Kamis, 14 Oktober 2010

Evaluasi 1 Tahun SBY-Boediono di Bidang Perindustrian [2, habis]

Inflasi 2010

Salah satu peran pemerintah dalam menjaga perkonomian adalah terkait stabilisasi. Permasalahan stabilisasi yang biasanya menjadi problem adalah menjaga tingkat inflasi dan pengangguran. Bagaimana agar kondisi perekonomian stabil adalah menjaga inflasi agar tetap pada tingkat kewajarannya. Namun, sewajar apapun inflasi, tetaplah ia bersifat merugikan. Inflasi yang biasa dikenal artinya adalah kenaikan harga barang. Namun sejatinya, bukanlah kenaikan harga barang yang terjadi, namun penurunan nilai mata uang kartal. Oleh karena itu, benar adanya jika Prof. Henry Bruton dalam sebuah ceramah di Universitas Bombay bahwa inflasi haruslah dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan dan bukan mengontrol inflasi sebagai dasar dari suatu kebijakan.[1]

Namun yang ada sekarang adalah bahwa pemerintah kita, SBY – Boediono menjadikan indikator inflasi sebagai sebuah target yang harus dikejar dengan beragam kebijakan yang ada. Permasalahan yang timbul adalah ketika adanya kebijakan yang lain mengenai distribusi pendapatan yang dikhawatirkan akan meningkatkan inflasi, seperti kenaikan TDL 2010 kemarin. Janji pemerintahan SBY – Boediono adalah agar inflasi tiap tahunnya berkisar 3 – 5%.[2]

Namun, target ini pupus begitu saja jika kita melihat pada pencapaian yang dilakukan pada inflasi tahun 2010. Menurut BPS, hingga bulan September 2010, tingkat inflasi di Indonesia sudah menyentuh angka 5,28%. Hal ini jelas merupakan kegagalan pemerintah dalam melakukan stabilisasi ekonomi jika kita mengacu pada target yang telah ditetapkan. Kemungkinan besar inflasi yang akan terjadi hingga akhir tahun nantinya adalah lebih dari 6%. Inflasi cenderung meredistribusikan pendapatan ke atas sehingga membuat jomplang keseimbangan terhadap keadilan ekonomi. Selain itu, inflasi juga menimbulkan kontrol-kontrol harga dan subsidi pada bahan-bahan pokok makanan untuk konsumsi. [3]

Sehingga, pada dasarnya kenaikan inflasi membuat warga semakin miskin, hal ini dikarenakan jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan seseorang tiap tahun, inflasi masih lebih tinggi. Kita belajar banyak akan hal ini dari fenomena hiper inflasi yang menghantam Zimbabwe.

Mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Berbicara mengenai UMKM tentunya berbicara mengenai industri yang sangat dekat dengan rakyat, industri yang paling banyak terdapat di Indonesia, yang paling banyak menyerap tenaga kerja, yang sumbangsihnya terhadap PDB adalah yang terbesar, dan yang terpenting adalah berkaitan dengan karakter penduduk Indonesia mengenai jiwa wirausaha.

Sumber: KADIN, 2009

Jika kita melihat dari pareto UMKM Indonesia di atas, maka 98,90% unit usaha yang ada di Indonesia berasal dari usaha mikro. Selanjutnya, berturut-turut dengan ketimpangan yang sangat jauh adalah usaha kecil, menengah, dan besar. UMKM memegang peranan penting dalam kemajuan dan stabilitas perekonomian Indonesia dikarenakan tidak terpengaruh langsung oleh investasi asing yang berbasiskan pada pertukaran pasar modal dan pasar yang rentan terhadap dampak krisis global.

Kita sudah sedikit membahas di atas bahwa UMKM memberi dampak yang baik terhadap kekuatan struktur perekonomian Indonesia, juga terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal-hal ini dikaitkan dengan besarnya tenaga kerja yang diserap UMKM dan besarnya PDB yang diberikan. PDB dari UMKM adalah 55,56% dari PDB nasional, sementara porsi UMKM dalam menyerap tenaga kerja adalah berkisar 97,10%.[4]

Namun, isu utama yang sering menjadi kendala bagi perkembangan UMKM adalah aksesbilitas modal, paradigma “impor” lebih baik, dan lemahnya keterampilan dan inovasi. terkait hal pertama menganai aksesbilitas modal, pemerintahan SBY – Boediono kembali mencanangkan adanya kemudahan aksesbilitas modal kepada pelaku UMKM yang dikenal dengan nama KUR (Kredit Usaha Rakyat). Target pemerintah pada tahun ini untuk KUR adalah digelontorkannya dana segar sebanyak Rp20 triliun.

Terseok-seoknya pembahasan mengenai RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) membuat aksesbilitas modal UMKM tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Padahal, kebutuhan modal dirasa sangat penting. Hingga pada akhirnya pemerintah menerapkan program KUR yang seharusnya hingga sekarang hal itulah yang harus kita kontrol kedepannya. Pasalnya, sosialisasi mengenai KUR ini tidak berjalan dengan baik untuk menyentuh segenap lapisan masyarakat, sehingga masih banyak masyarakat yang kebingungan dalam memulai usahanya. [5]

Target pemerintah pada bulan Juli kemarin adalah 50% dana KUR terserap oleh masyarakat dan threshold target atas pemerintah adalah Rp18 triliun, sedangkan threshold target bawah adalah berkisar Rp13 triliun. Namun, hingga 23 September 2010, penyaluran KUR baru mencapai Rp7,7 triliun dengan 813.144 debitur. Hal ini jelas merupakan kegagalan pemerintah dalam mencapai targetnya. Setidaknya, hingga Juli 2010 dana yang sudah tersalurkan adalah Rp9 triliun, namun mandeg hingga sekarang.[6]

Sedangkan, bila kita lihat dari permasalahan lainnya terkait keterampilan dan inovasi, maka hal ini terkait dengan jiwa kewirausahaan. Sudah ada dana yang digelontorkan pemerintah terkait pelatihan karakter kewirausahaan yang dialihkan ke Kementrian Pendidikan Nasional. Sehingga salah satu segmen besarnya adalah para pelajar dan mahasiswa. Kita mengenal dana tersebut sebagai dana PMW – Program Mahasiswa Wirausaha. Namun hingga sekarang, dana segar PMW belum juga cair. Hal inilah juga yang harus kita kawal kedepannya, terkait pembangunan karakter wirausaha di antara para mahasiswa.

Penutup

Sebenarnya masih ada evaluasi 1 tahun KIB Jilid II dalam bidang perindustrian yang belum terbahas di sini, beberapa diantaranya adalah pengembangan UMKM terkait kebijakan One Village One Product (OVOP), dan pembentukan kluster industri serta pengelolaannya.

Akan tetapi, hal ini hendaknya tidak menyurutkan semangat kita untuk terus mempunyai idealisme hingga masyarakat ini mencapai kebaikan-kebaikannya, hingga negeri ini mencapai kesejahteraannnya, dan hingga bangsa ini mencapai kemandiriannya.


[1] Henry Bruton, Inflation in a Growing Economy. 1961.

[2]

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono, Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan: Visi, Misi, dan Program Aksi. 2009.

[3] Dr. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.

[4] Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009. 2009.

[5] http://www.antaranews.com/berita/1274158360/menkop-akui-kur-kurang-sosialisasi

[6]http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=437:program-kur-kembali-direlaksasi-dalam-tiga-bulan-terakhir-penyaluran-kur-ditarget-rp54-triliun&catid=50:bind-berita&Itemid=97

Evaluasi 1 Tahun SBY-Boediono di Bidang Perindustrian [1]

Evaluasi Kinerja 1 Tahun SBY – Boediono Bidang Perindustrian

Pendahuluan

Pemerintahan Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Boediono sudah berjalan hampir satu tahun. Bagi SBY sendiri sudah mencapai tahun keenam kepemimpinannya di negeri ini. Terlepas dari hal tersebut, kinerja SBY – Boediono tidaklah bisa dinilai hanya dari sosok personalnya saja. Namun, ini adalah kinerja sebuah tim, kinerja sebuah tim besar yang disebut Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Tim besar ini bukanlah sebuah tim sembarangan. Komposisi dari tim ini di antaranya termasuk professional dan politisi yang memang sudah dianggap expert di bidangnya masing-masing.

Hakikat sebuah organisasi besar yang bernama Republik Indonesia, tentulah mempunyai sebuah cita-cita luhur yang hendak dicapai juga oleh semua insan di muka bumi ini, yaitu kesejahteraan. Jika pada tataran individu hal ini dinamai kesejahteraan individu, pada tataran yang lebih luas seperti negara kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan sosial (social welfare). Persoalan yang ada dari dahulu hingga sekarang adalah bagaimana mengatur pengorganisasian negara ini agar menghasilkan nilai social welfare yang paling optimal. Nilai social welfare ini tentunya adalah sebuah nilai tidak terukur dan tak berbatas waktu. Oleh karena itu perlu diterjemahkan ke dalam keterukuran dan berbatas waktu agar lebih jelas tentang threshold yang harus dicapai. Adanya nilai terukur ini juga memberikan konsekuensi tentang adanya evaluasi ketercapaian nilai.

Dalam ilmu pengendalian kualitas dikenal istilah siklus Plan-Do-Check-Action yang merupakan filosofi dari setiap usaha dinamisasi sebuah organisasi, termasuk negara. Sekarang, dengan memanfaatkan momentum satu tahun masa kerja SBY – Boediono maka siklus sudah mulai masuk kembali ke tahap check.

Pertanyaan sekarang adalah siapa yang berwenang untuk melakukan check ini? Secara struktural, ada lembaga resmi yang bertugas untuk menjalankan fungsi ini, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam internal kabinetpun ada yang berfungsi check ini, yaitu UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Namun itu saja tidaklah cukup. Salah satu pilar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Vox populi vox dei. Dengan demikian, hal inilah yang membuat masyarakat harus bertindak lebih dari sekedar objek pembangunan, namun juga subjek pembangunan dengan berperan sebagai social control.

Target Perekonomian Makro 2010

Dalam buku penjelasan tentang visi – misi SBY – Boediono saat mencalonkan diri dalam Pemilu 2009, dapat ditemukan beberapa targetan pemerintahan yang berkaitan dengan perkonomian-perindustrian untuk 2009 – 2014. Meskipun memang tidak secara spesifik ditampilkan target tiap tahunnya, namun kita bisa mengambil beberapa acuan untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi terhadap kinerja pemerintahannya.

Target pertama yang perlu kita soroti adalah mengenai pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam proposalnya tersebut dikatakan bahwa target yang hendak SBY capai hingga 2014 adalah pertumbuhan ekonomi minimal 7%.[1] Target pertumbuhan ini adalah target yang hampir sama saat sebelum krisis moneter tahun 1998. Sehingga bisa dikatakan memang pada saat ini (pasca tahun 1998), target Indonesia adalah pemulihan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat pasca krisis. Perhatikan grafik berikut.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1998 - 2008

Sumber: politikana.com

Hingga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,4%. Namun pertumbuhan ini lantas mengalami penurunan nilai di tahun 2009. Krisis ekonomi global yang dimulai pada tahun 2008 dan terasa dampaknya hingga tahun 2009 ternyata membuat pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,5%.[2] Indonesia memang tergolong hebat dikarenakan kinerja perekonomiannya masih menunjukkan angka positif walaupun kecil. Beberapa kalangan menilai hal ini dikarenan struktur pasar Indonesia cukup kuat, tertolong oleh adanya sektor riil yang berasal dari pihak UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Hal ini dikarenakan orientasi pemasaran produk-produk UMKM adalah pada pasar domestik dan relatif kecil yang diekspor. Selain itu, pelaku UMKM mempunyai motivasi yang kuat untuk mempertahankan usahanya dan kegiatan produksi yang mengandalkan bahan-bahan baku lokal. Keunggulan lainnya yakni karakteristik tenaga kerja di sektor ini yang tersedia cukup besar dan murah serta berpendidikan rendah sehingga mempunyai mobilitas yang tinggi untuk berpindah ke sektor lain.[3]

Pada tahun 2010, upaya pemulihan perekonomian pasca krisis masih terus dilakukan. Hal ini diperkuat dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh BI yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan akan menyentuh angka 5%.[4] Hingga, apabila kita menggunakan metode regresi linear untuk memperkirakan pertumbuhan perekonomian hingga 2014, secara teoritis hal ini mungkin saja terjadi dan cukup feasible. Namun tentu saja hal inilah yang harus menjadi bahan evaluasi kita bersama.

Namun, untuk menjaga perekonomian agar sesuai dengan target tiap tahunnya, pemerintah seharusnya tetap mengambil langkah yang telah terbukti baik dalam membangun basis perekonomian Indonesia yang kuat. Basis yang kuat ini tiada lain adalah meningkatkan sektor riil. Hal ini dikarenakan sektor riil adalah sektor yang paling besar porsinya dalam menyumbang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia.[5] Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut.

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)

Sektor industri pengolahan menempati urutan pertama penyumbang PDB dengan tingkat kontribusi 25,4%. Sementara, dari UMKM, tingkat kontribusi yang diberikan terhadap PDB lebih besar lagi. UMKM yang tersebar di semua jenis lapangan usaha, jika dijumlahkan maka menyumbang kontribusi yang sangat besar terhadap PDB Indonesia, yaitu sekitar 55,56%.


[1]

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono, Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan: Visi, Misi, dan Program Aksi. 2009.

[2] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/10/13085158/BPS.Pertumbuhan.Ekonomi.2009.Capai.4.5

[3] Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009. 2009.

[4] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/21/1306296/bi.pertumbuhan.ekonomi.2010.sebesar.5.persen

[5] Badan Pusat Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan-1 2010. 2010

Minggu, 10 Oktober 2010

Pasar Seni ITB 2010 dan Fenomena Masyarakat Kota

Hari ini, gelaran empat tahunan anak ITB digelar. Pasar Seni ITB 2010, sebuah ajang tumpah ruah tentang seni, mulai dari Jalan Ganesha hingga setengah kampus ITB ke belakang. Acara yang dilaksanakan mulai pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB ini mengambil tajuk 'sesuatu yang terlupakan'. Instalasi super hebat, barang-barang seni, dan dekorasi yang mantap sangat membuat kagum saya sebagai salah satu pengunjung event tersebut. Banyak sekali benda-benda unik dan wahana-wahana yang hebat (entah bagaimana membuatnya) ditemui di sini.

Pasar Seni berhasil menyedot perhatian masyarakat luas, seminimal-minimalnya masyarakat kota Bandung. Bahkan, banyak juga pengunjung dari luar kota, seperti Jakarta, Bogor, dll. Terlepas dari hal tersebut, saya ingin mengangkat sisi lain dari fenomena berjubelnya pengunjung Pasar Seni. Sebagai intermezzo, pengunjung pasar seni kali ini bisa saya prediksi melebihi 20.000 orang, benar-benar ramai! Padat, berdesakan, pengap, dan "mumet".

Padatnya pengunjung pada satu sisi menandakan suatu hal: bahwa kebutuhan akan sosialisasi dan keramaian masyarakat kota besar semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan adanya ruang-ruang publik yang menjadi tempat berkumpulnya banyak orang dalam satu waktu sangatlah terasa. Kita bisa belajar dari ramainya car free day, atau tempat-tempat olahraga di weekend pagi dan sebagainya. Idealnya, ruang publik hijau dalam sebuah kota 20%. Namun, kota seperti Bandung sangat masih jauh dari ideal. Kita belajar dari sejarah bahwa memang dahulu pusat kota selalu dibangun alun-alun, atau ada masjid agung, dikarenakan untuk memfasilitasi ruang publik.