Menyongsong hasil perhitungan resmi Pilkada DKI Jakarta oleh KPUD
Jakarta, banyak pihak kemudian bertanya mengenai kemana arah dukungan PKS di
putaran ke-dua nanti. Dengan asumsi hasil quickcount
tidak berbeda jauh dengan perhitungan resmi KPUD, posisi PKS jelas akan menjadi
kunci pertarungan Foke – Nara dan Jokowi – Ahok. Pasalnya, suara PKS yang
diraih Hidayat – Didik sebesar sekitar 11% kali ini adalah suara yang
benar-benar mencerminkan kekuatan sebenarnya dari PKS di Jakarta. Angka ini
merupakan suara dari kader loyal PKS dan basis sosial yang terdiri dari
kalangan agamis dan intelektual/akademisi. Sebagai pembanding, tahun 2009 lalu
ketika pemilu legislatif DPRD DKI Jakarta, PKS berhasil meraup suara 17%,
posisi ke-dua di bawah partai Demokrat. Sehingga, secara hitung-hitungan
kuantitatif, suara yang akan disumbangkan PKS untuk pihak yang didukungnya akan
berkisar di angka 11% - 17%.
Pertanyaannya sekarang adalah bola liar ini akan menggelinding kemana?
Opsi yang terbuka bagi PKS dalam pertarungan selanjutnya di putaran kedua ada
tiga: tidak berpihak, mendukung Foke – Nara, atau mendukung Jokowi – Ahok.
Tentunya, bukan hanya publik dan pasangan calon saja yang dirundung kegelisahan
akan sikap politik PKS ini, namun juga para elit-elit yang menentukan kebijakan
sikap partai tersebut. Hal ini terlihat dari bias dan mengambangnya pernyataan
beberapa elit PKS mengenai arah dukungannya.
Tidak berpihak?
Opsi tidak berpihak kepada pasangan manapun merupakan salah satu opsi
yang dapat diambil PKS. Sikap politik seperti ini bisa jadi adalah sikap
politik yang paling sedikit resikonya, namun juga sedikit benefit-nya. Low risk low return.
Begitulah bahasa dalam dunia bisnisnya. Mempertahankan sikap untuk tidak
berpihak kepada calon manapun tidak akan banyak mengubah kekuatan politik PKS
di Jakarta. Hal ini disebabkan pemilih PKS kali ini (Pilgub DKI) adalah
kalangan agamis, kader yang solid dan loyal, serta akademisi. Sikap tidak
mendukung calon manapun akan berbuah pada “legowo” para pemilihnya. Kalangan
agamis akan menilai PKS tetap konsisten karena mengusung idealisme yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Kalangan kader tentu akan tsiqah (percaya) bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaik,
asalkan diambil lewat mekanisme syura (musyawarah).
Sementara kalangan akademisi juga boleh jadi akan menilai bahwa PKS tidak
mempunyai kesamaan visi dan planning dengan
calon lainnya.
Namun, jika ditinjau dari sisi benefit-nya,
bisa jadi hal ini tidak mengenakkan bagi PKS. Pasalnya, kondisi ini merupakan
sebuah antiklimaks bagi masyarakat (terutama floating mass) yang sudah menanti-nanti arah dukungan PKS. Menurut
Virilio (1991), hal ini dikarenakan floating
mass dalam sebuah kota besar seperti Jakarta biasanya dihadapkan pada fenomena-fenomena
yang singkat dan silih berganti dalam waktu yang cepat. Sehingga, “kejutan”
dari sikap politik PKS sangat dinanti oleh floating
mass, dan tidak memberikan dukungan bukan sebuah “kejutan”. Belum lagi jika
kita berbicara mengenai potential lost yang
akan didapat PKS, seperi mahar politik,
peluang proyek dan kerja sama, serta posisi-posisi tertentu. Sekali lagi, tentu
hal ini (tidak memberikan dukungan kepada calon manapun) bukan pilihan yang
menghasilkan benefit tinggi, dan
nampaknya bukan fitrah PKS sebagai
partai papan tengah yang paling berdinamika.
Dalam ilmu pemasaran, dikenal istilah product lifecycle, dan PKS sebagai partai yang dideklarasikan 1997
(dengan nama PK) sudah masuk ke dalam fase maturity,
karena cenderung mengalami flattening
di tahun 2009. Fase maturity ini
adalah tahap sebelum fase decline.
Sehingga tantangan terbesar bagi PKS agar fase maturity ini tidak beralih ke decline
adalah dengan cara inovasi atau memberi “kejutan baru”. Lagi-lagi, tidak
memberikan dukungan kepada sepasang calon bukan sebuah “kejutan”.
Foke atau Jokowi?
Hal menarik yang harus kita lihat adalah hubungan PKS dengan kedua
pasang calon. Hubungan ini bisa menjadi hal yang berpengaruh bagi PKS. Jika
kita melihat dinamika sebelum proses pencalonan dimulai, PKS sempat memajukan
Triwisaksana dan menyiapkannya untuk menjadi “pendamping” Foke. Namun, Foke
malah terkesan jual mahal dan pada akhirnya tidak menerima tawaran tersebut.
Sehingga, PKS mengalami “sakit hati” karena ditolak. Pada putaran kedua ini
bisa jadi Foke malah akan berbalik arah dan akan “mengejar” dukungan PKS. Hal
ini tentunya meningkatkan daya tawar PKS. Jika pada akhirnya PKS menerima
tawaran Foke, tentu transaksi politik antara PKS dan pihak Foke akan lebih “mahal”
dan benefit yang akan didapat PKS
jelas lebih besar ketimbang jika berkoalisi dengan Jokowi – Ahok.
Resiko politik yang akan diterima PKS bila nantinya mendukung Foke
adalah terutama dari basis massa intelektualnya. Tentu pihak ini akan sangat
kecewa jika PKS pada akhirnya mendukung Foke dikarenakan kinerja Foke dalam
lima tahun ini –bagi intelektual dan akademisi– mengecewakan. Namun tidak hanya
itu. Hal yang lebih berbahaya lagi bagi PKS adalah persepsi floating mass atas sikapnya. Floating mass di DKI Jakarta sangatlah
besar, sekitar 30%. Seperti yang telah diungkapkan, bahwa floating mass ini mayoritas berasal dari kelas menengah yang mudah
jenuh akan keadaan dan merindukan sebuah “kejutan” di kepemimpinan selanjutnya.
Mereka sangat anti status quo dan
Foke adalah figur yang –menurut mereka– akan tetap pada status quo. Sehingga, PKS akan semakin dipersepsikan sebagai partai
tanpa “kejutan” dan akan tetap status quo.
Jika hal ini terjadi, gagal sudah pencitraan PKS sebagai “partai terbuka”
beberapa tahun lalu, karena toh hal
ini sudah dilupakan oleh masyarakat.
Sementara itu, jika melihat hubungan PKS dengan Jokowi, nampaknya
tidak ada masalah “sakit hati” pada Jokowi. Jika kita melihat sejarah pada
pemilu Kota Surakarta 2010 lalu, dimana Jokowi untuk yang kedua kalinya
mencalonkan diri, PKS merupakan bagian dari koalisi (bersama PDIP). Lebih
mengejutkan lagi adalah bahwa Hidayat pernah menjadi juru kampanye Jokowi di
pemilu tersebut. Itu artinya, pandangan awal PKS atas Jokowi sudah positif.
Resiko politik yang akan diterima PKS jika mendukung Jokowi – Ahok boleh
jadi lebih kecil. Gejolak mungkin hanya terjadi pada basis sosial dari kalangan
agamis non-kader. Sementara basis sosial dari kalangan intelektual dan kader
akan cenderung dapat menerima sikap ini. Keuntungan besar yang tentu akan
didapat PKS jika sikap ini diambil adalah menguatnya kembali citra PKS di mata floating mass. PKS akan dinilai
pro-perubahan, jauh dari status quo,
dan peluang ini bisa semakin memperkuat citra PKS sebagai “partai terbuka”
dikarenakan sosok Jokowi – Ahok dianggap lebih “plural” ketimbang Foke – Nara, terlebih
dengan adanya Ahok yang merupakan “simbol” etnis Tionghoa di Jakarta.
Peran media akhir-akhir ini sangat kuat dalam membangun
image bahwa Jokowi – Ahok adalah
sosok anti status quo. Sehingga
persepsi floating mass yang notabene merupakan kalangan yang besar
suaranya akan tertuju pada Jokowi – Ahok dan keyakinan akan kemenangan Jokowi –
Ahok sangat tinggi. Dalam politik kadang-kadang kita memang perlu pragmatis.
PKS perlu melihat bahwa memang kecenderungan massa ada pada pihak Jokowi –
Ahok, sehingga kemungkinan besar pemenang putaran kedua nanti Jokowi – Ahok.
Jika PKS tidak mendukung Jokowi – Ahok, kemungkinan besar ketika masa
pemerintahan nanti PKS akan menjadi oposisi atau dianggap oposisi. Hal ini akan
sangat membahayakan mengingat basis sosial sebenarnya dari PKS hanya sekitar
11% - 17%. Masih tergolong kecil untuk mengambil sikap oposisi. Ketika hal ini
terjadi, peluang-peluang politik dan peningkatan citra PKS akan semakin
tertutup dan dikhawatirkan suara PKS akan semakin anjlok di Jakarta pada
era-era selanjutnya. Semoga saja sikap yang diambil PKS nanti merupakan sikap
yang tidak hanya membawa ketenangan hati bagi PKS sendiri, namun juga
ketenangan hati bagi para simpatisan dan masyarakat umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar