Selasa, 14 September 2010

Idul Fitri Dalam Konteks Kebangsaan

Idul Fitri Dalam Konteks Kebangsaan

Banyak persepsi orang dalam memaknai momentum idul fitri. Kita dapat melihat orang yang menyambut idul fitri dengan sesuatu yang serba baru. Segala halnya harus baru, mulai dari yang terluar hingga terdalam: pakaian hingga jiwa. Sehingga, idul fitri dijadikan momentum untuk berubah. Ada juga yang memaknai sebagai momentum bermaafan. Setiap orang yang ia pernah rasa berbuat salah ia mintakan maaf, begitu pula dengan orang yang memohon maaf padanya, langsung ia maafkan. Ada pula orang yang memaknai idul fitri sebagai kemenangan. Kemenangan dalam melawan hawa nafsu. Setelah sudah sebulan lamanya berhasil melatih diri untuk dapat mengendalikan hawa nafsu. Ada pula yang memaknai idul fitri sebagai momentum untuk bermuhasabah, dikarenakan sudah meninggalkan bulan Ramadhan yang mulia, dan pengharapan akan pertemuan kembali di Ramadhan selanjutnya.

Sebenarnya, kita juga bisa melihat idul fitri dari sisi lain dari yang selama ini terlihat dari kehidupan sosial masyarakat. Idul fitri, sesuai arti harfiahnya adalah kembali kepada fitrah. Kembali kepada fitrah sebenarnya tidak sebatas seperti bayi yang lahir yang putih dan (insya Allah) semua dosa diampuni. Kembali kepada fitrah adalah kembali kepada pola kehidupan sosial yang seharusnya sesuai bimbingan Allah SWT. Kita dapat melihat bahwa sebenarnya bulan Ramadhan adalah bulanpendidikan’. Saat itu kita ditempa untuk menjadi karakter taqwa. Sebulan penuh seharusnya sudah cukup untuk membiasakan diri seseorang untuk mengubah karakternya. Dan kita bisa melihat bagaimana seharusnya pola kehidupan sosial yang ideal ada di kala Ramadhan.

Saat Ramadhan kita dilatih untuk tidak bermalasan. Pagi-pagi benar kita sudah bangun untuksarapan’. Kemudian beribadah dan berdzikir pagi hari sebelum melaksanakan aktivitas. Siang hari hingga sore hari kita pakai untuk bekerja. Dan maghrib untuk kembali berdzikir sembari makan (berbuka). Malam hari, saatnya untuk maksimalisasi ibadah. Menyedikitkan tidur, menahan dari hawa nafsu seperti marah, menggunjing, berdusta, dan lain sebagainya. Di akhir bulan berzakat, dan semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.

Itulah yang dimaksud dengan kehidupan fitri kita. Seharusnya pola hidup sosial manusia adalah yang seperti kita lakukan saat Ramadhan. Meskipun memang tidak mesti sama. Dan hari raya idul fitri adalah momentum ‘wisudadan kita, para pesertanya mendapat gelarsarjana taqwa’. Diharapkan kehidupan selanjutnyapasca Ramadhankembali kepada fitrah seperti saat Ramadhan.

Dalam konteks kebangsaan, kita seharusnya memaknai momentum idul fitri untuk mengembalikan bangsa ini kepada fitrahnya. Kepada kondisi default-nya. Jika kita bertanya seperti apakah kondisi fitrah bangsa ini, maka kita harus benar-benar menelusuri romantisme sejarah Indonesia masa lalu. Kita harus menggali kembali kearifan-kearifan masa lalu kita. Kita harus mengetahui mengapa alasan pendahulu kita menyebut Indonesia sebagaigemah ripah loh jinawi’. Atau mengapa alasan pendahulu kita menyebut Indonesia sebagaitanah surga’.

Mungkin kita terlalu banyak mengadopsi kearifan-kearifan bangsa lain yang mungkin saja tidak sesuai dengan kondisi sosial kita. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah berkata bahwa sebuah bangsa yang melawan prinsipnya sendiri tidak akan mampu bertahan. Jika kita tengok dari segi geografis, 70% wilayah Indonesia adalah lautan. Namun hingga sekarang, mengapajales viva jaya mahehanya sekedar menjadi jargon belaka? Nelayan kita masih saja menjadi lapisan sosial yang termarjinalkan. Perahu melautnya tetap saja dalam kondisi seadanya. Ikan kita masih sering dijarah pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, ayam masih jauh lebih populer dibandingkan ikan.

Jika kita ke daratan, kita akan melihat banyaknya sungai. ‘Air mengalir sampai jauhadalah syair lagu yang sering kita dengar. Namun, tanah kita masih sering banjir. Padi, adalah tanaman yang tidak efektif menyerap air. Air akan berlalu dengan cepatnya jika melewati lahan yang ditanami padi. Sehingga wajar jika kita sering kebanjiran. Ada yang bilang bahwa seharusnya makanan pokok kita bukanlah nasi. Dikarenakan kondisi geografis kita yang tidak sepenuhnya match dengan padi. Kita seharusnya memakan sagu, atau makanan lain yang tanamannya besar, yang berasal dari ekosistem hutan, bukan ladang. Sehingga tanaman besar itu lebih efektif dalam menyerap air. Sehingga, banjir juga dapat terminimalisasi.

Pembangunan besar-besaran ladang dimulai sejak adanya Revolusi Hijau. Kita dapat melihat bahkan sampai tanah miring di kaki pegunungan atau perbukitanpun tidak luput dari perubahan penggunaan. Akibatnya, tanah longsor terjadi di mana-mana.

Ini baru masalah geografis. Belum lagi masalah lain yang lebih sering kita temui seperti masalah sosial, budaya, bahkan pengelolaan kenegaraan. Kita mungkin terlalu sering mengadopsi hal-hal baru tanpa melihat apakah cocok diterapkan dalam kehidupan berbangsa ini atau tidak. Tidak semua adopsi kemodernan bangsa lain cocok untuk masyarakat Indonesia. Jauh-jauh sebelum ini Soepomo juga pernah mengatakan hal serupa saat sidang BPUPKI tahun 1945.

Untuk itulah, mari kita hayati kembali momentum idul fitri ini untuk kembali kepada fitrah kita. Fitrah bangsa yang besar, bangsa yang kaya dan seharusnya bisa mengelola kekayaannya. Fitrah bangsa yang menjadi perhatian dunia namun bisa meneguhkan posisinya menjadi perhatian yang terhormat. Fitrah bangsa yang sejahtera lahir dan batin. Dan fitrah bangsa yang menang.

Tidak ada komentar: