Minggu, 26 Desember 2010

Tantangan Perekonomian Indonesia

Tantangan Perekonomian Indonesia

Menurut buku World in Figure 2003, yang diterbitkan oleh The Economist, USA, Indonesia adalah negara nomor 1 di dunia dalam menghasilkan lada putih, buah pala, kayu lapis, nenas dan LNG. Indonesia adalah archipelago 13.000 pulau yang memiliki perairan laut seluas 60 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia, yaitu 81.000 kilometer. Dari wilayah yang seluas itu, potensi perikanan tangkap di Indonesia mencapai 6,26 juta ton pertahun.[1] Indonesia juga memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang menyumbang sekitar 10% dari total luas hutan dunia.

Belum cukup sampai di sana, Indonesia memiliki cadangan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan mineral dan logam nasional, bahkan internasional. Hingga saat ini Indonesia mampu memasok sekitar 24% timah dari total kebutuhan dunia atau setara dengan 60.000 ton, lalu merupakan produsen terbesar keempat dunia untuk komoditas tembaga, kelima untuk komoditas nikel dan ketujuh untuk emas.[2] Cadangan minyak kita diperkirakan masih ada hingga 45 milliar barel, kekayaan batu bara kita merupakan yang keempat di dunia.[3]

Dari hal-hal yang ideal, impian, dan harapan, kita akan berangkat kepada hal-hal yang menjadi kondisi nyata perekonomian Indonesia sekarang. Segala hal yang ada, yang harus kita selesaikan dan kita tuntaskan adalah merupakan tantangan ke depan yang harus dihadapi.

Setidaknya ada empat hal yang akan menjadi sorotan kita bersama terhadap perekonomian Indonesia setidaknya untuk tiga sampai lima tahun ke depan. Kondisi itu adalah kondisi eksisting tentang kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, yang hingga saat ini masih tergolong besar dan jauh dari harapan. Hal yang kedua adalah mengenai kesenjangan sosial dan cita-cita pemerataan yang belum selesai hingga sekarang. Permasalahan yang ketiga adalah terkait menurunnya kondisi dan kinerja sektor industri terutama manufaktur di Indonesia, yang kita kenal dengan istilah deindustrialisasi. Terakhir dan yang menjadi hal yang paling krusial adalah paham ekonomi Indonesia yang semakin mengarah pada neoliberalisme.

Kemiskinan dan pengangguran

Kemiskinan masih menjadi isu hangat bahkan di banyak negara dunia. Kita sama-sama mengetahui bahwa di tahun 2000 lalu Indonesia sudah menyepakati MDG’s (Millenium Development Goals Strategy) yang salah satu poinnya adalah pengentasan kemiskinan hingga 50% pada tahun 2015. Hal ini menandakan bahwa memang kemiskinan masih menjadi musuh bersama bangsa ini.

Tingkat kemiskinan di Indonesia masih berkisar pada angka 32,53 juta penduduk di tahun 2009, atau masih sekitar 14,15% penduduk negeri ini.[4] Hal telak dan ironis mengingat negeri kita digadang-gadang sebagai negeri yang kaya. Gemah ripah loh jinawi. Padahal, tingkat kemiskinan ini adalah tingkat kemiskinan yang menggunakan standar Indonesia, yaitu dengan pendapatan sekitar Rp200.262,00 per bulan, atau sekitar Rp6.675,00 per hari. Kita akan menemukan angka yang jauh lebih besar jika kita mengikuti PBB dalam memasang threshold kemiskinan yang ada.

Fakta kembali menyebutkan bahwa pada Oktober 2000, penduduk miskin Indonesia masih berkisar 38,7 juta jiwa atau sekitar 19,14%.[5] Dengan fakta menarik tersebut, kita dapat menemukan bahwa memang tingkat penurunan angka kemiskinan terjadi, namun belum signifikan jika dibandingkan dengan target MDG’s pada tahun 2015 nanti.
Pengangguran di Indonesiapun serupa. Angka pengangguran yang besar, sekitar 9 – 10 juta jiwa, atau sekitar 10% usia produktif Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mayoritas pengangguran disebabkan karena minimnya keahlian, bahkan ada yang sampai tidak punya keahlian dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung. Data historis menunjukkan bahwa ada peningkatan drastis dari tahun 2008 ke 2009 terhadap pengangguran yang belum pernah sekolah/tamat SD.[6]
Sebuah fakta di tengah kecemerlangan sumber daya yang ada, bahwa ternyata kita masih tergolong kufur. Melimpahnya sumber daya tidak membuat kita menjadi arif dan kemudian meningkatkan efektivitas perekonomian untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh utama yang harus dikurangi.

Kesenjangan versus pemerataan

Riset Globe Asia (Mei 2008) menobatkan Aburizal Bakrie, Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kabinet Indonesia Bersatu, sebagai manusia terkaya di Indonesia dengan nilai kekayaan US$ 9,2 miliar (Rp84,6 Triliun) dari total aset 150 orang terkaya di Indonesia sebesar US$ 69,3 miliar (Rp637,3 triliun). Bandingkan nilai kekayaan mereka dengan APBN 2008 sebesar Rp854,6 triliun, maupun anggaran penanggulangan kemiskinan 2008 sebesar Rp 32 Triliun.

Nilai kekayaan seorang Aburizal Bakrie bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi anggaran penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Jika kita telaah, Teori Optimalitas Paretto bahkan sudah sangat terbukti.[7] Hampir 75% APBN negara pada tahun tersebut sama nilainya dengan kekayaan 150 orang di Indonesia, yang tidak sampai 1% penduduk Indonesia. 80% uang bukan dikuasai oleh 20% penduduk, tetapi bahkan hanya sekitar 1% penduduk. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.

Fakta menarik lain berbicara mengenai pendapatan rata-rata per kapita masyarakat Indonesia yang mencapai Rp24,3 juta per tahun, atau sekitar Rp2 juta per bulan, atau sekitar Rp67 ribu.[8] Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa masih ada sekitar 32 juta penduduk yang berpendapatan hanya 10% (Rp6.675,00 per hari) dari rata-rata pendapatan per kapita tersebut tiap harinya. Ironis, dan sangat membuka mata kita bahwa memang kesenjangan sosial semakin besar dan cita-cita tentang pemerataan hanya merupakan isapan jempol semata. Kita nantinya dapat melihat bahwa makanan anjing peliharaan orang-orang kaya boleh jadi jauh lebih bergizi ketimbang makanan orang-orang miskin di perkotaan maupun di pedesaan.[9]

Fenomena deindustrialisasi

Fenomena akhir-akhir ini, membawa kabar buruk mengenai industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%).[10] Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.[11]

Pada akhir 2009, nilai impor Indonesia mencapai USD 10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010, yaitu sekitar USD 9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010, hingga pada Juli, nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.085.[12] Tidak hanya itu, pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar USD 3,6 miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus USD 1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita melihat defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3 miliar di tahun 2007 menjadi USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan sekitar 600%). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai USD 3,9 miliar.[13]

Harapan tentang perekonomian Indonesia yang berbasis sektor riil nampaknya akan menghadapi banyak tantangan berat kedepannya. Fenomena deindustrialisasi benar-benar semakin terasa dampaknya hingga sekarang, terutama setelah diberlakukan beberapa perjanjian dagang bebas seperti ACFTA (ASEAN – China Free Trade Agreement/Area). Jangan heran jika kedepannya kita akan mendapat julukan negara pengimpor terbesar. Namun, itulah faktanya.

Neoliberalisme Perekonomian

Sisi buruk neoliberalisme ada pada kebebasan yang tidak terbatasi. Padahal hal ini sudah sedemikian dikritik oleh Adam Smith.[14] Di Indonesia, neoliberalisme mulai tercium sejak masuknya IMF. Hal ini semakin parah pasca krisis 1998, dan hingga sekarang makin menjamur, bahkan di banyak sektor, tidak hanya ekonomi. Kita mengenal adanya SAP (Structural Adjustment Program) dan Washington Concencus yang semakin memburamkan peran pemerintah yang telah dibahas sebelumnya.

Salah satu peran yang ‘diserang’ adalah tentang kewajiban pemerintah menyediakan barang publik (public goods). Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 dikemukakan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, bahkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pasal ini kita sudah dapat menentukan bahwa barang-barang publik seperti tanah, air, tambang, dan mineral yang terkandung dalam bumi seharusnya dikuasai oleh negara. Jikalaupun negara mempunyai keterbatasan dalam mengelolanya, negara berhak menunjuk institusi privat untuk mengelolanya, dan negara memberikan insentif. Namun, batas pengelolaan ini harus diutamakan untuk kemakmuran rakyat, dalam artian mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan privat atau bahkan bangsa lain.

Tekanan politik dari pihak privat dan asing telah membuat adanya overlap kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat. Kita dapat melihat contoh Blok Cepu atau Gunting yang dikuasai oleh perusahaan asing dari Amerika ExxonMobil, atau Blok Semai V yang ‘diberikan’ kepada Hess. Serupa, tembaga dan emas di Mimika, Papua yang dikuasai Freeport. Sementara, kebijakan yang membuka lebar-lebar overlap ini sudah mulai diberlakukan secara sistematis seperti pemberlakuan UU Migas pada tahun 2001, UU Ketenagalistrikan tahun 2009, pengurangan subsidi secara terus menerus (bukan memperbaiki agar tepat sasaran), dan lainnya.

Pihak asing berhasil mencampuri pembuatan/pengesahan sejumlah undang-undang, bahkan dari mulai pembuatan draft (rancangan)-nya. Akibatnya, sejumlah UU terindikasi semakin liberal, seperti UU BUMN (UU No. 19 Th. 2003), UU PMA (UU No. 25 Th. 2007), UU SDA (UU No. 7 Th. 2004), UU Kelistrikan (UU No. 20 Th. 2002), UU Tenaga Kerja (UU No. 13 Th. 2003), UU Pelayaran (UU No. 17 Th. 2008), UU Pengalihan Hutan Lindung menjadi Pertambangan (UU No. 19 Th. 2004), dan lainnya.

Dampak kepemilikan publik yang menjadi privat sangatlah berbahaya. Dampak yang dapat terlihat langsung adalah prioritas kemakmuran. Penguasaan negara menuntut prioritas kemakmuran ada pada bangsa sendiri, sedangkan penguasaan privat menuntut prioritas kemakmuran pada institusi privat tersebut. Sementara penguasaan asing jelas menuntut prioritas pada kemakmuran bangsa asing. Dampak lainnya adalah monopoli atau kenaikan harga barang tersebut, atau bahkan rentannya harga barang tersebut terhadap instabilitas yang disebabkan spekulan-spekulan yang beredar.[15]

[1] http://www.indonesia.go.id
[2] Berdasarkan pernyataan kepala subdit industri logam, departemen perindustrian, Dani Ramdani, di Pangkalpinang, 17 Oktober 2008.
[3] Heppy Trenggono. Menjadi Bangsa Pintar. 2009. Jakarta: Republika Press.
[4] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[5] Abdullah Azwar Anas. Mengawal Negara Budiman. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[7] Joseph E. Stiglitz. Dekade Keserakahan. 2003. Tangerang: Marjin Kiri.
[8] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[9] Samuelson, P.A., dan Nordbaus, W. D,. Macroeconomics. 14th ed. 1992. New York: McGraw-Hill, Inc.
[10] Artikel: Mudrajad Kuncoro. Stop Deindustrialisasi. 2009.
[11] Artikel: Faisal Basri. Deindustrialisasi Benar-Benar Serius! 2009. http://ekonomi.kompasiana.com.
[12] Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.
[13] Artikel: Faisal Basri. ASEAN-China Free Trade Area dan Deindustrialisasi. 2010.
[14] Adam Smith. The Theory Of Moral Sentiments. 1754
[15] Dr. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.

Sabtu, 25 Desember 2010

Bermimpi Tentang Perekonomian Indonesia

Bermimpi Tentang Perekonomian Indonesia

Mari kita bermimpi tentang perekonomian Indonesia. Mari kita memasang asa tentang kesejahteraan ekonomi masyarakat. Semua kesejahteraan bermula dari sini. Bahkan ketenangan jiwapun tidak akan tercapai jika belum tercapainya kesejahteraan ekonomi. Karl Marx juga pernah berkata bahwa perubahan masyarakat ditentukan oleh faktor ekonominya. Karena itulah, perekonomian merupakan hal yang penting dalam sebuah tatanan masyarakat.

Selanjutnya, mari kita identifikasi hal apa saja yang menjadi impian kita terhadap perekonomian Indonesia. Konsepsi ideal perekonomian Indonesia meliputi perekonomian yang efektif dalam pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial. Hal ini juga ditopang oleh motor ekonomi berbasis sektor riil, bukan sektor moneter yang penuh ketidakpastian. Dalam mengelolanya kita juga harus bersifat efisien, tidak melakukan pemborosan, agar terjadi pembangunan yang berkelanjutan. Kesemuanya itu harus juga didukung oleh peran pemerintah. Pemerintah harus berperan aktif, agar perekonomian benar-benar berjalan dengan baik.

Pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial

Semua perekonomian tentunya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan mencapai kesejahteraan. Pengentasan kemiskinan berjalan paralel dengan peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, threshold kemiskinan harus semakin meningkat dari waktu ke waktu.
 
Untuk itu, diperlukan sebuah ambang batas yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Parameternya harus komprehensif, meliputi pendapatan, pengeluaran, dan biaya hidup rata-rata tiap daerah. Kemiskinan bukan hanya dinilai dari pendapatan per hari, namun dilihat dari seberapa mampu seseorang memenuhi kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Kebutuhan itu meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Apabila pendapatan yang ia peroleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut, maka ia dikategorikan miskin, meskipun pendapatannya besar.

Barulah ketika semua masyarakat sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, peningkatan taraf hidup dapat dengan segera dilaksanakan. Ambang batas kemiskinan pada tahap ini akan semakin meningkat. Masyarakat yang hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar dianggap miskin, dan seterusnya.[1] Peningkatan taraf hidup inilah yang semakin lama menyebabkan perubahan pada masyarakat. Kesejahteraan dan ketenangan jiwa akan semakin meningkat seiring peningkatan taraf hidup masyarakat. Sehingga peradaban juga akan semakin tinggi.

Pengentasan kemiskinan juga terkait dengan tingkat pengangguran. Pengangguran dalam hal ini adalah seseorang yang tidak berpenghasilan. Penyebab awal kemiskinan adalah tidak adanya penghasilan. Kita tidak bisa berbicara peningkatan taraf hidup apabila masih banyak masyarakat yang tidak berpenghasilan.

Oleh karena itu, peningkatan lapangan pekerjaan dan iklim usaha yang baik harus tercipta demi pengentasan kemiskinan. Investasi usaha yang minim bukan hambatan bagi penciptaan lapangan pekerjaan. Pemerintah bisa membuat badan usaha milik negara untuk menyerap banyak tenaga kerja. Selama sumber daya dasar suatu negara masih ada, di situ pula badan usaha –milik negara maupun swasta– masih bisa berdiri.

Berbicara pengangguran juga berbicara tentang keahlian dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Untuk itu, peningkatan kemampuan dan keahlian seseorang harus dilakukan. Hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan. Masyarakat harus terdidik dengan baik, secara formal maupun informal. Oleh karena itu, aksesibilitas pendidikan harus ditingkatkan. Sementara, ketidakmampuan masyarakat yang bersifat kosmik, seperti kecacatan fisik, sehingga ia tidak bisa bekerja dan berpenghasilan, negara harus menjamin kehidupannya, hingga mencapai kesejahteraan juga.[2]

Pada akhirnya, pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran bertujuan pada pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi adalah keniscayaan, namun tidak boleh ada kesenjangan yang terlampau dalam. Adanya Teori Optimalitas Paretto dalam perekonomian, yang menyatakan bahwa 80% uang yang beredar dalam suatu negara dikuasai hanya oleh 20% penduduknya, sementara 20% sisanya dikuasai oleh 80% penduduknya harus diminimalkan.[3]

Untuk itu, indikator perekonomian juga harus dibuat lebih komprehensif, tidak boleh berdasarkan hal yang bersifat material saja. Samuelson pernah berujar bahwa hal yang seperti ini tidak akan bisa menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan baik. Sehingga pemerataan ekonomi juga tidak bisa terlaksana dengan baik. Kesejahteraan bukan dinilai dari seberapa banyak orang yang mampu bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya barang, namun lebih kepada seberapa banyak orang yang bisa memenuhi semua kebutuhannya, meskipun pendapatannya kecil.[4]

Motor ekonomi berbasis sektor riil

Agar dicapai perekonomian yang berjalan dengan efektif, yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan memperkecil kesenjangan, perekonomian harus senantiasa digerakkan oleh aktivitas-aktivitas ekonomi berskala mikro. Aktivitas-aktivitas ini kemudian menjadi roda-roda penggerak perekonomian dalam skala yang lebih besar. Untuk itulah, diperlukan motor ekonomi yang solid, massif, dan stabil.

Motor ekonomi yang solid adalah perekonomian yang didasarkan pada struktur yang konkrit, dibangun atas dasar kejelasan tentang apa yang akan diproduksi, untuk siapa memproduksi, dan bagaimana memproduksi. Kesemua proses yang ada harus jelas, dan menghindari adanya hal-hal yang abu-abu dan berbau spekulatif. Dengan menghindari spekulasi dan ketidakjelasan, aktivitas-aktivitas ekonomi akan berjalan dengan stabil dan pelaku-pelakunya diliputi ketenangan dalam menjalani tiap prosesnya.

Perekonomian juga harus berjalan dengan massif, dalam artian sebanyak-banyaknya masyarakat harus terlibat dalam aktivitas perekonomian. Hal ini dikarenakan aktivitas ekonomi adalah kunci untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah, motor perekonomian harus dapat dijangkau oleh semua kalangan, apapun statusnya, di manapun ia berada. Untuk itu, kita dapat berkesimpulan bahwa sektor riil-lah yang paling dapat diandalkan agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan partisipasi sebesar-besarnya masyarakat, solid, dan stabil.

Fakta di berbagai negara telah menunjukkan tentang bagaimana perekonomian diselamatkan karena kekuatan sektor riilnya, baik skala besar ataupun skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di saat sektor moneter ambruk dan terombang-ambing karena keterhubungan langsungnya dengan krisis, sektor riil dengan mulusnya tetap bergerak naik, meskipun tetap saja ada dampak krisis. Pengembangan sektor riil merupakan syarat mutlak bagi kestabilan dan perkembangan perekonomian suatu negara.[5]

Efisiensi proses pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang paling utama. Namun yang perlu kita ingat adalah bahwa masyarakat tidaklah dilihat dari perspektif sekarang saja. Masyarakat tentunya adalah sebuah entitas yang berhubungan dengan rentang waktu, dahulu, sekarang, dan akan datang. Apa yang ada sekarang pada hakikatnya adalah warisan masyarakat dahulu, dan apa yang akan tersisa nantinya adalah warisan masyarakat sekarang kepada masyarakat masa depan.

Proses ekonomi yang menjadikan sumber daya sebagai input sedari sekarang haruslah memperhitungkan akan keterbatasan sumber daya. Meskipun tidak semua sumber daya di negara ini terbatas. Namun, sedari sekarang kita harus arif dalam mengelola sumber daya, sehingga baik proses pengelolaannnya maupun penggunaannya berjalan dengan efisien. Kita harus benar-benar memisahkan antara needs dan want, dan perlahan-lahan mengurangi porsi want dalam daftar hal-hal yang akan didapatkan.

Peningkatan eksponensial dari grafik pertumbuhan masyarakat dunia saat ini menuntut adanya daya dukung sumber daya yang semakin besar. Tidak heran apabila kapasitas produksi barang-barang produksi saat ini meningkat tajam, ditandai dengan konsumsi karbon dunia yang juga meningkat secara eksponensial. Kondisi ini tentunya berpengaruh pada konsumsi sumber daya yang menjadi input dasar perekonomian.

Tantangan ke depan adalah bagaimana sumber daya yang ada harus kita pergunakan dengan seefisien mungkin. Kita perlu melakukan diversifikasi penggunaan sumber daya, sambil melakukan proses recovery sumber daya yang bisa diperbaharui. Pembangunan yang berkelanjutan adalah mutlak dilakukan agar generasi-generasi mendatang juga turut merasakan kesejahteraan hidup di dunia. Kemajuan bangsa ini juga sangat ditopang oleh ketersediaan sumber dayanya, oleh karena itu adalah hal yang naïf jika kita tidak berbicara mengenai pembangunan yang berkelanjutan.

Peran pemerintah

Perekonomian yang baik tidak akan berjalan tanpa adanya mekanisme intervensi dari pemerintah yang berperan sebagai self restraint. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation mengemukakan arti penting dari self restraint yang harus selalu ada dan menjadi kontrol dari adanya self interest.[6] Konsep inti inilah yang memberi semacam lampu hijau kepada pemerintah untuk mengintervensi pasar lebih dalam. Self interest tanpa adanya kontrol ibarat sistem perekonomian yang banyak diterapkan di berbagai negara belakangan ini: liberal. Semua pelaku-pelaku ekonomi bebas untuk menjadikan semua hal yang ada dapat bernilai ekonomis. Pasar yang sangat bebas dan percaya penuh akan keampuhan invisible hand. Liberalisasi akan memperparah instabilitas ekonomi.[7]

Pemerintah harus berperan aktif dalam rangka mengelola perekonomian. Pemerintah bukanlah pelaku ekonomi, tetapi pengelolanya. Mengelola agar perekonomian berhasil mencapai tujuannya: mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mempersempit kesenjangan sosial. Pemerintah bisa berperan dengan menerapkan serangkaian aturan hukum dan kebijakan-kebijakan perekonomian, ataupun dengan program kerja yang dirancang untuk memenuhi target perekonomian tertentu.

Pemerintah bisa memberlakukan aturan hukum dan perundangan non-pajak. Hal ini untuk mengatasi ketidak efisienan pasar terkait monopoli dan eksternalitas. Contoh perundangan yang bisa dibuat adalah UU pelarangan monopoli, UU usaha dan bisnis, UU anti-polusi, UU pengelolaan limbah, UU lingkungan, dll. Hal lain yang dilakukan adalah pembiayaan dan atau subsidi barang publik (public goods) seperti jembatan, jaringan jalan raya, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dll.[8]

Selanjutnya, pengenaan pajak progresif atas pendapatan juga dapat dilakukan. Hal ini untuk meminimasi kesenjangan sosial yang terlalu ekstrem. Pajak progresif adalah pajak yang proporsinya sesuai dengan pendapatan yang diterima. Akan semakin naik apabila pendapatan juga semakin meningkat. Mekanisme lainnya adalah subsidi atau bantuan sosial. Hasil dari pajak progresif harus diputar kembali ke masyarakat.[9] Tentunya masyarakat yang miskin, yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Variasi program ini sangat banyak, bisa dengan insentif langsung berupa uang tunai, seperti BLT dan BOS, ataupun subsidi tidak langsung seperti subsidi BBM, Listrik, dan Pupuk.

Terakhir, terkait kebijakan moneter. Dilakukan untuk menetapkan jumlah uang beredar yang dapat mempengaruhi suku bunga, investasi, dan konsumsi. Sementara, kebijakan fiskal dilakukan untuk mengenakan pajak dan mengadakan pembelanjaan. Bertujuan untuk menyeimbangkan pendapatan pemerintah.

[1] M. Baqir Ash Shadr. Iqtishaduna. 2008. Jakarta: Zahra Publishing House.
[2] Ibid.
[3] Joseph E. Stiglitz. Dekade Keserakahan. 2003. Tangerang: Marjin Kiri.
[4] Samuelson, P.A., dan Nordbaus, W. D,. Macroeconomics. 14th ed. 1992. New York: McGraw-Hill, Inc.
[5] Lalu M. S. Wangsa. Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi. 2004. Jakarta: Primamedia Pustaka.
[6] Widjajono Partowidagdo. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. 2010. Bandung: Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB.
[7] Joseph E. Stiglitz. Dekade Keserakahan. 2003. Tangerang: Marjin Kiri.
[8] Abdullah Azwar Anas. Mengawal Negara Budiman. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[9] Samuelson, P.A., dan Nordbaus, W. D,. Macroeconomics. 14th ed. 1992. New York: McGraw-Hill, Inc.

Senin, 13 Desember 2010

Kelahiran Para Aktivis dan Kematian Para Idealis

Kelahiran Para Aktivis dan Kematian Para Idealis


Siapa tidak kenal aktivis mahasiswa seperti Sjahrir, Hariman Siregar, Fadjroel Rachman, Mustafa Kamal, dan aktivis mahasiswa lainnya di masa lalu? Orang-orang seperti mereka menjadi inspirasi di eranya. Suara lantang mereka yang terus bergaung di telinga penguasa pongah di eranya hingga saat ini terekam secara manis di benak penerus-penerusnya. Getir perjuangan yang dilakukannya selama mahasiswa tidak lekang ditelan zaman.

Kebaikan-kebaikan bangsa ini beserta kesejahteraannya menjadi hal yang mereka dambakan selagi mahasiswa. Mereka itulah aktivis sejati. Penjara tidak pernah menghentikan langkah mereka. Tahanan politik adalah hal biasa. Cekalan dan cacian orang-orang yang tidak suka pada mereka adalah batu penghalang yang segera mereka lewati. Sekali lagi, mereka itulah aktivis sejati. Aktivis mahasiswa sejati. Pemuda gagah, pahlawan-pahlawan kecil yang akan menjadi pahlawan besar. Pemuda enerjik yang kritis. Itulah aktivis. Ditambah dengan kecerdasan dan keahliannya, mereka itulah aktivis mahasiswa.

Aktivis saja tidak cukup

Sejarah kemudian mencatat bahwa Sjahrir (sekarang almarhum) menjadi ekonom sejati. Mendapat gelar doktor dalam bidang ekonomi politik dari kampus paling prestisius dunia: University of Harvard. Kemudian puncak karirnya sebelum ia meninggal adalah menjadi penasehat presiden untuk urusan ekonomi. Presidennya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia yang dahulu lantang menentang modal asing bersama Hariman Siregar, harus juga merasakan menjadi pihak yang dikritik. Bahkan, SBY yang selalu ia nasehati termasuk orang yang pro dengan modal asing, privatisasi, dan liberalisasi. Hasilnya, Krakatau Steel sudah setengah privatisasi. Maka satu orang idealis telah mati. Namun Sjahrir tetaplah dikenal sebagai aktivis.

Sosok seorang Sjahrir mungkin tidak terlalu terlihat telak jika kita ingin menggambarkan matinya seorang idealis. Kita bisa megambil contoh lain, tidak perlu Sjahrir. Sebagai contoh, ada seseorang yang dahulu ketika mahasiswa sangat lantang berbicara mengenai kesejahteraan bangsa. Kritiknya selalu pedas dan menjadi inspirasi rekan-rekannya. Geraknya dan manuver-manuvernya bahkan bisa sampai mengguncang sedikit penguasa pongah di gedung putih sana.

Akan tetapi, setelah ia lulus, namanya bagaikan tersapu hembusan angin. Tidak ada lagi kritik-kritik darinya, tidak ada lagi manuver-manuver darinya. Tekanan hidup mungkin membelenggunya, hal ini tiada mengapa. Namun jika kenyamanan hiduplah yang mematahkan langkahnya, mematikan degup jantungnya saat melihat ketidakadilan, dan mengeringkan air matanya terhadap penderitaan bangsanya, maka ia benar-benar mati. Ia aktivis, namun bukan idealis. Perusahaan asing menjadi belenggu baginya, kerajaan bisnis menjadi pemenuh pikirannya. Ia benar-benar mati.

Idealis juga tidak cukup

Lain halnya dengan Hariman Siregar. Pasca lulus sebagai mahasiswa, ia tetaplah aktivis, tetaplah idealis. Manuver-manuvernya tetap terasa hingga kini. Kata-kata pedasnya masih santer terdengar. Pernah mendengar isu pencabutan mandat SBY-JK pada tahun 2007? Itu adalah manuvernya. 400 orang pada hari itu bergerak memenuhi jalanan ibukota dengan mengusung temaPawai Cabut Mandat SBY-JK”. Kegelisahannya masih menyala-nyala, getir perjuangan itu masih terasa hingga saat ini, meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad.
Kita menemukan kelahiran sosok aktivis dan juga kelahiran sosok idealis sekaligus. Sosok seperti Hariman Siregar juga makin jarang ditemukan saat ini. Sosok seperti ini yang harus terus menerus ditularkan kepada generasi sekarang, sebuah karakter yang cukup lengkap: ia aktivis, dan ia idealis.

Namun masih ada hal yang mengganjal dari sosok seorang Hariman Siregar. Ketika banyak pihak mempertanyakan motif gerakan-gerakan yang ia buat, maka seketika itu ia menjawab bahwa motifnya adalah memperbaiki keadaan bangsa. Kata-kata itu diikuti dengan ketidakinginannya untuk meraih kekuasaan.

Ternyata idealis juga masih belum cukup. Ada satu instrumen yang hilang. Instrumen dalam mewujudkan mimpi-mimpi besar para aktivis-idealis. Instrumen itu adalah kekuasaan. Sekarang adalah zaman globalisasi, kapitalisasi, glamourisasi, dan nyaman-isasi. Gerakan-gerakan seperti itu memang bagus untuk dinamisasi sebuah proses demokrasi. Namun, kita perlu memilih proses yang lebih efektif dalam hal dampaknya, meskipun itu tidak efisien. Belum sempurna suatu idealisme tanpa proses yang lebih berintegritas lagi, yaitu mewujudkan idealisme tersebut dengan kekuasaan. Kita melihat idealisme Hariman Siregar adalah kesejahteraan bangsanya, namun dengan membatasi dirinya tidak pada area kekuasaan, maka semakin lama idealismenya akan terkebiri menjadipewacanaan dan pengembangan opinisaja. Sadar atau tidak sadar.

Idealisme tidak boleh tercapai. Boleh jika target-targetnya yang tercapai. Karena, jika idealisme tercapai, berhentilah kita dan tidak bergerak. Idealisme akan selalu berada beberapa langkah di depan diri kita, dan tidak akan pernah berhasil kita gapai. Itulah yang menarik kita untuk terus menerus bergerak mengejarnya.

Melahirkan generasi idealis

Kini pekerjaan rumah terbesar kita adalah bagaimana melahirkan sebuah generasi idealis. Generasi yang terus menerus bergerak dan semakin lama gerakannya semakin berintegritas dan progressif. Generasi-generasi yang tidak termakan oleh opini buruk zaman. Generasi yang berprinsip dan berkomitmen kokoh. Generasi yang mempunyai idealisme yang sama dengan pendahulu-pendahulunya, yaitu kebaikan-kebaikan masyarakat dan kesejahteraannya.

Untuk itu, basis ideal yang harus ditanamkan pada generasi-generasi selanjutnya adalah basis ideal yang kokoh juga. Basis ideal yang kuat hujjah-hujjahnya, basis ideal yang hebat pondasi-pondasinya. Basis ideal yang juga memberikan spirit, ruh, dan jiwa-jiwa penggerak. Suatu konstruksi yang komprehensif: unsur ideologis dan unsur spiritualnya. Sehingga karakter-karakter yang terbangun kedepannya adalah karakter yang akan selalu digerakkan oleh spiritnya untuk mewujudkan idealisme dari sisi ideologisnya.

Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia

Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia

Pengertian Deindustrialisasi

Secara harfiah industrialisasi berarti usaha menggalakkan industri di suatu negara; pengindustrian.[1] Industrialisasi merupakan proses yang sangat baik untuk membawa suatu bangsa menuju kemakmuran. Manfaat utama yang diperoleh dari industrialisasi adalah memperluas lapangan kerja, menambah devisa negara, dan memanfaatkan potensi sumber daya alam maupun sumberdaya manusia sehingga menggerakkan roda perekonomian suatu bangsa menjadi lebih cepat. Dengan industrialisasi, bangsa tersebut tak lagi terlalu menggantungkan hidupnya pada sumber alam yang langsung digali atau dimanfaatkan.

Fenomena akhr-akhir ini,membawa kabar buruk mengenai industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%).[2] Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.[3]

Jika industri manufaktur kian meningkat kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi. Dengan demikian, industrialisasi memiliki kinerja yang sangat konkret. Konsekuensinya, tak ada industrialisasi manakala industri manufaktur tak memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami deindustrialisasi.

Penyebab Deindustrialisasi

Ada beberapa faktor penyebab di balik deindustrialisasi di Indonesia. Pertama adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit perbankan ke sektor industri secara absolut memang tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Salah satunya karena banyak industri dianggap bermasalah atau masuk kategori sunset industry.

Kedua, masih lemahnya dukungan universitas dan lembaga riset di negeri ini dalam membantu mengatasi masalah riil yang dihadapi oleh industri. Hal ini menyebabkan lambatnya transfer teknologi, penetrasi pasar ekspor, dan pengembangan produk maupun proses produksi. Indonesia sudah tertinggal dari Negara-negara lain dalam kemitraan dunia usaha dan universitas. Pengalaman di Jepang, sebagai ilustrasi, kemitraan ini amat mendukung pengembangan sistem inovasi nasional, universitas dan industri dapat bersama-sama mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual (Watanabe, 2009).

Ketiga, rendahnya daya saing produk dalam negeri. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing. Pada industi pangan misalnya. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan bahwa daya saing produk lemah karena mahalnya ongkos produksi yakni aspek energi, infrastruktur, dan regulasi yang memproteksi industri dalam negeri. Faktor utama lain yaitu tingginya penetrasi barang konsumsi impor, terutama yang berasal dari China. Hal ini diperparah dengan ditanda tanganinya perjanjian ACFTA, yang mengakibatkan semakin terpuruknya industri Indonesia, khususnya tekstil, karena kalah harga dan kualitas dengan produk China.

Keempat, stabilitas keamanan Indonesia yang masih terganggu. Isu utama keamanan di Indonesia adalah terorisme, yang dipicu oleh rangkaian peledakan bom di Indonesia seperti bom bali dan JW-Marriot. Isu terorisme ini menghambat tumbuhnya investasi di IndonesiaKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai banyak investor luar negeri yang memilih wait and see dan menunda setelah peristiwa pengeboman. Sejumlah sektor memang masih aman, namun sektor lain masih akan terkena dampak dari serangan bom.[4]

Kelima stabilitas ekonomi. Krisis ekonomi global memang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dunia. Namun, banyak pengamat mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak tinggi diakibatkan krisis, hal ini masih dinilai stabil. Oleh karena itu, banyak uang panas dari Eropa yang diputar dan diinvestasikan di Indonesia dalam sektor finansial. Khawatirnya, jika uang panas ini diambil dalam waktu yang hampir bersamaan, akan menyebabkan ketidakstabilan perekonomian, terutama sektor finansial. Hal ini akan turut berdampak juga pada sektor riil, walaupun tidak signifikan.

Akibat Deindustrialisasi

Setelah kita mengurai bagaimana tentang indikator dan penyebab terjadinya deindustrialisasi, kini kita akan membahas mengenai akibat deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia. Dari beberapa sumber yang akan disebutkan kemudian, setidaknya dapat ditemukan empat akibat terjadinya deindustrialisasi. Pertama, semakin berpotensinya negara kita menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan neraca ekspor-impor dalam beberapa tahun belakangan ini. Kedua, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur. Ketiga, sulitnya melakukan reindustrialisasi. Keempat, tingkat penyerapan tenaga kerja menurun.

Melemahnya perindustrian Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah banyak diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak pada semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, dan tarafnya akan selalu meningkat –dan harus ditingkatkan- dari waktu ke waktu.[5] Itulah sebabnya jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, akan menyebabkan negara ini menjadi negara yang akan membeli dari bangsa lain.

Dari dua grafik yang menunjukkan nilai impor di atas, kita dapat melihat bahwa kecenderungan yang ada dari dua tahun belakangan bahwa Indonesia semakin menjadi negara pengimpor. Pada akhir 2009, nilai impor Indonesia mencapai USD 10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010, yaitu sekitar USD 9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010, hingga pada Juli, nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.085.[6] Tidak hanya itu, pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar USD 3,6 miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus USD 1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita melihat defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3 miliar di tahun 2007 menjadi USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan sekitar 600%). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai USD 3,9 miliar.[7]

Menjadi negara konsumtif, yang juga menjadi negara pengimpor akan membawa dampak lain yang lebih berbahaya, yaitu ketergantungan kepada bangsa lain. Secara logika, melemahnya industri manufaktur Indonesia akan sejalan paralel dengan meningkatnya impor barang-barang produksi, jika memang kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak akan dikorbankan. Selama ini, kontribusi nilai dan berat ekspor Indonesia masih didominasi dari hasil industri primer, beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya.[8]

Tingkat ketergantungan Indonesia kepada negara lain dapat kita lihat dari tingkat impor negara-negara manufaktur besar yang selama ini menjalin hubungan dengan Indonesia. Negara-negara manufaktur besar itu antara lain adalah China. Nilai impor dari China hingga Maret 2010 bernilai rata-rata USD 1.416.486.811 dan terus meningkat hingga menyentuh USD 1.982.162.360 pada Juli 2010. Sementara impor dari US, hingga pertengahan 2010 ini mencapai sekitar USD 800 juta.[9] Nilai impor yang tinggi ini jauh di atas rata-rata impor negara lain yang hanya berkisar USD 66 juta.

Selanjutnya, deindustrialisasi juga dapat menyebabkan sulitnya reindustrialisasi. Reindustrialisasi atau menggairahkan kembali sektor industri bukanlah perkara mudah. Solusi koprehensif harus benar-benar diterapkan. Mulai dari solusi mikro berupa mempermudah investasi dan pemasaran, hingga langkah mikro berupa stabilisasi perekonomian.

Beberapa contoh industri yang mengalami deindustrialisasi adalah industri kertas dan barang cetakan, yang mengalami pertumbuhan minus sebesar 16,3%. Kemudian, tekstil, barang dari kulit, alat kaki, serta barang dari kayu dan hasil hutan yang tumbuh minus 10,3%, serta semen dan barang galian non-logam mengalami yang pertumbuhan minus 3,1%.[10] Tekstil, terutama merupakan komoditi ekspor manufaktur yang cukup diandalkan di Indonesia. Dari segi jumlah yang diekspor, tekstil selalu menempati urutan 3 – 5 barang manufaktur.[11] Tidak mudah untuk kembali melakukan pengembangan industri. Karena itu, butuh dukungan banyak pihak untuk membantu melakukan revitalisasi industri Indonesia.

Dampak terakhir, dan yang paling populis di masyarakat adalah terkait penyerapan tenaga kerja. Secara logika, penurunan jumlah industri, baik kecil maupun besar, membawa dampak pada menurunnya peluang kerja bagi masyarakat.

Industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar. Deindustrialisasi mengakibatkan pekerja sektor formal semakin terdesak. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase pekerja di industri manufaktur mengalami penurunan, dari 18,8 persen tahun 2005 menjadi 12,07 persen tahun 2009.[12] Hal inilah yang menyebabkan daya serap tenaga kerja sektor formal merosot. Penguatan industri manufaktur sehingga bisa meningkatkan daya serap tenaga kerja di sektor formal diyakini juga akan mempercepat penurunan angka kemiskinan.

Solusi Mengurangi Deindustrialisasi

Biar bagaimanapun, deindustrialisasi tetap bisa kita kurangi dengan melakukan segenap langkah solusi. Solusi-solusi yang ada adalah usaha penghilangan sebab-sebab yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Tentunya, ketika berbicara solusi kita tidak akan dapat memisahkannya dengan peran. Peran yang dapat kita ambil sesuai kapasitas kita sebagai mahasiswa.

Deindustrialisasi dapat dikurangi dengan memperbaiki pemodalan. Perbaikan yang dilakukan bisa dilakukan melalui kemudahan syarat pengajuan kredit dari bank atau pengelontoran dana langsung dari pemerintah sebagai pinjaman lunak seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terkait langkah yang bisa dilakukan mahasiswa adalah mendesak agar pemerintah mengeluarkan regulasi untuk memperbesar proporsi kredit perbankan untuk industri terhadap kredit secara keseluruhan. Saat ini, proporsi kredit untuk industri dari bank hanya mencapai sekitar 16 persen. Namun hal ini termasuk kecil dibandingkan pada tahun 1985 yang pencapai proporsi 40 persen.[13] Pekerjaan yang harus dilakukan adalah bagaimana memperbesar proporsi modal untuk industri dari kalangan privat dan memperbaiki besaran dan aksesibilitas modal dari program pemerintah.

Langkah lainnya dalam menghadapi deindustrialisasi adalah menumbuhkan budaya riset. Riset adalah syarat mutlak untuk mengembangkan produk dan proses kerja agar tercipta hal yang lebih baik dalam hal penggunaan sumber daya dan keluaran yang diharapkan. Industri-industri padat modal dan teknologi adalah industri yang harus dikembangkan kedepannya, dan riset berperan penting untuk mengembangkannya. Dengan mengadopsi konsep Triple Helix, pemerintah seharusnya membangun pola koordinasi dan integrasi yang baik dari pihak universitas dengan pihak industri.[14] Hal ini dilakukan agar kebutuhan riset perlahan-lahan dapat tersosialisasikan dan pada akhirnya dapat berkembang.

Langkah selanjutnya adalah dengan gencar melakukan kampanye cinta produk dalam negeri. Sebuah budaya yang sudah mengakar harus dilawan dengan pengopinian yang baik. Budaya tersebut adalah lebih memandang sesuatu dari kemasannya. Sehingga, kemasan bermerk luar negeri seringkali menjadi pilihan utama. Sudah saatnya kita menghargai dan bahkan mengalihkan preferensi kita untuk memilih dalam negeri. Walaupun secara kualitas tidak sama, namun perbedaannya tidak terlalu jauh.

Jika produk dalam negeri akan merajai di bangsanya sendiri, akan juga menambah kepercayaan diri masyarakat untuk terus mengembangkan wirausaha. Bangsa ini masih membutuhkan banyak pengusaha. Banyaknya pengusaha akan membuat sektor industri kembali bergairah. Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan program pendidikan wirausaha yang telah direncanakannya dengan baik. Terakhir, yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga stabilitas kemanan dan perekonomian dalam negeri. Hal ini untuk menghindari kepanikan masyarakat, berkembangnya para spekulan-spekulan yang tidak bertanggungjawab, dan isu-isu lainnya. Juga terhadap daya serap produk itu sendiri di pasar.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2010.

[2] Artikel: Mudrajad Kuncoro. Stop Deindustrialisasi. 2009.

[3] Artikel: Faisal Basri. Deindustrialisasi Benar-Benar Serius! 2009. http://ekonomi.kompasiana.com.

[4] http://www.detik.finance.com.

[5] M. Baqir Ash Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam. 2008. Jakarta: Zahra Publishing House.

[6] Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.

[7] Artikel: Faisal Basri. ASEAN-China Free Trade Area dan Deindustrialisasi. 2010.

[8] Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia. 2009.

[9] Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.

[10] LP3ES. Titik Nadir Deindustrialisasi. 2008

[11] Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia. 2009.

[12] Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.

[13] Artikel: Faisal Basri. Deindustrialisasi Benar-Benar Serius! 2009. http://ekonomi.kompasiana.com.

[14] Henry Etzkowitz. The Triple Helix: University – Industry – Government, Innovation In Action. 2008 (New York: Routledge).