Senin, 26 Juli 2010

Dan Perjuangan Kini Beralih Ke Pikiran

Dan Perjuangan Kini Beralih Ke Pikiran

Politik Etis (Ethische Politiek) yang diterapkan Belanda pada awalnya dinilai sangat sesuai dengan artinya, yaitu balas budi. Adalah Ratu Wihelmina yang memutuskan kebijakan ini dikarenakan desakan dan kritikan-kritikan dari beberapa tokoh, seperti Van Deventer. Politik ini memberlakukan tiga hal penting, yaitu:

1. Perbaikan dan pembangunan pengairan-pengairan dan bendungan.

2. Emigrasi atau transmigrasi ke daerah-daerah lain.

3. Perluasan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Pada awalnya kebijakan tersebut banyak mendapat dukungan, tetapi pada keberjalanannya justru banyak kritik menyerang kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan itu tidak murni untuk balas budi, tetap masih ada motif keuntungan dan kapitalisasi perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari tujuan pembangunan pengairan-pengairan adalah pada akhirnya bukan membantu petani-petani tanam paksa, namun agar produktivitas pertanian pada tanah yang dikuasai Belanda dapat meningkat. Sementara penduduk pribumi, terutama petani, masih saja dipekerjakan sebagai pengolah tanah tersebut.

Juga kita bisa melihat dari kebijakan kedua tentang transmigrasi atau emigrasi ke daerah jajahan lainnya. Hal ini dilakukan bukan untuk membebaskan penduduk dari kerja paksa, atau melakukan pemerataan pertumbuhan penduduk. Ternyata, kepicikan Belanda terbukti dengan transmigrasi yang ditujukan untuk membuka daerah baru, tetapi tetap diberlakukan peraturan tanam paksa. Tanah-tanah tetap saja menjadi milik Belanda, dan kaum pribumi tetap saja menjadi pekerja paksa.

Sementara, perluasan pendidikan dan pengajaran menjadi kebijakan yang dinilai paling sesuai dengan balas budi Politik Etis. Memang sebelum politik ini, kondisi pendidikan dan pengajaran bagi pribumi sangatlah tidak diperhatikan. Van Deventer waktu itu mengemukakan, “sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah”[1]. Namun, setelah politik ini mulai diberlakukan, maka segenap pengembangan pendidikan terus dilaksanakan.

Pembangunan sekolah-sekolah kala itu semakin marak dilakukan. Contohnya, pada tahun 1903 dibangun Volk School (Sekolah Desa). Sekolah ini mempunyai masa belajar 3 tahun, dengan kurikulum yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh Belanda, seperti membaca, menulis, berhitung dalam bahasa Jawa, juga kerajinan tangan. Volk School adalah sekolah tingkat dasar yang dibangun di desa-desa, ini merupakan tipe sekolah sederhana dan murah. Sedangkan lanjutan dari sekolah ini adalah Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar 2 tahun.

Kelanjutan dari sekolah-sekolah ini adalah MULO (Meer Uitgebreid Leger Onderwijs) yang jika diibaratkan dengan kondisi kekinian adalah setingkat SMP. Juga dikenal AMS (Algemeene Middlebare School), yang setara dengan SMA. Ada lagi Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang merupaka sekolah persiapan untuk menjadi pegawai pemerintahan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa memang pemerintah Belanda saat itu sangat serius dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Tidak hanya sekolah-sekolah tua pada akhir abad 1800-an saja yang kemudian dikembangkan. Namun, pada awal 1900-an, mulai dibangun sekolah-sekolah dengan taraf pendidikan yang semakin tinggi. Banyak sekolah-sekolah tinggi yang dibangun seperti STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau yang sekarang dikenal dengan Fakultas Kedokteran UI dan TH (Technische Hogeschool te Bandung) yang menjadi cikal bakal ITB. Perlu diketahui bahwa sebenarnya STOVIA sudah didirikan pada sejak tahun 1849, namun belum bernama STOVIA. Status saat itu juga belum menjadi sekolah tinggi, hanya menjadi sekolah lanjutan setelah AMS atau MULO.

Pendidikan Untuk Keuntungan

Kebijakan pengembangan pendidikan dan pengembangan dari politik etis sebenarnya tidaklah murni atas dasar balas budi untuk kemudian memberdayakan masyarakat. Ada motif terselubung dari pengembangan pendidikan ini, yang tiada lain adalah ekonomi. Kita bisa melihat bagaimana kesejahteraan rakyat saat itu tetap tidak berkembang drastis saat pendidikan sudah berkembang[2].

Lulusan sekolah-sekolah yang ada saat itu kemudian direkrut oleh pemerintah kolonial Belanda untuk selanjutnya dijadikan tenaga birokrat sesuai dengan level pendidikannya. Tenaga birokrat ini nantinya menduduki jabatan-jabatan teknis di pemerintahan, mengabdi kepada pemerintahan Belanda. Seperti contohnya adalah OSVIA yang bertugas menyediakan pegawai pemerintah dari kalangan pribumi. Juga kita dapat mengambil contoh sekolah kesehatan yang dahulu didirikan tahun 1849 (cikal bakal STOVIA) ditujukan untuk menangani penyakit-penyakit yang menjangkit masyarkat waktu itu, terutama kaum petani dan penanam ladang. Pasalnya saat itu salah satu jenis penyakit yang paling menjadi momok adalah cacar. Saat itu, banyaknya penyakit ini lama kelamaan mengganggu produktivitas petani sehingga produk hasil bumi menurun.

Sekolah-sekolah teknik pada saat itu juga didirikan untuk melakukan pembangunan daerah jajahan, terutama infrastruktur yang menunjang perekonomian. TH saat itu didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknis dikarenakan suplai insinyur dari Belanda saat itu berkurang diakibatkan terputusnya hubungan antara pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan Negara Belanda akibat Perang Dunia[3].

Pembangunan infrastruktur-infrastruktur penunjang perekonomian seperti jalan raya, rel kereta api, dan sarana penghubung lainnya dari daerah perkebunan hasil bumi ke pusat-pusat distribusi atau kota kecil marak dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jalur-jalur kereta api mati di Pulau Jawa. Jalur-jalur ini dibuat bukan untuk memberdayakan masyarakat, misalnya dengan menghubungkan kota satu dengan lainnya. Namun, untuk mempercepat ditribusi hasil perkebunan dan pertanian[4].

Pendidikan tetaplah diperuntukkan untuk penjajahan, untuk membuat rakyat saat itu terpaku hanya menjadi salah satu faktor produksi yang bernama manusia. Guru pribumi yang direkrut untuk mengajari peserta sekolah saat itu hanya diberikan sebidang tanah untuk dikelola sebagai imbalannya. Nasib yang sebenarnya sama juga dialami oleh para birokrat atau abdi pemerintahan dari kalangan pribumi waktu itu. Hanya saja, menjadi pegawai pemerintahan Belanda saat itu terkesan terhormat, mendapat sebutan “priayi”. Padahal, kita tetap saja menjadi pembantu bangsa lain, bukan untuk kesejahteraan masyarakat kita sendiri.

Kesadaran akan nasib bangsa pribumi yang terus menerus berada pada steady state pada kemelaratan dan kesejahteraan semu akhirnya menimbulkan kesadaran beberapa kaum terpelajar untuk kemudian melakukan sesuatu untuk membuat masyarakat sejahtera secara hakiki. Kesejahteraan yang hakiki saat itu harus tetap diawali dengan kemerdekaan dan kemandirian.

Inilah momentum utama perubahan metode perjuangan dari yang tadinya berbentuk perjuangan fisik menjadi perjuangan pemikiran. Kondisi zaman saat itu yang membuat masyarakat terbuai dengan “kesejahteraan semu” sudah tidak lagi memungkinkan untuk terus melakukan perjuangan fisik berupa peperangan dan pemberontakan. Karena, jika itu dilakukan, akan sangat sulit menggalang dukungan masyarakat yang sudah mulai tertidur dengan kondisi nyamannya. Kondisi konflik seperti ini, justru malah akan membuat umur integrasi semakin pendek, yaitu ketika pragmatisme masyarakat terganggu[5].

Adalah kaum terpelajar saat itu yang pertama kali menyadari hal ini. Kaum terpelajar ini tidak semata-mata berasal dari sekolah-sekolah Belanda, yang malah mendidik peserta sekolah saat itu untuk menjadi budak-budak yang dikemas dengan citra yang baik. Kaum terpelajar ini adalah kaum yang sadar akan kemerdekaan, sadar akan belenggu yang selama ini dibuat oleh pihak Kolonial Belanda untuk kemudian membebaskan masyarakat dari penjajahan ini. Sejenak kita jadi teringat sebuah makna pendidikan yang pernah dicetuskan oleh Paulo Freire yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan[6].

Kaum terpelajar adalah saat itu orang-orang yang terus menerus berusaha membebaskan, memerdekakan, dan memandirikan rakyatnya dari penjajahan Belanda. Kita dapat mengetahui bahwa pada akhirnya kaum terpelajar itu membentuk kelompok-kelompok perjuangan pemikiran dan berusaha untuk menggalang sebanyak-banyaknya basis dukungan dari rakyat. Kita mengenal adanya Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Budi Utomo, yang menjadi pelopor perubahan metode perjuangan bangsa ini.


[1] Baca: Akar Gerakan Muhammadiyah, Mohammad Damami, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

[2] Baca: Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Frans Husken, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Institut_Teknologi_Bandung

[4] Ibid.

[5] Baca: Artikel Umur Integrasi kita, membongkar urat akar mitos: syariat Islam penyebab disintegrasi Nasional, Anis Matta.

[6] Pedagogy Of The Oppressed, Paulo Freire, New York: Continuum, 2007.

Sabtu, 24 Juli 2010

Semua Berawal Dari Sini

Mari kita sedikit melihat ke sejarah, menikmati romantisme masa lampau saat bangsa ini masih dijajah oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Bangsa yang boleh dikatakan sedang memimpin peradaban dunia di masa itu, yaitu bangsa-bangsa Eropa. Kita arungi kembali waktu-waktu dan ruang-ruang masa lalu. Masa ketika belum dikenal istilah mahasiswa dalam perjalanan negeri ini. Sebuah periode ketika bangsa ini menjadi budak-budak yang menyejahterakan kolonial.

Ketika itu nama Indonesia belumlah ada. Kerajaan-kerajaan di Indonesia masih bersifat kedaerahan, keturunan, keagamaan, atau alasan lainnya. Belum ada kata-kata nasionalisme di sana, yang ada yaitu kerajaan atau kesultanan. Saat itu pusat-pusat peradaban lokal dalam bentuk kerajaan atau kesultanan masih terpusat di daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Hingga pada tahun 1511 bangsa Portugis menginjakkan kakinya di Nusantara, dikarenakan waktu itu daerah ini sangat dikenal di Eropa karena rempah-rempahnya.

Penjajahan bangsa ini dimulai sejak Portugis berhasil mengalahkan kerajaan Islam Malaka. Setelah itu beruturut-turut datang bangsa-bangsa lainnya bergiliran merebut kekuasaan di beberapa daerah Nusantara, seperti Inggris dan Spanyol. Pada tahun 1605, Belanda akhirnya bisa menjejakkan kaki di Nusantara karena berhasil mengalahkan Portugis dan Spanyol.

Seperti yang kita ketahui, Belanda menguasai bangsa ini selama hampir 350 tahun lamanya. Merupakan sebuah waktu yang lama, ganti berganti generasi, dan sebuah penantian yang panjang. Beragam politikpun diberlakukan seperti devide et impera, penanaman paksa (cultuur stetsel), kerja paksa, hingga politik etis (Ethische Politiek). Tidak hanya itu, semua sistem pemerintahan saat itu benar-benar sistem yang rapi, terkontrol, anti konflik, dan sifatnya status quo. Kepala-kepala daerah seperti bupati pada saat itu ditunjuk langsung oleh pihak Belanda. Banyak dari mereka yang seperti menjadi 'boneka' kolonial. Penjajahan ini lama kelamaan mengubah karakter bangsa menjadi bermental pekerja, bermental penerima, bermental kaum yang dibungkam, dan kaum yang tertindas.

Bangsa Indonesia tidak serta merta tinggal diam dalam menentang penjajahan. Sejarah mencatat banyak sekali perang dan pemberontakan yang dilakukan pada masa itu. Hanya saja, yang tercatat sebagai perang-perang besar saja yang sampai saat ini menjadi ingatan kita semua. Setiap perang selalu saja dimotori oleh beberapa orang. Di sini kita bahas tentang mayoritas dari mereka yang sudah memimpin gerak perlawanan pada masa mudanya. Tentunya, yang dimaksud muda adalah bukan terpaut usia, namun lebih kepada kondisi yang semangat dan bergelora.

Kita dapat mengambil contoh seorang Imam Bonjol. Pahlawan ini dikenal atas karya besarnya memimpin Perang Padri selama lebih dari 30 tahun lamanya. Tidak hanya itu, Perang Padri dimulai sejak usianya 31 tahun. Sebuah usia yang sangat muda untuk menggerakkan rakyat daerah Padri, daerah sekitar Sumatera Barat. Contoh selanjutnya adalah adalah Sultan Hasanuddin, yang berhasil memobilisasi rakyatnya di Gowa untuk melawan imperialisme Belanda pada usia 34 tahun. Lain lagi dengan Hajjah Rangkayo Rasuna Said, seorang wanita pejuang yang juga konsisten menentang Belanda pada usia yang baru 22 tahun, meskipun tidak dengan perjuangan fisik. Juga seorang Thomas Matulessy, yang terkenal dengan nama Pattimura, yang mati di tiang gantungan Belanda saat usianya 34 tahun, demi sebuah kata: merdeka!

Perjuangan tiada pernah berhenti. Itulah sebuah makna yang dapat kita tarik dari romantisme sejarah ini. Bangsa ini mungkin belum mengenal nasionalisme saat itu, belum mengenal kesatuan sebagai bangsa yang utuh, yaitu Indonesia. Namun, mereka selalu mengutamakan rakyatnya, kesejahteraannya, kemaslahatannya, dan ketenteramannya. Perjuangan untuk mencapai kebaikan-kebaikan masyarakat dari dulu hingga sekarang tiada pernah henti. Kondisi ideal yang ada di benak kita masing-masing sampai saat ini masih mendorong kita untuk terus dan terus menerus bergerak. Maka bersyukurlah apabila kita masih mempunyai benak yang ideal.

Perjuangan akan selalu menemukan metode terbaiknya sesuai kondisi zamannya. Kondisi zaman penjajahan adalah kondisi yang penuh paksaan dan keras, sehingga perjuangan kala itu adalah perjuangan fisik. Hingga pada akhirnya, ada suatu masa di mana Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan sebuah politik etis, politik balas budi yang sifatnya populis. Mau tidak mau, Belanda menerapkan metode yang lebih bersahabat. Ibarat memberi permen kepada anak yang terus merengek, itulah politik etis.

Kebijakan politik ini lama kelamaan menyurutkan semangat perlawanan bangsa dalam hal fisik. Metode perjuangan seperti dipaksa berubah sejak diberlakukannya politik ini. Sehingga pada akhirnya, perjuangan beralih dari perjuangan fisik ke perjuangan pemikiran. Namun, pada intinya adalah bahwa perjuangan tiada pernah henti, hingga masyarakat mencapai kebaikan-kebaikan hakikinya. Kebaikan yang diterima semuanya, dan kebaikan yang lebih dominan dibandingkan keburukan.

Selasa, 20 Juli 2010

Nostalgia Bandar Lampung

Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung, adalah kota terbesar ketiga di Pulau Sumatera. Kota dimana aku dilahirkan dan merasakan masa kecil. Kota ini lebih dikenal dengan kota transit, dikarenakan kota ini adalah kota terbesar pertama yang dilewati jika melewati jalan darat ke Sumatera dari Jawa. Dan kemarin Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk kembali bernostalgia dengan kota ini. Hembusan angin yang kencang merupakan salah satu ciri kota ini, tipikal kota tepi pantai.

Bandar Lampung adalah hasil integrasi dua kota kecil, yaitu Teluk Betung dan Tanjung Karang. Teluk Betung terletak persis di bibir Teluk Lampung, sementara Tanjung Karang terletak pada ketinggian berkisar 100 – 200 mdpl. Alhasil, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota dengan kontur yang unik. Juga tidak semua areanya merupakan dataran flat. Daerah tenggara, barat daya, barat, dan barat lautnya adalah daerah perbukitan, dengan pemandangan dua gunung yang sangat terlihat indah dari berbagai sudut kota ini, yaitu Gunung Betung (1267 mdpl) dan Gunung Pesawaran (1640 mdpl). Kondisi geografis ini juga turut mempengaruhi kondisi kegempaan Bandar Lampung.

Beberapa tahun lagi Bandar Lampung akan kembali dikembangkan ke arah utara dan timur laut, daerah ekspansinya meliputi dataran flat yang luas. Mau tidak mau, pusat kota Bandar Lampung kedepannya akan ada tiga.

Melihat teluk lampung merupakan sebuah kenikmatan romantisme alam tersendiri, juga melepas pandangan ke pusat kota pada malam hari dari sebuah resort area Bukit Randu, yang letaknya di pusat kota. Jika ingin berwisata daerah pegunungan dan perbukitan, kita tinggal beralih ke arah Kemiling dan sekitarnya. Juga jika ingin menikmati area persawahan, maka daerah Way Kandis menjadi salah satu tujuan. Potensi wisata alam di Bandar Lampung dan sekitarnya sangat banyak, dan hal ini sudah mulai termanfaatkan dengan baik.

Bandar Lampung adalah kota yang menengkan. Kita tidak perlu mempunyai rumah di luar kota untuk menghindar dari hiruk pikuk sebuah kota. Banyak daerah di kota yang masih tenang dan asri. Berikut foto-foto kota Bandar Lampung.

All foto from Panoramio. Credit to Rizal Mukhtar dan Abdul Madjid

Jumat, 16 Juli 2010

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Dalam sebuah bukunya, Dr. Hamka mengisahkan tentang seorang sarjana di Amerika yang saat itu sedang wisuda di kampusnya, dengan mendapat predikat cum laude. Selama kuliahnya ia adalah sosok yang cerdas dan brilian. Semua elemen kampusnya sudah mengetahui hal tersebut.

Namun, kejadian bermula sesaat setelah ia menerima ijazahnya. Ketika itu, ia langsung melakukan tindakan yang bagi sebagian orang mungkin tidak masuk akal: merobek ijazahnya. Hingga ijazah tersebut benar-benar hancur. Lantas salah seorang guru besar bertanya padanya dengan penuh heran, “mengapa engkau robek ijazahmu yang sangat membaggakan tersebut?”

Dengan perasaan yang cukup miris, sarjana tersebut menjawab, “saya merobek ijazah ini karena bagi saya ini tidak bisa menjawab tiga pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya, yaitu saya ini berasal dari mana? Untuk apa saya berada di dunia ini? Dan nantinya saya akan ke mana?”. Lantas terdiamlah guru besar tersebut.

Kisah tersebut adalah kisah nyata, yang mungkin sudah terjadi dan lenyap begitu saja seiring dengan bergantinya hari.

Kini, perputaran waktu dan zaman semakin kompleks. Kemajuan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan sosial masyarakat adalah suatu hal yang saling berkorelasi. Kemajuan teknologi memang membuat hidup ini serba mudah, namun kemudahan ini diiringi dengan peningkatan kompleksitas hidup manusia. Manusia semakin disibukkan dengan urusan-urusannya masing-masing, sibuk dengan dunianya, sibuk dengan rutinitasnya. Sehingga di zaman sekarang semakin banyak kondisi yang bisa membuat kita buram dengan makna kehidupan yang seperti ini.

Kerja yang menyibukkan. Itu mungkin istilah yang tepat untuk mengibaratkan rutinitas manusia saat ini. Ketika keadaan-keadaan tersebut membuat manusia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk merenung sejenak tentang makna kehidupannya di dunia ini. Ketika keadaan tersebut membuat manusia tidak mampu lagi dapat menjawab tentang mengapa dirinya harus melakukan hal tersebut. Ketika manusia tidak lagi mampu menjawab ke mana ia setelah segala kesibukannya nantinya hilang dengan sangat cepat.

Kerja yang menyibukkan. Ketika seorang ibu rela membuang anaknya yang baru dilahirkannya karena terjepit faktor ekonomi. Ketika seorang anak dengan sadar atau tidak sadar membunuh ayahnya karena sebuah friksi kecil. Ketika seorang pemimpin dengan serta merta tidur nyenyak sementara rakyatnya tidur di emperan toko dengan berselimut kain tipis. Ketika seorang penguasa rela melakukan kejahatan sistemik dan struktural, menghilangkan nyawa rakyatnya tidak dengan tangannya, tetapi karena akalnya. Dan ketika masalah lainnya terjadi, yang sebenarnya ini masalah yang penting, namun perlahan dianggap biasa karena ketidakpedulian manusia lainnya. Ketidakpedulian yang timbul karena semua pikirannya, bahkan mungkin sampai hatinya, tersita untuk melakukan “kerja yang menyibukkan” tersebut.

Ada apa dengan dunia ini? Mengapa manusia tidak lagi menjadi seorang manusia, atau diperlakukan layaknya seorang manusia?

Ketika tidur sudah bukan untuk istirahat lagi, ketika pikiran penat dengan hilir mudik arus kehidupan, ketika hingar bingar suara membuat telinga tidak bisa lagi peka terhadap tangisan seorang manusia, ketika telinga sudah tidak lagi nyaman mendengar panggilan Tuhan, ketika mata sudah terisi dengan cahaya-cahaya menyilaukan, sehingga putih dan hitam sudahlah menjadi abu-abu, ketika mata lebih menyukai kegemerlapan ketimbang temaram kehidupan.

Ada apa dengan dunia ini? Mengapa dunia menghitam, kelabu, dan sebagiannya merah. Padahal dahulu ia hijau, biru, dan sebagiannya kuning.

Distorsi makna hidup adalah sebuah kecelakaan. Manusia kini jarang merenung, jarang berpikir mendalam, jarang beruzlah, dan jarang bermuhasabah. Tangisan tidak lagi dianggap sebagai hal yang menenangkan, sehingga tertawa sudah menjadi penggantinya. Hati yang dahulu lembut dan bersih, kini mulai mati dan kelam. Yang terjadi hanya pikiran-pikiran sempit, pendek, dan tertutup. Seperti ada tirai hitam yang menghalangi ketika ingin keluar.

Mungkin kita sekarang butuh uzlah, mungkin kita sekarang harus melihat sejenak, menyelam, dan kemudian memahami setiap dinamika hidup kita. Menyelam adalah mencari sesuatu yang tersembunyi, mencari sesuatu yang tertutup, namun pada hakikatnya ia bersinar. Seperti mutiara yang ada di dasar laut, ada kalanya ia tersinari sinar mentari yang dengan susah payah menembus kedalaman air, sehingga bersinarlah ia memantulkan cahayanya. Namun terkadang juga permukaan laut yang gelap menghalangi mutiara tersebut untuk memancarkan cahayanya.

Sinar matahari tetaplah pada rentang frekuensinya, tetaplah pada rentang waktu penyinarannya, tetaplah pada jalurnya, dan tetap pada ketetapannya.

Mari kita menyelami lebih dalam makna hidup ini, uzlah sejenak untuk menghapus kelabunya hati, sejenak menjadi penawar dari kerja yang menyibukkan, dan jadikan ini ibadah pada-Nya.

Allahu ghayatuna, sebuah orientasi, motto, sekaligus makna. Dan mutiara itu kini di depan mata, tinggal bagaimana kita menyelaminya.

…Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

(QS. Ali ‘Imran, 3: 14)

Selasa, 13 Juli 2010

Benturan Dengan Kenyataan

Kau boleh saja bernyanyi

Tetapi bernyanyilah untuk kebahagiaan

Jangan karena kesenangan

 

Kau boleh saja menari

Tetapi menarilah untuk memberi

Bukan kepuasan diri

 

Lakukan apa yang ada di hatimu

Jangan dengarkan perutmu

 

Dan biarkan riak-riak itu terjadi

Lalui dengan tegar hati

Bukan karena mereka tidak menyukai

Hanya saja mereka tidak mengerti

 

Membuat mereka mengerti jauh lebih mulia

Pakai hatimu untuk membuka

Pakai pikiranmu untuk terbuka

Dan gunakan telingamu untuk peka

 

Tidaklah Dia memberimu cobaan

Melainkan engkau sedang diperhatikan

Artinya engkau tidak diacuhkan

Dekati Ia selagi terbuka jalan

 

Namun jangan sesekali engkau menyalahkan

Ketika impian tidak sesuai harapan

Benturan dengan kenyataan

Adalah tanda engkau diperhatikan

Juga disadarkan lewat pembelajaran

 

 

 

Kesalahan Dalam Kenaikan TDL

Kesalahan Dalam Kenaikan TDL

Kenaikan TDL yang sudah mulai diberlakukan mulai 1 Juli 2010 kemarin ternyata banyak menuai kontroversi, terutama dari pihak industri baik industri besar maupun industri kecil. Isu ini bukannya semakin menurun, malah semakin meningkat dikarenakan terdapat ketidak transparan pemerintah dalam menetapkan peraturan ini.

Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2010 Tentang Tarif Tenaga Listrik, yang merupakan landasan hukum kenaikan TDL kali ini, disebutkan bahwa kenaikan TDL untuk industri berkisar 6 – 12%. Namun ketika kita telaah lebih dalam terkait kenaikan ini, harga TDL yang naik adalah harga LWBP (Luar Waktu Beban Puncak), dari sekitar Rp.450 per KWh menjadi Rp.680 per KWh, yang memang kenaikannya konsisten, berkisar 6 – 12%. Akan tetapi, pemerintah menetapkan adanya koefisien pengali K, yaitu koefisien pengali saat beban puncak terjadi (WBP), yang berkisar antara 1,4 sampai 2. Sehingga total kenaikan tagihan yang harus dibayar industri adalah sekitar 30 – 60%.

Kita dapat melihat juga bahwa memang langkah ini sangatlah tepat untuk meraup keuntungan yang sangat besar untuk PLN, mengingat sektor industri adalah sektor yang terbesar membutuhkan pasokan listrik PLN. Sekitar 60 – 80% dari daya yang dipasok PLN se-Indonesia digunakan oleh pihak industri, meskipun secara kuantitas pemakai, pihak industri hanya sekitar 15% dari total konsumen PLN.

Banyak kalangan dari pihak industri sudah sedari awal sadar akan hal ini, sehingga beberapa asosiasi industri seperti HIPMI dan API sudah mulai melakukan konsolidasi untuk menuntut transparansi pemerintah bahkan hingga menunda penangguhan kenaikan TDL. Pasalnya, kenaikan ini akan berdampak pada kenaikan biaya produksi suatu barang sekecil-kecilnya adalah 4%.

Kenaikan biaya produksi 4% mau tidak mau akan berimplikasi pada kenaikan harga jual produk sebuah industri juga 4%, dan ini terjadi pada rantai industri pertama. Hal yang akan lebih parah terkena dampaknya adalah apabila rantai industri suatu produk adalah sangat panjang, dalam artian membutuhkan bahan baku yang banyak (yang juga tentunya disuplai oleh hasil produk industri). sehingga hal ini akan menimbulkan multiplier effect yang sangat besar hingga ke tangan konsumen. Kenaikan berlipat akan terjadi, dan harga-harga barang akan semakin meningkat.

Sementara, dari target inflasi pemerintah pada akhir tahun ini sebesar 5% saja kita sudah dapat menilai bahwa ini tidak akan tercapai, kenaikan TDL turut mempercepat kenaikan inflasi hingga banyak ahli menghitung bahwa inflasi pada akhir tahun 2010 ini akan lebih dari 5%. Kondisi juga diperparah dengan akan hadirnya bulan Ramadhan pada sekitar pertengahan Agustus, dimana adalah suatu kepastian bahwa harga barang akan semakin melambung tinggi. Jadilah rakyat secara luas yang akan terkena dampaknya. Harga yang naik akan semakin memperkecil daya beli masyarakat, yang akan berdampak pada berkurangnya permintaan terhadap barang tersebut. Jikalaupun pihak industri mengambil langkah nekat untuk tidak menaikkan harga jual produknya, maka implikasi yang sering terjadi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Lebih lanjut, kalangan industri dan beberapa pengamat perekonomian mengatakan bahwa skenario kenaikan TDL ini sangatlah tidak tepat. Hal ini dikarenakan sektor industri yang merupakan sektor produktif terkena kenaikan yang sangat besar, yang pastinya akan membuat harga barang termasuk barang massal naik. Seharusnya sektor produktif seperti industri tidak perlu dinaikkan, sebaliknya seharusnya sektor konsumtif yang harus dinaikkan (atau dalam hal ini pengurangan subsidi listrik), seperti rumah tangga mewah, bisnis perhotelan, pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintahan, dan lainnya. Kenaikan harga yang terjadi pada sektor konsumtif tidaklah berdampak signifikan terhadap masyarakat luas. Sebagai contoh, ketika harga sewa kamar hotel naik, maka yang terkena dampaknya adalah para tamu yang menginap yang harus membayar lebih mahal dari biasanya. Beda ketika harga shampoo, sabun, baju, makanan, dan minuman naik, yang dampaknya sangatlah luas.

Ketika harga TDL sektor konsumtif dinaikkan, hal ini akan membuat masyarakatdipaksauntuk melakukan penghematan, dan pada akhirnya langkah penghematan yang selama ini diopinikan akan semakin efektif. Untuk tarif TDL dengan daya 450VA dan 900 VA, kebijakan tidak dinaikkan sampai saat ini merupakan kebijakan yang tepat mengingat 33,2 juta dari total 40,1 juta pelanggan PLN ada pada rentang daya ini. Namun, hal ini tidak juga menjamin langkah penghematan masyarakat akan semakin besar, sehingga perlu dilakukan batas pemakaian subsidi untuk segmen ini. Jadi ketika sudah melewati batas KWh per bulannya, tarif yang dikenakan adalah tarif dengan subsidi kecil.

Langkah pemerintah dalam menaikkan TDL dinilai populis, seakan-akan memberitahukan bahwa rakyat kecil yang berjumlah sekitar 33,2 juta akan aman dari kenaikan. Sehingga yang protes terhadap kenaikan ini adalah pihak industri. Namun dampak kenaikan harga-harga barang produksi lambat laun akan dirasakan masyarakat. Hal ini ibaratmenyakiti dengan cara yang lebih halus”, dan lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi korban. Sudah saatnya kita semua cerdas dan peduli terhadap pengelolaan negeri ini. Pengurangan subsidi sebenarnya bertujuan baik agar masyarakat tidak semakin manja, namun hendaknya pengurangan ini ditujukan kepada pihak yang tepat, yaitu konsumtif, bukan produktif.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007

dhani_aja_lah@yahoo.com

http://iniblogdhani.blogspot.com

Minggu, 11 Juli 2010

Berbicara Tentang Indonesia

Berbicara Tentang Indonesia

 

 

Berbicara tentang Indonesia

Kau akan menemukan hamparan laut yang biru

Biru di permukaan, warna-warni di dalam

 

Berbicara tentang Indonesia

Kau akan menemukan hijaunya sebuah negeri

Hijau yang meneduhkan, juga menenangkan

 

Berbicara tentang Indonesia

Kau akan menemukan warna rakyatnya

Warna sebuah harmoni, simfoni, dan spektrum mengagumkan

 

Berbicara tentang Indonesia

Tiada habis pembicaraannya

Begitu pula berbuat untuk menyehatkannya

 

Berbicara tentang Indonesia

Kau akan belajar mengenai tanah air

Namun tidak untuk ibu pertiwi

 

Berbicara tentang Indonesia

Kau mungkin akan terjebak dalam nostalgia

Juga akan terbelalak dalam realitas

 

Berbicara tentang Indonesia

Hanya butuh waktu

Untuk menjadikannya bahan pembicaraan dunia

 

Berbicara tentang Indonesia

Tiada habis pembicaraannya

Begitu pula berbuat untuk membangkitkannya

 

Kamis, 08 Juli 2010

Rajapolah dan Potensi Ekonomi Kreatif Indonesia

Rajapolah dan Potensi Ekonomi Kreatif Indonesia

Jika kita ke Tasikmalaya dari arah Bandung, biasanya akan melewati sebuah kota kecil tepat sebelum Tasikmalaya: Rajapolah. Kota ini dikenal karena ekonomi rakyat yang cukup menonjol di sana, yaitu kerajinan. Banyak kerajinan bisa ditemui di sana, mulai dari tas, sandal, dompet, tempat lampu, peralatan makan, dan lain sebagainya. Bahan-bahan kerajinan di sana mayoritas berbahan bambu, serat alam, akar-akaran, rotan, dan lainnya.

Adanya perekonomian kerajinan ini menjadi identitas tersendiri bagi Rajapolah, menjadikan kota ini juga sebagai sentra industri kerajinan di bagian timur Jawa Barat. Sentra mencirikan segala rantai usaha hampir dapat ditemukan di daerah tersebut, mulai dari beberapa bahan bakunya, produksi barangnya, hingga penjualannya. Sehingga tidak heran apabila banyak kios-kios yang dibelakangnya langsung rumah pembuatan produk kerajinan.

Namun nama Rajapolah tidaklah setenar Tajur di Bogor, Cibaduyut di Bandung, atau Pekalongan sebagai pusat kerajinan juga. Hal ini turut menjadi perhatian warga sekitar yang mengaku bahwa omsetnya semakin turun karena namanya yang tidak setenar dahulu.

Merujuk pada kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan RI yang memfokuskan pengembangan sektor industri berbasis kerakyatan dengan ekonomi kreatif, maka seharusnya peran pemerintah dalam menjadi katalis pertumbuhan dan sustainability industri yang sudah ada perlu semakin ditingkatkan. Industri kerajinan termasuk pada sektor ekonomi kreatif, yang berarti Rajapolah perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah bisa berperan dalam melakukan support terhadap rantai nilai industri ini.

Rantai nilai industri kerajinan ada pada ide kreasi, rantai produksi, komersialisasi, hingga distribusi. Ketika kita melihat tentang ide kreasi, maka sejenak kita akan berpikir bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kreatif. Ini adalah potensi awal masyarakat Indonesia, karena memang Indonesia adalah negara yang majemuk. Tidak kurang dari 400 suku bangsa berada di Indonesia dengan kearifan dan karakter yang mungkin berbeda-beda. Namun, yang terlihat sekarang adalah bahwa variasi kearifan lokal ini tidak termanfaatkan dengan baik. Kesan yang timbul adalah masyarakat lebih cenderung menjadi pencontoh apa yang telah ada, meskipun ada perbaikan dari itu. Kita bisa belajar dari kasus rumah makan Padang yang sudah menyebar seantero Indonesia, yang tidak semua pemiliknya adalah orang asli Minangkabau. Bisa jadi tempat makan yang terkenal di Cirebon bukan rumah makan Cirebon, tetapi rumah makan Padang. Serupa, kita bisa menemukan kerajinan yang mirip Rajapolah di tempat lain di Indonesia. Sehingga pada akhirnya, preferensi konsumen tidak melulu cocok dengan produk yang ditawarkan, sehingga peran Pemerintah dalam meningkatkan ciri khas kearifan lokal sangat dituntut dalam konteks ini.

Ketika kita berbicara rantai produksi, kita akan berbicara pula masalah ketersediaan bahan baku, dan predikat kaya sumber daya alam bagi Indonesia masih relevan sampai sekarang, sehingga ketersediaan bahan baku bukan hal yang mengkhawatirkan. Justru yang harus menjadi sorotan selanjutnya adalah pada komersialisasi dan distribusi. Kasus di Rajapolah, Cibaduyut, hingga kerajinan kulit di Manding Yogyakarta mengajarkan pada kita bahwa kemampuan industri-industri kerajinan untuk melakukan komersialisasi dan jaringan distribusi masih terbatas.

Dalam hal ini, Pemerintah dalam konteks ini adalah pemerintah daerah setempat seharusnya bisa mengambil peran lebih dalam proses komersialisasi ini. Kita bisa belajar dari Pemerintah Kabupaten Bantul yang mengembangkan sarana website untuk membantu empat sentra kerajinan di kabupaten tersebut.

Ekonomi kreatif bisa jadi merupakan pola pembangunan ekonomi kerakyatan yang saat ini paling cocok diterapkan di Indonesia dikarenakan potensi keberagaman Indonesia dan keinginan akan terwujudnya kemandirian masyarakat dimulai dari unit-unit usaha yang kecil di daerah-daerah. Diharapkan industri kecil berbasis kerakyatan kedepannya dapat memperbesar perannya dalam menyumbang PDB Indonesia yang sampai saat ini masih didominasi dari sektor industri besar.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007

http://iniblogdhani.blogspot.com

Selasa, 06 Juli 2010

Keinginan dan Kepastian

Keinginan dan Kepastian

 

Mungkin esok, ketika mentari kembali menyapa.

Senyumnya hadir membawa ceria.

 

Jika benar.

Mentari akan muncul dari peraduannya.

 

Jika sudah jatuh kepastian.

Air akan kembali bertemu lautnya.

 

Mentari tetaplah pada jauhnya dari sini.

Air tidak tahu lewat mana ia akan menuju.

Tapi ia tahu, laut tujuannya.

 

Tegarlah ia, karena tahu tujuannya.

Sinar mentaripun lurus tak berbelok.

 

Dan aku ingin aku dan kau seperti itu.