Jumat, 03 September 2010

Pancasila

Pancasila

Sekarang kita berbicara Pancasila, sesuatu yang hingga sekarang dianggap sebagai falsafah dasar bangsa. Falsafah berarti anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; atau berarti juga pandangan hidup[1]. Lantas kita kemudian akan beranjak pada suatu pertanyaan mendasar: apa perbedaan antara ideologi dengan falsafah?

Sebelumnya kita telah membahas tentang ideologi, bahwasanya ideologi adalah kumpulan konsep bersistem (sistematis) yang secara jelas hal ini membentuk sebuah workframe dan membuat sebuah identitas tersendiri akan sebuah ideologi. Karena sifatnya yang berupa sistem dan mempunyai identitas tersendiri, lantas ideologi sifatnya adalah berdiri sendiri. Pengecualian ada pada suprastruktur sebuah ideologi yang berupa sebuah konsep yang timbul dari sebuah metodologi dan penemuan-penemuan. Untuk itulah, sebuah suprastruktur dari sebuah ideologi tidak akan bisa berdiri sendiri.

Lain halnya dengan falsafah. Saya melihat falsafah sebagai nilai-nilai yang ada dalam hidup. Sistem bisa jadi merupakan substruktur dari sebuah falsafah. Karena sifatnya adalah nilai-nilai, maka falsafah perlu diterjemahkan lebih lanjut ke dalam tataran strategis atau sistemik untuk kemudian bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial, yang ini dinamakan sebuah ideologi. Falsafah sifatnya sangatlah umum, untuk itu, kekhususan sebuah falsafah akan terlihat jika diterjemahkan ke dalam tataran yang lebih aplikatif.

Penerjemahan falsafah ke dalam ideologi inilah yang menjadi ilham lahirnya UUD (Undang-Undang Dasar) 1945. Sehingga untuk mengubah (amandemen) UUD 1945, landasan pengembaliannya adalah pada Pancasila. Namun, UUD 1945-pun tidak serta merta bisa kita anggap sebagai sebuah ideologi, hal ini dikarenakan masih banyak pasal-pasal yang memungkinkan untuk adanya injeksi nilai-nilai ideologi lainnya dalam tataran konsep atau sistem yang lebih teknis. Sebagai contoh, dalam Pasal 1 Ayat 3 dikemukakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kita dapat berpikir kritis tentang hukum apa yang akan ‘mengisi’ Indonesia. Tentunya kita mengetahui bahwa Islam sebagai sebuah ideologi –kali ini kita tidak membicarakan Islam sebagai sebuah landasan akhlak (moral)– juga mempunyai sebuah konsep hukum tersendiri. Kita juga mengenal paham liberalisme yang mempunyai konsep hukum tersendiri, juga kita mengetahui paham komunisme-humanisme yang mempunyai konsep hukum sendiri.

Oleh karena itulah, memahami posisi Pancasila dalam keberjalanan negara menjadi hal yang penting. Bahwasanya dengan adanya opini masyarakat yang mengatakan bahwa Pancasila diposisikan sebagai ideologi suatu negara belum cukup untuk menganggap bahwa negara ini lantas merdeka secara non-fisik.

Ide tentang Pancasila menyeruak saat diadakannya sidang BPUPKI tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Saat itu –walaupun belum merdeka– persiapan akan pembentukan sebuah negara sudah mulai dilakukan. Agenda waktu itu yang paling krusial adalah penentuan dasar negara. BPUPKI memberi amanah kepada tiga orang: Muhammad Yamin, Supomo, dan Soekarno untuk mencari ide tentang dasar negara ini. Sidang waktu itu amatlah pelik, karena menurut Supomo setidaknya ditemukan tiga permasalahan utama dalam menentukan dasar negara[2]:

1. Masalah hubungan negara dengan agama,

2. Masalah bentuk pemerintahan,

3. Masalah hubungan negara dengan ekonomi.

Supomo mengemukakan bahwa untuk menjawab permasalahan ini, terlebih dahulu harus diperjelas definisi negara yang dianut. Kemudian, Supomo mengemukakan teori-teori negara yang telah lama berkembang pada negara-negara Eropa dan Amerika saat itu. Teori-teori terkemuka tentang negara yang dibahas waktu itu contohnya seperti teori kontrak sosial karya Thomas Hobbes dan John Locke dan tokoh liberalis-kapitalis lainnya. Juga teori klas karya Karl Marx, F. Engels, dan tokoh marxis-sosialis lainnya. Namun, yang menarik adalah pernyataan Supomo setelah menjelaskan itu semua. Bahwa teori-teori ini, menurutnya adalah bersifat kontekstual, bergantung pada kondisi sejarah hukum dan sosial masyarakat bangsa yang bersangkutan tetapi belum tentu sesuai dengan Indonesia. Oleh karena itu tidak bisa ditiru begitu saja, namun penting untuk dijadikan pelajaran bagaimana kegagalan dan jatuh bangun bangsa tersebut agar tidak terulang di Indonesia[3].

Diskursus mengenai hubungan negara dengan agama ternyata sudah ada sejak negara ini belum merdeka. Hingga sekarang, kita masih dapat –atau bahkan sering– menemukan pembicaraan-pembicaraan mengenai hal ini. Memang hal ini bukan perkara sederhana, diakibatkan hal ini adalah hal-hal yang sensitif. Banyak orang berpandangan pluralistik dalam menyikapi hal ini, yaitu menganggap bahwa jika hubungan agama dan negara saling berkaitan erat, maka harus dianggap bahwa semua agama sama, yaitu mengajarkan kebaikan. Sehingga mereka berpendapat bahwa hanya nilai-nilai agama yang bersifat umumlah (hal ini pada nilai yang umum, bukan agamanya) yang bisa dijadikan dasar hukum dalam sistem kenegaraan. Nilai-nilai yang sifatnya umum ini dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak membolehkan pembunuhan, tidak membolehkan pencurian, dan lainnya.

Namun, tidak semua orang sepakat dengan konsep pluralisme. Salah satu ajaran yang tidak sepakat dengan pluralisme (menganggap semua agama sama) adalah Islam. Islam tidak melarang orang untuk beragama apapun, namun Islam tidak sepakat dengan usaha penyamarataan nilai agama dan pencampuradukannya.

Kemudian timbul konsep sekulerisme, sebuah konsep yang menganggap bahwa tidak ada hubungan antara agama dengan institusi yang bernama negara. Hal ini lebih parah, dan memosisikan peran agama dalam negara lebih kerdil lagi. Agama hanya berguna sebagai aturan antara seorang manusia dengan Tuhannya. Sementara, urusan publik yang dalam hal ini diidentikkan dengan institusi negara harus dibuat dari nol dan dibuat oleh manusia sendiri.

Kembali ke pembahasan awal, bahwa Pancasila hadir sebagai falsafah hidup saat itu boleh jadi untuk menengahi pergulatan ini. Bisa juga memang Pancasila hadir sebagai pergumulan panjang negeri ini tentang nilai sejarah dan kebudayaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Supomo tentang nilai historis. Pancasila bukanlah timbul dari satu – dua orang, atau dalam satu – dua hari, akan tetapi hal ini merupakan puncak idealisasi kebudayaan Indonesia sejak dahulu, saat Indonesia masih terpecah ke dalam peradaban – peradaban kecil berupa kerajaan[4].

Karena sifatnya yang sangat bernilai historis dan ditelurkan dari proses yang panjang, wajar jika sampai saat ini nama Pancasila masih sangat populer. Biar bagaimanapun, Pancasila tetap mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Pancasila bukan cermin dari pluralisme, bukan juga cermin dari sekulerisme. Pancasila adalah cerminan jati diri bangsa yang majemuk, dan –yang seperti kita bahas sebelumnya– bahwa Pancasila memang sengaja dibuat untuk mewadahi nilai-nilai ideologis yang ada dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Jadi, wajar sebenarnya jika memang nantinya dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini diadopsi dari suatu ideologi tertentu. Pada akhirnya, pergulatan ideologi tidak pernah berakhir hingga saat ini.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Lihat: Falsafah.

[2] Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Dr. P. J. Suwarno, S.H, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal 39 – 46.

[3] Ibid.

[4][4] Ibid. Puncak idealisasi dalam hal maksudnya adalah merupakan rangkuman tradisional turun temurun yang menjadi karakter kehidupan masyarakat, dan akhirnya disempurnakan dengan nama Pancasila.

Tidak ada komentar: