Jumat, 25 November 2011

Titik Semu Perekonomian Indonesia


Titik Semu Perekonomian Indonesia

B
aru-baru ini isu mengenai krisis ekonomi Eropa kembali menghiasi media kita. Negara-negara seperti Yunani dan Italia adalah dua negara terparah yang sedang dilanda krisis. Sontak pertemuan G20  diadakan untuk membahas permasalahan ini dan mencari solusi agar negara yang dilanda krisis dapat tetap selamat dan krisis ini tidak merambat ke negara lainnya. Pertemuan itu diadakan di Prancis pada 3 - 4 November lalu. Dua hari sebelum itu, tanggal 2 November, dalam pertemuan UNESCO SBY memberikan pidato terkait pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis moneter dan kepercayaan diri yang dibangun untuk menghadapi krisis 1998 lalu.

Benar adanya, kala itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di nilai minus, yaitu -13%. Kurs rupiah terhadap dollar anjlok hingga mencapai titik terendah sekitar Rp 18.000,00 per dollar AS. Krisis kepercayaan terjadi di mana-mana, ketakutan menyebar di masyarakat, sehingga akhirnya menimbulkan gejolak. Namun, pasca Soeharto mengundurkan diri pada 20 Mei 1998, semua kegelisahan tersebut seakan hilang. Selanjutnya, harapan masyarakat akan pemerintahan yang adil dan demokratis dalam bidang ekonomi dan sosial semakin meningkat. Sehingga saat itu masyarakat menaruh harapan besar pada B.J. Habibie dan proses reformasi pemerintahan untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi dan perlahan kepercayaan diri itu meningkat.  

Saat ini, kita boleh sedikit berbangga dengan capaian pembangunan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kita pasca reformasi berada di nilai plus tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahunnya dari mulai 3%, 4%, 5%, hingga mencapai 6,1% pada tahun 2010. BPS mencatat PDB negara ini mencapai Rp 6.300 triliun (US$ 706,7 miliar) pada 2010 dan diprediksi kuat akan menembus Rp 7.000 triliun (US$ 785.2 miliar) pada tahun 2011. World Bank mencatat GDP per kapita masyarakat Indonesia tahun 2010 ada pada kisaran US$ 2.946 (Rp 26,2 juta), lebih tinggi dari India yang hanya pada kisaran US$ 1.477 (Rp 13,2 juta), hampir setengah GDP per kapita kita. Begitu pula dengan pertumbuhan industri kita. BPS mencatat pertumbuhan industri Indonesia naik pada tahun 2010, mencapai sekitar 4,2% dan untuk tahun 2011 diperkirakan mencapai 6%. Inflasi juga tetap berada pada range yang normal berkisar 6%, dan diprediksi tidak akan menembus angka 5% pada akhir tahun ini.

Namun, baru-baru ini banyak pemberitaan media massa dan juga opini masyarakat terkait dengan melorotnya posisi Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia menurut UNDP bernilai 0.617, dimana walaupun meningkat, namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan peningkatan IPM negara lain. Sehingga secara posisi, peringkat kita menurun. Hal ini menurut Guru Besar FE UI Firmanzah, adalah sebuah kesalahan mengingat hakikat pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusia, dan IPM merupakan salah satu tolak ukurnya. Hal ini menjadi pemantik diskursus mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum, sehingga timbul pertanyaan tentang kualitas angka-angka “hebat” tersebut. Pada akhirnya timbul stigma bahwa “kehebatan” ekonomi Indonesia sesungguhnya adalah semu.

Titik semu

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi argumen mengapa terjadi stigma perekonomian semu Indonesia. Pertama, kondisi bursa efek kita yang mendapat prestasi terbaik se-Asia Pasifik namun kemajuan sektor riil kita tidak optimal. Kedua, PDB yang tinggi namun rendah dalam pemerataan. Ketiga, anggaran yang semakin tinggi dan diiringi angka kemiskinan yang juga tinggi. Keempat, pengembangan ekonomi kreatif namun terjadi pembiaran perampasan aset negara.

 Pada akhir 2010 kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat kinerja terbaik se-Asia Pasifik. Indeks saham pada akhir perdagangan 2010 ditutup pada 3.703,51 poin atau menguat sebesar 46,13% dibandingkan penutupan akhir 2009 yang berada di posisi 2.534,36. Pencapaian ini adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia. Sehingga wajar ketika waktu itu SBY memberikan apresiasi dengan menghadiri proses penutupannya. Dengan jumlah emiten yang mencapai lebih dari 400, pasar modal kita berhasil meraih pencapaian tersebut. Tidak hanya itu, menurut Bapepam-LK selama ini kontribusi pasar modal Indonesia dalam PDB mencapai 35%.

Namun sejatinya pencapaian tersebut adalah sebuah hal yang semu. Meskipun pasar modal kita terbaik se-Asia Pasifik, nyatanya kondisi sektor riil kita terutama perindustrian, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Jika kontribusi pasar modal dalam PDB mencapai 35%, peran industri manufaktur negeri ini hanya sekitar 23%. Hal ini masih jauh jika dibandingkan dengan negara Asia Pasifik lainnya. Singapura yang negaranya tidak lebih besar dari luas Jabodetabek dapat membawa industri manufaktur, terutama biomediknya, menyumbang sekitar 28% PDB negara tersebut. Lain lagi dengan Malaysia yang berhasil meningkatkan peran industri manufakturnya menjadi 26% PDB. Untuk tataran Asia Tenggara saja kita masih kalah dibandingkan Singapura dan Malaysia, belum jika dalam tataran Asia Pasifik. Hal ini membuat pemerintah seharusnya malu karena sektor industri yang seharusnya menjadi motor perekonomian dan juga basis yang kuat bagi perekonomian berada dalam kondisi lemah. Sebaliknya, sektor keuangan yang rapuh dan rentan terjangan krisis malah menjadi andalan perekonomian negeri ini. Pemerintah gagal menciptakan kekuatan sektor riil, terutama manufaktur.

PDB Indonesia digadang-gadang akan menembus Rp 7.000 triliun pada tahun 2011, yang meningkatkan posisi Indonesia menjadi sekitar 15 besar perekonomian dunia, mengalahkan Turki dan Belanda. Namun sejatinya, hal ini juga semu. Pasalnya menurut BPS pulau Jawa menyumbang sekitar 58% PDB nasional pada tahun 2010, dan masih berkisar di angka tersebut hingga triwulan III tahun 2011 ini. Sementara, berada pada urutan kedua yaitu Sumatera dengan sumbangan sekitar 23%, Kalimantan 9,5%, Sulawesi 4,6%, Bali-Nusa Tenggara 2,6%, dan sisanya Maluku-Papua sebesar 2%. Maka wajar jika seringkali rakyat Papua bergejolak, dikarenakan mereka hanya menikmati tidak lebih dari 2% pendapatan nasional. tidak hanya itu, dari segi peringkat kemiskinan, dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32 dan 33) dari 33 provinsi di Indonesia. Tentunya hal ini merupakan sebuah prestasi ekonomi yang hakikatnya semu, karena pemerintah gagal menciptakan pemerataan ekonomi.

Titik semu berikutnya ada pada anggaran kita yang semakin tinggi, dengan pengentasan kemiskinan yang minim prestasi. APBN kita pada 2011 sudah menyentuh angka Rp 1.229 triliun dan pada 2012 menyentuh angka Rp 1.435 triliun. Sejatinya, anggaran tersebut haruslah kembali kepada rakyat, dan prioritas pertama dalam anggaran tersebut adalah mengentaskan kemiskinan. Menurut BPS, penduduk miskin negara ini mencapai 32.530.000 jiwa pada 2009 dan 31.023.400 jiwa pada 2010. Jumlah ini belum termasuk kecacatan indikator dimana ada perbedaan antara BPS yang menetapkan garis batas Rp 211.726 per bulan dengan World Bank yang menetapkan US$ 30 (Rp 270.000) per bulan. Juga kecacatan indikator lain seperti anggapan orang yang sudah bekerja bebas dari kemiskinan.

Jika kita melihat, dengan kenaikan anggaran belanja sekitar Rp 100 triliun per tahun, pemerintah hanya bisa mengentaskan kemiskinan sekitar 1,5 juta jiwa per tahun. Fakta yang membuat hal ini semakin mencengangkan adalah bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mencapai 4 juta jiwa. Artinya, bila tidak ada terobosan berarti, potensi kemiskinan di Indonesia semakin besar, karena jumlah yang dipangkas jauh lebih kecil ketimbang pertumbuhan jumlah penduduk itu sendiri. Hakikat perekonomian selanjutnya adalah pengentasan kemiskinan, dan lagi-lagi pemerintah gagal memenuhinya.

Titik semu yang terakhir berkaitan dengan pengembangan aset manusia lewat ekonomi kreatif, namun pembiaran perampasan aset alam Indonesia. Sejak dicanangkan pada sekitar tahun 2006, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia semakin ditingkatkan dengan dirombaknya Kementerian Budaya dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 ini. Menurut Kementerian Perdagangan, selama ini ekonomi kreatif yang terdiri dari 14 subsektor menyumbang rata-rata 6,3 % PDB tiap tahunnya, dengan nilai yang dihasilkan rata-rata Rp 104,6 miliar per tahun. Pemerintah bagus dalam menangkap peluang ini di masyarakat, sehingga jumlah yang dihasilkanpun tidak sedikit.

Namun hal ini bertolak belakang dengan usaha pengembangan aset yang lainnya dari negara ini. Hal ini berkaitan dengan renegosiasi kontrak pertambangan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Bayangkan, dari rentang 2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6 triliun dari PT Freeport Indonesia (PT FI). Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan di buminya sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun. Bandingkan dengan total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang mencapai Rp 260 triliun. Pada tahun 2010 PT FI berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42 triliun dan menjual emas senilai Rp 20,59 triliun. Sementara itu pada tahun yang sama, Pendapatan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai Rp 9,7 triliun. Sebagai contoh lagi, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang jelas-jelas milik negara dikenakan royalti untuk produksi emas sebesar 3,7% dan untuk produksi nikel sebesar 4 – 5%. Bandingkan dengan PT FI yang hanya dikenakan 1 – 3%. Ini baru perkara PT FI, belum lagi mengenai 34 perusahaan tambang lainnya dan juga di sektor migas. Hakikatnya, negara ini belum berkuasa atas tanah dan kekayaannya sendiri, malah justru menjadi pihak yang dirugikan. Pemerintah gagal mempertahankan kekayaan negara dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat.

Hebatkah ekonomi kita?

Dari empat titik semu seharusnya kita dapat menemukan jawaban terkait dengan kualitas perekonomian Indonesia, yang juga dinilai dari indikator kualitatif, dan tidak hanya kuantitatif. Masihkah pemerintah berbangga dengan pencapaian mereka dengan angka-angka yang diagung-agungkan dan status menjadi anggota G20 yang sejatinya rakyat sendiri belum merasakan kehebatan ekonomi Indonesia.

Hakikat dari perekonomian ada pada empat hal: pengentasan kemiskinan, pemerataan ekonomi, berbasis sektor riil, dan pengelolaan aset negara yang baik. Jika ada prestasi di luar indikator tersebut, kita bisa mengambil justifikasi bahwa prestasi tersebut hakikatnya adalah semu. Pemerintah lagi-lagi gagal untuk menciptakan perekonomian yang berkualitas. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Semoga pemerintah kembali berfokus pada hakikat ekonomi dan membuat terobosan-terobosan baru dalam programnya dan juga politik anggarannya. Jangan sampai rakyat dibodoh-bodohi lagi dengan banyaknya klaim dan iming-iming yang sejatinya tidak mereka rasakan. Semoga kesejahteraan rakyat menjadi semangat pembangunan ekonomi kita kedepannya.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB

***

Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
dhani_aja_lah@yahoo.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com

Tidak ada komentar: