Minggu, 30 Mei 2010

Refleksi Empat Abad Jakarta: Potret Kesemrawutan Wajah Indonesia

Refleksi Empat Abad Jakarta: Potret Kesemrawutan Wajah Indonesia

Jakarta kini sudah berusia empat abad lebih, bahkan sudah mendekati lima abad. 483 tahun adalah sebuah usia yang tidak muda untuk sebuah kota. Melihat usianya, seharusnya kita sudah bisa menganggap Jakarta sebagai kota yang dewasa, dimana masalah-masalah yang ada pada sebuah kota sudah bisa diselesaikan secara mandiri oleh kota tersebut, dan yang lebih penting dari sebuah kedewasaan adalah beban untuk menjadi panutan.

Sebagai ibu kota Indonesia, tentunya Jakartalah yang menjadi kota yang mewakili Indonesia jika disejajarkan dengan kota-kota lain di dunia. Dalam pandangan pragmatis, Jakarta adalah miniatur Indonesia. Bagaimana kondisi Indonesia secara umum bisa dilihat dengan bagaimana Jakarta saat ini.

Jika kita melihat, problematika yang paling kentara dari Jakarta adalah kesemrawutan. Walaupun bagian pusat kota Jakarta sudah terlihat rapi, namun itu hanya sabagian kecil dari Kota Jakarta yang luasnya hampir sama dengan Singapura. Seorang dosen Teknik Arsitektur ITB dalam sebuah seminar pernah berkata bahwa kita bisa melihat kerapian pengelolaan suatu kota cukup hanya dari jalan-jalan raya di kota tersebut. Dan ini bisa kita lihat di Jakarta, kesemrawutan yang terjadi tidak hanya jalan raya, tapi bagian-bagian lain seperti pemukiman padat penduduk, tata kota, dan aspek lainnya.

Setiap hari, ribuan kendaraan memasuki Jakarta pada jam-jam sibuk pagi hari. Jutaan orang berpacu dengan kerasnya arus lalu lintas Kota Jakarta. Kemacetan terjadi di mana-mana, sejak dari pinggiran hingga pusat kota, membuat sebagian waktu kita habis di perjalanan. Langkah antisipatif memang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mulai membenahi dan membuat sistem transportasi massal seperti busway dan perbaikan sarana kereta commuter. Namun, langkah baik ini cenderung terkesan setengah-setengah. Kita dapat melihat bagaimana nasib busway terutama pada koridor-koridor yang belum sustain, nasibnya terbengkalai. Serupa, tiang-tiang pancang monorail yang banyak terlihat di Jalan Rasuna Said bagaikan tidak jelas nasibnya.

Belakangan, sistem ERP akan diterapkan di Jakarta demi mengurai kesemrawutan dan kemacetan. Ibarat pengobatan, kebijakan ini hanya akan menyelesaikan gejalanya saja, yaitu kemacetan, namun tidak menyelesaikan hingga ke penyakitnya. Problem utamanya adalah ketidaknyamanan masyarakat pada sarana transportasi yang ada sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih cara yang lebih nyaman. Alhasil, semakin bertambahlah kendaraan pribadi di jalanan ibukota, karena kendaraan pribadi lebih nyaman. Problem utama ini dapat diselesaikan dengan menyediakan sarana transportasi massal yang nyaman.

Jakarta bisa belajar dari Tokyo, kota yang berpenduduk sekitar 35 juta jiwa termasuk pada area metropolitannya (penyangganya). Kota Tokyo memang padat, tidak jarang kita menemukan pemukiman padat di sana. Namun, pengelolaan fasilitas-fasilitas publik di sana baik. Kita dapat melihat jutaan orang percaya pada transportasi massalnya yaitu kereta commuter sehingga kemacetan dan kesemrawutan di jalan dapat dihindari.

Jika kita melihat pada konteks yang lebih besar, yaitu Negara Indonesia, kita bisa lihat kesemrawutan ternyata memang menjadi karakter kita. Pengelolaan negara ini terlihat pada suatu titik lemah, yaitu bagaimana keseriusan terhadap program yang telah berjalan kurang bisa dipertahankan. Ini yang dimaksud kesemrawutan, yaitu tidak bisa menjaga. Kita mungkin cepat bosan dan selalu ingin sesuatu yang baru, ini karakter kita, bahwa selama ini program-program yang ada sebenarnya bagus, namun kesemrawutan pengelolaan pasca berjalannya program tersebut yang masih harus menjadi sorotan.

Cukuplah busway dan monorail di Jakarta menjadi potret bahwa kita masih kurang memperhatikan hal-hal yang telah ada. Jika perlu contoh lain, kita bisa melihat pada pendidikan kita, yang sering mencoba hal-hal yang baru dengan seringnya pergantian-pergantian kurikulum dan undang-undangnya, kita juga bisa melihat pada pembangunan-pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang berkembang lebih pesat ketimbang perbaikan dan pengembangan kereta api yang lebih efisien, dan banyak contoh lainnya.

Semoga kedepannya Jakarta menjadi kota yang lebih rapi dan teratur, baik dalam pengelolaannya maupun dalam aktivitas setiap penduduknya, sehingga bisa menjadi panutan kota-kota lain di Indonesia dan bisa mencerminkan kondisi Indonesia yang lebih baik di mata dunia. Mari kita bersama-sama, rakyat dan pemerintah, bekerja bahu membahu menjadikan Kota Jakarta, di usianya yang sudah dewasa semakin membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya, dan Indonesia pada umumnya.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB 2007

Jumat, 28 Mei 2010

Kenaikan TDL dan Ketidaksesuaian Sikap Pemerintah

Kenaikan TDL dan Ketidaksesuaian Sikap Pemerintah

Rencana pemerintah menyetujui kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) belakangan ini menuai banyak reaksi. Seperti halnya kebijakan yang lain, reaksi yang terbagi dua: mendukung dan menolak. Pihak yang medukung beralasan bahwa kenaikan ini memang perlu dilakukan mengingat beban operasional pembangkit harus bisa ditutupi agar listrik yang mengalir bisa dipertahankan stabil (tidak sering padam).

Sementara, penolakan terjadi lebih disebabkan karena kekhawatiran multiplier effect yang bisa terjadi, antara lain kenaikan harga barang-barang lainnya karena naiknya ongkos produksi, atau berkurangnya pemasukan perusahaan atau lebih spesifiknya adalah berkurangnya penghasilan tenaga kerja jika perusahaan takut akan berkurangnya keberterimaan pasar jika menaikkan harga jual. Inilah mengapa penolakan banyak terjadi mengingat banyaknya warga Indonesia yang menjadi tenaga kerja.

Namun, jika kita telaah lebih dalam, keputusan ini sebenarnya seperti memakan buah simalakama, yang setiap langkah yang diambil akan memaksa kita untuk menerima trade off yang terjadi. Pertama, apabila kenaikan ini dibatalkan dampak yang akan terlihat jika kita memakai alasan pihak yang mendukung kebijakan ini, yaitu tidak stabilnya pasokan listrik. Ini tandanya listrik akan sering padam, baik padam yang telah dijadwalkan (pemadaman bergilir) ataupun pemadaman yang sifatnya mendadak.

Pemadaman, terjadwal ataupun tidak, akan membawa dampak kerugian terutama pada industri-industri besar. Karena banyak hal yang harus dilakukan jika terjadi pemadaman, antara lain perubahan rencana produksi, set up kembali mesin-mesin besar, dan penyesuaian-penyesuaian lainnya, yang mau tidak mau akan berdampak pada pengeluaran ekstra. Itu jika kita tinjau dari kerugian materi, belum lagi kerugian non-materi lainnya, seperti terbuangnya waktu, tenaga untuk penyesuian, dan dampak lainnya.

Kedua, jika kenaikan ini diterapkan, tetap akan menyebabkan naiknya ongkos produksi baik pada industri-industri besar maupun industri kecil dan menengah. Bagi industri besar, kenaikan tarif ini merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang pasokan listrik yang sering padam dan tidak stabil, karena meskipun ongkos produksi akan bertambah, kerugian yang terjadi akan lebih kecil. Namun jika kita melihat pada industri kecil, kenaikan ini akan berdampak telak pada kenaikan ongkos produksinya. Beban yang akan ditanggung oleh industri kecil (termasuk home industri) akan semakin berat.

Kebijakan kenaikan ini, agaknya akan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah sendiri terkait pengembangan sektor industri dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, dalam Laporan Pengembangan Sektor Industri Tahun 2004 – 2009 oleh Departemen Perindustrian RI yang dipublikasikan tahun 2009 lalu, dijabarkan bahwa harapan pemerintah pada kurun waktu tahun 2010 – 2014 salah satunya adalah meningkatnya peran industri kecil dan menengah dengan tulang-punggung industri rakyat sehingga ketertinggalan kontribusi terhadap perekonomian dibandingkan dengan industri berskala besar dapat diperkecil.

Dalam konteks ini kita melihat ketidaksesuaian sikap pemerintah antara lebih mengutamakan perkembangan industri-industri besar yang padat modal dan banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan industri-industri kecil kerakyatan yang meskipun tidak banyak menyerap tenaga kerja, namun jika semakin berkembang dampaknya akan lebih dapat menggerakkan ekonomi rakyat berbasis jiwa kewirausahaan.

Idealnya, jumlah wirausahawan dalam suatu negara minimal 2% dari jumlah penduduknya, untuk menunjang kecukupan lapangan pekerjaan. Dari banyak survei, wirausahawan di Indonesia baru mencapai 0,18%. Perkembangan industri kecil akan berdampak pada peningkatan wirausahawan di Indonesia, sementara perkembangan industri besar akan lebih berdampak pada meningkatnya karyawan atau pekerja. Oleh karenanya, kebutuhan negeri ini akan wirausahawan juga bisa dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah itu sendiri, salah satunya kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik

Mau tidak mau, kebijakan apapun yang diambil mempunyai dampak negatif, dan sebagai orang yang cerdas sudah seharusnya kita ambil langkah yang dampak negatifnya paling kecil, dan harus menyiapkan langkah antisipatif untuk meminimalisasi dampaknya. Semoga perindustrian di Indonesia bisa lebih maju dan mandiri untuk menyejahterakan rakyat Indonesia sendiri.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007

dhani_aja_lah@yahoo.com

http://iniblogdhani.blogspot.com

Rabu, 26 Mei 2010

Kesalahan Paradigma Sekolah Bertaraf Internasional

Kesalahan Paradigma Sekolah Bertaraf Internasional

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), menurut UU Sistem Pendidikan Nasional diharuskan ada pada setiap daerah dan merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Alasan yang diharapkan dari diadakannya SBI ini adalah peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Sehingga nantinya misalkan, semakin banyak SBI di setiap daerah, semakin memacu perbaikan kualitas pendidikan itu sendiri.

Namun pada kenyataannya, pelaksanaan SBI ini masih mengundang banyak kritikan. Aspek yang biasa menjadi sorotan masyarakat adalah aspek pengelolaan operasionalnya, terutama biaya penyelenggaraan pendidikan yang mahal. Hal ini wajar karena jika kita melihat SBI adalah sekolah yang harus mampu menyiapkan fasilitas yang baik. Beberapa SBI menyediakan proyektor lengkap dengan perangkat audio visual untuk menunjang proses belajar mengajar. Tidak jarang juga kita menemukan ruangan kelas yang mempunyai penyejuk ruangan (air conditioner). Juga ada SBI yang mempunyai ruang computer yang canggih, menyediakan wireless connection, dan sebagainya.

Mahalnya biaya pendidikan ini mau tidak mau turut mempersempit segmentasi pendidikan. Teorinya, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh siapa saja. Namun dengan biaya yang malah, SBI berpotensi besar untuk tidak dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Sehingga pada akhirnya status sebuah sekolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat, apalagi bertaraf internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat karakter masyarkat Indonesia yang masih lebih memandang simbol dan status luar. Dengan adanya gengsi ini, masyarakat dari kalangan menengah ke bawah sudah mengalami penekanan mental dari awal, sehingga pesimisme semakin sering muncul. Belum lagi kultur pergaulan setelah masuk di SBI tersebut, yang harus bergaul dengan masyarakat menengah ke atas, yang mungkin pola hidupnya akan berbeda jauh.

Tidak hanya masalah pengelolaan, ternyata ada hal fatal yang menjadi kesalahan pradigma penyelenggaraan SBI. Bahwa karakter masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan simbol dan status berdampak juga pada SBI. Sekolah Bertaraf Internasional yang menjamur sekarang ternyata baru internasional dalam wujud fisik, seperti sarana yang mentereng dan lengkap, serta penyajian materi yang disampaikan dengan menggunakan bahasa asing.

Padahal semestinya, pendidikan adalah membentuk karakter sebagai individu dan budaya sebagai masyarakat, sehingga hal yang lebih penting dalam sebuah SBI adalah kurikulum apa yang disampaikan pada peserta didik bertaraf internasional tersebut. SBI seharusnya berbasis kurikulum dengan kearifan-kearifan global yang baik, sehingga peserta didik tidak hanya memiliki kapasitas seorang intelektual dunia, tetapi memiliki karakternya.

Seharusnya yang diajarkan bukan lagi hafalan-hafalan tahun dan definisi-definisi normatif tentang sebuah objek kajian, tatapi yang daiajarkan adalah nilai-nilai peradaban, kemanusiaan, kesejahteraan dunia, pluralitas (bukan pluralisme), dan moral spiritual. Intinya adalah bagaimana menyiapkan peserta didik agar menjadi kontibutor-kontributor yang siap membangun peradaban dunia internasional. Bukan lagi menjadikan mereka penghafal dan tempat penyimpanan pengetahuan tanpa dikeluarkan.

Dengan kesalahan paradigma ini, akan tidak ada perbedaan signifikan antara siswa lulusan sekolah reguler maupun SBI. Bahkan lulusan SBI sekarang lebih berpotensi menjadi lulusan yang tinggi gengsinya namun rendah daya juangnya, hal ini dikarenakan peserta SBI terus saja dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap tanpa diiringin kurikulum yang mengajarkan kemandirian misalnya.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Program Studi Teknik Industri ITB 2007

Senin, 24 Mei 2010

Memilih Transportasi Ideal Untuk Kota Bandung

Memilih Transportasi Yang Ideal Untuk Kota Bandung

Kemacetan di jalan raya adalah problem yang biasa mendera kota besar di Indonesia, terutama pada jam-jam sibuk (rush hour) pagi dan sore hari. Sebutlah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota lainnya mempunyai masalah yang hampir sama tentang kemacetan ini.

Beragam program juga telah dilaksanakan pemerintah kota-kota setempat untuk meminimalisasi kemacetan yang ada, seperti busway yang telah banyak diadopsi di kota-kota besar di Indonesia, kereta api commuter, dan bahkan Kota Jakarta sudah pernah mencoba waterway dan monorail, meskipun sampai sekarang nasib monorail di Jakarta masih terkatung-katung.

Transportasi yang efektif dan efisien untuk sebuah kota yang besar dan padat adalah transportasi yang bersifat massal, dalam artian dapat membawa penumpang/benda yang dipindahkan dalam jumlah yang banyak dalam satu kali perjalanan. Efektifitas sebuah transportasi massal dapat dilihat dari seberapa bisa alat tersebut mengantarkan penumpang hingga tujuan, dengan sarana dan prasarana yang ada atau akan diadakan. Sedangkan efisiensi dari sebuah transportasi massal bisa ditinjau dari kapasitas angkut penumpang, waktu tempuh, atau proporsi pengeluaran operasional dengan jumlah penumpang.

Setidaknya ada empat jenis transportasi massal yang biasa diadopsi oleh kota-kota besar di dunia, yaitu Busway, seperti yang terlihat di Bogotta, Monorail, seperti yang biasa terlihat di Kuala Lumpur, Subway, seperti banyak kota di Eropa, atau Commuter Rail Train seperti yang biasa kita lihat di Tokyo. Semua punya keunggulan dan kelemahan masing-masing, dan bisa disesuaikan dengan karakteristik kotanya.

Secara umum kota Bandung terdiri dari dataran dengan beberapa daerah bagian utara berbukit-bukit dan kontur yang tidak datar (flat). Kota Bandung juga dikenal dengan banyaknya persimpangan jalan dan jaringan jalan yang rumit, inilah sebabnya banyak diberlakukan aturan one way di Kota Bandung. Juga selain rumit, ternyata jalan-jalan utama di Bandung relatif sempit.

Selain itu, Kota Bandung merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia (padat, bukan terbanyak penduduknya), ini menyebabkan perluasan sarana yang telah ada sedikit banyak harus melakukan pembebasan lahan. Lihat betapa sulitnya melakukan pelebaran jalan atau membuat jaringan jalan baru. Juga, Bandung dikelilingi oleh setidaknya enam kota penyangga yang setiap harinya banyak kaum komuter yang masuk ke Bandung dari kota-kota tersebut. Sebut saja Cimahi, Lembang, Soreang, Rancaekek, Jatinangor, dan Dayeuhkolot. Dengan adanya hal ini, rancangan transportasi yang ada tidak hanya untuk dalam kota, namun menghubungkan daerah penyangga dengan kota.

Busway sebagai alternatif yang tergolong murah nampaknya tidak bisa diterapkan secara efektif di Kota Bandung, kecuali di Jalan Soekarno-Hatta yang merupakan jalan raya terlebar di Bandung. Sisanya, problem jalan yang sempit, rumit, dan banyak persimpangan menjadi penghalang utama busway dapat diterapkan secara menyeluruh. Serupa, untuk transportasi dari daerah penyangga juga tidak feasible dikarenakan sampai saat ini jalan-jalan penghubung ke Bandung tetap dikategorikan sempit.

Monorail, sebagai alternatif kedua mempunyai biaya investasi yang lebih tinggi dibanding Busway, namun tertinggi kedua setelah Subway. Namun monorail mempunyai tingkat kemungkinan yang paling tinggi, dikarenakan letak rel yang elevated (melayang) dan bisa disejajarkan dengan jalan yang sudah ada, tidak memerlukan perluasan jalan di bawahnya, fleksibel, dalam artian sudut belokan trek yang tidak terlalu besar, dan mudah untuk kontur menanjak dan menurun.

Subway, yang membutuhkan biaya investasi termahal, juga mempunyai banyak ketidakcocokan dengan kota Bandung. Pertama, kontur berbukit-bukit bagian utara sangat tidak cocok untuk diterapkan di Bandung, karena sifat subway yang kurang fleksibel meskipun di bawah permukaan tanah. Kedua, kondisi Bandung yang padat sangat menyulitkan untuk konstruksi. Bisa dibayangkan akan berapa banyak bangunan yang dirombak pondasinya untuk membangun subway, dan misalkan dibangun di bawah jalan raya, kembali jalan raya yang sempit menjadi kendalanya.

Terakhir, yang paling sulit adalah pembangunan commuter train di dalam kota Bandung dengan membangun jalur-jalur baru. Misalkan pada permukaan tanah, kepadatan akan menjadi halangan, karena jaringan rel kereta butuh space yang luas terutama saat tikungan untuk menjaga maneuver kereta. Ataupun misalkan dibangun elevated seperti jalur KA Manggarai-Jakarta Kota, akan menelan investasi yang lebih mahal dari monorail dan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. KA commuter untuk kota Bandung lebih cocok untuk menghubungkan daerah penyangga yang datar dengan pusat kota, misalkan Soreang, Cimahi, dan Rancaekek.

Pembahasan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa monorail yang paling mungkin untuk dibangun sebagai transportasi massal di Kota Bandung. Bisa dibangun untuk menghubungkan daerah-daerah kantong pemukiman dan suburb ke pusat kota dan juga melingkar di dalam kota mengitari pusat kota.

Minggu, 23 Mei 2010

Aku Tahu Hujan Ini...

Aku Tahu Hujan Ini

 

Aku tahu hujan ini selalu dinanti

Karena ia diturunkan untuk menemani

Dan untuk menghidupi

Karena ia adalah anugerah

 

Aku tahu kehadirannya terkadang mengganggu

Namun itulah ujiannya

Walaupun mengganggu

Namun ia tetap dinanti

 

Aku tahu ia juga ciptaan-Nya

Sama seperti aku

Dan aku tahu ia akan selalu patuh

Tidak seperti aku

 

Hujan itu indah

Ketika pagi membawa kesejukan

Ketika siang membawa keteduhan

Ketika sore membawa pelangi

Dan ketika malam menghilangkan rasa sepi

 

Aku ingin kau tahu

Bahwa aku senang jika hujan datang

Bahwa aku selalu tersenyum jika ia menghampiri

 

Tapi hujan adalah hujan

Yang ia hanya sebentar

Pasti ada saatnya ia pergi

Dan pasti ada saatnya ia kembali

Kecuali, jika aku telah mati

image from http://myryani.files.wordpress.com/2009/01/hujan.jpg

Rabu, 12 Mei 2010

Diskusi Publik Bersama Indonesian Resources Studies (IRESS) Tentang Proyek Gas Donggi – Senoro, Sulawesi Tengah

Diskusi Publik Bersama Indonesian Resources Studies (IRESS) Tentang Proyek Gas DonggiSenoro, Sulawesi Tengah

Selasa, 11 Mei 2010, Keluarga Mahasiswa ITB diundang oleh Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) yang juga mantan anggota DPD RI, Marwan Batubara, untuk menghadiri diskusi publik di Ruang Seminar Nusantara V, Gedung DPR – MPR RI, Jakarta. Acara ini mengambil temaMenanti Keputusan dan Transparansi Proyek Gas DonggiSenoro”.

KM ITB diwakili langsung oleh Presiden KM ITB Herry Dharmawan, beserta tiga orang lainnya dari Departemen Sosial Politik dan Departemen Kajian Strategis Kabinet KM ITB. Acara ini juga dihadiri oleh anggota DPR RI, Ir. Chandra Tirta Wijaya, anggota DPD RI, Hj. Nurmawati Dewi Bantilan, S.E (Wakil Sulawesi Tengah), Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, Ph.D yang juga alumni ITB jurusan Teknik Perminyakan 1998, serta beberapa tokoh dari Medco, Pertamina, wartawan, dan sebagainya.

Tujuan dari penyelenggaraan acara ini, sesuai dari makalah yang disampaikan Marwan Batubara, yaitu:

1. Mendorong pemerintah membuat perencanaan yang matang dan mengikat mengenai alokasi gas untuk domestik dan ekspor.

Hal ini dikarenakan kelanjutan proyek ini masih terkatung-katung sejak periode SBY Jilid I hingga sekarang. Banyak alasan yang mempengaruhi hal ini, di antaranya adalah masih belum selesainya kajian pemerintah tentang kebutuhan gas domestik beberapa periode mendatang, yang hal ini akan mempengaruhi persentase alokasi gas untuk domestik dan untuk ekspor.

Beberapa pengamat menyarankan alokasi 75% untuk ekspor dan 25% untuk kebutuhan domestik dikarenakan sampai saat ini pemerintah masih belum mampu menyediakan anggaran untuk mengelola blok gas yang sangat berpotensi di Sulawesi Tengah ini. Untuk itu, inginnya pengelolaan ini adalah investasi asing yang memang mempunyai modal dan bisa menyepakati hal tersebut. Sampai saat ini ada dua negara yang benar-benar berniat untuk mengelola blok ini, yaitu Jepang dan Korea. Namun, jika kita lihat, hal ini adalah masalah sepele, yaitu belum adanya perencanaan matang pemerintah mengenai penggunaan gas di Indonesia.

2. Mendorong dan menuntut percepatan pelaksanaan proyek lapangan gas DonggiSenoro.

Sudah ada pihak dari domestic yang akan mengelola hulunya, yaitu Pertamina dan Medco, dan mereka menyanggupi untuk melakukan pengeboran, juga PLN dan PIM sudah menyanggupi untuk menjadi konsumen gas tersebut dengan harga di atas harga perekonomian. Ini artinya, dari segi kelayakan investasi, proyek ini seharusnya sangat baik dan layak, sehingga Bank dan lembaga keuangan lainnya dapat memberikan pinjaman, namun kenyataannya tidak. Hal ini dikarenakan tidak adanya jaminan pemerintah kepada pihak pemodal agar meminjamkan modalnya ke perusahaan pengelola nantinya.

3. Menuntut semua pihak untuk menjalankan prinsip-prinsip good governance dalam perencanaan, pembangunan, dan operasi proyek DonggiSenoro.

Karena proyek ini melibatkan dana yang tidak sedikit, potensi kejahatan korupsi juga semakin besar. Untuk itulah good governance ini haruslah benar-benar terlaksana. Selain itu, karena proyek ini juga menyangkut kepentingan banyak pihak, utamanya masyarakat Indonesia, maka perencanaan, pembangunan, dan operasi proyek ini harus benar-benar terkelola dengan baik dan tepat sasaran.

Sedikit laporan ini hendaknya memberikan trigger kepada kita untuk terus menerus peduli terhadap pengelolaan negara ini, agar nantinya saat momentum kita yang harus mengelola negara ini, kita sudah mempunyai bekal dan dapat dilakukan.