Selasa, 04 Oktober 2011

Evaluasi 2 Tahun SBY – Boediono: Kemiskinan, Salah Siapa?


Evaluasi 2 Tahun  SBY – Boediono:
Kemiskinan, Salah Siapa?

P
ermasalahan kemiskinan menjadi salah satu hal besar yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Negara ini sudah 66 tahun merdeka, namun kemiskinan masih saja tinggi. Berbagai program pengentasan kemiskinan dari dulu hingga sekarang terus menerus dilakukan. Demikian pula dengan dana yang digelontorkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas perekonomian, jumlahnya sekitar Rp95 triliun pada APBN 2011. Namun tetap saja hal ini dinilai belum efektif. Pemerintah gagal dalam mengentaskan kemiskinan secara optimal.

BPS (Badan Pusat Statistik) melansir bahwa pada tahun 2010 sebanyak 31.023.400 jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13.33%). Hal baiknya adalah jumlah ini menurun dibandingkan 2009 yang mencapai 32.530.000 jiwa (14.15%). Namun hal buruknya justru terletak pada aspek fundamental, yaitu perbedaan indikator kemiskinan.

World Bank melansir bahwa seseorang dikatakan miskin ketika tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori standar untuk tubuhnya (2000 – 2500 kalori per hari), dimana jika dikonversi ke dalam dolar, dibutuhkan minimal $1 per hari  atau $30 per bulan (sekitar Rp270.000,00). Namun, BPS menggunakan indikator lebih rendah, yaitu Rp211.726,00 per kapita per bulan. Belum lagi masalah perhitungan lain, dimana seseorang yang telah bekerja sudah tidak dianggap miskin. Padahal, bekerja bukan jaminan semua kebutuhannya terpenuhi. Walaupun pemerintah sudah menentukan batas-batas Upah Minimum Regional (UMR), namun nyatanya masih banyak pelanggaran yang terjadi, sehingga cacat indikator terjadi apabila semua orang yang bekerja dianggap bebas dari kemiskinan. Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa jumlah penduduk miskin jauh lebih besar dari data-data tersebut.

Tidak hanya itu masalahnya. Menurut teori ekonomi, indikator $30 per hari nilainya semakin hari semakin turun untuk mendapatkan 2000 – 2500 kalori dikarenakan faktor inflasi. Sehingga kita tidak bisa serta merta menggunakan indikator $30 per hari ini sepanjang waktu. Harus ada evaluasi dan perubahan terhadap indikator kemiskinan.

Inilah permasalahan awal dalam memahami kemiskinan. Bahwa indikator yang cacat sengaja diterapkan untuk mendapatkan citra bahwa kemiskinan menurun tiap tahunnya. Padahal, ini semua hanyalah indikator semu. Seharusnya indikator yang hakiki dari kemiskinan adalah kemampuan tiap individu dalam sebuah negara untuk makan makanan yang bergizi dan layak tiap harinya. Negara dinyatakan gagal apabila masih ada penduduknya, sedikit apapun jumlahnya, yang tidak makan makanan yang bergizi dan layak meskipun pertumbuhan ekonominya dua digit sekalipun.

Tidak Berhubungan

Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bagus dengan tingkat kestabilan perekonomian yang juga baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 6,5% tiap tahunnya, dengan inflasi berkisar 5 – 6% tiap tahunnya. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kita berkisar Rp 6.300 triliun pada tahun 2010 dan diprediksi akan menembus Rp 7.000 triliun di tahun 2011. Pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Indonesia adalah Rp2.252.308,87 per bulan, jumlah yang cukup untuk membeli 20.000 kalori setiap harinya. Sehingga dari indikator ini seharusnya kita mendapat kesimpulan bahwa penduduk Indonesia mendapat kalori yang cukup, tidak ada lagi masalah-masalah kelaparan dan kekurangan gizi yang terjadi.

Namun, indikator hanyalah sekedar indikator makro yang lagi-lagi cacat. Angka-angka yang menggambarkan ‘kehebatan’ ekonomi anggota G-20 ini tidak bisa menjadi kebanggaan. Pasalnya masih ada lebih dari 32 juta masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan kalori 2000 – 2500 per hari. Kita bahkan tidak tahu berapa di antara mereka yang tidak makan dalam satu hari. Sehingga wajar jika kita menjustifikasi bahwa negara ini dan pemerintahnya gagal. Walaupun banyak keberhasilan-keberhasilan lain, namun nyatanya kebutuhan dasar manusia menurut Teori Hierarchy Needs karya Abraham Maslow ini belum terpenuhi.

Dari kondisi yang ada kita belajar bahwa tidak ada hubungan langsung antara indikator-indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, PDB, dan inflasi dengan indikator kemiskinan. Apalagi dengan kondisi kekayaan 14 orang terkaya di Indonesia 2011 menurut majalah Forbes yang jika dijumlahkan, nilainya mencapai Rp290,7 triliun atau setara dengan 22% APBN 2011 dan 4,5% PDB 2010. Sehingga seakan-akan pertumbuhan ekonomi berjalan ke tempat yang tinggi, sementara kemiskinan terus saja semakin parah.

Dengan hitungan matematis, 32 juta rakyat miskin negara ini membutuhkan uang senilai Rp 100,5 triliun untuk menjamin mereka semua makan dalam satu tahun. Bandingkan dengan harta 14 orang terkaya tadi, jumlah ini mampu menjamin makan rakyat miskin hampir 3 tahun. Sehingga dalam 3 tahun ke depan kemiskinan di Indonesia 0%. Namun nyatanya, itulah yang terjadi. Bahwa kesenjangan juga semakin memperparah kondisi kemiskinan di negeri ini. Hak-hak mereka terabaikan, dan lagi-lagi pemerintah gagal menjamin hak mereka.

Kegagalan Program

Jika kita melihat postur APBN kita yang senilai Rp 1.300 triliun, kita dapat melihat sejauh mana efektivitas program pengentasan kemiskinan yang sudah dilakukan pemerintah. Setidaknya, pos-pos anggaran yang besar dari APBN antara lain fungsi untuk peningkatan kualitas dan kuantitas perekonomian sebesar Rp 95,6 triliun, pendidikan Rp 81,98 triliun, dan subsidi energi sebesar Rp 133,806 triliun.

Kita juga melihat program pengentasan kemiskinan yang saat ini popularitasnya sedang naik, yaitu PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Setiap tahunnya, untuk PNPM Mandiri sekitar Rp 9 triliun dialokasikan dari APBN kepada seluruh desa dan kota di Indonesia yang dinilai layak untuk program pengentasan kemiskinan. Untuk KUR, setiap tahunnya dialokasikan sekitar Rp 20 triliun dengan kerja sama dari perbankan untuk menjangkau debitur di daerah-daerah.

Kita juga mengenal program Program Keluarga Harapan (PKH) untuk mengentaskan kemiskinan, yang menyedot uang negara Rp 1,6 triliun per tahunnya. Juga kita mengenal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya sekitar Rp 16,8 triliun tiap tahunnya. Ada juga program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin) yang menyedot anggaran sekitar Rp 15 triliun per tahun, dan beragam program lainnya seperti Jamkesmas yang menyedot dana Rp 5,6 triliun per tahun.

Lagi-lagi mari kita menggunakan pendekatan matematis. Jika kesemua program pengentasan kemiskinan itu dijumlahkan, besarnya mencapai Rp 68 triliun per tahun. Nilai ini seharusnya bisa memangkas penduduk miskin Indonesia sekitar 20.980.000 jiwa per tahun, yaitu dengan terjaminnya makan mereka sebanyak 2000 – 2500 kalori per hari. Namun, sudah sekitar 2 tahun program-program tersebut berjalan, namun pengurangan kemiskinan tiap tahunnya hanya sekitar 1.500.000 orang saja. Artinya, program-program yang dirancang sedemikian rupa gagal untuk mengentaskan kemiskinan.

Tidak hanya itu, dari segi kualitasnya, program tersebut juga sangat tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Kita dapat mengambil contoh seperti PNPM yang kebanyakan alokasi anggarannya digunakan untuk perbaikan dan atau pembangunan infrastruktur pedesaan dan kota. Sehingga wajar jika penduduk yang terbebas dari jerat kemiskinan sangatlah sedikit. Ambil contoh lain adalah program BOS yang sering diberitakan terjadi banyak penyelewengan. Dana BOS hanya berdampak pada murah dan atau gratisnya sekolah, namun tidak berarti buku LKS, seragam, ataupun biaya naik angkot dari rumah ke sekolah juga gratis. Darimana rakyat miskin dapat memperoleh kekuatan untuk mengeluarkan biaya-biaya yang dibebankan tersebut jika program yang ada tidak efektif.

Kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan lewat program-program dan politik anggarannya seharusnya menjadi perhatian penting SBY dan Boediono sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam 2 tahun ini. Bahkan terlebih lagi, SBY yang sudah memimpin lebih dari separuh usia reformasi negeri ini harus bertanggung jawab penuh atas kegagalannya mengentaskan kemiskinan secara optimal. Harus ada evaluasi program dan penemuan langkah-langkah yang lebih efektif untuk memberantas kemiskinan yang masih menjadi musuh bangsa ini. Jangan sampai ada hak-hak rakyat yang terabaikan lagi. Jangan sampai ada rakyat yang kelaparan ataupun mengalami gizi buruk lagi.

Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan pengelolaan negara ini. Namun biar bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti kita semua harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini, karena mengatakan yang benar adalah kesetiaan yang tulus. Semoga tenaga kita untuk mengevaluasi SBY tetap terjaga dan memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kebaikan bangsa ini. Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan!

Penulis adalah mahasiswa Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB

Opini ini dimuat pada Pikiran Rakyat hari Kamis, 6 Oktober 2011

***

Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
ramadhani.pratama@ymail.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com