Senin, 09 Agustus 2010

Sarekat Dagang Islam (SDI)

Sarekat Dagang Islam (SDI)

Perjuangan pemikiran saat itu diawali oleh kaum terpelajar, dengan membentuk wadah yang dapat menyuarakan aspirasi sebanyak-banyaknya pihak. Wadah ini ibarat kendaraan dan payung. Disebut kendaraan karena didirikan untuk mencapai tujuan, dalam artian adanya kendaraan bertujuan untuk mempermudah, bukan mempersulit. Juga sebagai payung artinya tempat berlindung, hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang akan semakin berani bersuara ketika beramai-ramai.

Kendaraan perjuangan yang pertama kali didirikan saat itu adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), yaitu pada tahun 1905. Organisasi ini didirikan oleh Haji Samanhudi, seorang pedagang batik dari Surakarta (Solo), dan bertujuan menghimpun pengusaha-pengusaha batik untuk memperkuat perekonomiannya untuk ‘melawan’ dominasi pengusaha Cina dalam bidang tekstil dan batik juga. Namun, perlawanan terhadap dominasi pengusaha Cina ini hanya salah satu tujuan dari SDI. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menguatkan perekonomian umat, sehingga umat mancapai kemandiriannya dalam ekonomi.

Sebenarnya perekonian yang semakin lemah bukan saja melanda umat Islam, tetapi hampir seluruh penduduk pribumi. Melemahnya kondisi ini terjadi sudah lama, yaitu sejak penjajah Eropa menguasai Nusantara[1]. Penjajah saat itu melakukan berbagai cara untuk menguasai wilayah Nusantara, mulai dari penjajahan fisik secara langsung, pencaplokan daerah belum terkuasai, ataupun dengan perjanjian-perjanjian licik yang merugikan pribumi. Sehingga ketika banyak daerah terkuasai, terutama tanah, maka perekonomian semuanya akan dikuasai oleh tuan-tuan tanah. Penduduk pribumi pada akhirnya saat itu hanya menjadi pekerja.

Kita tidak akan terlalu mendalam dalam membahas tentang Sarekat Dagang Islam ini, dikarenakan tulisan ini bukanlah tulisan yang kembali mengulas sejarah masa lampau, menceritakan pergolakan sosial dari waktu ke waktu di masa lampau, kemudian mengambil sebanyak-banyaknya literatur untuk merekonstruksi sejarah yang kurang. Tulisan ini bertujuan untuk mengambil sejarah sebagai bahan pelajaran sesuai dengan isi bab buku ini, yaitu peralihan metode perjuangan.

Saya menilai bahwa perjuangan para pemuda dan kaum terpelajar yang tergabung dalam SDI adalah perjuangan yang sangat cerdas. Hal ini dikarenakan beberapa hal berikut:

1.

Perjuangan saat itu bukanlah lagi bergaya pemberontakan fisik yang mengejutkan dan keras. Namun lebih berupa perjuangan pemikiran yang sifatnya perlahan, lembut, namun tetap masif. Hal ini sesuai dengan pembahasan kita terdahulu bahwa kondisi saat itu sangatlah berpotensi terjadinya konflik jika diteruskan dengan perjuangan fisik.

2.

Perjuangan dimulai dari ranah ekonomi. Bahwa ekonomi sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. SDI adalah pelopor kemandirian ekonomi masyarakat berbasis jiwa kewirausahaan dikarenakan pada saat itu kita dapat melihat bahwa para pekerja sebagian besar adalah bekerja untuk pihak penjajah. Perekonomian yang kuat adalah salah satu dari tiga pilar kekuatan suatu bangsa. Pilar lainnya adalah kekuatan militer dan kekuatan agama[2]. Dalam makna yang lebih luas, kekuatan agama ini bisa diibaratkan sebagai kekuatan spiritual suatu negara, ideologinya, dan politiknya.

3.

Perjuangan langsung menyentuh pada sisi pragmatisme masyarakat. Prinsip melayani sebelum mengajak dalam pola penguatan basis dukungan diadopsi oleh SDI. Masyarakat saat itu memang sedang dibuat pragmatis dan diselimuti oleh kenyamanan politik etis penjajah. Hal ini berdampak pada timbulnya preferensi masyarakat terhadap hal yang langsung memenuhi kebutuhan hidupnya: siapa yang memberikan kami kesempatan mendapat sesuap nasi, akan kami ikuti.

Tahun 1912 menjadi momentum perubahan besar SDI. Saat itu SDI di bawah kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto merubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperluas metode dan segmentasi basis dukungan, untuk selanjutnya menggalang kekuatan sebuah perjuangan. Sarekat Islam tidak hanya bertujuan untuk berjuang dalam hal perdagangan dan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu, yaitu perjuangan politik. Hal ini dibuktikan dengan usaha pengurus Sarekat Islam untuk mendaftarkan organisasi tersebut menjadi sebuah badan hukum[3].

Perluasan metode perjuangan hingga ke ranah politik semakin membuat Sarekat Islam benar-benar menjadi kuat, juga akibat segmentasi basis dukungan yang tidak lagi terbatas pada kalangan pengusaha muslim membuat Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar saat itu. Hingga pemerintah kolonial pada awalnya enggan untuk memberikan izin sebagai badan hukum. Namun pada akhirnya permintaan itu dikabulkan pada tahun 1916.

Titik keterbukaan SI dalam mendeklarasikan jati dirinya menjadi jati diri politik adalah pada bulan Juli 1916 dalam Kongres SI di Bandung, dengan 80 perwakilan SI lokal (daerah) dan 360.000 anggota. Sebuah jumlah yang sangat besar bagi organisasi non-kolonial saat itu. Kongres itu disebut sebagai Kongres Nasional SI, yang memang bertujuan untuk menyatukan penduduk asli Indonesia sebagai satu bangsa[4].

Dua pilar kekuatan bangsa sudah mulai dijamah oleh SI. Pilar kekuatan ekonomi dan pilar kekuatan agama atau dalam hal ini politik adalah hal yang dikejar oleh mereka. Jelas, hal ini bertujuan untuk membingkai kemandirian bangsa dalam persatuan rakyat Indonesia. Kita dapat mengambil pelajaran menarik bahwa ketika masyarakat terlebih dahulu dilayani – yang dalam hal ini adalah usaha SDI dalam memandirikian perekonomian umat, untuk selanjutnya akan mudah untuk menggalang dukungan mereka. Dalam politik, aset terbesar adalah dukungan masyarakat. Dan hal ini sudah menjadi kepunyaan SI ketika mulai menginisiasi kebangkitan bangsa.


[1] A French View Of The Netherlands Indies, G.H. Bosquet.

[2] Baca: Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit, Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.

[3] Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, Jilid. 1, Prof. Dr. Slamet Muljana, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2008. Hal. 122 – 125.

[4] Ibid.

Tidak ada komentar: