-----Original Message-----
From: Susie [mailto:iso@pacificmedan.com]
Sent: Friday, April 18, 2008 10:30 AM
To: @mail.bankakita.co.id
Subject: Piring Kayu & Gelas Bambu
Piring Kayu & Gelas Bambu
SEORANG lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya
tinggal
bersama anaknya, Arwan dan menantu perempuannya, Rina, serta
cucunya, Viva yang baru berusia enam tahun. Keadaan lelaki
tua itu sudah uzur, jari-jemarinya senantiasa gemetar dan
pandangannya semakin hari semakin buram.
Malam pertama pindah ke rumah anaknya, mereka makan malam
bersama. Lelaki tua itu merasa kurang nyaman menikmati
hidangan di meja makan. Dia merasa amat canggung menggunakan
sendok dan garpu. Selama ini dia gemar bersila, tapi di
rumah
anaknya dia tiada pilihan. Cukup sukar dirasakannya,
sehingga
seringkali makanan tersebut tumpah. Sebenarnya dia merasa
malu seperti itu di depan anak menantu, tetapi dia gagal
menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik menantu, selera
makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas minuman,
pegangannya terlepas. Praaaaaannnnngggggg !! Bertaburanlah
serpihan gelas di lantai.
Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut
serpihan gelas itu, tapi Arwan melarangnya. Rina cemberut,
mukanya masam. Viva merasa kasihan melihat kakeknya, tapi
dia
hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.
"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva
mendengar
ibunya berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk
ke dalam kamar. Arwan hanya membisu. Sempat anak kecil itu
memandang tajam ke dalam mata ayahnya.
Demi memenuhi tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja
kecil yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di
situlah ayahnya menikmati hidangan sendirian, sedangkan anak
menantunya makan di meja makan. Viva juga dilarang apabila
dia merengek ingin makan bersama kakeknya.
Air mata lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan
demikian. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang
ditinggalkan. Dia terkenang arwah isterinya. Lalu
perlahan-lahan dia berbisik: "Miah... buruk benar
layanan anak kita
pada abang."
Sejak itu, lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ.
Setiap hari dia dihardik karena menumpahkan sisa makanan.
Dia
diperlakukan seperti budak. Pernah dia terpikir untuk lari
dari situ, tetapi begitu dia teringat cucunya, dia pun
menahan
diri. Dia tidak mau melukai hati cucunya. Biarlah dia
menahan diri dicaci dan dihina anak menantu.
Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan
menggunakan piring kayu, begitu juga gelas minuman yang
dibuat
dari bambu. Dia mencoba mengingat-ingat, di manakah dia
pernah melihat piring seperti itu. "Oh! Ya..."
bisiknya.
Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya
dia
melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka
menggunakan piring yang sama!
"Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu,
nanti habis
piring dan mangkuk ibu," kata Rina apabila anaknya
bertanya.
Waktu terus berlalu. Walaupun makanan berserakan setiap kali
waktu makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah.
Apabila
Viva memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan,
kedua-duanya hanya berbalas senyum.
Seminggu kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina
terperanjat melihat anak mereka sedang bermain dengan
kepingan-kepingan kayu. Viva seperti sedang membuat sesuatu.
Ada palu, gergaji dan pisau di sisinya. "Sedang membuat
apa
sayang? Berbahaya main benda-benda seperti ini," kata
Arwan
menegur manja anaknya. Dia sedikit heran bagaimana anaknya
dapat mengeluarkan peralatan itu, padahal ia menyimpannya di
dalam
gudang.
"Mau bikin piring, mangkuk dan gelas untuk Ayah dan
Ibu.
Bila Viva besar nanti, supaya tak susah mencarinya, tak usah
ke pasar beli piring seperti untuk Kakek," kata Viva.
Begitu mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut. Perasaan
Rina terusik. Kelopak mata kedua-duanya basah. Jawaban Viva
menusuk seluruh jantung, terasa seperti diiiris pisau.
Mereka tersentak, selama ini mereka telah berbuat salah !
Malam itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Rina
menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas.
Nasi
yang tumpah tidak dihiraukan lagi. Viva beberapa kali
memandang ibunya, kemudian ayah dan terakhir wajah kakeknya.
Dia tidak bertanya, cuma tersenyum saja, bahagia dapat duduk
bersebelahan lagi dengan kakeknya di meja makan. Lelaki tua
itu juga tidak tahu kenapa anak menantunya tiba-tiba
berubah.
"Esok Viva mau buang piring kayu dan gelas bambu
itu" kata
Viva pada ayahnya setelah selesai makan. Arwan hanya
mengangguk, tetapi dadanya masih terasa sesak.
MORAL OF THE STORY - Hargailah kasih sayang kedua orang tua
kita. Bapak Ibu kita hanya satu, setelah meninggal tidak
akan
ada pengganti. Jadi, berbaktilah kepada mereka selagi hidup !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar