Sabtu, 13 Maret 2010

SALAH?

SALAH?

 

Bandung,

Gunung melindungi

Kembang dan pepohonan mengisi

Sejuk menyelimuti

Dan keramahan senyum selalu menghiasi

Tetapi itu dahulu

 

Bandung,

Burung-burung berkicau menyambut mentari

Semilir angin gunung bersahutan di siang hari

Gemercik air mengalir menenangkan hati

Dan suara yang selalu mengiringi malam hingga subuh hari

Nyatanya, itu kemarin

 

Kupikir,

Cikapundung akan selalu menjadi sungai yang memberi inspirasi

Citarum akan terjaga kejernihannya

Kaki Tangkuban Perahu selalu membagi kesejukannya

Malabar di sana akan menjadi pengingat jika kita melihat

 

Salah ternyata !

Mungkin apa yang kupikir salah

Mungkinkah yang kupikir salah

 

Atau

Kita yang salah?

 

Atau

Mereka yang salah?

 

Ternyata 200 tahun ini

Adalah sebuah kesalahan

 

Tapi, siapa yang salah? Pikiranku, kita, atau mereka?

 

 

 

Bandung Raya

Kamis, 04 Maret 2010

ACFTA dan Peran KM ITB Dalam Menghadapinya

ACFTA dan peran KM ITB dalam menghadapinya

ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) yang telah resmi diberlakukan tahun 2010 mau tidak mau akan mempengaruhi arah gerak KM ITB ke depannya. Hal ini dikarenakan kebijakan ini berlangsung dalam jangka yang panjang dan akan berpengaruh luas bagi kehidupan bangsa Indonesia kedepannya. Berbeda dengan isu lain yang masih hangat, seperti kasus Century, yang masih sangat penting, namun sifatnya hanya insidental.

Mahasiswa dengan segala idealismenya juga harus mulai tanggap terhadap kebijakan ini dan mulai membagi fokusnya, serta harus menyiapkan langkah strategis untuk menanggapi dampak hal ini. KM ITB sebagai institusi kemahasiswaan ITB yang juga berfungsi sebagai pencetak mahasiswa yang utuh harusnya bisa berperan lebih aktif dan memikirkan langkah strategis dan fundamental apa yang harus dipersiapkan dalam menghadapi ACFTA ini, yang mungkin selama mahasiswa masih hidup dalam dunia kampus tidak terlalu terasa dampaknya. Namun, ketika sudah memasuki dunia pasca kampus, hal ini akan terasa, dan untuk itulah perlu dipersiapkan.

Sekilas tentang ACFTA

Sejak November 2004 pemerintah sebenarnya telah menyepakati perjanjian dengan lima negara ASEAN lainnya dan China untuk menerapkan perdagangan bebas untuk area terbatas (free trade area) pada tahun 2010. Perjanjian ini dianggap menguntungkan disebabkan oleh estimasi nilai GDP regional US $ 2 Triliun, dan total perdagangan sekitar US $ 1.23 Triliun, dan akan menjadi free trade area terbesar dengan market sekitar 1.7 millyar manusia. (sumber: ACFTA: A Primer)

Perjanjian yang telah disepakati sejauh ini meliputi dua hal, pertama perjanjian tentang barang (goods), dan yang kedua tentang jasa (services). Perjanjian tentang goods telah disepakati pada awal yaitu tahun 2004. Sedangkan perjanjian tentang services telah disepakati pada Juli 2007 yang lalu. Sebenarnya masih ada satu perjanjian lagi yang masih dalam tahap negosiasi, yaitu tentang investasi (investment). Belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai negosiasi ini.

ACFTA mengharuskan negara menurunkan bea masuk produk asing sebesar 90%. Hal ini berarti negara hanya memperoleh sekitar 10% pajak impor barang luar negeri, dibanding tariff yang berlaku sebelumnya.

Kondisi perindustrian Indonesia

Secara umum, industri di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan prosesnya. Pertama, industri primer. Kedua, industri sekunder, dan ketiga industri tersier. Industri primer adalah industri hulu, yang proses bisnisnya berhubungan langsung dengan sumber daya alam (SDA), yaitu bagaimana mengambil langsung dari alam, dan mengolahnya hingga tetap menjadi bahan baku sebagai input dari industry sekunder. Beberapa produk ekspor Indonesia yang berbasis industry primer adalah minyak kelapa, ikan segar, konsentrat alumunium, dan sebagainya.

Industri sekunder adalah industry yang proses bisnisnya adalah mengubah input berupa bahan baku, menjadi output, dengan menambah nilai guna dari suatu barang tersebut. Industry sekunder lebih dikenal dengan industry yang menghasilkan produk nyata, atau juga disebut industry manufaktur, produksi, dan sebagainya. Sebagai contoh, hasil industry sekunder Indonesia yang telah diekspor antara lain motor elektrik dan generator, jaket, kemeja, kaos, furniture, kerajinan tangan, dan sebagainya.

Industri tersier adalah industry jasa. Nilai yang dihasilkan dari industry ini juga berupa nilai yang abstrak, namun hasil produksinya adalah sesuatu yang abstrak, yang akan memancing sendiri rasa (nilai) dari pelanggan yang telah terlayani oleh jasa tersebut. Termasuk dalam industry jasa ini, contohnya adalah restoran, jasa telekomunikasi, warnet, koperasi angkutan pedesaan, distributor, dan sebagainya.

Menurut Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009), 100 jenis barang ekspor utama Indonesia masih didominasi produk output hasil industry primer. Beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya. Dua terbesar dari segi volume, yang merupakan barang ekspor Indonesia adalah coal, briquettes, and derivates sebanyak 201.103.511.924 ton, dan palm oil and its fraction sebanyak 14.290.685.404 ton pada tahun 2008.

Sedangkan, untuk produk hasil Industri sekunder, Indonesia masih belum mempunyai produk unggulan yang benar-benar unik dan menjadi barang andalan Indonesia. Berikut beberapa barang industry sekunder yang cukup besar volume ekspornya ke mancanegara:

1. Printing machinery; machines for use ancillary to printing. cutting man-made textile materials. Sebanyak 68 juta ton pada tahun 2008.

2. Primary cells and primary batteries. Sebanyak 77 juta ton pada tahun 2008.

3. Insulated (including enamelled or anodised) wire, cable (including co-axial cable) and other insulated electric conductors. Sebanyak 111 juta ton pada tahun 2008.

4. Women's or girls' suits, ensembles, jackets, blazers, dresses, skirts, divided skirts, trousers, bib and brace overalls, breeches and shorts. Sebanyak 59 juta ton pada tahun 2008.

Walaupun Indonesia sudah bisa mengekspor sampai printing machinery dan primary cells and batteries dalam jumlah yang cukup besar, kita tidak bisa sepenuhnya berbangga dikarenakan, sebagai contoh, sampai saat ini belum ada industry printer yang asli merk Indonesia. Semua merk printer yang ada di Indonesia dan diproduksi di Indonesia adalah investasi pihak asing yang membangun pabrik di Indonesia. Juga untuk teknologi printer tersebut, belum sepenuhnya 100% dibuat di Indonesia, masih ada beberapa komponen yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan harus diimpor oleh perusahaan printer tersebut, sebagai contoh IC (Integrated Circuit) dan beberapa komponen lainnya.

Produk yang benar-benar asli karya anak bangsa sampai saat ini masih berupa produk seperti pakaian, kerajinan tangan, furniture, dan sebagainya, yang apabila kita lihat dari skala industrinya, masih belum bisa dikategorikan industry besar (dengan banyak komponen dan pekerja yang terlibat di dalamnya).

Sementara untuk industry jasa, Indonesia boleh dibilang sangat banyak dalam hal industri tersier ini. Mulai dari yang skala kecil (pinggir jalan), hingga skala besar, jasa penerbangan misalnya. Industri tersier memang dalam sebuah negara pastilah merupakan industry yang paling banyak. Namun, untuk menghadapi ACFTA ini, sebenarnya yang dibutuhkan adalah kekuatan industry sekunder di Indonesia untuk menghasilkan produk yang berdaya guna tinggi dan dapat diterima banyak kalangan.

Potensi dan Tantangan Bagi Indonesia Untuk Menghadapi ACFTA

ACFTA sebenarnya tidak boleh kita pandang sebelah mata hanya sebagai sesuatu yang akan berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia, kita harus memandang ini semua dari berbagai sudut pandang dengan bijak. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ACFTA ini membawa tantangan dan sekaligus potensi bagi Indonesia. Ada yang bilang bahwa kehebatan itu apabila kita sanggup mengubah tantangan menjadi peluang sekaligus keuntungan.

Kita harus bersyukur bahwa Indonesia diberi banyak nikmat oleh Tuhan. Nikmat itu berupa sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya. Sejak dahulu Indonesia sudah menjadi incaran bangsa-bangsa penjajah untuk menguasai harta berharga berupa kekayaan alamnya, bahkan hingga sekarang. Laut kita menyimpan banyak kekayaan dan potensi, cadangan minyak kita diperkirakan masih ada hingga 45 milliar barel, kekayaan batu bara kita merupakan yang keempat di dunia, timah nomor dua, dan banyak lagi (Menjadi Bangsa Pintar, Heppy Trenggono, 2009).

Permasalahan yang ada sekarang adalah jangan sampai bangsa kita menjadi bangsa yang kufur nikmat, dalam artian segala potensi besar yang kita miliki harusnya membawa manfaat besar bagi kita sendiri dan juga dunia luas pada umumnya. Indonesia haruslah menjadi negara yang kuat dengan segala potensinya.

Soal SDM, Indonesia juga tidak kalah potensial. Sudah banyak bukti-bukti yang menguatkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cerdas. Berkali-kali menjuarai olimpiade tingkat dunia, lomba-lomba keilmuan, dan banyak inovasi yang telah ditelurkan anak bangsa menjadi bukti yang kuat bahwa manusia Indonesia punya potensi dasar yang unggul.

ACFTA ini membawa potensi tersendiri bagi bangsa Indonesia, yaitu berupa terbukanya segmen pasar yang lebih luas dan besar. Bayangkan, potensi pasar yang besar, sekitar 1.7 millyar manusia yang ada di region ini adalah sasaran yang empuk apabila –sekali lagi- kita mempunyai barang yang menjadi andalan yang dapat kita jual kepada region ini. Prinsipnya sederhana, bagaimana barang yang kita hasilkan tidak dapat ditemui atau jarang terdapat di negara asal mereka, atau jikapun barang itu ada, kita bisa memainkan dari segi feature (fungsi dan kelebihan tambahan) barang tersebut, misal dengan harga yang murah, atau dengan desain yang unik, dan sebagainya.

Pengelolaan industry yang baik merupakan hal yang menjadi ujung tombak terakhir (artinya paling pamungkas) dalam menghadapi perjanjian ini. Pasalnya, hampir segala potensi Indonesia punya dengan baik. Bagaimana pengelolaan ini memacu agar industry sekunder di Indonesia berkembang lebih pesat lagi dan sampai pada produk-produk yang menggunakan teknologi yang tinggi. Ujungnya, bagaimana pemerintah dapat menyediakan iklim yang kondusif untuk berkembanganya industry ini.

Peran KM ITB untuk ACFTA

Nampak tidak baik apabila kita sebagai mahasiswa terus menerus member kritik kepada pemerintah tentang pengelolaan industry nasional tanpa memikirkan hal apa yang bisa kita lakukan dalam membantu bangsa ini agar dapat ikut bersaing di regional ini. Minimal menyelamatkan produsen-produsen barang dalam negeri agar barang yang dihasilkan minimal diterima oleh penduduknya sendiri dan menjadi pilihan utama sebelum produk asing.

KM ITB bisa mengambil peran yang pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu persiapan karakter mahasiswa di kampus, yaitu melalui kaderisasi dan kegiatan kultural yang bersifat pembiasaan, dan hal yang sifatnya gerakan langsung yang merupakan wujud konkrit untuk masyarakat.

Persiapan karakter mahasiswa di kampus ini bisa diterjemahkan ke dalam dua peran. Pertama, bagaimana KM ITB memacu mahasiswa menjadi wirausaha dalam bidang produksi/manufaktur barang nyata (industry sekunder). Selama ini sudah mulai banyak mahasiswa yang melatih dirinya menjadi seorang pengusaha mulai dari kampus. Namun, tidak banyak mahasiswa yang bergerak di bidang produksi. Mahasiswa lebih tertarik pada wirausaha di bidang jasa, seperti usaha rumah makan, jasa percetakan, jasa pencucian, warnet, fotokopian, dan lain sebagainya. Hal ini tidaklah salah, namun kita perlu memacu perkembangan jiwa kewirausahaan ini untuk menjadi produsen-produsen produk nyata. Contohnya produk kerajinan tangan.

Kedua, dengan mencetak mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter mencintai produk-produk dalam negeri. Dimulai dari hal-hal yang kecil, misalnya dengan sepatu, sandal, dan baju produksi dalam negeri. Ini artinya kita harus menghilangkan budaya gengsi berlebihan di kalangan mahasiswa dan membangun nilai kepada fungsionalitas dari suatu barang, tidak hanya dari gengsi -nya.

Kemudian, secara massif, mahasiswa bisa membuat gerakan nyata untuk masyarakat, dengan dua peran. Pertama, tentang pengembangan teknologi aplikatif, dalam artian teknologi yang dihasilkan mahasiswa harus benar-benar terasa secara luas manfaatnya oleh masyarakat, bukan hanya oleh beberapa industry besar yang mempunyai modal, sehingga mengesankan komersialisasi berlebihan atas teknologi, dimana seharusnya teknologi digunakan untuk membantu manusia mencapai kesejahteraan hidup. Teknologi aplikatif ini lebih menekankan pada easy to use dan dapat digunakan secara instan.

Kedua, dengan gerakan community development, yaitu memberdayakan masyarakat agar dapat menghasilkan produk unggulan sesuai potensi masyarakat setempat. Jika hal ini berhasil diaplikasikan secara massif, kita dapat membayangkan tumbuhnya area pemukiman masyarakat yang terkenal karena potensinya. Misalkan, kampung kelinci, kampung rotan, kampung bola, ataupun lainnya. Apabila karakter wirausaha mahasiswa dipadukan dengan community development, bisa menjadi gerakan baru yang dikenal dengan sociopreneur, bukan lagi technopreneur atau artpreneur.

Mimpi inilah yang harus dibangun oleh mahasiswa sekarang, mengikuti perkembangan zaman yang menuntut seseorang mempunyai keahlian yang membuatnya mampu berkompetisi (The World is Flat, Friedman).