuk mencapai kedewasaannya. Tidak pantas apabila kedewasaan MTI kita terhambat hanya karena sikap individu kita yang kurang dewasa, kurang self restraint, kurang peduli terhadap lingkungan kita.

Kini Saatnya Keluar Dari Zona Nyaman Kita

Lingkungan kita adalah Indonesia. Ia sudah ada sejak sebelum MTI kita ada, dan masalah sudah selalu menemaninya sebelum MTI kita berdiri. Terutama permasalahan industriekonomi Indonesia. Tentu kita mengenal bahasa inflasi, distribusi, manufaktur, usaha kecil menengah, dan industri primer – sekundertersier. Kita juga mengenal investasi, enterprais, manajemen resiko, dan segala keilmuan bermanfaat lainnya. Hal ini merupakan potensi yang besar, yang juga menuntut kepedulian dan tanggung jawab yang besar.

Kini saatnya MTI kita matang dan dewasa, kini saatnya MTI kita keluar dari zona nyamannya. Berpikir hal-hal yang lebih besar. Memasang impiannya akan hal-hal yang lebih tinggi lagi. Untuk apa kita mencetak sarjana teknik industri yang cakap, berpengabdian, dan bermoral tinggi selain untuk pembinaan dan pengembangan industri yang pada akhirnya adalah Indonesia yang adil dan makmur. Hal mulia ini sudah tercantum lama sekali di Mukadimah Anggaran Dasar MTI kita. Artinya, itulah visi besar mengapa MTI berdiri: Indonesia yang adil dan makmur. MTI kita ada untuk Indonesia.

Oleh karena itu, kedewasaan dan kematangan MTI kita bisa dicapai dengan melakukan link and match tentang filosofi MTI kita dan filosofi kedewasaan sebuah entitas yang dinamis: MTI yang memikirkan Indonesia. Khususnya, dengan cara memajukan perindustrian Indonesia. Saatnya kita keluar dari zona nyaman kita. Untuk selanjutnya memasuki ketidaknyamanan zona Indonesia yang masih belum adil dan makmur.

Karena Kita Mahasiswa

Kita mahasiswa kawan. Kita mempunyai banyak potensi. Kita mempunyai sifat kritis dan idealis yang akan mendorong kita untuk selalugregetterhadap ketidakidealan perindustrian Indonesia. Kita juga semangat dan enerjik, yang akan mentransfomasikan rasa ‘gregetkita kepada tindakan nyata. Kita juga mempunyai basis keilmuan industri, kemudahan jaringan, dan keberagaman wawasan, sehingga kita mempunyai senjata untuk bergerak, untuk terus melakukan tindakan nyata mencapai kemajuan perindustrian Indonesia.

Meskipun ilmu kita masih ilmu teknis, tapi itu bukanlah alasan untuk tidak berbuat. Ilmu teknis namun terdiri dari banyak adopsi keilmuan lain membuat kita dapat berperan lebih. Kita dapat bergerak dengan membantu kondisi usaha kecil menengah yang mengalami permasalahan, atau kita juga dapat membantu menggerakkan perekonomian masyarakat dengan menjadikan perusahaan-perusahaan kecil mereka tumbuh dan berkembang, atau kita dapat kritis kepada pemerintah atas kebijakannya yang menghambat kemajuan perindustrian Indonesia.

Sesuatu yang mulia harus dimulai dari sekarang, dan dimulai dari MTI kita. Jika memang kita ingin MTI kita dewasa dan matang di usianya yang sudah 40 tahun. Mari kita jadikan momentum yang akan kita sambut nanti sebagai momentum dimulainya peran besar MTI dalam peradaban Indonesia. Dalam perannya memajukan perindustrian Indonesia. Karena kita mahasiswa, dan MTI kita ada untuk Indonesia. Vivat la MTI et la liberta, Avanti MTI !

Pasar Tenaga Kerja, Sumber Daya Manusia, dan Indeks Pembangunan Manusia

Pasar Tenaga Kerja, Sumber Daya Manusia, dan Indeks Pembangunan Manusia

Salah satu faktor produksi yang penting dalam perekonomian bangsa ini adalah tenaga kerja. Faktor lainnya adalah tanah, barang modal seperti mesin, bangunan, dan lainnya. Permasalahan mengenai tenaga kerja seakan tidak pernah habis-habis. Mulai dari pengangguran, link and match, ketersediaan tenaga ahli, kesejahteraan tenaga kerja, keamanan dan keselamatan kerja, hingga tuntutan-tuntutan serikat pekerja. Indonesia dikenal sebagai negara yang pasar tenaga kerjanya bagus. Dalam artian, merupakan negara yang mempunyai cadangan tenaga kerja yang banyak dan dengan upah yang tergolong murah.

Penduduk Indonesia, menurut Badan Kependudukan PBB adalah berkisar 241.973.879 jiwa. Hal ini merupakan karunia yang besar jika kita memandang manusia sebagai sebuah sumber daya. Menempati posisi keempat dunia, Indonesia merupakan salah satu penyedia pasar tenaga kerja yang banyak. Namun, banyaknya tenaga kerja ini tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pengetahuan dan keahlian yang baik, sehingga tingkat pengangguran tetap saja tinggi, terlepas juga dari ketersediaan lapangan pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik, pengangguran Indonesia masih berkisar 9 – 10 juta jiwa, atau masih sekitar 10% usia produktif Indonesia. Perhatikan tabel berikut.

Mayoritas pengangguran disebabkan karena minimnya keahlian, bahkan ada yang sampai tidak punya keahlian dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung. Data historis menunjukkan bahwa ada peningkatan drastis dari tahun 2008 ke 2009 terhadap pengangguran yang belum pernah sekolah/tamat SD.

Ketersediaan tenaga ahli dalam menunjang perekonomian merupakan hal yang penting. Tenaga ahli dalam hal ini tidak hanya disempitkan pada SDM yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi sehingga mempunyai keahlian. Tenaga ahli dalam arti seluas-luasnya adalah SDM yang mempunyai kemampuan, meskipun tidak mengenyam pendidikan secara formal. Keahlian bisa didapat dari kursus-kursus keahlian atau training di tempat bekerja. Memang, untuk beberapa sektor besar seperti industri terutama migas, Indonesia masih mengalami permasahalan dalam ketersediaan tenaga ahli yang benar-benar menguasai teknologi pengolahan SDA mineral. Dalam sektor lain, seperti manufaktur juga Indonesia masih kekurangan tenaga ahli professional yang dapat memajukan teknologi manufaktur. Jika kita ibaratkan tenaga ahli professional adalah mahasiswa, maka jumlahnya hanya sekitar 4 juta tiap tahunnya, dari total sekitar 113 juta angkatan kerja tiap tahunnya (sumber: BPS). Belum lagi ketersebaran tenaga ahli ini di sektor-sektor perekonomian lainnya seperti pertanian, kehutanan, listrik, gas, air, jasa, dan lainnya.

Ketersebaran tenaga ahli dan tenaga kerja di berbagai sektor juga menjadi sorotan tentang pengelolaan sumber daya manusia ini. Pada tahun 2006, jumlah tenaga kerja terbesar berada di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan besar 42,05% atau sekitar 40 juta jiwa. Sektor terbesar kedua adalah perdagangan, hotel, dan restaurant dengan besar 16,73% atau sekitar 16 juta jiwa. Sementara sektor industri pengolahan hanya sebesar 11,05% atau sekitar 10,5 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih belum siap untuk bekerja dengan kondisi lingkungan yang berteknologi modern. Dapat diinterpretasikan juga bahwa masih banyak tenaga yang –seperti dibahas sebelumnyabelum mempunyai keahlian yang tinggi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut (Sumber: Departemen Perdagangan RI).

Kesejahteraan tenaga kerja juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini mengingat tujuan utama para pencari pekerjaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, yang dalam hal ini disederhanakan dengan upah, gaji, atau pendapatan mereka. Pada tahun 2009, pendapatan per kapita RI adalah Rp 24,3 juta, itu berarti per bulannya sebesar sekitar Rp 2 juta, dan itu berarti per harinya adalah Rp 67 ribu. Pendapatan yang cukup besar sebenarnya bagi rakyat Indonesia. Namun indikator ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur. Salah satu kelemahan sistem ekonomi kapitalisme adalah ketimpangan sosial yang semakin tinggi. Ketimpangan sosial ini terlihat dengan jelas dari penguasaan 20% penduduk negara ini atas 80% keuangan di negeri ini. Pemerintah sendiri telah menetapkan kebijakan mengenai UMR (Upah Minimum Regional) yang diperbaharui tiap tahunnya. Untuk tahun 2010 ini berkisar Rp. 537.000,00 hingga Rp. 1.300.000,00. Langkah ini dinilai cukup menyelamatkan tenaga kerja, mengingat tidak semua pemilik perusahaan menganggapmanusiasumber daya manusia.

Salah satu hal yang menarik dalam paradigma ekonomi yang telah dibahas di atas adalah paradigma sumber daya manusia. Pandangan yang berkembang sejak dahulu adalah bahwa manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai salah satu faktor produksi, disamakan dengan faktor produksi lainnya seperti mesin, tanah, bahan baku, dan sebagainya. Padahal, manusia berbeda dengan mesin. Manusia mempunyai potensi kebajikan dan insane yang besar dan dengan variasi yang tinggi, berbeda dengan mesin. Konsep ini dikemukakan oleh Frans Mardi Hartanto, dalam bukunya Paradigma Baru Manajemen Indonesia (2009). Seharusnya manusia bukan disebut sebagai sumber daya manusia, tetapi manusia bersumber daya. Paradigma ini melihat manusia secara real sebagai makhluk yang tidak deterministik. Pandangan ini mengembalikan hakikat manusia bukan sebagai sesuatu yang dikendalikan untuk mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, manusia dipandang sebagai sesuatu yang juga harus disejahterakan, sama seperti pemilik perusahaan. Kebijakan UMR dan Keamanan Keselamatan Kerja sangatlah sejalan dengan pemikiran ini. Sehingga kedepannya tidak ada lagi permasalahan tentang perendahan status manusia dengan tidak memperlakukannya secara spesial seperti manusia, terutama kaum buruh yang seringkali mendapat perlakuan tidak layak. Inilah hal yang bisa meminimalisasi konflik serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang selama ini biasa terjadi.

Sektor tenaga kerja juga terkait dengan keahlian dan link and match dari pihak penyedia (supplier) ke pihak penerima atau peminta (consumer). Pihak penyedia dalam hal ini adalah institusi pendidikan, dan pihak penerima adalah sektor-sektor dalam negara: publik, privat, sektor ketiga. Institusi pendidikan dalam hal ini tidak hanya formal, bahkan informal seperti keluargapun bisa dianggap sebagai institusi pendidikan. Paradigma zaman globalisasi membawa pemahaman bahwa institusi pendidikan diciptakan memang untuk itu (bekerja). Namun, perlahan konsep triple helix seperti dipaksa semakin dipersempit akibat perkembangan zaman ini dengan hanya universitas, industri, dan pemerintah dalam rantai link and match ini. Konsep ini dikemukakan oleh Henry Etzkowitz dalam bukunya The Triple Helix: University – Industry – Government, Innovation In Action (2008). Hal inilah yang disoroti oleh beberapa kalangan bahwa orientasi pendidikan tinggi saat ini bukan langsung untuk masyarakat, tetapi menyuplai kebutuhan industri besar. Seharusnya link and match ini juga dilakukan kepada industri kecil, menengah, koperasi, dan LSM. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Widjajono Partowidagdo dari Dewan Energi Nasional (DEN).

Indikator pembangunan SDM Indonesia yang paling populer adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Pada 2008, IPM rata-rata Indonesia adalah 71.17. Semakin tinggi IPM menandakan bahwa semakin maju pula suatu daerah atau bangsa. IPM ini didapat dari angka harapan hidup, angka melek huruf, pendidikan, dan standar hidup yang dinisbatkan dengan tingkat PDB (Produk Domestik Bruto). Dengan angka itu, Indonesia menempati urutan sekitar 110 dalam urutan dunia.

Sabtu, 18 September 2010

Neoliberalisme di Indonesia

Sistem Ekonomi Neoliberal di Indonesia

Kita mengetahui tiga sistem perekonomian yang populer di dunia: Sosialisme, Kapitalisme, dan sistem ekonomi Islam. Namun kita harus mengakui bahwa sistem ekonomi yang sedang menghegemoni dalam dunia ini adalah sistem ekonomi kapitalisme. Pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme ini merupakan suatu suprastruktur dari suatu ideologi yang disebut liberal (bebas). Namun, ideologi ini lebih dikenal karena sistem ekonominya yang bernama Kapitalisme. Dikatakan liberal dikarenakan ideologi ini sangat menekankan kebebasan individu dalam segala sendi kehidupan. Dalam ilmu psikologi, kita mengenal Teori Hierarchy Needs karya Abraham Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan seorang manusia. Dalam ilmu ekonomi kita mengetahui Teori Invisible Hand karya Adam Smith yang menyerahkan mekanisme demand – supply pada kebebasan pasar, yaitu kebebasan para penjual, pembeli, dan para spekulan dalam menentukan harga. Dalam ilmu politik kita mengenal Demokrasi dan jargon terkenalnya Vox Populi Vox Dei (Suara Masyarakat adalah Suara Tuhan) meskipun dalam hal ini yang ditekankan adalah kebebasan masyarakat. Sisi kebebasan kapitalisme berada pada bolehnya individu menguasai semua sendi kehidupan ekonomi, asalkan ia mampu. Seiring perkembangan zaman, penguasaan individu ini diperluas maknanya kepada kepemilikan privat, yang tidak hanya dimiliki oleh individu, namun juga keluarga, sejawat, kelompok, ataupun lembaga yang status kepemilikannya adalah milik non-pemerintah.

Adam Smith, dalam bukunya The Theory Of Moral Sentiments (1754) mengemukakan bahwa seharusnya kepemilikan privat tetap harus dikendalikan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai regulator. Ia menyebut kepemilikan privat sebagai self interest dan pengendalian pemerintah sebagai self restraint. Walaupun Adam Smith dikenal sebagai salah satu pencetus ekonomi liberal, namun ia tetap menyadari bahwa kebebasan individu (privat) tetap harus ada batasnya. Namun tidak cukup hanya sampai di situ, pengendalian dari pemerintah ini harus dilakukan secara lebih spesifik dan tegas. Dalam teori ekonomi modern –yang juga berkiblat pada teori ekonomi kapitalis– dijabarkan tiga peran utama pemerintah dalam mengelola perekonomian. Pertama, menjaga dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Kedua, menjaga dan meningkatkan keadilan dalam perekonomian. Ketiga, menjaga kestabilan perekonomian.

Dalam menjaga dan meningkatkan efisiensi perekonomian, pemerintah harus berperan aktif dalam peningkatan terjadinya kompetisi dan mencegah terjadinya monopoli. Hal ini sangat sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Juga pada ayat 4 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan. Monopoli jelas bertentangan dengan prinsip di atas, dikarenakan yang dirugikan pada akhirnya adalah konsumen, yang dalam hal ini menyangkut masyarakat banyak. Kemudian, peran selanjutnya adalah menangani eksternalitas, yaitu segala hal yang berasal dari faktor luar (uncontrollable factors), yang berpengaruh pada kondisi perekonomian, seperti kebijakan penanganan bencana dan lainnya. Selanjutnya, pemerintah harus menyediakan public goods dan melakukan intervensi pasar jika dinilai mekanisme pasar mengalami kegagalan.

Dalam menjaga dan meningkatkan keadilan dalam perekonomian, pemerintah harus menangani adanya kesenjangan pendapatan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme pajak dan redistribusi income kepada yang membutuhkan. Caranya antara lain dengan subsidi, pajak, transfer, dan lainnya. Pendapatan masyarakat tidak semuanya sama, dan untuk mencegah ketidak samaan yang semakin ekstrem, dilakukanlah redistribusi seperti subsidi listrik bagi masyarakat menengah ke bawah, subsidi biaya perguruan tinggi, atau pengenaan pajak yang tinggi bagi penduduk yang kaya sesuai dengan faktor kewajiban kena pajaknya. Semakin besar penghasilan seseorang, semakin besar pula pajak penghasilan yang dikenakannya, dan sebagainya. Hal ini sesuai juga dengan prinsip UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2 dan 3 tentang jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah. Juga tanggung jawab negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.

Sedangkan dalam menjaga kestabilan perekonomian pemerintah harus menggunakan kebijakan fiskal (berhubungan dengan pajak) dan moneter (berhubungan dengan keuangan negara) untuk menekan pengangguran dan inflasi. Kita mengetahui bahwa angka pengangguran Indonesia (pada usia produktif) masih berkisar 9 – 10 juta jiwa (Sumber: BPS). Karena itulah pemerintah harus memacu terbukanya lapangan pekerjaan baru, salah satunya dengan memperbesar kepemilikan privat pada salah satu faktor produksi di negara ini. Sedangkan, dari sisi inflasi pada Agustus 2010 ini sudah mencapai 4.82% yang mana angka ini termasuk tinggi jika dibandingkan pada akhir 2009 kemarin inflasi hanya 2.78% (Badan Pusat Statistik). Hal ini akan memacu peningkatan angka pengangguran di Indonesia.

Sisi buruk neoliberalisme –seperti yang telah dijabarkan– ada pada kebebasan yang tidak terbatasi. Padahal hal ini sudah disangkal oleh Adam Smith. Di Indonesia, neoliberalisme mulai tercium sejak masuknya IMF. Hal ini semakin parah pasca krisis 1998, dan hingga sekarang makin menjamur, bahkan di banyak sektor, tidak hanya ekonomi. Kita mengenal adanya SAP (Structural Adjustment Program) dan Washington Concencus yang semakin memburamkan tiga peran utama pemerintah yang telah dibahas sebelumnya. Salah satu peran yang ‘diserang’ adalah tentang kewajiban pemerintah menyediakan barang publik (public goods). Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 dikemukakan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, bahkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pasal ini kita sudah dapat menentukan bahwa barang-barang publik seperti tanah, air, tambang, dan mineral yang terkandung dalam bumi seharusnya dikuasai oleh negara. Jikalaupun negara mempunyai keterbatasan dalam mengelolanya, negara berhak menunjuk institusi privat untuk mengelolanya, dan negara memberikan insentif. Namun, batas pengelolaan ini harus diutamakan untuk kemakmuran rakyat, dalam artian mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan privat atau bahkan bangsa lain.

Demikian halnya dengan cabang-cabang produksi penting, seperti manusia, sandang, pangan, dan perumahan, pendidikan, kebudayaan, jalan raya, jalan kereta api, infrastruktur pendukung utama dan perhubungan, seharusnya benar-benar dikuasai negara. Namun pada kenyataannya banyak tekanan-tekanan politik asing yang ‘mengebiri’ konstitusi tersebut, atau menimbulkan distorsi pemahaman atasnya. Selain memang keterbatasan negara dalam mengelolanya, seperti keterbatasan anggaran, teknologi, dan sebagainya.

Namun, negara ini bukan penganut sistem ekonomi sosialisme yang sangat tertutup dengan kepemilikan privat. Negara ini masih memberikan ruang untuk kepemilikan privat dan derivasinya. Banyak contoh barang atau cabang produksi yang dapat dimiliki oleh institusi privat. Contohnya, alat komunikasi, mesin, alat transportasi penunjang seperti angkot, delman, kereta api, pesawat, hingga yang lebih kecil seperti sabun, sepatu, shampoo, dan sebagainya. Pada intinya, cabang produksi yang tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak boleh dikuasai oleh institusi privat.

Tekanan politik dari pihak privat dan asing telah membuat adanya overlap kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat. Kita dapat melihat contoh Blok Cepu atau Gunting yang dikuasai oleh perusahaan asing dari Amerika ExxonMobil, atau Blok Semai V yang ‘diberikan’ kepada Hess. Serupa, tembaga dan emas di Mimika, Papua yang dikuasai Freeport. Sementara, kebijakan yang membuka lebar-lebar overlap ini sudah mulai diberlakukan secara sistematis seperti pemberlakuan UU Migas pada tahun 2001, UU Ketenagalitrikan tahun 2009, pengurangan subsidi secara terus menerus (bukan memperbaiki agar tepat sasaran), dan lainnya. Dampak kepemilikan publik yang menjadi privat sangatlah berbahaya. Dampak yang dapat terlihat langsung adalah prioritas kemakmuran. Penguasaan negara menuntut prioritas kemakmuran ada pada bangsa sendiri, sedangkan penguasaan privat menuntut prioritas kemakmuran pada institusi privat tersebut. Sementara penguasaan asing jelas menuntut prioritas pada kemakmuran bangsa asing. Dampak lainnya adalah monopoli atau kenaikan harga barang tersebut, atau bahkan rentannya harga barang tersebut terhadap instabilitas yang disebabkan spekulan-spekulan yang beredar.

Itu baru dari sektor energi. Sedangkan dalam kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan dalam bangsa ini kita masih banyak menemukan nafas-nafas neoliberalisme, dan banyak juga ditemui dari sektor-sektor lainnya. Seperti sektor ekonomi, pendidikan, sumber daya alam non-mineral, dan sosial budaya.

Dalam sektor ekonomi, kita dapat dengan mudah menemukan bahwa aroma-aroma neoliberalisme sudah sedemikian jauhnya memasuki sendi peraturan di negeri ini. Pengurangan subsidi salah satunya. Dengan pengurangan ini, langkah pemerintah untuk membuat ekonomi semakin adil agaknya akan semakin jauh dari harapan. Pasalnya, redistribusi pendapatan tidak akan berjalan dengan baik. Pengurangan-pengurangan ini semakin menjadi-jadi dengan alasan penghematan. Akan tetapi, banyak dari pengurangan ini yang tidak dibarengi dengan resegmentasi subsidi, sehingga subsidi masih banyak yang tepat sasaran. Contohnya adalah subsidi BBM, subsidi BBM untuk listrik, dan lainnya. Privatisasi BUMN juga merupakan salah satu cirinya, dimana peran negara dalam menyediakan kepemilikan publik semakin dikebiri.

Dari sektor pendidikan yang merupakan salah satu urat nadi penting pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa, dapat juga ditemukan aplikasi neoliberal. Salah satunya adalah dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP, meskipun telah dibatalkan), yang membuka sebesar-besarnya peran privat bagi pengelolaan pendidikan di negeri ini dan mengurangi peran pemerintah. Bahkan dalam tataran yang lebih filosofis adalah adanya paradigma bahwa universitas sekarang adalah penyedia tenaga kerja bagi industri dan riset yang dilakukan adalah untuk industri (triple helix).

Dalam sektor Sumber Daya Alam (SDA) non-mineral kita juga dapat menemukan banyak sekali kepemilikan publik yang boleh dimiliki kepemilikan privat, dimana hutan yang seharusnya dikuasai oleh negara ternyata dikuasai oleh pihak privat hingga bertahun-tahun dan mengambil manfaat banyak darinya.

Terakhir, dari sosial budaya juga kita dapat menemukan aroma neoliberal, yaitu dijadikannya kebudayaan bangsa menjadi komoditas privat. Padahal, kita sendiri mengetahui bahwa budaya adalah karakter bangsa, dibentuk dari pendidikan masyarakat dan transformasi sosialnya. Hal ini terlihat dari pembentukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), bukan lagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Pada akhirnya, kita memang harus mengawasi segala sisi buruk neoliberalisme dengan terlebih dahulu mengenal filosofinya, dan usaha-usaha untuk menjadikan negeri ini berkiblat pada sistem ekonomi tersebut.