Jokowi dan Politik Media

Jika saja Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tepat dilakukan pada tahun 2009, boleh jadi hasil quick count menunjukkan bahwa pasangan Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini menduduki peringkat dua teratas. Namun, siapa sangka ternyata pasangan Joko Widodo dan Basuki T. Purnama menduduki peringkat teratas mengungguli Hidayat – Didik. Ada hal yang menarik untuk kita telaah dan mungkin bisa dijadikan pelajaran untuk pemilihan umum kedepannya.

Hal yang menarik untuk kita telaah bersama adalah sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaan tersebut adalah tentang mengapa warga Jakarta begitu percaya dengan Jokowi – Ahok? Padahal kita semua mengetahui bahwasanya dua orang tersebut merupakan tokoh “impor”. Kedua tokoh ini tidak pernah sedikitpun menonjolkan prestasinya dalam kepemimpinan kecuali di daerah mereka masing-masing. Jokowi memang berhasil “menunjukkan” beberapa prestasinya dalam membangun Kota Surakarta. Begitu juga Ahok, yang berhasil “menunjukkan” prestasinya dalam menjadi Bupati Belitung Timur. Prestasi-prestasi inilah yang “diimpor” oleh media dari Surakarta dan Belitung Timur ke Jakarta.

Percepatan Citra

Virilio (1991) sebagaimana dikutip oleh Piliang (2011) mengungkapkan bahwa tempo kehidupan umat manusia saat ini mengalami percepatan yang sangat drastis. Akibatnya, tempo kehidupan manusia ini bersifat temporal dan sesaat. Manusia cepat lupa terhadap suatu hal dan cepat beralih pada hal lainnya, sekali lagi dalam waktu yang singkat. Sifat temporal dan sesaat ini terus berulang dan berdinamika pada rentang waktu yang cukup lama. Hal ini kemudian menyebabkan pendangkalan pada pandangan manusia akan sesuatu fenomena, karena melihat dengan sekelebat lantas cepat pergi dan berlalu digantikan oleh pandangan berikutnya. Manusia menjadi kehilangan waktu untuk sejenak “merenung” atau menggali lebih dalam akan makna dari setiap fenomena-fenomena yang melintasi pandangan dan pikirannya. Sehingga, yang diingat manusia adalah citra, bukan makna.

Namun, ingatan-ingatan yang berlalu dengan cepat tersebut dapat direkonstruksi ulang dalam imaji, meskipun tidak selengkap ketika pertama kali mengalaminya. Caranya adalah dengan memberikan pemantik. Pemantik inilah yang kemudian menghasilkan percepatan-percepatan pada imaji manusia. Ibarat sebuah pelatuk pada senjata api yang memantik peluru untuk cepat melesat. Hal inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Jokowi.

Fenomena mobil Esemka hasil rakitan siswa SMK yang sempat “booming” pada awal-awal 2012 yang lalu adalah pemantiknya. Peluang pemantik ini kemudian dimanfaatkan Jokowi dengan langsung menggunakan mobil tersebut menjadi mobil dinasnya dan wakilnya. Lantas berita ini menyebar se-antero Nusantara. Padahal, sebagian publik juga mengetahui bahwasanya mobil tersebut sudah diproduksi pertama kali pada sekitar 2009 dan sempat ditampilkan pada salah satu pameran mobil bergengsi di Indonesia.

Pemantik inilah yang kemudian menghasilkan percepatan citra Jokowi sekaligus menggali kembali “letupan-letupan” karya Jokowi yang telah lama hilang dari lintasan penglihatan dan pandangan sebagian besar masyarakat terutama Surakarta. Sebut saja proyek bus tingkat wisata, railbus, relokasi PKL tanpa kekerasan dan pemaksaan, menolak pembangunan mall, pembuatan KTP cepat, dan lainnya. Bayangkan, jika tidak ada pemantik ini, niscaya banyak masyarakat –terutama Jakarta– yang lupa dengan “letupan” karya-karya Jokowi tersebut. Sekali lagi, karena fenomena-fenomena yang sangat cepat telah terjadi, melintas, dan kemudian berlalu di masyarakat.  

Rekonstruksi Virtual

Selain pemantik yang dimanfaatkan Jokowi, ada hal lain yang juga turut membuat hasil quickcount Jokowi-Ahok tinggi, yaitu rekonstruksi virtual. Istilah rekonstruksi virtual bermakna bahwa kondisi-kondisi yang terjadi di lapangan yang ditangkap media (misal: media online, media cetak, dsb) sejatinya adalah hal yang tidak nyata (virtual) atau tidak mewakili kondisi nyata secara komprehensif, namun justru hal itulah yang dipercaya oleh masyarakat sebagai hal yang benar-benar terjadi. Akibatnya, masyarakat Jakarta –dengan berbekal informasi yang ada– merekonstruksinya dalam imajinasi. Sehingga hal yang timbul adalah hiper-realitas atau bahkan sampai menganggap hampir sempurna.

Heidegger (1978) melihat bahwa dalam abad citraan, manusia justru lebih mudah percaya dengan apa-apa yang disampaikan lewat media ketimbang membuktikannya langsung dengan panca indera mereka, atau institusi yang memang layak membuktikannya. Ambil contoh kasus Hambalang. Hingga saat ini belum ada bukti-bukti yang menyatakan Anas Urbaningrum terlibat. Namun, karena media selalu “mencitrakan” ada keterlibatan, persepsi publik jadi terbawa.

Dalam konteks ini, ingatan-ingatan akan pemberitaan media terkait “perubahan” Kota Surakarta saat kepemimpinan Jokowi sangat menjadi referensi yang ampuh bagi masyarakat Jakarta untuk kemudian mereka konstruksikan dalam imaji mereka. Bahkan bisa jadi mereka lebih percaya media ketimbang cerita-cerita sanak saudara dan kerabat mereka sendiri yang tinggal di Kota Surakarta. Padahal, keduanya, baik media ataupun cerita sanak saudara punya standar objektivitas yang berbeda-beda. Mediapun tidak dipungkiri dapat melakukan overgeneralisasi (dramatic instance). Buktinya, beberapa elemen masyarakat Kota Surakarta yang tinggal di Jakarta justru mendukung Hidayat – Didik.

Inilah hebatnya peran media. Dalam sekejap ia bisa melakukan percepatan atas popularitas seseorang yang sudah hampir turun. Media juga dapat menggantikan peran panca indera manusia dalam meraba-raba suatu hal dan mempercayainya akan sebuah kebenaran. Jokowi sangat cerdas melihat hal tersebut.

Maka, ketika April 2012 Pilkada DKI Jakarta mulai menjadi topik hangat di masyarakat, nama Jokowi sudah terkatrol naik dan siap bertarung dengan tokoh-tokoh yang memang sudah lama popular di Jakarta. Itulah mengapa pada awal tulisan ini saya menuliskan jika Pilkada DKI Jakarta diadakan 2009, maka boleh jadi Hidayat – Didik akan mengungguli Jokowi – Ahok. Namun sayangnya, tempo kehidupan yang semakin cepat membuat publik cepat lupa bahwa Hidayat – Didik dahulu juga merupakan tokoh nasional yang prestatif, produktif, dan sederhana.

Semoga pilihan ini adalah pilihan terbaik bagi warga Jakarta. Semoga siapapun yang resmi terpilih nantinya dapat tetap berprestasi, sederhana, dan dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat Jakarta. Sehingga Jakarta menjadi kota yang ramah dan layak untuk dihuni bagi siapa saja.