Jumat, 11 November 2011

Inkonstitusional(isasi) Pengelolaan Pendidikan Tinggi


Inkonstitusional(isasi) Pengelolaan Pendidikan Tinggi


D
ewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI khususnya Komisi X saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Panitia Kerja (Panja) RUU PT menargetkan undang-undang ini disahkan pada Desember 2011. Sehingga dengan berlakunya RUU ini, kekosongan payung hukum bagi pengelolaan pendidikan tinggi pasca dibatalkannya UU Nomor 9 Tahun 2009 (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 dapat tertutupi. Saat ini, pembahasan RUU PT sudah dilakukan sampai pada pasal per pasal. Panja RUU PT juga sudah mengundang beberapa stakeholder untuk rapat dengar pendapat dan menerima masukan-masukan, termasuk dari kalangan mahasiswa. Hasil pembahasan paling baru yang dipublikasikan adalah RUU PT versi 27 September 2011. Banyak kalangan menilai RUU PT ini akan menyerupai UU BHP, yaitu adanya usaha meliberalisasi pendidikan tinggi.

Kita dapat belajar dari pengalaman pembatalan UU BHP oleh MK tahun 2010 lalu, dimana banyak pasal-pasal dalam undang-undang tersebut bersifat inkonstitusional. Rujukan masyarakat yang memohon uji materi jelas, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945. Sehingga, pasal-pasal yang bermasalah dalam UU BHP ini terkait dengan tanggung jawab pendanaan pendidikan, diskriminasi pendidikan, dan komersialisasi.

Namun, jika kita membaca RUU PT ini, harapan akan terwujudnya pengelolaan pendidikan yang benar-benar memenuhi hak-hak rakyat yang dijamin oleh UUD 1945 akan sirna. Hal ini dikarenakan banyak pasal-pasal dalam RUU PT yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Melihat hal ini, kita sah-sah saja mengambil salah satu atau lebih dari tiga hipotesis berikut. Pertama, wakil kita di parlemen terutama Panja RUU PT tidak belajar dari kesalahan UU BHP. Kedua, terjadi delegitimasi wakil rakyat di parlemen, sehingga apa yang disuarakan dan diharapkan oleh rakyatnya tidak difasilitasi. Ketiga, adanya inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi.

Rasanya tidak mungkin jika wakil rakyat yang terhormat di parlemen tidak belajar dari kesalahan pada UU BHP yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Sangat mudah menemukan dokumen Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 ini, bahkan di internet sekalipun. Sementara mengenai delegitimasi wakil rakyat, hal ini masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, Panja RUU PT ataupun beberapa fraksi dalam Komisi X sudah sering mengundang stakeholder dalam pendidikan tinggi, seperti pemerintah, rektor, mahasiswa, dan elemen lainnya untuk dimintai aspirasinya. Hipotesis yang paling kuat adalah inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi. Saya memaknai sebutan inkonstitusionalisasi sebagai proses yang sengaja, sadar ataupun tidak sadar, untuk menciptakan kondisi yang tidak sesuai dengan konstitusi.

Aspek Inkonstitusional

Masalah fundamental yang ada pada RUU PT ini terkait pada beberapa aspek. Pertama, aspek pendanaan. Kedua, aspek diskriminasi. Ketiga, aspek peran pemerintah. Ketiga aspek ini adalah aspek ideologis dan sudah tertuang dalam bentuk pasal. Tidak hanya itu, pasal-pasal yang bermasalah ini banyak yang mirip dengan UU BHP. Sehingga mungkin wajar ketika banyak kalangan menilai semangat RUU PT sama dengan UU BHP.

Dalam aspek pendanaan dan peran pemerintah, kita dapat melihat pada bagian mengenai hak dan kewajiban mahasiswa. Tertulis bahwa kewajiban mahasiswa salah satunya adalah ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kalimat ini, jika kita amati, menjadi celah awal bagi legalnya pembebanan tanggung jawab pendanaan pemerintah kepada masyarakat. Karena hal ini bersifat wajib, seakan-akan tanggung jawab pemerintah sama dengan masyarakat. Padahal, kita mengetahui bahwa dalam cita-cita bangsa yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, dijabarkan dengan tegas bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam hal ini merujuk kepada pengelola negara, yaitu pihak eksekutif, legislative, bahkan yudikatif. Seharusnya, bagian ini menegaskan bahwa mahasiswa tidak wajib menanggung biaya pendidikan, namun dapat menanggungnya, jika berkenan. Konsep awalnya adalah “tidak menanggung”, kecuali yang “berkenan”.

Serupa, pada bagian pendanaan dan pembiayaan, disebutkan bahwa pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal ini lebih fatal. Hal ini jelas-jelas membebankan tanggung jawab pendanaan yang seharusnya pada pemerintah sebagai pengelola negara, menjadi bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang dibebankan kepada pemerintah sebagai eksekutor institusi negara, sekaligus menyalahi Pasal 31 (3) UUD 1945. Frase pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan berarti bahwa biar bagaimanapun, pemerintahlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas usaha untuk menyelenggarakan pendidikan, sekalipun dana yang ada terbatas. Bagian bermasalah ini juga ada pada bagian lain, seperti kewajiban mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga biaya operasional pendidikan tinggi.

Inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi pada RUU PT juga berkaitan pada aspek yang diskriminatif. UUD 1945 Pasal 29I (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Walaupun pada bagian awal RUU PT ini dijelaskan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, nyatanya masih ada bagian yang mengandung semangat diskriminatif.

Bagian yang mengandung diskriminasi terutama yang berkaitan dengan penerimaan mahasiswa baru dan juga pendanaan. Dalam RUU ini, setiap PTN diwajibkan menyiapkan kuota minimal 20% bagi mahasiswa tidak mampu secara ekonomi namun mempunyai potensi akademik tinggi untuk kuliah di PTN tersebut. Kalimat ini juga diulangi pada bagian pembiayaan dan pengalokasian. Tentunya hal ini jelas menjadi diskriminasi. Hal ini dikarenakan ada segmen calon mahasiswa yang tidak bisa mengakses PTN, yaitu segmen calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga potensi akademiknya biasa-biasa saja. Hal ini harusnya menjadi perhatian para wakil rakyat kita, karena jumlah dari segmen ini sangat banyak. Hal yang perlu ditekankan adalah apabila calon mahasiswa dapat lulus seleksi masuk PTN, dan ia diterima, maka ia dikatakan layak, meskipun belum tentu mempunyai potensi akademik tinggi. Apalagi jika ia tidak mampu secara ekonomi, sehingga masuk ke dalam skema ini.

Hal yang juga perlu ditekankan adalah usaha PTN untuk memenuhi amanat ini. Beberapa pengalaman PTN adalah bahwa dari calon mahasiswa yang mendaftar untuk selanjutnya mengikuti proses seleksi saja sudah terseleksi secara psikologis, sehingga calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi sudah “takut” sejak awal untuk mendaftar PTN, terutama PTN ternama. Sehingga hal ini berakibat pada sedikitnya mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi yang mengenyam kuliah di PTN. Perlu dilakukan usaha lebih dari pemerintah dan pihak PTN untuk “memaksa” agar kuota minimal ini terpenuhi. Pemerintah dan PTN harus proaktif dan “menjemput bola”, meyakinkan agar tidak ada diskriminasi ekonomi dalam PTN. Sehingga calon mahasiswa yang memang tidak mampu secara ekonomi berani untuk mendaftarkan dirinya untuk mengikuti proses seleksi PTN tersebut, apalagi PTN yang favorit.

Hak Dasar Rakyat

Pengelola negara ini (pemerintah dan wakil rakyat) harusnya sadar bahwa konstitusi meletakkan pendidikan sebagai salah satu dari sekian banyak hak dasar rakyat yang mutlak harus diwujudkan. Penanggung jawab perwujudan ini jelas, yaitu institusi negara yang diwakili oleh wakil rakyat dan pemerintah. Miris ketika sejak pembahasan undang-undang saja sudah tidak sesuai amanat konstitusi, yang berarti mengkhianati hak-hak dasar rakyat. Sehingga mungkin wajar jika rakyat skeptis terhadap pengelola negara ini, karena hak-hak rakyat terabaikan.

Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 benar-benar menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar rakyat Indonesia. Pasal 33 (1) menjadi justifikasi kuat hal ini karena di sana ada frase “setiap”. Sehingga jika ada satu orang rakyat sekalipun, yang tidak dapat mengakses pendidikan karena kebijakan para pengelola negara ini, maka negara kita adalah negara gagal. Gagal dalam menunaikan hak rakyatnya.

Khusus untuk pendidikan tinggi, Pasal 33 (3) UUD 1945 menjadi justifikasi yang kuat bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Tidak ada kata-kata yang menjadi justifikasi agar masyarakat bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kecuali jika hal itu dianggap peran ataupun “bantuan” dari masyarakat, namun bukan merupakan tanggung jawab yang berarti kewajiban. Pemerintah jelas harus menjadi pihak yang berusaha, dan bukan beban “bersama” antara pemerintah dan masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 33 (4) UUD 1945, yang selama ini menjadi sorotan publik, yaitu terkait standar minimal 20% APBN dan APBD untuk dialokasikan pada sektor pendidikan. Hal yang perlu ditekankan adalah bukan pada standar minimal 20%, namun pada frase untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga, parameter keberhasilan pengelola negara ini dalam melaksanakan pasal ini adalah bukan pada aspek kuantitatif 20% tersebut, namun pada aspek kualitatif “memenuhi kebutuhan”. Tidak boleh ada pembenaran bahwa dengan mengalokasikan lebih dari 20% APBN dan APBD, lantas pemerintah melepas tanggung jawabnya. Justru yang benar adalah semua kebutuhan penyelanggaraan pendidikan terpenuhi, dari APBN dan APBD kita.

Sebagai kesimpulan, kita harus sama-sama sadar akan hak tiap elemen dalam keberjalanan negara ini. Masyarakat haruslah sadar akan haknya dan berani menuntut pemenuhan haknya kepada elemen lain yang secara legal harus memenuhi hak masyarakat. Begitupun masyarakat, harus juga memenuhi hak-hak pemerintah, yaitu yang sesuai dengan konstitusi kita. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi hak-hak yang terabaikan dalam setiap elemen bangsa.

Penulis Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB

Tidak ada komentar: