Boedi Oetomo
Implikasi lain dari Politik Etis –terutama tentang kebijakan pendidikan yang dinilai tetap saja untuk memperalat pribumi– adalah timbulnya kesadaran untuk mengembalikan pendidikan ke hakikat aslinya yaitu membuat manusia dapat berpikir lebih kritis, dan lebih mengenal realitas sosial disekitarnya[1]. Pasalnya pendidikan saat itu hanya diberikan untuk mempersiapkan kaum pribumi untuk menjadi abdi pemerintahan kolonial, hingga yang terpikir adalah kesejahteraan kolonial dan diri mereka sendiri.
Melihat kenyataan tersebut, perjuangan pemikiran setelah Sarekat Dagang Islam kembali muncul. Kali ini juga berasal dari kaum terpelajar yang memang benar-benar sudah mengenyam pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah kolonial. Adalah sembilan anak muda siswa STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang bernama Soetomo, Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirjo, M. Soewarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg pada hari Rabu, 20 Mei 1908, mendeklarasikan sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo[2].
Konsep Studiefonds[3] yang dicanangkan Wahidin Soedirohoesodo menjadi titik inspirasi bagi Boedi Oetomo. Hal ini juga yang menjadi makna dari nama ‘Boedi Oetomo’. Boedi bermakna budi pekerti, spiritual, akhlak. Oetomo bermakna yang utama. Boedi Oetomo berarti menjadikan budi pekerti atau akhlak adalah yang utama.
Manifesto umum berdirinya Boedi Oetomo sebenarnya adalah sama-sama untuk membantu perjuangan masyarakat pribumi, yang saat itu diidentikkan dengan bangsa Jawa. Namun, seiring berjalannya waktu, Boedi Oetomo memfokuskan diri terhadap permasalahan pendidikan kaum pribumi. Manifesto umum itu tertuang dalam kutipan, “Meringankan beban perjuangan hidup bangsa Jawa melalui perkembangan yang harmonis dan kerohanian” [4].
Meskipun begitu, banyak kalangan menilai bahwa Boedi Oetomo adalah organisasi esklusif yang hanya terdiri dari kalangan priayi, tidak bersifat nasionalis, dan bahkan menjadi antek kolonial. Hal ini boleh dibilang cukup beralasan, karena pada masa keberjalanannya, memang mayoritas anggota Boedi Oetomo berasal dari kalangan priayi meskipun priayi kelas rendah. Penyebab inilah yang membuat rakyat kecil merasa takut dan enggan untuk bergabung ke organisasi ini.
Kemudian tentang isu tidak nasionalis dan bersifat golongan, ini juga diawali dari manifesto umum organisasi tersebut yang terkesan mempunyai segmen hanya bangsa Jawa. Kita dapat memaklumi bahwa pada saat itu kondisi perkembangan nusantara masih berpusat di Jawa. Sehingga banyak sekolah-sekolah hasil kebijakan Politik Etis dibangun di sana. Namun lebih jauh dari itu, sebenarnya pemilihan fokus kepada bangsa Jawa adalah karena bangsa Jawa mempunyai kebudayaan yang hampir seragam. Saya tidak mengetahui secara pasti mengapa mereka memilih kebudayaan yang hampir seragam.
Boedi Oetomo adalah organisasi yang netral dan tidak berbasis keagamaan seperti Sarekat Islam. Namun kita harus mempertanyakan dalam hal ini sejauh apa netralitas itu dipertahankan, dan sejauh apa kebebasan agama tetap dilakukan. Pasalnya, dengan berdirinya Sarekat Islam, Boedi Oetomo akhirnya mengambil langkah yang cukup tidak populer dalam Kongres yang diadakan pada tahun 1917, yaitu melepaskan Islam dari wacana organisasi[5]. Pada akhirnya simbol kebebasan agamapun digaungkan untuk tetap mendapat basis massa yang banyak, mengingat basis massa sebelumnya berkurang akibat kebijakan melepaskan Islam.
Dalam keberjalanannya, Boedi Oetomo lebih dekat kepada ajaran teosofi dan kebudayaan Jawa yang berakar pada ajaran Hindu dan Budha[6]. Lantas, kenetralan dan kebebasan agama apa yang selama ini diopinikan? Saya tidak ingin membawa diskusi ini ke ranah agama, tentang baik buruk, benar atau salah. Hanya dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada akhirnya Boedi Oetomo tidak konsisten dengan manifesto politiknya.
Sedangkan mengenai isu mejadi antek kolonial, hal ini diawali dari kongres perdana Boedi Oetomo. Momentum itu menjadi titik tolak Boedi Oetomo untuk menjadi organisasi politik. Selama keberjalanannya, Boedi Oetomo mengambil langkah moderat, partisipatif, dan bersahabat[7]. Hal inilah yang menggiring opini publik bahwa Boedi Oetomo telah menjadi antek kolonial.
Terlepas dari pro kontra mengenai isu tersebut, saya memberi apresiasi yang sangat besar juga kepada Boedi Oetomo, karena menjadi salah satu pelopor kebangkitan nasional, yaitu perjuangan akan persatuan bangsa yang dibingkai dalam perjuangan pemikiran. Kita dapat menjadikan para pemuda dan kaum terpelajar sebagai inspirasi, tentang bagaimana kita dapat berpikir tentang persatuan dan keinginan akan kesejahteraan bersama yang dimulai dari kebangkitan dari penindasan. Padahal, kita sama-sama mengetahui bahwa pada era tersebut, penduduk pribumi dibuai dalam zona nyaman akibat ‘permen’ Politik Etis, sehingga berimplikasi pada timbulnya jiwa-jiwa kerdil, yang threshold ketenangan hatinya adalah apabila jiwanya sudah sejahtera.
Kita dapat belajar bagaimana menjadi manusia yang berjiwa besar seperti Sarekat Islam dan Boedi Oetomo. Kita dapat belajar bagaimana jiwa peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dibangun tidak hanya dengan teori-teori, tetapi dari karakter yang merasa senasib sepenanggungan di bawah kolonialisme. Bagaimana Sarekat Islam yang hanya berbasis ekonomi, perdagangan, dan sedikit belajar tentang teori pemasaran bisa memikirkan hal yang lebih besar. Juga Boedi Oetomo yang berbasis kedokteran (STOVIA) dapat juga membawa diri mereka ke perbincangan dan wacana kesejahteraan bangsa.
Dan kita mau tidak mau juga harus mengulang sedikit pembahasan kita di awal. Ketika itu kita berkesimpulan bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti. Karena ketika hal itu berhenti, pertanda kita telah mati. Bagaimanapun, perjuangan akan menemukan metode yang tepat sesuai kondisi zamannya, dan tugas kita sebenarnya adalah sederhana: memasang badan dan menyelupkan diri kita ke dalam pergolakan perjuangan tersebut, dan ketika zaman sudah mulai berubah, saat itu juga kita harus merekonstruksi perjuangan kita. Karena, saya tekankan lagi bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus berjalan, dengan atau tanpa kita. Ia akan tetap mempunyai orang-orang yang setia mengikutinya, dan silih bergantinya hal tersebut adalah sebuah hal yang pasti.
[1] Makna pendidikan menurut Paulo Freire, dalam artikel Makna dan Harapan Sebuah Pendidikan, Muhammad Al-Wachidy.
[2] Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, Gamal Komandoko, Yogyakarta: Medpress. 2008. Hal. 10-11.
[3] Studiefonds adalah konsep penggalangan dana dari dan untuk pribumi dalam pendidikan. Hal ini timbul dari pendidikan yang semakin lama semakin tersegmentasi untuk kaum priayi dan tidak untuk semua masyarakat pribumi. Segmentasi ini secara kasat mata terjadi secara alami, yaitu ketidakterjangkauan biaya pendidikan bagi masyarakat pribumi kelas rendah. Oleh karena itu, pihak priyai diharapkan memberi ‘subsidi silang’ agar pendidikan dapat diakses oleh semua.
[4] Ibid. Hal 16-17.
[5] Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, Yogyakarta: LKiS. 2006. Hal. 151-152.
[6] Ibid. Hal. 151-152.
[7] Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, Gamal Komandoko, Yogyakarta: Medpress. 2008. Hal. 12-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar