Sabtu, 18 September 2010

Neoliberalisme di Indonesia

Sistem Ekonomi Neoliberal di Indonesia

Kita mengetahui tiga sistem perekonomian yang populer di dunia: Sosialisme, Kapitalisme, dan sistem ekonomi Islam. Namun kita harus mengakui bahwa sistem ekonomi yang sedang menghegemoni dalam dunia ini adalah sistem ekonomi kapitalisme. Pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme ini merupakan suatu suprastruktur dari suatu ideologi yang disebut liberal (bebas). Namun, ideologi ini lebih dikenal karena sistem ekonominya yang bernama Kapitalisme. Dikatakan liberal dikarenakan ideologi ini sangat menekankan kebebasan individu dalam segala sendi kehidupan. Dalam ilmu psikologi, kita mengenal Teori Hierarchy Needs karya Abraham Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan seorang manusia. Dalam ilmu ekonomi kita mengetahui Teori Invisible Hand karya Adam Smith yang menyerahkan mekanisme demand – supply pada kebebasan pasar, yaitu kebebasan para penjual, pembeli, dan para spekulan dalam menentukan harga. Dalam ilmu politik kita mengenal Demokrasi dan jargon terkenalnya Vox Populi Vox Dei (Suara Masyarakat adalah Suara Tuhan) meskipun dalam hal ini yang ditekankan adalah kebebasan masyarakat. Sisi kebebasan kapitalisme berada pada bolehnya individu menguasai semua sendi kehidupan ekonomi, asalkan ia mampu. Seiring perkembangan zaman, penguasaan individu ini diperluas maknanya kepada kepemilikan privat, yang tidak hanya dimiliki oleh individu, namun juga keluarga, sejawat, kelompok, ataupun lembaga yang status kepemilikannya adalah milik non-pemerintah.

Adam Smith, dalam bukunya The Theory Of Moral Sentiments (1754) mengemukakan bahwa seharusnya kepemilikan privat tetap harus dikendalikan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai regulator. Ia menyebut kepemilikan privat sebagai self interest dan pengendalian pemerintah sebagai self restraint. Walaupun Adam Smith dikenal sebagai salah satu pencetus ekonomi liberal, namun ia tetap menyadari bahwa kebebasan individu (privat) tetap harus ada batasnya. Namun tidak cukup hanya sampai di situ, pengendalian dari pemerintah ini harus dilakukan secara lebih spesifik dan tegas. Dalam teori ekonomi modern –yang juga berkiblat pada teori ekonomi kapitalis– dijabarkan tiga peran utama pemerintah dalam mengelola perekonomian. Pertama, menjaga dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Kedua, menjaga dan meningkatkan keadilan dalam perekonomian. Ketiga, menjaga kestabilan perekonomian.

Dalam menjaga dan meningkatkan efisiensi perekonomian, pemerintah harus berperan aktif dalam peningkatan terjadinya kompetisi dan mencegah terjadinya monopoli. Hal ini sangat sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Juga pada ayat 4 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan. Monopoli jelas bertentangan dengan prinsip di atas, dikarenakan yang dirugikan pada akhirnya adalah konsumen, yang dalam hal ini menyangkut masyarakat banyak. Kemudian, peran selanjutnya adalah menangani eksternalitas, yaitu segala hal yang berasal dari faktor luar (uncontrollable factors), yang berpengaruh pada kondisi perekonomian, seperti kebijakan penanganan bencana dan lainnya. Selanjutnya, pemerintah harus menyediakan public goods dan melakukan intervensi pasar jika dinilai mekanisme pasar mengalami kegagalan.

Dalam menjaga dan meningkatkan keadilan dalam perekonomian, pemerintah harus menangani adanya kesenjangan pendapatan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme pajak dan redistribusi income kepada yang membutuhkan. Caranya antara lain dengan subsidi, pajak, transfer, dan lainnya. Pendapatan masyarakat tidak semuanya sama, dan untuk mencegah ketidak samaan yang semakin ekstrem, dilakukanlah redistribusi seperti subsidi listrik bagi masyarakat menengah ke bawah, subsidi biaya perguruan tinggi, atau pengenaan pajak yang tinggi bagi penduduk yang kaya sesuai dengan faktor kewajiban kena pajaknya. Semakin besar penghasilan seseorang, semakin besar pula pajak penghasilan yang dikenakannya, dan sebagainya. Hal ini sesuai juga dengan prinsip UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2 dan 3 tentang jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah. Juga tanggung jawab negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.

Sedangkan dalam menjaga kestabilan perekonomian pemerintah harus menggunakan kebijakan fiskal (berhubungan dengan pajak) dan moneter (berhubungan dengan keuangan negara) untuk menekan pengangguran dan inflasi. Kita mengetahui bahwa angka pengangguran Indonesia (pada usia produktif) masih berkisar 9 – 10 juta jiwa (Sumber: BPS). Karena itulah pemerintah harus memacu terbukanya lapangan pekerjaan baru, salah satunya dengan memperbesar kepemilikan privat pada salah satu faktor produksi di negara ini. Sedangkan, dari sisi inflasi pada Agustus 2010 ini sudah mencapai 4.82% yang mana angka ini termasuk tinggi jika dibandingkan pada akhir 2009 kemarin inflasi hanya 2.78% (Badan Pusat Statistik). Hal ini akan memacu peningkatan angka pengangguran di Indonesia.

Sisi buruk neoliberalisme –seperti yang telah dijabarkan– ada pada kebebasan yang tidak terbatasi. Padahal hal ini sudah disangkal oleh Adam Smith. Di Indonesia, neoliberalisme mulai tercium sejak masuknya IMF. Hal ini semakin parah pasca krisis 1998, dan hingga sekarang makin menjamur, bahkan di banyak sektor, tidak hanya ekonomi. Kita mengenal adanya SAP (Structural Adjustment Program) dan Washington Concencus yang semakin memburamkan tiga peran utama pemerintah yang telah dibahas sebelumnya. Salah satu peran yang ‘diserang’ adalah tentang kewajiban pemerintah menyediakan barang publik (public goods). Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 dikemukakan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, bahkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pasal ini kita sudah dapat menentukan bahwa barang-barang publik seperti tanah, air, tambang, dan mineral yang terkandung dalam bumi seharusnya dikuasai oleh negara. Jikalaupun negara mempunyai keterbatasan dalam mengelolanya, negara berhak menunjuk institusi privat untuk mengelolanya, dan negara memberikan insentif. Namun, batas pengelolaan ini harus diutamakan untuk kemakmuran rakyat, dalam artian mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan privat atau bahkan bangsa lain.

Demikian halnya dengan cabang-cabang produksi penting, seperti manusia, sandang, pangan, dan perumahan, pendidikan, kebudayaan, jalan raya, jalan kereta api, infrastruktur pendukung utama dan perhubungan, seharusnya benar-benar dikuasai negara. Namun pada kenyataannya banyak tekanan-tekanan politik asing yang ‘mengebiri’ konstitusi tersebut, atau menimbulkan distorsi pemahaman atasnya. Selain memang keterbatasan negara dalam mengelolanya, seperti keterbatasan anggaran, teknologi, dan sebagainya.

Namun, negara ini bukan penganut sistem ekonomi sosialisme yang sangat tertutup dengan kepemilikan privat. Negara ini masih memberikan ruang untuk kepemilikan privat dan derivasinya. Banyak contoh barang atau cabang produksi yang dapat dimiliki oleh institusi privat. Contohnya, alat komunikasi, mesin, alat transportasi penunjang seperti angkot, delman, kereta api, pesawat, hingga yang lebih kecil seperti sabun, sepatu, shampoo, dan sebagainya. Pada intinya, cabang produksi yang tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak boleh dikuasai oleh institusi privat.

Tekanan politik dari pihak privat dan asing telah membuat adanya overlap kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat. Kita dapat melihat contoh Blok Cepu atau Gunting yang dikuasai oleh perusahaan asing dari Amerika ExxonMobil, atau Blok Semai V yang ‘diberikan’ kepada Hess. Serupa, tembaga dan emas di Mimika, Papua yang dikuasai Freeport. Sementara, kebijakan yang membuka lebar-lebar overlap ini sudah mulai diberlakukan secara sistematis seperti pemberlakuan UU Migas pada tahun 2001, UU Ketenagalitrikan tahun 2009, pengurangan subsidi secara terus menerus (bukan memperbaiki agar tepat sasaran), dan lainnya. Dampak kepemilikan publik yang menjadi privat sangatlah berbahaya. Dampak yang dapat terlihat langsung adalah prioritas kemakmuran. Penguasaan negara menuntut prioritas kemakmuran ada pada bangsa sendiri, sedangkan penguasaan privat menuntut prioritas kemakmuran pada institusi privat tersebut. Sementara penguasaan asing jelas menuntut prioritas pada kemakmuran bangsa asing. Dampak lainnya adalah monopoli atau kenaikan harga barang tersebut, atau bahkan rentannya harga barang tersebut terhadap instabilitas yang disebabkan spekulan-spekulan yang beredar.

Itu baru dari sektor energi. Sedangkan dalam kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan dalam bangsa ini kita masih banyak menemukan nafas-nafas neoliberalisme, dan banyak juga ditemui dari sektor-sektor lainnya. Seperti sektor ekonomi, pendidikan, sumber daya alam non-mineral, dan sosial budaya.

Dalam sektor ekonomi, kita dapat dengan mudah menemukan bahwa aroma-aroma neoliberalisme sudah sedemikian jauhnya memasuki sendi peraturan di negeri ini. Pengurangan subsidi salah satunya. Dengan pengurangan ini, langkah pemerintah untuk membuat ekonomi semakin adil agaknya akan semakin jauh dari harapan. Pasalnya, redistribusi pendapatan tidak akan berjalan dengan baik. Pengurangan-pengurangan ini semakin menjadi-jadi dengan alasan penghematan. Akan tetapi, banyak dari pengurangan ini yang tidak dibarengi dengan resegmentasi subsidi, sehingga subsidi masih banyak yang tepat sasaran. Contohnya adalah subsidi BBM, subsidi BBM untuk listrik, dan lainnya. Privatisasi BUMN juga merupakan salah satu cirinya, dimana peran negara dalam menyediakan kepemilikan publik semakin dikebiri.

Dari sektor pendidikan yang merupakan salah satu urat nadi penting pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa, dapat juga ditemukan aplikasi neoliberal. Salah satunya adalah dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP, meskipun telah dibatalkan), yang membuka sebesar-besarnya peran privat bagi pengelolaan pendidikan di negeri ini dan mengurangi peran pemerintah. Bahkan dalam tataran yang lebih filosofis adalah adanya paradigma bahwa universitas sekarang adalah penyedia tenaga kerja bagi industri dan riset yang dilakukan adalah untuk industri (triple helix).

Dalam sektor Sumber Daya Alam (SDA) non-mineral kita juga dapat menemukan banyak sekali kepemilikan publik yang boleh dimiliki kepemilikan privat, dimana hutan yang seharusnya dikuasai oleh negara ternyata dikuasai oleh pihak privat hingga bertahun-tahun dan mengambil manfaat banyak darinya.

Terakhir, dari sosial budaya juga kita dapat menemukan aroma neoliberal, yaitu dijadikannya kebudayaan bangsa menjadi komoditas privat. Padahal, kita sendiri mengetahui bahwa budaya adalah karakter bangsa, dibentuk dari pendidikan masyarakat dan transformasi sosialnya. Hal ini terlihat dari pembentukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), bukan lagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Pada akhirnya, kita memang harus mengawasi segala sisi buruk neoliberalisme dengan terlebih dahulu mengenal filosofinya, dan usaha-usaha untuk menjadikan negeri ini berkiblat pada sistem ekonomi tersebut.

Tidak ada komentar: