Jumat, 25 November 2011

Titik Semu Perekonomian Indonesia


Titik Semu Perekonomian Indonesia

B
aru-baru ini isu mengenai krisis ekonomi Eropa kembali menghiasi media kita. Negara-negara seperti Yunani dan Italia adalah dua negara terparah yang sedang dilanda krisis. Sontak pertemuan G20  diadakan untuk membahas permasalahan ini dan mencari solusi agar negara yang dilanda krisis dapat tetap selamat dan krisis ini tidak merambat ke negara lainnya. Pertemuan itu diadakan di Prancis pada 3 - 4 November lalu. Dua hari sebelum itu, tanggal 2 November, dalam pertemuan UNESCO SBY memberikan pidato terkait pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis moneter dan kepercayaan diri yang dibangun untuk menghadapi krisis 1998 lalu.

Benar adanya, kala itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di nilai minus, yaitu -13%. Kurs rupiah terhadap dollar anjlok hingga mencapai titik terendah sekitar Rp 18.000,00 per dollar AS. Krisis kepercayaan terjadi di mana-mana, ketakutan menyebar di masyarakat, sehingga akhirnya menimbulkan gejolak. Namun, pasca Soeharto mengundurkan diri pada 20 Mei 1998, semua kegelisahan tersebut seakan hilang. Selanjutnya, harapan masyarakat akan pemerintahan yang adil dan demokratis dalam bidang ekonomi dan sosial semakin meningkat. Sehingga saat itu masyarakat menaruh harapan besar pada B.J. Habibie dan proses reformasi pemerintahan untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi dan perlahan kepercayaan diri itu meningkat.  

Saat ini, kita boleh sedikit berbangga dengan capaian pembangunan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kita pasca reformasi berada di nilai plus tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahunnya dari mulai 3%, 4%, 5%, hingga mencapai 6,1% pada tahun 2010. BPS mencatat PDB negara ini mencapai Rp 6.300 triliun (US$ 706,7 miliar) pada 2010 dan diprediksi kuat akan menembus Rp 7.000 triliun (US$ 785.2 miliar) pada tahun 2011. World Bank mencatat GDP per kapita masyarakat Indonesia tahun 2010 ada pada kisaran US$ 2.946 (Rp 26,2 juta), lebih tinggi dari India yang hanya pada kisaran US$ 1.477 (Rp 13,2 juta), hampir setengah GDP per kapita kita. Begitu pula dengan pertumbuhan industri kita. BPS mencatat pertumbuhan industri Indonesia naik pada tahun 2010, mencapai sekitar 4,2% dan untuk tahun 2011 diperkirakan mencapai 6%. Inflasi juga tetap berada pada range yang normal berkisar 6%, dan diprediksi tidak akan menembus angka 5% pada akhir tahun ini.

Namun, baru-baru ini banyak pemberitaan media massa dan juga opini masyarakat terkait dengan melorotnya posisi Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia menurut UNDP bernilai 0.617, dimana walaupun meningkat, namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan peningkatan IPM negara lain. Sehingga secara posisi, peringkat kita menurun. Hal ini menurut Guru Besar FE UI Firmanzah, adalah sebuah kesalahan mengingat hakikat pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusia, dan IPM merupakan salah satu tolak ukurnya. Hal ini menjadi pemantik diskursus mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum, sehingga timbul pertanyaan tentang kualitas angka-angka “hebat” tersebut. Pada akhirnya timbul stigma bahwa “kehebatan” ekonomi Indonesia sesungguhnya adalah semu.

Titik semu

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi argumen mengapa terjadi stigma perekonomian semu Indonesia. Pertama, kondisi bursa efek kita yang mendapat prestasi terbaik se-Asia Pasifik namun kemajuan sektor riil kita tidak optimal. Kedua, PDB yang tinggi namun rendah dalam pemerataan. Ketiga, anggaran yang semakin tinggi dan diiringi angka kemiskinan yang juga tinggi. Keempat, pengembangan ekonomi kreatif namun terjadi pembiaran perampasan aset negara.

 Pada akhir 2010 kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat kinerja terbaik se-Asia Pasifik. Indeks saham pada akhir perdagangan 2010 ditutup pada 3.703,51 poin atau menguat sebesar 46,13% dibandingkan penutupan akhir 2009 yang berada di posisi 2.534,36. Pencapaian ini adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia. Sehingga wajar ketika waktu itu SBY memberikan apresiasi dengan menghadiri proses penutupannya. Dengan jumlah emiten yang mencapai lebih dari 400, pasar modal kita berhasil meraih pencapaian tersebut. Tidak hanya itu, menurut Bapepam-LK selama ini kontribusi pasar modal Indonesia dalam PDB mencapai 35%.

Namun sejatinya pencapaian tersebut adalah sebuah hal yang semu. Meskipun pasar modal kita terbaik se-Asia Pasifik, nyatanya kondisi sektor riil kita terutama perindustrian, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Jika kontribusi pasar modal dalam PDB mencapai 35%, peran industri manufaktur negeri ini hanya sekitar 23%. Hal ini masih jauh jika dibandingkan dengan negara Asia Pasifik lainnya. Singapura yang negaranya tidak lebih besar dari luas Jabodetabek dapat membawa industri manufaktur, terutama biomediknya, menyumbang sekitar 28% PDB negara tersebut. Lain lagi dengan Malaysia yang berhasil meningkatkan peran industri manufakturnya menjadi 26% PDB. Untuk tataran Asia Tenggara saja kita masih kalah dibandingkan Singapura dan Malaysia, belum jika dalam tataran Asia Pasifik. Hal ini membuat pemerintah seharusnya malu karena sektor industri yang seharusnya menjadi motor perekonomian dan juga basis yang kuat bagi perekonomian berada dalam kondisi lemah. Sebaliknya, sektor keuangan yang rapuh dan rentan terjangan krisis malah menjadi andalan perekonomian negeri ini. Pemerintah gagal menciptakan kekuatan sektor riil, terutama manufaktur.

PDB Indonesia digadang-gadang akan menembus Rp 7.000 triliun pada tahun 2011, yang meningkatkan posisi Indonesia menjadi sekitar 15 besar perekonomian dunia, mengalahkan Turki dan Belanda. Namun sejatinya, hal ini juga semu. Pasalnya menurut BPS pulau Jawa menyumbang sekitar 58% PDB nasional pada tahun 2010, dan masih berkisar di angka tersebut hingga triwulan III tahun 2011 ini. Sementara, berada pada urutan kedua yaitu Sumatera dengan sumbangan sekitar 23%, Kalimantan 9,5%, Sulawesi 4,6%, Bali-Nusa Tenggara 2,6%, dan sisanya Maluku-Papua sebesar 2%. Maka wajar jika seringkali rakyat Papua bergejolak, dikarenakan mereka hanya menikmati tidak lebih dari 2% pendapatan nasional. tidak hanya itu, dari segi peringkat kemiskinan, dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32 dan 33) dari 33 provinsi di Indonesia. Tentunya hal ini merupakan sebuah prestasi ekonomi yang hakikatnya semu, karena pemerintah gagal menciptakan pemerataan ekonomi.

Titik semu berikutnya ada pada anggaran kita yang semakin tinggi, dengan pengentasan kemiskinan yang minim prestasi. APBN kita pada 2011 sudah menyentuh angka Rp 1.229 triliun dan pada 2012 menyentuh angka Rp 1.435 triliun. Sejatinya, anggaran tersebut haruslah kembali kepada rakyat, dan prioritas pertama dalam anggaran tersebut adalah mengentaskan kemiskinan. Menurut BPS, penduduk miskin negara ini mencapai 32.530.000 jiwa pada 2009 dan 31.023.400 jiwa pada 2010. Jumlah ini belum termasuk kecacatan indikator dimana ada perbedaan antara BPS yang menetapkan garis batas Rp 211.726 per bulan dengan World Bank yang menetapkan US$ 30 (Rp 270.000) per bulan. Juga kecacatan indikator lain seperti anggapan orang yang sudah bekerja bebas dari kemiskinan.

Jika kita melihat, dengan kenaikan anggaran belanja sekitar Rp 100 triliun per tahun, pemerintah hanya bisa mengentaskan kemiskinan sekitar 1,5 juta jiwa per tahun. Fakta yang membuat hal ini semakin mencengangkan adalah bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mencapai 4 juta jiwa. Artinya, bila tidak ada terobosan berarti, potensi kemiskinan di Indonesia semakin besar, karena jumlah yang dipangkas jauh lebih kecil ketimbang pertumbuhan jumlah penduduk itu sendiri. Hakikat perekonomian selanjutnya adalah pengentasan kemiskinan, dan lagi-lagi pemerintah gagal memenuhinya.

Titik semu yang terakhir berkaitan dengan pengembangan aset manusia lewat ekonomi kreatif, namun pembiaran perampasan aset alam Indonesia. Sejak dicanangkan pada sekitar tahun 2006, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia semakin ditingkatkan dengan dirombaknya Kementerian Budaya dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 ini. Menurut Kementerian Perdagangan, selama ini ekonomi kreatif yang terdiri dari 14 subsektor menyumbang rata-rata 6,3 % PDB tiap tahunnya, dengan nilai yang dihasilkan rata-rata Rp 104,6 miliar per tahun. Pemerintah bagus dalam menangkap peluang ini di masyarakat, sehingga jumlah yang dihasilkanpun tidak sedikit.

Namun hal ini bertolak belakang dengan usaha pengembangan aset yang lainnya dari negara ini. Hal ini berkaitan dengan renegosiasi kontrak pertambangan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Bayangkan, dari rentang 2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6 triliun dari PT Freeport Indonesia (PT FI). Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan di buminya sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun. Bandingkan dengan total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang mencapai Rp 260 triliun. Pada tahun 2010 PT FI berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42 triliun dan menjual emas senilai Rp 20,59 triliun. Sementara itu pada tahun yang sama, Pendapatan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai Rp 9,7 triliun. Sebagai contoh lagi, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang jelas-jelas milik negara dikenakan royalti untuk produksi emas sebesar 3,7% dan untuk produksi nikel sebesar 4 – 5%. Bandingkan dengan PT FI yang hanya dikenakan 1 – 3%. Ini baru perkara PT FI, belum lagi mengenai 34 perusahaan tambang lainnya dan juga di sektor migas. Hakikatnya, negara ini belum berkuasa atas tanah dan kekayaannya sendiri, malah justru menjadi pihak yang dirugikan. Pemerintah gagal mempertahankan kekayaan negara dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat.

Hebatkah ekonomi kita?

Dari empat titik semu seharusnya kita dapat menemukan jawaban terkait dengan kualitas perekonomian Indonesia, yang juga dinilai dari indikator kualitatif, dan tidak hanya kuantitatif. Masihkah pemerintah berbangga dengan pencapaian mereka dengan angka-angka yang diagung-agungkan dan status menjadi anggota G20 yang sejatinya rakyat sendiri belum merasakan kehebatan ekonomi Indonesia.

Hakikat dari perekonomian ada pada empat hal: pengentasan kemiskinan, pemerataan ekonomi, berbasis sektor riil, dan pengelolaan aset negara yang baik. Jika ada prestasi di luar indikator tersebut, kita bisa mengambil justifikasi bahwa prestasi tersebut hakikatnya adalah semu. Pemerintah lagi-lagi gagal untuk menciptakan perekonomian yang berkualitas. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Semoga pemerintah kembali berfokus pada hakikat ekonomi dan membuat terobosan-terobosan baru dalam programnya dan juga politik anggarannya. Jangan sampai rakyat dibodoh-bodohi lagi dengan banyaknya klaim dan iming-iming yang sejatinya tidak mereka rasakan. Semoga kesejahteraan rakyat menjadi semangat pembangunan ekonomi kita kedepannya.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB

***

Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
dhani_aja_lah@yahoo.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com

Rabu, 16 November 2011

Mengusahakan Renegosiasi, Mengusahakan Kedaulatan dan Harga Diri

Mengusahakan Renegosiasi,
Mengusahakan Kedaulatan dan Harga Diri
                                                       
B
elakangan ini isu mengenai mogoknya pekerja PT Freeport Indonesia kembali terjadi dan mengemuka di masyarakat. Seakan beriringan, terjadi juga konflik di Papua yang sempat menewaskan anggota kepolisian RI. Beberapa pengamat mengaitkan isu ini kepada banyak hal, seperti UU Otonomi Khusus untuk Papua, isu kesenjangan kesejahteraan, hingga isu renegosiasi kontrak pertambangan dengan PT Freeport Indonesia.

Topik yang akan kita jadikan diskursus adalah mengenai renegosiasi kontrak pertambangan. Saat ini pemerintah sedang gencar mengusahakan untuk memenuhi amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang juga berkaitan dengan PT Freeport Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, PT Freeport Indonesia sudah beroperasi sejak tahun 1967 berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967. Freeport memperoleh hak ‘mengambil’ harta kekayaan bumi Indonesia selama 30 tahun, dan pada 1991 berhasil memperoleh izin memperpanjang kontrak hingga tahun 2021. Belum lagi kontraktor lain seperti Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Minerals, dan lainnya yang juga mempunyai hak untuk ‘mengambil’ kekayaan bumi Indonesia. Itu berarti, selama kurang lebih 50 tahun pemerintah membiarkan hal tersebut, dan yang lebih parahnya lagi, melanggar UUD 1945 Pasal 33 (3) yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

Dengan redaksi di atas kita dapat mengambil kesimpulan yang tegas dan jelas, dan seharusnya tidak ada lagi celah multi tafsir terhadap pasal tersebut. Dimensi ‘dikuasai’ mempunyai makna jauh lebih berhak daripada kata ‘memiliki’. Hal ini menandakan kepemilikan seluruh suber daya alam tanpa kecuali adalah kepemilikan publik, bukan kepemilikan privat, dan negara adalah representasi kepemilikan publik tersebut. Tujuannya jelas, yaitu ‘sebesar besar kemakmuran rakyat’. Jadi, mendapatkan hasil yang maksimal dari pengelolaan kekayaan bumi negara ini merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia. Perhatikan frase ‘sebesar besar’, yang bermakna nilai maksimal.     

Bukan hanya untuk pendapatan negara

Menurut UU Minerba, ketentuan peralihan dikenakan aturan yang sama dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Ketentuan ini mencakup beberapa persyaratan. Namun beberapa hal yang sering disoroti terkait dengan luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak dan royalti), kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Semua itu seharusnya diselesaikan paling lambat satu tahun sejak UU ini diberlakukan tanggal 12 Januari 2009, yaitu tanggal 14 Januari 2010. Namun hingga sekarang, pemerintah mengklaim baru 65% perusahaan yang setuju penuh dan setuju sebagian atas semua persyaratan yang ada. Sisanya sebanyak 5 perusahaan menolak poin-poin renegosiasi ini.

Salah satu dari perusahaan yang menolak dan mempunyai kontribusi besar dalam ‘perampasan’ harta negara adalah PT Freeport Indonesia, yang memang bagian dari Freeport McMoran di Amerika. Poin yang harus diusahakan oleh pemerintah dalam renegosiasi ini adalah agar hak konstitusional rakyat untuk mendapat manfaat ‘maksimal’ dapat terlaksana. Saat ini, royalti yang dibayarkan PT FI kepada negara ini hanya berkisar 1 – 3 persen dari pemasukannya. Detailnya adalah 1 persen untuk emas, 1 persen untuk perak, dan 1,5 untuk tembaga. Padahal di suatu sisi, kita melihat ironi bahwa PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang sudah jelas-jelas milik negara saja dikenakan kewajiban royalti 3,7 persen untuk produksi emas, dan 4 – 5 persen untuk nikel. Tidak hanya itu, menurut IRESS, royalti yang diterapkan sekarang masih berada di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan royalti perusahaan pertambangan pada negara lain. Contohnya adalah di tiga negara bagian Kanada yang mencapai 20 persen; Argentina, Cile, Venezuela, Azerbaijan, dan Ghana masing-masing 3 persen; Angola, Botswana, dan Uzbekistan 5 persen.

Dalam rentang 2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6 triliun dari PT FI. Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan di buminya dari emas Papua sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun. Bandingkan dengan total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang mencapai Rp 260 triliun. Menurut Laporan Keuangan PT FI, pada tahun 2010 PT FI berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42 triliun dan menjual emas senilai Rp 20,59 triliun. Sementara itu pada tahun yang sama, Pendapatan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai Rp 9,7 triliun. Hal ini menandakan bahwa negara telah kehilangan potensi (potential lost) keuntungan sebesar Rp 60,01 triliun per tahun dari PT FI.

Persoalan kontrak karya PT FI ini bukan hanya masalah untung rugi pendapatan negara, namun lebih dari itu. Persoalan ini juga menyangkut manfaat yang diberikan PT FI terhadap masyarakat Papua pada umumnya, atau ‘pengembalian’ uang yang diperoleh negara dari PT FI kepada masyarakat Papua pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Hingga detik ini, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mencatat bahwa PT FI masih belum memberikan kesejahteraan bagi ribuan pekerja dan kondisi masyarakat setempat. Menurut IHCS, sekitar 83,3 persen rumah tangga di Papua masih diselimuti kemiskinan. Tidak hanya itu, dalam peringkat kemiskinan, dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32 dan 33) dari 33 provinsi di Indonesia. Itu artinya, keberadaan PT FI tidak membawa dampak berarti bagi masyarakat Papua.

Bagaimana dengan peran pemerintah dengan dana yang diterima dari PT FI? Menurut Laporan Kontrak Karya kedua antara pemerintah dan PT FI yang berlaku sejak Desember 1991 sampai sekarang, kontribusi PT FI kepada Pemerintah Republik Indonesia mencapai sekitar US$ 12 miliar (pajak, deviden, dan royalti). Itu artinya, selama 20 tahun ini PT FI hanya menyumbangkan Rp 106,8 triliun bagi negeri ini. Tahun 2010 lalu, negara menerima Rp 18 triliun dari pajak, royalti, dan dividen PT FI. Sedangkan dari Januari 2011 hingga September 2011, PT FI sudah membayar pajak, royalti, dan dividen kepada negara ini sebesar Rp 19 triliun. Jumlah Rp 18 triliun per tahun ini seharusnya berdampak pada optimalnya pengurangan jumlah penduduk miskin. Untuk menghidupi seorang rakyat miskin dalam satu bulan, diperlukan 60000 – 75000 kalori atau sekitar US$ 30. Dengan kurs Rp 8.900 per dollar, dibutuhkan uang Rp 267.000,00 untuk menjamin seorang miskin makan dengan standar layak dalam satu bulan. Jika jumlah ini dikalikan dengan 12 bulan, maka dibutuhkan Rp 3.204.000,00 untuk menjaminnya. Uang senilai Rp 18 triliun tersebut harusnya dapat menjamin makan 5.617.978 jiwa penduduk miskin. Namun nyatanya, pengurangan kemiskinan di Indonesia hanya bisa mentok sampai angka 1.500.000 per tahun. Belum lagi dengan anggaran pengentasan kemiskinan yang tiap tahunnya berjumlah sekitar Rp 60 triliun. Lagi-lagi, kehadiran PT FI tidak membawa dampak signifikan pada perbaikan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sangat jauh dari cita-cita konstitusi. Sayangnya, pemerintah yang seharusnya mengetahui hal ini seakan tidak menemukan mudharat adanya PT FI dan besaran pajak, royalti, serta dividen yang dibayarkannya.

Apalah gunanya idiom-idom bijak yang sudah menjadi warisan turun temurun bangsa ini, dimana sesuatu yang mudharat-nya lebih besar ketimbang manfaatnya, maka dengan segera ia harus ditinggalkan. Dimana pemerintah yang seharusnya menaungi rakyat? Dimana pemerintah yang seharusnya menjamin perwujudan hak konstitusional warganya? Bahkan untuk sekedar tegas dalam memilih antara perkara yang dominan mudharat dan dominan manfaat saja tidak bisa.

Tidak hanya sekedar renegosiasi

Pada dasarnya renegosiasi tidak akan menyelesaikan masalah, jika memang definisi masalahnya adalah terciptanya gap antara cita-cita pada Pasal 33 (3) UUD 1945 dengan realitas yang terjadi di lapangan. Selama ini persentase sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB berkisar 11%. Pada tahun 2010, nilai ini berada pada angka Rp 705,6 triliun. Sebagaimana kita ketahui dalam teori ekonomi, nilai PDB menggambarkan besarnya nilai produksi barang dan jasa dalam satu tahun, jika dikonversi ke dalam harga yang berlaku di pasar. Itu artinya, nilai produksi yang dihasilkan dari sektor pertambangan dan penggalian, terlepas dari milik perusahaan asing atau nasional, yaitu sebesar Rp 705,6 triliun.

Penerimaan negara dari pajak pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 850,3 triliun. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA migas dan non-migas adalah sekitar Rp 169,4 triliun. Dengan perhitungan yang sederhana, jika semua kontrak baik itu migas ataupun nonmigas yang dikuasai asing kita nasionalisasi dan diberikan kepada BUMN seperti Pertamina dan Antam, maka PDB dari sektor penggalian dan pertambangan yang berkisar Rp 705,6 triliun per tahun tersebut mayoritas akan berputar kembali di masyarakat Indonesia, dan menjadi kekayaan kita sepenuhnya. Meskipun dengan skenario pengandaian ini, mungkin PNBP dari SDA migas dan non-migas tidak akan sebesar jumlah saat ini. Namun dengan skenario itu, uang yang diputar kembali kepada masyarakat bisa mencapai minimal Rp 2.000 triliun. Jumlah ini didapat dari besaran APBN ditambah Rp 705,6 triliun dari GDP pertambangan.

Hal penting dari perhitungan sederhana di atas bukan pada nilainya, akan tetapi gambaran akan seberapa berharganya sebuah kedaulatan. Dari aspek materi saja, kita dapat memperkirakan dampak signifikan dari keuntungan kita apabila seluruh aset kekayaan bumi kita kita kuasai sepenuhnya, dan tentu tantangannya adalah bagaimana kesemua itu dikembalikan kepada rakyat untuk menciptakan kemakmuran bagi mereka. Dari segi sosiologisnya, kita dapat menciptakan ketenangan hati masyarakat dengan bagi hasil yang adil dan merata. Dari sisi teknologi, kita juga dapat belajar dan berjuang keras untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia kita agar apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita dapat termanfaatkan dengan optimal. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, kita juga dapat sepenuhnya mengatur konsumsi kekayaan bumi kita dan mewariskannya kepada generasi penerus kita, dan manfaat-manfaat lainnya.

Sepatutnya, hal yang dilakukan pemerintah tidak hanya sekedar renegosiasi. Namun lebih dari itu, adalah meningkatkan kedaulatan dan harga diri kita atas kekayaan yang merupakan hak rakyat kita sendiri. Semisal dengan peningkatan royalti yang signifikan, atau penguasaan sebagian besar saham, atau dengan mempercepat masa kontrak dan menyiapkan BUMN untuk dapat mengelolanya saat waktu kontrak telah habis. Sudah cukup rakyat Indonesia kenyang dengan perampasan apa-apa yang termasuk hak mereka.

Kembali ke UUD 1945

Diskursus ini pada akhirnya berujung pada political will institusi pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memenuhi hak konstitusional rakyat yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 (3). Sebuah cita-cita yang mulia, untuk memanfaatkan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan menjadi sebuah potensi untuk mencapai kemakmuran. Tidak boleh lagi ada kesengajaan dalam menafsirkan pasal ini.

Adalah sebuah kewajaran jika konflik seperti yang terjadi di Papua kembali berulang setiap tahunnya, selama ‘ikatan’ yang mengikat kita sebagai sebuah negara-bangsa tidak dapat mencengkeram dengan kuat. Ikatan itu ialah konsensus yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh. Selama pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat terabaikan, jangan heran jika kecintaan dan harapan rakyat pada konstitusi tersebut dan pada pihak yang bertanggung jawab dalam menjamin pemenuhannya semakin memudar. Pihak yang bertanggung jawab tersebut adalah pemerintah.

Jumat, 11 November 2011

Menyingkap Makna di Balik Nyanyian Presiden


Menyingkap Makna di Balik Nyanyian Presiden


M
anusia adalah makhluk Tuhan yang dibekali akal, jiwa, dan raga. Akal digunakan untuk memahami, berpikir, dan melakukan sintesis atas gajala dan informasi yang dirasakan oleh raganya. Sementara jiwa, merupakan entitas yang juga digunakan untuk mengolah, namun dengan cara memahami, merasa, dan merespon gejala-gejala yang dirasa oleh raga, menjadi sebuah perasaan jiwa. Perasaan ini bermacam-macam, ada yang bersifat bahagia, sedih, gelisah, ataupun marah.

Perasaan manusia yang bermacam-macam ini dapat diungkapkan dalam berbagai macam cara. Salah satunya adalah lewat nyanyian. Mungkin itulah yang dilakukan oleh Presiden SBY dengan meluncurkan album keempatnya yang berjudul Harmoni. Beliau mencoba mengutarakan isi hatinya lewat nyanyian, yang dirangkum dalam album tersebut. Hal ini dibenarkan oleh kata-kata Menteri ESDM Jero Wacik, yang menyebutkan bahwa album ini adalah ungkapan perasaan SBY berupa harapan terhadap kondisi bangsa ini.

Boleh dibilang, album ini adalah ungkapan perasaan kesekian kali dari SBY kepada publik. Sebelumnya SBY sering mengungkapkan isi hatinya kepada publik. Hal ini di masyarakat biasa disebut curhat. Belum lepas dari ingatan kita curhatan-curhatan SBY, di antaranya yaitu mengenai uang negara yang dirampok, gaji presiden yang tidak naik-naik, isu kasus Nazaruddin, isu wikileaks, dan lainnya. Kali ini, boleh jadi hal-hal yang menjadi curhatan SBY berkaitan dengan gejolak di Papua, kisruh di internal koalisi, isu penurunan citra dan semakin banyak masyarakat yang tidak simpati kepadanya, atau isu lainnya yang sempat mengganggu “keharmonisan” keberjalanan pengelolaan negara ini. Lantas pertanyaan timbul mengenai hal ini. Mengapa SBY sampai membuat album dan menyebarkannya pada masyarakat?

Krisis Kepemimpinan

Kita sama-sama mengetahui bahwa dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu jilid II tidak ada lembaga atau badan penampung curhatan presiden. Mungkin kita mengenal adanya staff khusus presiden. Namun entitas ini berfungsi untuk membantu kinerja pribadi dalam rangka menjalankan tugas kepresidenan. Kita juga mengenal adanya dewan pertimbangan presiden (wantimpres). Namun lagi-lagi, entitas ini bukan berfungsi sebagai tempat menampung curhatan presiden, namun lebih kepada pemberi pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan. Adapun, tempat yang resmi untuk curhat bagi presiden adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, tiada lain adalah menteri-menterinya dan beberapa lembaga di bawahnya. Entitas-entitas itulah yang selayaknya dijadikan tempat mengeluh. Mengeluh akan kinerja pemerintahan yang tidak optimal dalam mencapai capaian-capaian yang diharapakan masyarakat, mengeluh akan kondisi bangsa yang semakin hari semakin kompleks masalahnya, dan sebagainya.

Namun, pada akhirnya peluncuran album ini perlahan-lahan menguatkan tabir yang sudah terbuka sebelumnya. Tabir tersebut adalah krisis kepemimpinan SBY sendiri. Menteri-menteri dan para pembantu di bawah SBY yang seharusnya bisa menjadi tempat yang tepat untuk curhat namun nyatanya tidak bisa terwujud. SBY malah menggunakan media lain untuk curhat dan menyebarkannya ke publik. Tidak ada kesimpulan yang bisa dijustifikasi selain daripada SBY sendiri yang tidak nyaman dengan menteri-menterinya, sehingga tidak memilih mereka untuk tempat curhat. Tentunya, ketidaknyamanan ini terjadi lantaran tidak patuhnya menteri-menteri tersebut dengan instruksi dan arahan presiden. Harapan dan ekspektasi SBY yang tidak terpenuhi terhadap menteri-menteri dan pembantunya membawa hasil pada ketidakpuasan SBY sendiri.

Dalam ilmu psikologi, dikenal teori hierarchy needs karya Abraham Maslow. Dalam teori itu dikemukakan bahwa kebutuhan manusia jika diurutkan dari yang paling dasar hingga paling atas adalah kebutuhan dasar itu sendiri, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan keindahan dan kesenangan, kebutuhan aktualisasi diri, dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk turut membahagiakan orang lain.

Rasanya tidak tepat jika kita menganggap SBY mengalami masalah pada kebutuhan dasar. Meskipun gaji presiden tidak naik-naik selama tujuh tahun. Tidak tepat juga jika SBY mengalami masalah pemenuhan kebutuhan keamanan. Meskipun ada kasus Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) kecolongan, yang terakhir oleh pedagang kebun. Tidak juga tepat jika kita menganggap SBY bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan hubungan sosial. Meskipun terkadang partai-partai politik anggota koalisi bandel. Tidak juga tepat jika kita menganggap SBY mengalami masalah pada pemenuhan kebutuhan keindahan dan kesenangan. Baru-baru ini SBY dan Ibu Negara berlibur di sela-sela agenda kerja di sebuah pantai di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Bisa jadi hal yang bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan SBY adalah pada kebutuhan mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia. Kita dapat mengambil contoh pada beberapa kasus. Pertama, pada pelaksanaan instruksi-instruksi presiden soal mafia pajak. Kedua, semakin banyaknya tekanan masyarakat akan kepemimpinannya beberapa bulan terakhir ini. Ketiga, banyaknya gejolak pada internal kabinet sendiri, yang ditandai dengan tidak patuhnya menteri-menteri atas kepemimpinannya.

Belum hilang ingatan kita pada ramainya perbincangan bahwa sebanyak 12 instruksi presiden mengenai pemberantasan mafia pajak tidak dilaksanakan. Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, gagalnya implementasi Inpres ini dikarenakan dua hal. Pertama, kemauan aparat di bawah presiden untuk menyelesaikannya. Kedua, kemampuan presiden untuk mengontrol bawahannya. Sehingga, semua kembali lagi pada kualitas kepemimpinan dan ketegasan presiden. Dalam hal ini, SBY gagal mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.

Selanjutnya, mengenai banyaknya tekanan dari masyarakat beberapa bulan terakhir terhadap kepemimpinannya. Belum surut ingatan kita di bulan Oktober kemarin banyak sekali opini-opini yang disampaikan. Beberapa mengatakan SBY gagal memenuhi hak-hak rakyat, SBY gagal memberikan manfaat sebagai seorang presiden, bahkan ada yang sampai menuntut SBY dan Boediono mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak hanya itu, survei-survei ilmiah dari beberapa lembaga survei juga menguatkan bahwa citra SBY menurun drastis. Hal ini, suka tidak suka menambah kuat hipotesis kita bahwa SBY gagal mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.

Ketiga, mengenai isu reshuffle yang kemarin juga sempat menghangat. Menghangat juga dikarenakan pengangkatan wakil-wakil menteri pada beberapa pos kementerian. Penunjukan wakil menteri ini juga turut memicu opini masyarakat. Beragam opini muncul, seperti pemborosan anggaran negara, melanggar undang-undang, dan tidak beresnya kinerja menteri yang berarti tidak puasnya SBY terhadap curhatannya karena tidak terlasana. Sementara, menteri-menteri tersebut tidak bisa dengan mudah diganti karena banyaknya kepentingan politik yang menaungi, entah dari partai politik, ataupun dari pihak-pihak lain baik dalam dan luar negeri. Hal ini menambah kegagalan aktualisasi diri SBY sebagai Presiden Republik Indonesia yang sah.

Kepentingan Konstituen

Sadar atau tidak sadar, kegagalan SBY dalam mengaktualisasikan diri sebagai Presiden Republik Indonesia disebabkan karena tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Konstituen di sini bisa dari berbagai kalangan, baik parpol, pengusaha, politisi lain, atau kelompok-kelompok penguasa lainnya yang berada di balik layar. Sebagai akibatnya, wajar jika masyarakat banyak menekan SBY pada beberapa bulan terakhir, terutama bulan Oktober ini. Masyarakat merasa SBY tidak memenuhi kepentingan-kepentingan mereka. Bahkan, untuk kebutuhan dasar saja SBY masih gagal dalam memenuhinya. Masih ada sekitar 32 juta masyarakat Indonesia yang hanya mendapat penghasilan di bawah satu dolar per hari.

Tidak kuatnya figur seorang presiden di kabinet juga merupakan akibat tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Sehingga SBY tidak berani bertindak tegas, misalnya untuk mengganti menteri-menteri yang mempunyai kinerja buruk, bukan malah memilih wakil menteri untuk “menambal” kecacatan ini.

Isu mengenai gagalnya pemberlakuan 12 instruksi presiden, ataupun banyaknya perampokan uang negara dan lemahnya penegakan hukum yang dikeluhkan presiden juga menyiratkan adanya kepentingan konstituen yang bermain di balik bayang-bayang besar presiden SBY. Sehingga, analoginya SBY tidak bisa bergerak atau bergeser sedikitpun agar konstituen yang ada di balik bayang-bayang SBY tetap dapat melancarkan kepentingannya tanpa diketahui banyak pihak.

Mungkin itulah makna yang dapat kita tarik di balik nyanyian SBY kali ini dalam album yang berjudul Harmoni. Semoga dalam sisa waktu yang ada SBY dapat mentransformasikan curhatan mengenai makna harmoni tersebut dari yang tadinya harmoni konstituen menjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat. SBY harus tegas dan kembali menegaskan kepemimpinannya dan dapat mengaktualisasikan dengan baik, sehingga menteri dan pembantu-pembantunya dapat kembali bekerja secara maksimal dan kepercayaan rakyatpun dapat kembali diperoleh. Tidak takut mengambil langkah tegas dan beresiko asalkan semuanya bertujuan untuk membela kepentingan rakyat.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB

Inkonstitusional(isasi) Pengelolaan Pendidikan Tinggi


Inkonstitusional(isasi) Pengelolaan Pendidikan Tinggi


D
ewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI khususnya Komisi X saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Panitia Kerja (Panja) RUU PT menargetkan undang-undang ini disahkan pada Desember 2011. Sehingga dengan berlakunya RUU ini, kekosongan payung hukum bagi pengelolaan pendidikan tinggi pasca dibatalkannya UU Nomor 9 Tahun 2009 (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 dapat tertutupi. Saat ini, pembahasan RUU PT sudah dilakukan sampai pada pasal per pasal. Panja RUU PT juga sudah mengundang beberapa stakeholder untuk rapat dengar pendapat dan menerima masukan-masukan, termasuk dari kalangan mahasiswa. Hasil pembahasan paling baru yang dipublikasikan adalah RUU PT versi 27 September 2011. Banyak kalangan menilai RUU PT ini akan menyerupai UU BHP, yaitu adanya usaha meliberalisasi pendidikan tinggi.

Kita dapat belajar dari pengalaman pembatalan UU BHP oleh MK tahun 2010 lalu, dimana banyak pasal-pasal dalam undang-undang tersebut bersifat inkonstitusional. Rujukan masyarakat yang memohon uji materi jelas, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945. Sehingga, pasal-pasal yang bermasalah dalam UU BHP ini terkait dengan tanggung jawab pendanaan pendidikan, diskriminasi pendidikan, dan komersialisasi.

Namun, jika kita membaca RUU PT ini, harapan akan terwujudnya pengelolaan pendidikan yang benar-benar memenuhi hak-hak rakyat yang dijamin oleh UUD 1945 akan sirna. Hal ini dikarenakan banyak pasal-pasal dalam RUU PT yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Melihat hal ini, kita sah-sah saja mengambil salah satu atau lebih dari tiga hipotesis berikut. Pertama, wakil kita di parlemen terutama Panja RUU PT tidak belajar dari kesalahan UU BHP. Kedua, terjadi delegitimasi wakil rakyat di parlemen, sehingga apa yang disuarakan dan diharapkan oleh rakyatnya tidak difasilitasi. Ketiga, adanya inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi.

Rasanya tidak mungkin jika wakil rakyat yang terhormat di parlemen tidak belajar dari kesalahan pada UU BHP yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Sangat mudah menemukan dokumen Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 ini, bahkan di internet sekalipun. Sementara mengenai delegitimasi wakil rakyat, hal ini masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, Panja RUU PT ataupun beberapa fraksi dalam Komisi X sudah sering mengundang stakeholder dalam pendidikan tinggi, seperti pemerintah, rektor, mahasiswa, dan elemen lainnya untuk dimintai aspirasinya. Hipotesis yang paling kuat adalah inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi. Saya memaknai sebutan inkonstitusionalisasi sebagai proses yang sengaja, sadar ataupun tidak sadar, untuk menciptakan kondisi yang tidak sesuai dengan konstitusi.

Aspek Inkonstitusional

Masalah fundamental yang ada pada RUU PT ini terkait pada beberapa aspek. Pertama, aspek pendanaan. Kedua, aspek diskriminasi. Ketiga, aspek peran pemerintah. Ketiga aspek ini adalah aspek ideologis dan sudah tertuang dalam bentuk pasal. Tidak hanya itu, pasal-pasal yang bermasalah ini banyak yang mirip dengan UU BHP. Sehingga mungkin wajar ketika banyak kalangan menilai semangat RUU PT sama dengan UU BHP.

Dalam aspek pendanaan dan peran pemerintah, kita dapat melihat pada bagian mengenai hak dan kewajiban mahasiswa. Tertulis bahwa kewajiban mahasiswa salah satunya adalah ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kalimat ini, jika kita amati, menjadi celah awal bagi legalnya pembebanan tanggung jawab pendanaan pemerintah kepada masyarakat. Karena hal ini bersifat wajib, seakan-akan tanggung jawab pemerintah sama dengan masyarakat. Padahal, kita mengetahui bahwa dalam cita-cita bangsa yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, dijabarkan dengan tegas bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam hal ini merujuk kepada pengelola negara, yaitu pihak eksekutif, legislative, bahkan yudikatif. Seharusnya, bagian ini menegaskan bahwa mahasiswa tidak wajib menanggung biaya pendidikan, namun dapat menanggungnya, jika berkenan. Konsep awalnya adalah “tidak menanggung”, kecuali yang “berkenan”.

Serupa, pada bagian pendanaan dan pembiayaan, disebutkan bahwa pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal ini lebih fatal. Hal ini jelas-jelas membebankan tanggung jawab pendanaan yang seharusnya pada pemerintah sebagai pengelola negara, menjadi bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang dibebankan kepada pemerintah sebagai eksekutor institusi negara, sekaligus menyalahi Pasal 31 (3) UUD 1945. Frase pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan berarti bahwa biar bagaimanapun, pemerintahlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas usaha untuk menyelenggarakan pendidikan, sekalipun dana yang ada terbatas. Bagian bermasalah ini juga ada pada bagian lain, seperti kewajiban mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga biaya operasional pendidikan tinggi.

Inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi pada RUU PT juga berkaitan pada aspek yang diskriminatif. UUD 1945 Pasal 29I (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Walaupun pada bagian awal RUU PT ini dijelaskan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, nyatanya masih ada bagian yang mengandung semangat diskriminatif.

Bagian yang mengandung diskriminasi terutama yang berkaitan dengan penerimaan mahasiswa baru dan juga pendanaan. Dalam RUU ini, setiap PTN diwajibkan menyiapkan kuota minimal 20% bagi mahasiswa tidak mampu secara ekonomi namun mempunyai potensi akademik tinggi untuk kuliah di PTN tersebut. Kalimat ini juga diulangi pada bagian pembiayaan dan pengalokasian. Tentunya hal ini jelas menjadi diskriminasi. Hal ini dikarenakan ada segmen calon mahasiswa yang tidak bisa mengakses PTN, yaitu segmen calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga potensi akademiknya biasa-biasa saja. Hal ini harusnya menjadi perhatian para wakil rakyat kita, karena jumlah dari segmen ini sangat banyak. Hal yang perlu ditekankan adalah apabila calon mahasiswa dapat lulus seleksi masuk PTN, dan ia diterima, maka ia dikatakan layak, meskipun belum tentu mempunyai potensi akademik tinggi. Apalagi jika ia tidak mampu secara ekonomi, sehingga masuk ke dalam skema ini.

Hal yang juga perlu ditekankan adalah usaha PTN untuk memenuhi amanat ini. Beberapa pengalaman PTN adalah bahwa dari calon mahasiswa yang mendaftar untuk selanjutnya mengikuti proses seleksi saja sudah terseleksi secara psikologis, sehingga calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi sudah “takut” sejak awal untuk mendaftar PTN, terutama PTN ternama. Sehingga hal ini berakibat pada sedikitnya mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi yang mengenyam kuliah di PTN. Perlu dilakukan usaha lebih dari pemerintah dan pihak PTN untuk “memaksa” agar kuota minimal ini terpenuhi. Pemerintah dan PTN harus proaktif dan “menjemput bola”, meyakinkan agar tidak ada diskriminasi ekonomi dalam PTN. Sehingga calon mahasiswa yang memang tidak mampu secara ekonomi berani untuk mendaftarkan dirinya untuk mengikuti proses seleksi PTN tersebut, apalagi PTN yang favorit.

Hak Dasar Rakyat

Pengelola negara ini (pemerintah dan wakil rakyat) harusnya sadar bahwa konstitusi meletakkan pendidikan sebagai salah satu dari sekian banyak hak dasar rakyat yang mutlak harus diwujudkan. Penanggung jawab perwujudan ini jelas, yaitu institusi negara yang diwakili oleh wakil rakyat dan pemerintah. Miris ketika sejak pembahasan undang-undang saja sudah tidak sesuai amanat konstitusi, yang berarti mengkhianati hak-hak dasar rakyat. Sehingga mungkin wajar jika rakyat skeptis terhadap pengelola negara ini, karena hak-hak rakyat terabaikan.

Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 benar-benar menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar rakyat Indonesia. Pasal 33 (1) menjadi justifikasi kuat hal ini karena di sana ada frase “setiap”. Sehingga jika ada satu orang rakyat sekalipun, yang tidak dapat mengakses pendidikan karena kebijakan para pengelola negara ini, maka negara kita adalah negara gagal. Gagal dalam menunaikan hak rakyatnya.

Khusus untuk pendidikan tinggi, Pasal 33 (3) UUD 1945 menjadi justifikasi yang kuat bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Tidak ada kata-kata yang menjadi justifikasi agar masyarakat bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kecuali jika hal itu dianggap peran ataupun “bantuan” dari masyarakat, namun bukan merupakan tanggung jawab yang berarti kewajiban. Pemerintah jelas harus menjadi pihak yang berusaha, dan bukan beban “bersama” antara pemerintah dan masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 33 (4) UUD 1945, yang selama ini menjadi sorotan publik, yaitu terkait standar minimal 20% APBN dan APBD untuk dialokasikan pada sektor pendidikan. Hal yang perlu ditekankan adalah bukan pada standar minimal 20%, namun pada frase untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga, parameter keberhasilan pengelola negara ini dalam melaksanakan pasal ini adalah bukan pada aspek kuantitatif 20% tersebut, namun pada aspek kualitatif “memenuhi kebutuhan”. Tidak boleh ada pembenaran bahwa dengan mengalokasikan lebih dari 20% APBN dan APBD, lantas pemerintah melepas tanggung jawabnya. Justru yang benar adalah semua kebutuhan penyelanggaraan pendidikan terpenuhi, dari APBN dan APBD kita.

Sebagai kesimpulan, kita harus sama-sama sadar akan hak tiap elemen dalam keberjalanan negara ini. Masyarakat haruslah sadar akan haknya dan berani menuntut pemenuhan haknya kepada elemen lain yang secara legal harus memenuhi hak masyarakat. Begitupun masyarakat, harus juga memenuhi hak-hak pemerintah, yaitu yang sesuai dengan konstitusi kita. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi hak-hak yang terabaikan dalam setiap elemen bangsa.

Penulis Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB