Senin, 27 September 2010

Long Way To Everlasting Beauty [1]

Long Way To Everlasting Beauty [1]

200 tahun bukan usia yang muda untuk sebuah kota, dan sebentar lagi Bandung akan mencapai usia ini. Baru saja Bandung merayakan pencapaian 200 tahunnya, dengan acara-acara yang sudah sedemikian rupa dirancang, baik oleh pemerintah kota maupun beberapa LSM dan komunitas. Momentum hari kelahiran biasanya dimanfaatkan untuk kembali melihat pencapaian yang telah dilakukan di masa lalu, ibarat siklus Plan-Do-Check-Action dalam ilmu manajemen kualitas, maka momentum ini merupakan momentum yang tepat untuk masuk ke tahap Check. Sehingga nantinya kesimpulan-kesimpulan yang didapat akan menggiring kita pada suatu masukan untuk selanjutnya melakukan follow up, sebuah aksi nyata (action), langkah apa yang seharusnya ditempuh: mengubah kebiasaan (habit), atau reorientasi tahap plan untuk rentang waktu selanjutnya. Pilihan biasanya terkait dua hal tersebut, rekonstruksi atau reorientasi.

Logo 200 Tahun Kota Bandung sudah tersebar di seantero kota, dengan mengambil tajuk bunga, dan slogan “Everlasting Beauty” yang tentunya menjadi sebuah harapan bagi Bandung untuk benar-benar menjadi cantik selamanya. Long way to become everlasting beauty, but it is possible. Butuh waktu yang panjang dan tekad yang kuat dan ini mungkin, menjadi Bandung yang benar-benar diidamkan. Kota yang memberi kenyamanan dan ketenangan di kala istirahat, serta menyejahterakan di kala beraktivitas.

Berbicara tentang Bandung dewasa ini, kita berkali-kali mendengar banyak isu yang mencuat di tengah-tengah masyarakat. Setidaknya ada empat isu utama yang belakangan ini terus menerus menjadi perhatian dalam pengelolaan Bandung yang kita cintai, yaitu isu Lingkungan, Infrastruktur, Tata Kota, dan Ekonomi. Dimana kesemuanya menyangkut kepentingan publik dan berkaitan langsung dengan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Pertama, mengenai isu lingkungan hidup di kota Bandung, dimana sorotan utamanya ada pada degradasi lingkungan. Kita sama-sama mengetahui bahwa Bandung adalah sebuah dataran tinggi berbentuk seperti cekungan yang dikelilingi pegunungan. Bagian utara Bandung adalah kontur perbukitan, sementara bagian selatan adalah dataran yang semakin rendah, hingga pada titik terendahnya adalah sungai terpanjang di Jawa Barat: Citarum. Setelah itu, dataran kembali naik hingga akhirnya bertemu dengan deretan tatar parahyangan selatan. Sementara bagian barat dan timur Bandung adalah perbukitan. Kontur pegunungan seperti ini menyebabkan Bandung adalah daerah basah, baik basah dari atas (frekuensi hujan yang tinggi) maupun basah dari bawah (aliran air yang banyak), yang kesemuanya mengalir ke arah selatan, ke sungai Citarum.

Citarum berhulu di Situ Cisanti, daerah lereng Gunung Wayang di pegunungan selatan. Kondisi Citarum sudah sedari hulu sudah tidak terjaga dengan baik. Sebelum Majalaya, Citarum mengalami eksploitasi pasir sungai yang cukup besar. Sedangkan ketika sudah mulai masuk Majalaya hingga daerah Curug Jompong, air Citarum akan bercampur dengan bermacam-macam limbah, baik itu industri, sawah, ataupun rumah tangga. Daerah Aliran Sungai (DAS) citarum tidak luput dari ulah manusia yang mendirikan kantong-kantong penduduk di sana. Bencana terjadi ketika musim hujan tiba, di mana DAS tersebut mau tidak mau harus juga terendam, dan akhirnya kawasan ini (Baleendah, Bojongsoang, Majalaya, dll) menjadi langganan banjir tiap tahunnya.

Meskipun sebenarnya Sungai Citarum tidak masuk ke dalam daerah administratif Kota Bandung, namun banjir yang terjadi tiap tahunnya juga dipengaruhi dari Kota Bandung, di mana banyak sungai yang airnya mengalir ke Citarum, dan hal ini berdampak pada semakin tingginya debit air di sungai Citarum, sehingga luapan air tidak dapat dihindari. Pemerintah Kota Bandung seharusnya bisa lebih berperan dalam konservasi kawasan hulu sungai yang mengalir di Bandung dan bermuara di Citarum.

Salah satu sungai yang mengalir di tengah-tengah Bandung adalah Sungai Cikapundung. Kondisinya setali tiga uang dengan Citarum, namun cenderung lebih baik. Cikapundung berasal dari lereng gunung Bukittunggul di sebelah utara Bandung. Sungai ini melewati maribaya dan beberapa daerah pemukiman, membuatnya sudah mulai tercemar sejak dari hulu. Adanya Taman Hutan Raya yang menjaga kelestarian DAS Cikapundung sejauh sekitar 6 km memang belum begitu efektif mengingat degradasi ini terjadi sebelum melewati hutan ini. Di pusat kotapun sungai ini bertambah pencemarannya karena melewati dan dekat sekali dengan daerah pemukiman penduduk, sehingga sangat berpotensi besar tercemar oleh limbah rumah tangga. Belakangan timbul wacana untuk memperluas daerah konservasi DAS, yaitu sekitar sebelum Kebun Binatang Kota Bandung hingga Jembatan Pasupati, namun kepadatan daerah pemukiman di situ menjadi salah satu kendala.

Tidak ada komentar: