Sabtu, 14 Agustus 2010

Pergulatan Ideologi

Pergulatan Ideologi

Perjalanan sejarah bangsa ini kemudian memberi kita pancingan untuk berkesimpulan bahwa ada pergulatan-pergulatan kepentingan dalam mengelola bangsa. Pada beberapa kesempatan ke depan, kita akan dapat mempertanyakan mengapa dahulu pemerintah kolonial menjajah bangsa ini dengan perdagangan-ekonomi. Atau kita juga bisa sedikit menarik ke waktu yang semakin jauh meninggalkan era kekinian, saat pedagang-pedagang Arab mulai masuk ke Indonesia lewat jalur laut, atau bahkan lebih jauh dari itu. Kita juga dapat sedikit ‘nakal’ untuk bertanya mengapa Sarekat Islam (SI) yang begitu besarnya dan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia pada akhirnya pecah menjadi SI Putih dan SI Merah.

Dalam membahas bagian ini saya kembali mengingatkan bahwa buku ini bukanlah buku sejarah, yang menceritakan pergolakan sejarah bangsa secara runut dari awal hingga akhir. Kita mengambil sejarah sebagai pelajaran, inspirasi, dan benchmark. Untuk itulah, wajar jika cerita sejarah yang kita bahas nantinya akan acak, terkadang maju, terkadang mundur. Bahkan terkadang sudah masuk ke era kekinian, akhirnya kembali lagi ke era yang jauh ke belakang.

Sekarang kita akan membahas tentang ideologi. Tentunya metode pembahasannya adalah dengan mengambil pucuk-pucuk sejarah yang mencerminkan hal tersebut, bahwa kita dapat melihat dari hal-hal yang tampak di permukaan. Selanjutnya kita akan menyelami lebih dalam tentang ideologi tersebut dan bagaimana konsep sistemnya saat ada usaha untuk melegalisasinya menjadi sistem negara.

Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup[1]. Sehingga ketika kita berbicara tentang pergulatan ideologi, maka kita akan berbicara tentang usaha mengaplikasikan sebuah konsep bersistem dalam keberjalanan negara ini. Aplikasi yang dimaksud di sini pada idealnya adalah aplikasi secara total, disebabkan sebuah ideologi adalah sebuah doktrin, yang terdiri dari suprastruktur-suprastruktur yang banyak. Kesatuan semua hal tersebut kita sebut ideologi. Sedangkan suprastruktur yang ada, jika kita ambil secara parsial, lebih cocok jika kita sebut sebagai ilmu, dikarenakan sifatnya yang lebih operasional. Namun, jika suprastruktur yang ada dari sebuah doktrin ideologi kemudian dipadukan dengan suprastruktur lainnya dari ideologi yang berbeda, hal ini bisa saja menghasilkan sebuah ideologi baru. Ideologi baru ini kita sebut saja sebagai ideologi majemuk.

Lalu selanjutnya ideologi apa yang diterapkan di Indonesia saat ini? Ini adalah sebuah pertanyaan klise, namun tidak semua orang mengetahui jawaban pastinya, termasuk saya. Jika kita berkaca pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945, kita dapat berkesimpulan bahwa yang dijadikan falsafah dasar negara –dalam konteks ini adalah ideologi– yaitu Pancasila. Namun, pernyataan ini akan dengan mudah terbantahkan. Pasalnya, masih banyak suprastruktur dari ideologi lainnya yang diterapkan dalam aturan-aturan di Indonesia. Contohnya adalah mengenai sektor migas Indonesia yang keberjalanannya mengadopsi prinsip liberal (bebas) dari ideologi Kapitalisme, yang tertera secara gamblang pada UU Nomor 22 Tahun 2001. Padahal di satu sisi, UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 secara tegas melarang penguasaan hajat hidup orang banyak oleh pihak privat, yang mana undang-undang ini diadopsi dari ideologi ekonomi Islam[2]. Contoh lainnya dalam tataran yang lebih operasional lagi adalah ekonomi kerakyatan berbasis koperasi yang diadopsi dari ideologi Sosialisme[3], atau menjamurnya bank syariah yang dalam tataran operasionalnya menggunakan prinsip ekonomi Islam.

Suprastuktur-suprastruktur yang bercampur ini membuat buramnya identitas ideologi Indonesia. Sehingga permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia sangat sulit apabila diselesaikan dengan metode integrasi dikarenakan banyaknya benturan-benturan konsep ideologinya pada tataran filosofis. Hal ini penting dikarenakan aspek filosofis adalah salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah kebijakan. Aspek yang lainnya adalah aspek aturan yang mendahuluinya, dan aspek dampak sosialnya.

Ideologi majemuk mungkin merupakan bahasa yang tepat bagi Indonesia jika memang pada kenyataannya terdapat banyak campuran suprastruktur yang mewarnai pengelolaan keberjalanan negara ini. Mantan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menyebut campuran-campuran ini sebagai ‘perkawinan kepentingan’.

Maka, campuran-campuran tersebut akan kita bahas dalam bagian ini dengan bertujuan agar kita sama-sama mengetahui bahwa negara ini masih belum memasuki steady state-nya. Bagian ini bisa jadi merupakan titik tolak untuk menemukan sejauh mana adopsi ideologi mempengaruhi suprastruktur gerakan mahasiswa era kini, sehingga kita nantinya dapat terbimbing dalam merekonstruksi gerakan ini, gerakan kita bersama.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Lihat: Ideologi.

[2] Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir."

[3] Baca: Koperasi: Teori dan Praktik, Arifin Sitio dan Halomoan Tamba, Jakarta: Erlangga. 2001.

Rabu, 11 Agustus 2010

Boedi Oetomo

Boedi Oetomo

Implikasi lain dari Politik Etis –terutama tentang kebijakan pendidikan yang dinilai tetap saja untuk memperalat pribumi– adalah timbulnya kesadaran untuk mengembalikan pendidikan ke hakikat aslinya yaitu membuat manusia dapat berpikir lebih kritis, dan lebih mengenal realitas sosial disekitarnya[1]. Pasalnya pendidikan saat itu hanya diberikan untuk mempersiapkan kaum pribumi untuk menjadi abdi pemerintahan kolonial, hingga yang terpikir adalah kesejahteraan kolonial dan diri mereka sendiri.

Melihat kenyataan tersebut, perjuangan pemikiran setelah Sarekat Dagang Islam kembali muncul. Kali ini juga berasal dari kaum terpelajar yang memang benar-benar sudah mengenyam pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah kolonial. Adalah sembilan anak muda siswa STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang bernama Soetomo, Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirjo, M. Soewarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg pada hari Rabu, 20 Mei 1908, mendeklarasikan sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo[2].

Konsep Studiefonds[3] yang dicanangkan Wahidin Soedirohoesodo menjadi titik inspirasi bagi Boedi Oetomo. Hal ini juga yang menjadi makna dari nama ‘Boedi Oetomo’. Boedi bermakna budi pekerti, spiritual, akhlak. Oetomo bermakna yang utama. Boedi Oetomo berarti menjadikan budi pekerti atau akhlak adalah yang utama.

Manifesto umum berdirinya Boedi Oetomo sebenarnya adalah sama-sama untuk membantu perjuangan masyarakat pribumi, yang saat itu diidentikkan dengan bangsa Jawa. Namun, seiring berjalannya waktu, Boedi Oetomo memfokuskan diri terhadap permasalahan pendidikan kaum pribumi. Manifesto umum itu tertuang dalam kutipan, “Meringankan beban perjuangan hidup bangsa Jawa melalui perkembangan yang harmonis dan kerohanian” [4].

Meskipun begitu, banyak kalangan menilai bahwa Boedi Oetomo adalah organisasi esklusif yang hanya terdiri dari kalangan priayi, tidak bersifat nasionalis, dan bahkan menjadi antek kolonial. Hal ini boleh dibilang cukup beralasan, karena pada masa keberjalanannya, memang mayoritas anggota Boedi Oetomo berasal dari kalangan priayi meskipun priayi kelas rendah. Penyebab inilah yang membuat rakyat kecil merasa takut dan enggan untuk bergabung ke organisasi ini.

Kemudian tentang isu tidak nasionalis dan bersifat golongan, ini juga diawali dari manifesto umum organisasi tersebut yang terkesan mempunyai segmen hanya bangsa Jawa. Kita dapat memaklumi bahwa pada saat itu kondisi perkembangan nusantara masih berpusat di Jawa. Sehingga banyak sekolah-sekolah hasil kebijakan Politik Etis dibangun di sana. Namun lebih jauh dari itu, sebenarnya pemilihan fokus kepada bangsa Jawa adalah karena bangsa Jawa mempunyai kebudayaan yang hampir seragam. Saya tidak mengetahui secara pasti mengapa mereka memilih kebudayaan yang hampir seragam.

Boedi Oetomo adalah organisasi yang netral dan tidak berbasis keagamaan seperti Sarekat Islam. Namun kita harus mempertanyakan dalam hal ini sejauh apa netralitas itu dipertahankan, dan sejauh apa kebebasan agama tetap dilakukan. Pasalnya, dengan berdirinya Sarekat Islam, Boedi Oetomo akhirnya mengambil langkah yang cukup tidak populer dalam Kongres yang diadakan pada tahun 1917, yaitu melepaskan Islam dari wacana organisasi[5]. Pada akhirnya simbol kebebasan agamapun digaungkan untuk tetap mendapat basis massa yang banyak, mengingat basis massa sebelumnya berkurang akibat kebijakan melepaskan Islam.

Dalam keberjalanannya, Boedi Oetomo lebih dekat kepada ajaran teosofi dan kebudayaan Jawa yang berakar pada ajaran Hindu dan Budha[6]. Lantas, kenetralan dan kebebasan agama apa yang selama ini diopinikan? Saya tidak ingin membawa diskusi ini ke ranah agama, tentang baik buruk, benar atau salah. Hanya dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada akhirnya Boedi Oetomo tidak konsisten dengan manifesto politiknya.

Sedangkan mengenai isu mejadi antek kolonial, hal ini diawali dari kongres perdana Boedi Oetomo. Momentum itu menjadi titik tolak Boedi Oetomo untuk menjadi organisasi politik. Selama keberjalanannya, Boedi Oetomo mengambil langkah moderat, partisipatif, dan bersahabat[7]. Hal inilah yang menggiring opini publik bahwa Boedi Oetomo telah menjadi antek kolonial.

Terlepas dari pro kontra mengenai isu tersebut, saya memberi apresiasi yang sangat besar juga kepada Boedi Oetomo, karena menjadi salah satu pelopor kebangkitan nasional, yaitu perjuangan akan persatuan bangsa yang dibingkai dalam perjuangan pemikiran. Kita dapat menjadikan para pemuda dan kaum terpelajar sebagai inspirasi, tentang bagaimana kita dapat berpikir tentang persatuan dan keinginan akan kesejahteraan bersama yang dimulai dari kebangkitan dari penindasan. Padahal, kita sama-sama mengetahui bahwa pada era tersebut, penduduk pribumi dibuai dalam zona nyaman akibat ‘permen’ Politik Etis, sehingga berimplikasi pada timbulnya jiwa-jiwa kerdil, yang threshold ketenangan hatinya adalah apabila jiwanya sudah sejahtera.

Kita dapat belajar bagaimana menjadi manusia yang berjiwa besar seperti Sarekat Islam dan Boedi Oetomo. Kita dapat belajar bagaimana jiwa peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dibangun tidak hanya dengan teori-teori, tetapi dari karakter yang merasa senasib sepenanggungan di bawah kolonialisme. Bagaimana Sarekat Islam yang hanya berbasis ekonomi, perdagangan, dan sedikit belajar tentang teori pemasaran bisa memikirkan hal yang lebih besar. Juga Boedi Oetomo yang berbasis kedokteran (STOVIA) dapat juga membawa diri mereka ke perbincangan dan wacana kesejahteraan bangsa.

Dan kita mau tidak mau juga harus mengulang sedikit pembahasan kita di awal. Ketika itu kita berkesimpulan bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti. Karena ketika hal itu berhenti, pertanda kita telah mati. Bagaimanapun, perjuangan akan menemukan metode yang tepat sesuai kondisi zamannya, dan tugas kita sebenarnya adalah sederhana: memasang badan dan menyelupkan diri kita ke dalam pergolakan perjuangan tersebut, dan ketika zaman sudah mulai berubah, saat itu juga kita harus merekonstruksi perjuangan kita. Karena, saya tekankan lagi bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus berjalan, dengan atau tanpa kita. Ia akan tetap mempunyai orang-orang yang setia mengikutinya, dan silih bergantinya hal tersebut adalah sebuah hal yang pasti.


[1] Makna pendidikan menurut Paulo Freire, dalam artikel Makna dan Harapan Sebuah Pendidikan, Muhammad Al-Wachidy.

[2] Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, Gamal Komandoko, Yogyakarta: Medpress. 2008. Hal. 10-11.

[3] Studiefonds adalah konsep penggalangan dana dari dan untuk pribumi dalam pendidikan. Hal ini timbul dari pendidikan yang semakin lama semakin tersegmentasi untuk kaum priayi dan tidak untuk semua masyarakat pribumi. Segmentasi ini secara kasat mata terjadi secara alami, yaitu ketidakterjangkauan biaya pendidikan bagi masyarakat pribumi kelas rendah. Oleh karena itu, pihak priyai diharapkan memberi ‘subsidi silang’ agar pendidikan dapat diakses oleh semua.

[4] Ibid. Hal 16-17.

[5] Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, Yogyakarta: LKiS. 2006. Hal. 151-152.

[6] Ibid. Hal. 151-152.

[7] Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, Gamal Komandoko, Yogyakarta: Medpress. 2008. Hal. 12-13.

Senin, 09 Agustus 2010

Sarekat Dagang Islam (SDI)

Sarekat Dagang Islam (SDI)

Perjuangan pemikiran saat itu diawali oleh kaum terpelajar, dengan membentuk wadah yang dapat menyuarakan aspirasi sebanyak-banyaknya pihak. Wadah ini ibarat kendaraan dan payung. Disebut kendaraan karena didirikan untuk mencapai tujuan, dalam artian adanya kendaraan bertujuan untuk mempermudah, bukan mempersulit. Juga sebagai payung artinya tempat berlindung, hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang akan semakin berani bersuara ketika beramai-ramai.

Kendaraan perjuangan yang pertama kali didirikan saat itu adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), yaitu pada tahun 1905. Organisasi ini didirikan oleh Haji Samanhudi, seorang pedagang batik dari Surakarta (Solo), dan bertujuan menghimpun pengusaha-pengusaha batik untuk memperkuat perekonomiannya untuk ‘melawan’ dominasi pengusaha Cina dalam bidang tekstil dan batik juga. Namun, perlawanan terhadap dominasi pengusaha Cina ini hanya salah satu tujuan dari SDI. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menguatkan perekonomian umat, sehingga umat mancapai kemandiriannya dalam ekonomi.

Sebenarnya perekonian yang semakin lemah bukan saja melanda umat Islam, tetapi hampir seluruh penduduk pribumi. Melemahnya kondisi ini terjadi sudah lama, yaitu sejak penjajah Eropa menguasai Nusantara[1]. Penjajah saat itu melakukan berbagai cara untuk menguasai wilayah Nusantara, mulai dari penjajahan fisik secara langsung, pencaplokan daerah belum terkuasai, ataupun dengan perjanjian-perjanjian licik yang merugikan pribumi. Sehingga ketika banyak daerah terkuasai, terutama tanah, maka perekonomian semuanya akan dikuasai oleh tuan-tuan tanah. Penduduk pribumi pada akhirnya saat itu hanya menjadi pekerja.

Kita tidak akan terlalu mendalam dalam membahas tentang Sarekat Dagang Islam ini, dikarenakan tulisan ini bukanlah tulisan yang kembali mengulas sejarah masa lampau, menceritakan pergolakan sosial dari waktu ke waktu di masa lampau, kemudian mengambil sebanyak-banyaknya literatur untuk merekonstruksi sejarah yang kurang. Tulisan ini bertujuan untuk mengambil sejarah sebagai bahan pelajaran sesuai dengan isi bab buku ini, yaitu peralihan metode perjuangan.

Saya menilai bahwa perjuangan para pemuda dan kaum terpelajar yang tergabung dalam SDI adalah perjuangan yang sangat cerdas. Hal ini dikarenakan beberapa hal berikut:

1.

Perjuangan saat itu bukanlah lagi bergaya pemberontakan fisik yang mengejutkan dan keras. Namun lebih berupa perjuangan pemikiran yang sifatnya perlahan, lembut, namun tetap masif. Hal ini sesuai dengan pembahasan kita terdahulu bahwa kondisi saat itu sangatlah berpotensi terjadinya konflik jika diteruskan dengan perjuangan fisik.

2.

Perjuangan dimulai dari ranah ekonomi. Bahwa ekonomi sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. SDI adalah pelopor kemandirian ekonomi masyarakat berbasis jiwa kewirausahaan dikarenakan pada saat itu kita dapat melihat bahwa para pekerja sebagian besar adalah bekerja untuk pihak penjajah. Perekonomian yang kuat adalah salah satu dari tiga pilar kekuatan suatu bangsa. Pilar lainnya adalah kekuatan militer dan kekuatan agama[2]. Dalam makna yang lebih luas, kekuatan agama ini bisa diibaratkan sebagai kekuatan spiritual suatu negara, ideologinya, dan politiknya.

3.

Perjuangan langsung menyentuh pada sisi pragmatisme masyarakat. Prinsip melayani sebelum mengajak dalam pola penguatan basis dukungan diadopsi oleh SDI. Masyarakat saat itu memang sedang dibuat pragmatis dan diselimuti oleh kenyamanan politik etis penjajah. Hal ini berdampak pada timbulnya preferensi masyarakat terhadap hal yang langsung memenuhi kebutuhan hidupnya: siapa yang memberikan kami kesempatan mendapat sesuap nasi, akan kami ikuti.

Tahun 1912 menjadi momentum perubahan besar SDI. Saat itu SDI di bawah kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto merubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperluas metode dan segmentasi basis dukungan, untuk selanjutnya menggalang kekuatan sebuah perjuangan. Sarekat Islam tidak hanya bertujuan untuk berjuang dalam hal perdagangan dan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu, yaitu perjuangan politik. Hal ini dibuktikan dengan usaha pengurus Sarekat Islam untuk mendaftarkan organisasi tersebut menjadi sebuah badan hukum[3].

Perluasan metode perjuangan hingga ke ranah politik semakin membuat Sarekat Islam benar-benar menjadi kuat, juga akibat segmentasi basis dukungan yang tidak lagi terbatas pada kalangan pengusaha muslim membuat Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar saat itu. Hingga pemerintah kolonial pada awalnya enggan untuk memberikan izin sebagai badan hukum. Namun pada akhirnya permintaan itu dikabulkan pada tahun 1916.

Titik keterbukaan SI dalam mendeklarasikan jati dirinya menjadi jati diri politik adalah pada bulan Juli 1916 dalam Kongres SI di Bandung, dengan 80 perwakilan SI lokal (daerah) dan 360.000 anggota. Sebuah jumlah yang sangat besar bagi organisasi non-kolonial saat itu. Kongres itu disebut sebagai Kongres Nasional SI, yang memang bertujuan untuk menyatukan penduduk asli Indonesia sebagai satu bangsa[4].

Dua pilar kekuatan bangsa sudah mulai dijamah oleh SI. Pilar kekuatan ekonomi dan pilar kekuatan agama atau dalam hal ini politik adalah hal yang dikejar oleh mereka. Jelas, hal ini bertujuan untuk membingkai kemandirian bangsa dalam persatuan rakyat Indonesia. Kita dapat mengambil pelajaran menarik bahwa ketika masyarakat terlebih dahulu dilayani – yang dalam hal ini adalah usaha SDI dalam memandirikian perekonomian umat, untuk selanjutnya akan mudah untuk menggalang dukungan mereka. Dalam politik, aset terbesar adalah dukungan masyarakat. Dan hal ini sudah menjadi kepunyaan SI ketika mulai menginisiasi kebangkitan bangsa.


[1] A French View Of The Netherlands Indies, G.H. Bosquet.

[2] Baca: Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit, Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.

[3] Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, Jilid. 1, Prof. Dr. Slamet Muljana, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2008. Hal. 122 – 125.

[4] Ibid.