Sabtu, 19 Maret 2011

Sicher...

Sicher...

Kini, kehidupan mulai memasuki babak baru

Ketika hujan datang tidak menentu

Ketika matahari tidak lagi ditemui sepanjang hari

Ketika bintang tak lagi menemani malam yang sunyi

Saat semua pergi

Yang ada hanya tinggal asa

Sampai kita benar-benar punya sayap

Atau teknologi telah maju sedemikian pesatnya

Atau kita bisa mengabaikan gaya gravitasi dan bebas pergi

Ketika itu, meskipun jauh

Matahari akan ku gapai

Bintang akan ku kejar

Hujan akan ku bawa kembali ke bumi

Membasahi setiap hati yang kering

Menghidupkan jiwa-jiwa yang mulai hampa

Namun,

Kapankah kita punya sayap?

Kapan pula teknologi maju sedemikian pesatnya?

Juga kapan gravitasi nol?

Yang ada, hanya pertolongan Allah

Dan itu dekat

Kamis, 10 Maret 2011

Membangun Peradaban yang Imparsial

Oleh: Ramadhani Pratama Guna

Prolog: Semua berawal dari ekonomi

Perubahan masyarakat ditentukan oleh faktor ekonominya (Karl Marx)

Seiring berjalannya waktu, ketinggian peradaban manusia semakin meningkat. Jika dahulu kita mengenal ada zaman batu dan zaman logam, sekarang peradaban sudah meningkat menjadi zaman teknologi informasi dan inovasi. Manusia dahulu nomaden. Berpindah-pindah dimana alam bisa langsung dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya. Habis bahan makanan di suatu tempat, mereka lantas berpindah ke tempat lain.

Hingga pada akhirnya, penemuan-penemuan tentang teknologi sederhana berupa perkakas dari batu ataupun logam membuat manusia dapatmerekayasakondisi sekitarnya agar menunjang kelangsungan hidupnya. Mereka tidak lagi harus berpindah-pindah. Energi yang dikeluarkan untuk berpindah-pindah saat itu mulai dapat dialihkan untuk melakukan hal lainnya. Dari situlah peningkatan peradaban itu terjadi.

Sejarah telah mengajarkan bahwa ketika manusia telah mapan dalam urusanperut’, saat itu pula ia dapat fokus memikirkan hal-hal lain yang bisa jadi lebih penting dan lebih besar. Itulah yang dimaksud oleh Karl Marx. Hal ini juga diamini oleh Abraham Maslow dalam teorinya yang fenomenal: Hierarchy Needs. Kebutuhan manusia yang utama adalah kebutuhan dasar, yang diperlukannya untuk bertahan hidup. Barulah ia akan beranjak kepada kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang digambarkan olehnya dengan Piramida Kebutuhan Maslow.

Revolusi Melati di Tunisia pada tanggal 14 Januari 2011 yang menumbangkan rezim Zine Al-Abidine Ben Ali menjadi contoh bahwa faktor ekonomi yang semakin buruk dapat menggiring pada hausnya masyarakat akan perubahan. Rezim otoriter dan korup, serta kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat membuat masyarakat geram. Akibatnya gejolak terjadi di mana-mana, dan akhirnya pembangunan ekonomi menjadi tersendat dikarenakan hal tersebut.

Serupa, begitu juga yang dialami masyarakat Mesir. Revolusi Nil berhasil membuat penguasa pongah Hosni Mubarak menyerahkan tahta kepemimpinannya yang terus dipegang selama 30 tahun. Usut punya usut, tidak hanya sifat represif yang menyebabkan rakyat bergejolak, namun juga kejenuhan masyarakat yang merasakan langsung bahwa perekonomian Mesir jalan di tempat. Pertumbuhan ekonomi Mesir hanya sekitar 5% per tahun.

Kritik keras terhadap pembangunan yang parsial

Sekalipun perubahan masyarakat ditentukan oleh faktor ekonominya, namun itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Peradaban tercipta karena adanya manusia. Akan tetapi, manusia tidak hanya terdiri dariperut’, dan urusan yang ada padanya bukan hanya padaurusan perut’. Ia adalah makhluk sempurna yang dianugerahkan tiga potensi dasar yang sangat berharga, meliputi jiwa, raga, dan akal pikiran. Urusanperuthanyalah sebagian kecil dari urusan manusia. Sehingga membangun peradaban –yang identik dengan perubahantidak bisa hanya dari sisi ekonominya saja.

Kita dapat belajar dari Amerika Serikat. Negara adidaya ini merupakan negara terkaya di dunia. GDP AS pada tahun 2010 adalah US$ 14,1 triliun. Kinerja ekspor industrinya boleh jadi merupakan yang terbesar dan terbaik di dunia. Sehingga banyak negara-negara di dunia yang bergantung kepada AS dari segi ekonomi, karena banyak komoditas yang dibutuhkan berasal dari AS. Sebagai contoh, pada pertengahan tahun 2010, nilai impor dari AS kepada Indonesia mencapai US$ 800 juta. Jauh di atas rata-rata nilai impor dari negara lain yang hanya berkisar US$ 66 juta. Belum lagi, ketika AS mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 kemarin akibat kredit macet properti yang pada akhirnya merembet ke berbagai negara, dan jadilah krisis ini menjadi krisis ekonomi dunia. Hal ini membuat kita berpikir tidak ada keraguan lagi bahwa AS merupakan negara yang kuat di dunia dalam segi ekonominya. Pembangunan fisiknya berkembang sangat pesat. Gedung-gedung pencakar langitnya, airport-nya yang besar, jaringan jalan tol yang sudah meliputi hampir seluruh daratan AS, begitu pula jaringan rel kereta apinya, dan pembangunan-pembangunan fisik yang lain.

Namun kita juga mengetahui bahwa sisi sosial negara adidaya itu sangat buruk. Orang dewasa dan anak-anak muda mereka terjebak dalam pergaulan bebas. Virus HIV/AIDS menyebar di mana-mana di kalangan pemudanya, sampai-sampai Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan pada tahun 2010 ada sekitar 1 juta penduduk AS yang menjadi penderita HIV/AIDS Belum lagi sindikat narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Pembunuhan, konflik ras, dan pelecehan juga banyak mendera negara tersebut. Gangster-gangster yang sering membuat keonaran bertebaran di kota-kota besar, dan masih banyak masalah sosial lainnya yang terjadi di AS. Pada akhirnya, semua itu mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan yang parsial adalah pembangunan yang tidak baik, tidak manusiawi, dan tidak mengedepankan aspek-aspek immaterial. Pembangunan yang parsial juga akan menghasilkan peradaban yang parsial, peradaban yang materialistis, dan membuang jauh-jauh aspek nilai dan norma yang memang tidak bisa diukur dari indikator-indikator angka dan materi.

Sekarang kita beralih kepada negara kita. Sejak tahun 1967 hingga 2004, perekonomian Indonesia mengalami perubahan struktur yang sangat signifikan. Peranan sektor industri terhadap PDB meningkat dari 7,3% menjadi 28,1%. Hal ini diiringi dengan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dari 53,9% menjadi 14,3%. Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sudah masuk ke fase industrialisasi.

Perkembangan industri Indonesia hingga saat ini menjadi motor ekonomi Indonesia sehingga negara kita menjadi salah satu anggota G-20. Cadangan devisa kita diperkirakan akan mencapai US$ 120 miliar pada akhir tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010 mencapai 6,1 persen, yang walaupun belum tergolong sangat baik, namun kita bisa memperlihatkan kinerja perekonomian yang semakin meningkat pasca krisis 1998.

Namun pertanyaannya, mengapa indeks pembangunan manusia tidak jauh-jauh dari urutan 108 dunia? Padahal, dari segi ekonomi kita sudah dianggap menjadi 20 besar negara dengan perputaran ekonomi yang besar. Persentase buta huruf kita juga masih tergolong tinggi, yaitu 27.9%. Itu dari indikator yang memang sudah bisa ternilai dari ukurannya. Indikator-indikator ekonomi jauh lebih sering disebut dan dipertimbangkan ketimbang indikator sosial lainnya. Mengapa tidak ada indeks religiusitas masyarakat Indonesia misalnya, yang diukur dari banyaknya umat muslim yang menghadiri shalat berjamaah di masjid, ditambah juga dengan banyaknya umat kristiani yang beribadah di gereja pada akhir pekan, dan sebagainya. Ternyata, pembangunan yang parsialpun masih kita temukan di negara ini.

Epilog: Membangun peradaban yang imparsial

Kini saatnya kita bertanya, bagaimana caranya mengubah paradigma pembangunan, dari yang tadinya parsial dan materialistik, menjadi peradaban yang imparsial dan seimbang antara materi dan immateri.

Semua dibangun dari bagaimana membangun manusianya sendiri. Hal ini dikarenakan manusia adalah pelaku sistem yang ada di dunia ini. Bahkan untuk beberapa sistem, manusia sekaligus sebagai pembuatnya. Kembalikan lagi pada bagaimana manusia dipandang secara utuh. Manusia, bagaimanapun ia tetaplah berdimensi pada tiga hal: akalnya, hatinya, dan jasadnya. Peradaban yang mekanistik dan tinggi namun diselimuti kerusakan moral adalah ciri pembangunan yang parsial seperti di AS. Peradaban yang mempunyai moralitas yang cukup baik namun tidak maju dengan pesat juga masih parsial, seperti Papua New Guenia.
Pembinaan sumber daya manusianya adalah hal yang sangat penting. Diawali dari pendidikan di keluarga, lingkungan, dan sekolah-sekolahnya. Materi yang diajarkan di sekolahpun harus seimbang. Sisi moral harus diangkat kembali dan dengan pendidikan yang berpola learning by doing.

Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah pembangunan haruslah menjadi perhitungan. Hal ini untuk menghindari cara pandang yang parsial terhadap manusia. Cara pandang yang hanya mengedepankan akal, ataupun kesejahteraan fisik saja, tanpa diiringin kesejahteraan batin.

Ramadhani Pratama Guna
Mahasiswa Teknik Industri ITB
Deputi Kajian Industri Kementrian Kajian Strategis KM ITB 2010-2011