Kamis, 19 Juli 2012

Menerka Arah Dukungan PKS

Menyongsong hasil perhitungan resmi Pilkada DKI Jakarta oleh KPUD Jakarta, banyak pihak kemudian bertanya mengenai kemana arah dukungan PKS di putaran ke-dua nanti. Dengan asumsi hasil quickcount tidak berbeda jauh dengan perhitungan resmi KPUD, posisi PKS jelas akan menjadi kunci pertarungan Foke – Nara dan Jokowi – Ahok. Pasalnya, suara PKS yang diraih Hidayat – Didik sebesar sekitar 11% kali ini adalah suara yang benar-benar mencerminkan kekuatan sebenarnya dari PKS di Jakarta. Angka ini merupakan suara dari kader loyal PKS dan basis sosial yang terdiri dari kalangan agamis dan intelektual/akademisi. Sebagai pembanding, tahun 2009 lalu ketika pemilu legislatif DPRD DKI Jakarta, PKS berhasil meraup suara 17%, posisi ke-dua di bawah partai Demokrat. Sehingga, secara hitung-hitungan kuantitatif, suara yang akan disumbangkan PKS untuk pihak yang didukungnya akan berkisar di angka 11% - 17%.

Pertanyaannya sekarang adalah bola liar ini akan menggelinding kemana? Opsi yang terbuka bagi PKS dalam pertarungan selanjutnya di putaran kedua ada tiga: tidak berpihak, mendukung Foke – Nara, atau mendukung Jokowi – Ahok. Tentunya, bukan hanya publik dan pasangan calon saja yang dirundung kegelisahan akan sikap politik PKS ini, namun juga para elit-elit yang menentukan kebijakan sikap partai tersebut. Hal ini terlihat dari bias dan mengambangnya pernyataan beberapa elit PKS mengenai arah dukungannya.


Tidak berpihak?

Opsi tidak berpihak kepada pasangan manapun merupakan salah satu opsi yang dapat diambil PKS. Sikap politik seperti ini bisa jadi adalah sikap politik yang paling sedikit resikonya, namun juga sedikit benefit-nya. Low risk low return. Begitulah bahasa dalam dunia bisnisnya. Mempertahankan sikap untuk tidak berpihak kepada calon manapun tidak akan banyak mengubah kekuatan politik PKS di Jakarta. Hal ini disebabkan pemilih PKS kali ini (Pilgub DKI) adalah kalangan agamis, kader yang solid dan loyal, serta akademisi. Sikap tidak mendukung calon manapun akan berbuah pada “legowo” para pemilihnya. Kalangan agamis akan menilai PKS tetap konsisten karena mengusung idealisme yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalangan kader tentu akan tsiqah (percaya) bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaik, asalkan diambil lewat mekanisme syura (musyawarah). Sementara kalangan akademisi juga boleh jadi akan menilai bahwa PKS tidak mempunyai kesamaan visi dan planning dengan calon lainnya.

Namun, jika ditinjau dari sisi benefit-nya, bisa jadi hal ini tidak mengenakkan bagi PKS. Pasalnya, kondisi ini merupakan sebuah antiklimaks bagi masyarakat (terutama floating mass) yang sudah menanti-nanti arah dukungan PKS. Menurut Virilio (1991), hal ini dikarenakan floating mass dalam sebuah kota besar seperti Jakarta biasanya dihadapkan pada fenomena-fenomena yang singkat dan silih berganti dalam waktu yang cepat. Sehingga, “kejutan” dari sikap politik PKS sangat dinanti oleh floating mass, dan tidak memberikan dukungan bukan sebuah “kejutan”. Belum lagi jika kita berbicara mengenai potential lost yang akan didapat PKS, seperi mahar politik, peluang proyek dan kerja sama, serta posisi-posisi tertentu. Sekali lagi, tentu hal ini (tidak memberikan dukungan kepada calon manapun) bukan pilihan yang menghasilkan benefit tinggi, dan nampaknya bukan fitrah PKS sebagai partai papan tengah yang paling berdinamika.

Dalam ilmu pemasaran, dikenal istilah product lifecycle, dan PKS sebagai partai yang dideklarasikan 1997 (dengan nama PK) sudah masuk ke dalam fase maturity, karena cenderung mengalami flattening di tahun 2009. Fase maturity ini adalah tahap sebelum fase decline. Sehingga tantangan terbesar bagi PKS agar fase maturity ini tidak beralih ke decline adalah dengan cara inovasi atau memberi “kejutan baru”. Lagi-lagi, tidak memberikan dukungan kepada sepasang calon bukan sebuah “kejutan”.

Foke atau Jokowi?

Hal menarik yang harus kita lihat adalah hubungan PKS dengan kedua pasang calon. Hubungan ini bisa menjadi hal yang berpengaruh bagi PKS. Jika kita melihat dinamika sebelum proses pencalonan dimulai, PKS sempat memajukan Triwisaksana dan menyiapkannya untuk menjadi “pendamping” Foke. Namun, Foke malah terkesan jual mahal dan pada akhirnya tidak menerima tawaran tersebut. Sehingga, PKS mengalami “sakit hati” karena ditolak. Pada putaran kedua ini bisa jadi Foke malah akan berbalik arah dan akan “mengejar” dukungan PKS. Hal ini tentunya meningkatkan daya tawar PKS. Jika pada akhirnya PKS menerima tawaran Foke, tentu transaksi politik antara PKS dan pihak Foke akan lebih “mahal” dan benefit yang akan didapat PKS jelas lebih besar ketimbang jika berkoalisi dengan Jokowi – Ahok.

Resiko politik yang akan diterima PKS bila nantinya mendukung Foke adalah terutama dari basis massa intelektualnya. Tentu pihak ini akan sangat kecewa jika PKS pada akhirnya mendukung Foke dikarenakan kinerja Foke dalam lima tahun ini –bagi intelektual dan akademisi– mengecewakan. Namun tidak hanya itu. Hal yang lebih berbahaya lagi bagi PKS adalah persepsi floating mass atas sikapnya. Floating mass di DKI Jakarta sangatlah besar, sekitar 30%. Seperti yang telah diungkapkan, bahwa floating mass ini mayoritas berasal dari kelas menengah yang mudah jenuh akan keadaan dan merindukan sebuah “kejutan” di kepemimpinan selanjutnya. Mereka sangat anti status quo dan Foke adalah figur yang –menurut mereka– akan tetap pada status quo. Sehingga, PKS akan semakin dipersepsikan sebagai partai tanpa “kejutan” dan akan tetap status quo. Jika hal ini terjadi, gagal sudah pencitraan PKS sebagai “partai terbuka” beberapa tahun lalu, karena toh hal ini sudah dilupakan oleh masyarakat.

Sementara itu, jika melihat hubungan PKS dengan Jokowi, nampaknya tidak ada masalah “sakit hati” pada Jokowi. Jika kita melihat sejarah pada pemilu Kota Surakarta 2010 lalu, dimana Jokowi untuk yang kedua kalinya mencalonkan diri, PKS merupakan bagian dari koalisi (bersama PDIP). Lebih mengejutkan lagi adalah bahwa Hidayat pernah menjadi juru kampanye Jokowi di pemilu tersebut. Itu artinya, pandangan awal PKS atas Jokowi sudah positif.

Resiko politik yang akan diterima PKS jika mendukung Jokowi – Ahok boleh jadi lebih kecil. Gejolak mungkin hanya terjadi pada basis sosial dari kalangan agamis non-kader. Sementara basis sosial dari kalangan intelektual dan kader akan cenderung dapat menerima sikap ini. Keuntungan besar yang tentu akan didapat PKS jika sikap ini diambil adalah menguatnya kembali citra PKS di mata floating mass. PKS akan dinilai pro-perubahan, jauh dari status quo, dan peluang ini bisa semakin memperkuat citra PKS sebagai “partai terbuka” dikarenakan sosok Jokowi – Ahok dianggap lebih “plural” ketimbang Foke – Nara, terlebih dengan adanya Ahok yang merupakan “simbol” etnis Tionghoa di Jakarta.

Peran media akhir-akhir ini sangat kuat dalam membangun image bahwa Jokowi – Ahok adalah sosok anti status quo. Sehingga persepsi floating mass yang notabene merupakan kalangan yang besar suaranya akan tertuju pada Jokowi – Ahok dan keyakinan akan kemenangan Jokowi – Ahok sangat tinggi. Dalam politik kadang-kadang kita memang perlu pragmatis. PKS perlu melihat bahwa memang kecenderungan massa ada pada pihak Jokowi – Ahok, sehingga kemungkinan besar pemenang putaran kedua nanti Jokowi – Ahok. Jika PKS tidak mendukung Jokowi – Ahok, kemungkinan besar ketika masa pemerintahan nanti PKS akan menjadi oposisi atau dianggap oposisi. Hal ini akan sangat membahayakan mengingat basis sosial sebenarnya dari PKS hanya sekitar 11% - 17%. Masih tergolong kecil untuk mengambil sikap oposisi. Ketika hal ini terjadi, peluang-peluang politik dan peningkatan citra PKS akan semakin tertutup dan dikhawatirkan suara PKS akan semakin anjlok di Jakarta pada era-era selanjutnya. Semoga saja sikap yang diambil PKS nanti merupakan sikap yang tidak hanya membawa ketenangan hati bagi PKS sendiri, namun juga ketenangan hati bagi para simpatisan dan masyarakat umumnya.

Tidak ada komentar: