Oleh: Ramadhani Pratama Guna
Prolog: belajar dari film Tekken
Pernah memperhatikan film Tekken? Pada awal film diceritakan bahwa kehidupan dunia saat itu bukan lagi berbataskan wilayah kedaulatan sebuah negara. Namun, institusi yang menguasai dunia ini adalah pihak privat, yaitu korporat. Adalah sebuah korporat besar yang menguasai wilayah saat itu, yaitu Tekken Corporation, kepunyaan Heihachi Mishima. Otomatis, kota besar di tempat tersebut dinamakan Tekken City, dan ada sebuah area kumuh di pinggiran kotanya, tempat Jin Kazama dibesarkan, yaitu Anvil.
Saat itu, di tahun 2039, peradaban dan tatanan yang sudah terbangun selama ini hancur lebur akibat perang dunia. Sehingga insititusi negara sudah lenyap. Sebagai penggantinya, timbulah penguasa baru dari institusi privat. Dalam film tersebut, institusi privat dicitrakan sebagai institusi yang besar, kuat, otoriter, dan angkuh. Sehingga kita tidak dapat melihat lagi peran nurani dalam mengambil kebijakan, termasuk mengendalikan keamanan dan ketertiban. Juga, daerah kumuh Anvil-pun tidak luput dari usaha pemberangusan.
Hingga pada suatu saat munculah seorang tokoh yang dianggap sebagai simbol perlawanan Anvil. Simbol perlawanan kaum tertindas yang selalu seenaknya digilas korporat pongah di zaman tersebut. Dialah Jin Kazama, yang memberanikan diri bertarung di dalam Tekken City.
Sejenak kembali ke masa lalu
Sebagian besar dari kita –lebih tepatnya pendahulu kita– jika menonton film ini akan merasakan sebuah fenomena déjà vu. Bagaimana tidak, kurang lebih 350 tahun lamanya bumi pertiwi ini dijajah dan dikuasai oleh sebuah korporat besar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dari generasi ke generasi sudah merasakan betapa tidak enaknya berada di bawah penjajah korporat yang hanya berorientasi materi dan keuntungan.
Ibarat sebuah lintah, para kompeni ini menghisap habis sari bumi pertiwi berupa kekayaan alamnya. Rempah-rempah, kina, dan tanaman yang sedang laris di pasar dunia saat itu dengan serta merta dijadikan komoditas utama bagi petani pribumi. Sistem tanam paksa berkali-kali dilakukan hanya untuk meraih peluang keuntungan yang besar. Sistem kerja rodi-pun diberlakukan untuk membangun infrastruktur penunjang untuk menghubungkan daerah-daerah penghasil komoditas dengan kota-kota agar perekonomian berkembang.
Namun, bangsa ini tidak diam. Berkali-kali bangsa ini berusaha melakukan aksi perlawanan, dari perlawanan fisik seperti perang Padri di Sumatera Barat atau perang di Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, hingga perlawanan yang sifatnya perjuangan politik dan ekonomi seperti yang dilakukan Sarekat Dagang Islam yang pada akhirnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam. Perubahan pola perlawanan ini juga diakibatkan oleh kebijakan politik kompeni waktu itu, yaitu Politik Etis. Politik ini seakan membungkam dan membuai kaum pribumi ke dalam kondisi nyamannya.
Itulah gambaran masa lampau saat bangsa ini tidak mempunyai pemerintahan resmi yang dimiliki. Sehingga dengan mudahnya intervensi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terjadi. Saat itulah pihak privat masuk dan menguasai negara ini.
Tren kekinian
Negara ini sudah merdeka 65 tahun lamanya. Mendeklarasikan bahwa tidak ada lagi negara yang berhak menjajahnya. Namun, masyarakat kita belum tentu mempunyai suhu yang sama dengan ketika proklamator membacakan proklamasi. Banyak yang bilang bahwa mental masyarakat kita adalah mental inlander, mental terjajah. Jika kita hitung-hitung secara logika, sekitar 350 – 400 tahun kita dijajah, dan baru 65 tahun kita merdeka. Itu berarti kita masih butuh sekitar 335 tahun lagi untuk menghilangkan mental terjajah ini dari kultur masyarakat. Benar saja, negara ini masih sering 'kalah' oleh kepentingan korporat yang di-backup pemerintah negara tersebut. Sama dengan kondisi VOC ketika di-backup oleh pemerintah Belanda. Kita masih menemukan Freeport McMoran di bumi Papua yang kaya, juga masih menemukan Amerada Hess di blok Semai. Ataupun, yang baru-baru ini hangat, yaitu penguasaan 20% blok West Madura Offshore (WMO) oleh Kodeco.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mengambil contoh kasus Lapindo yang sudah memasuki tahun kelima. Pada kasus ini, kita melihat bahwa pemerintah tidak tegas untuk menindak pihak korporat yang bersalah di daerah sidoarjo ini.
Banyak sekali contoh lain dari kasus dominasi kekuatan korporat terhadap kondisi politik bangsa ini. Hal ini memang tidak selamanya buruk, namun yang ditekankan adalah sejalan atau tidaknya kepentingan tersebut dengan usaha peningkatan kesejahteraan bangsa. Sejatinya, pemerintah harus mengembalikan perannya sebagai pemegang kekuasaan formal ataupun informal di negeri ini, karena kita rindu pemimpin yang berwibawa.
Epilog: Antara hari ini dan esok
Dalam film Tekken yang telah kita bahas di atas, tahun dimana penguasaan korporat terhadap masyarakat akan memuncak di sekitar tahun 2030-an. Jika kita memikirkan dan melihat kondisi hari ini, yang memang sudah banyak contoh-contoh penguasaan pihak privat atas negara ini, kita tentu akan berkesimpulan bahwa hal ini tidak mustahil. Hal ini suatu waktu bisa saja terjadi, sebelum atau mungkin setelah 2039.
Kita tentunya tidak ingin agar penguasaan atas negara ini ditujukan hanya untuk kepentingan pragmatis yang bersifat materi, seperti yang digambarkan pada film Tekken. Namun, kita juga tentu tidak ingin agar penguasaan negara ini untuk tujuan immateri, namun tidak sejalan dengan apa yang masyarakat inginkan. Pada akhirnya biarkan masyarakat mendapatkan pemimpin yang benar-benar murni berasal dari mereka (atas pilihan mereka), bukan pemimpin yang berasal dari pihak privat pragmatis, ataupun dari pihak privat namun direkayasa agar terkesan dari pihak publik.
Hal yang perlu ditekankan adalah, bahwa kita tidak boleh anti terhadap pihak privat dan korporat. Bahkan, para pengusaha di negara ini jumlahnya masih jauh dari ideal. Hal ini berarti kita membutuhkan pengusaha. Justru yang menjadi tantangan adalah memenuhi kekurangan jumlah pengusaha. Kita harus memenuhi dengan pengusaha yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan ini bukan hanya kesejahteraan lahir, namun juga kesejahteraan batin. Agar jangan sampai kasus Tekken Corporation, Vereenigde Oostindische Compagnie(VOC), ataupun korporat lainnya terjadi lagi di negara ini.
Prolog: belajar dari film Tekken
Pernah memperhatikan film Tekken? Pada awal film diceritakan bahwa kehidupan dunia saat itu bukan lagi berbataskan wilayah kedaulatan sebuah negara. Namun, institusi yang menguasai dunia ini adalah pihak privat, yaitu korporat. Adalah sebuah korporat besar yang menguasai wilayah saat itu, yaitu Tekken Corporation, kepunyaan Heihachi Mishima. Otomatis, kota besar di tempat tersebut dinamakan Tekken City, dan ada sebuah area kumuh di pinggiran kotanya, tempat Jin Kazama dibesarkan, yaitu Anvil.
Saat itu, di tahun 2039, peradaban dan tatanan yang sudah terbangun selama ini hancur lebur akibat perang dunia. Sehingga insititusi negara sudah lenyap. Sebagai penggantinya, timbulah penguasa baru dari institusi privat. Dalam film tersebut, institusi privat dicitrakan sebagai institusi yang besar, kuat, otoriter, dan angkuh. Sehingga kita tidak dapat melihat lagi peran nurani dalam mengambil kebijakan, termasuk mengendalikan keamanan dan ketertiban. Juga, daerah kumuh Anvil-pun tidak luput dari usaha pemberangusan.
Hingga pada suatu saat munculah seorang tokoh yang dianggap sebagai simbol perlawanan Anvil. Simbol perlawanan kaum tertindas yang selalu seenaknya digilas korporat pongah di zaman tersebut. Dialah Jin Kazama, yang memberanikan diri bertarung di dalam Tekken City.
Sejenak kembali ke masa lalu
Sebagian besar dari kita –lebih tepatnya pendahulu kita– jika menonton film ini akan merasakan sebuah fenomena déjà vu. Bagaimana tidak, kurang lebih 350 tahun lamanya bumi pertiwi ini dijajah dan dikuasai oleh sebuah korporat besar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dari generasi ke generasi sudah merasakan betapa tidak enaknya berada di bawah penjajah korporat yang hanya berorientasi materi dan keuntungan.
Ibarat sebuah lintah, para kompeni ini menghisap habis sari bumi pertiwi berupa kekayaan alamnya. Rempah-rempah, kina, dan tanaman yang sedang laris di pasar dunia saat itu dengan serta merta dijadikan komoditas utama bagi petani pribumi. Sistem tanam paksa berkali-kali dilakukan hanya untuk meraih peluang keuntungan yang besar. Sistem kerja rodi-pun diberlakukan untuk membangun infrastruktur penunjang untuk menghubungkan daerah-daerah penghasil komoditas dengan kota-kota agar perekonomian berkembang.
Namun, bangsa ini tidak diam. Berkali-kali bangsa ini berusaha melakukan aksi perlawanan, dari perlawanan fisik seperti perang Padri di Sumatera Barat atau perang di Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, hingga perlawanan yang sifatnya perjuangan politik dan ekonomi seperti yang dilakukan Sarekat Dagang Islam yang pada akhirnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam. Perubahan pola perlawanan ini juga diakibatkan oleh kebijakan politik kompeni waktu itu, yaitu Politik Etis. Politik ini seakan membungkam dan membuai kaum pribumi ke dalam kondisi nyamannya.
Itulah gambaran masa lampau saat bangsa ini tidak mempunyai pemerintahan resmi yang dimiliki. Sehingga dengan mudahnya intervensi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terjadi. Saat itulah pihak privat masuk dan menguasai negara ini.
Tren kekinian
Negara ini sudah merdeka 65 tahun lamanya. Mendeklarasikan bahwa tidak ada lagi negara yang berhak menjajahnya. Namun, masyarakat kita belum tentu mempunyai suhu yang sama dengan ketika proklamator membacakan proklamasi. Banyak yang bilang bahwa mental masyarakat kita adalah mental inlander, mental terjajah. Jika kita hitung-hitung secara logika, sekitar 350 – 400 tahun kita dijajah, dan baru 65 tahun kita merdeka. Itu berarti kita masih butuh sekitar 335 tahun lagi untuk menghilangkan mental terjajah ini dari kultur masyarakat. Benar saja, negara ini masih sering 'kalah' oleh kepentingan korporat yang di-backup pemerintah negara tersebut. Sama dengan kondisi VOC ketika di-backup oleh pemerintah Belanda. Kita masih menemukan Freeport McMoran di bumi Papua yang kaya, juga masih menemukan Amerada Hess di blok Semai. Ataupun, yang baru-baru ini hangat, yaitu penguasaan 20% blok West Madura Offshore (WMO) oleh Kodeco.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mengambil contoh kasus Lapindo yang sudah memasuki tahun kelima. Pada kasus ini, kita melihat bahwa pemerintah tidak tegas untuk menindak pihak korporat yang bersalah di daerah sidoarjo ini.
Banyak sekali contoh lain dari kasus dominasi kekuatan korporat terhadap kondisi politik bangsa ini. Hal ini memang tidak selamanya buruk, namun yang ditekankan adalah sejalan atau tidaknya kepentingan tersebut dengan usaha peningkatan kesejahteraan bangsa. Sejatinya, pemerintah harus mengembalikan perannya sebagai pemegang kekuasaan formal ataupun informal di negeri ini, karena kita rindu pemimpin yang berwibawa.
Epilog: Antara hari ini dan esok
Dalam film Tekken yang telah kita bahas di atas, tahun dimana penguasaan korporat terhadap masyarakat akan memuncak di sekitar tahun 2030-an. Jika kita memikirkan dan melihat kondisi hari ini, yang memang sudah banyak contoh-contoh penguasaan pihak privat atas negara ini, kita tentu akan berkesimpulan bahwa hal ini tidak mustahil. Hal ini suatu waktu bisa saja terjadi, sebelum atau mungkin setelah 2039.
Kita tentunya tidak ingin agar penguasaan atas negara ini ditujukan hanya untuk kepentingan pragmatis yang bersifat materi, seperti yang digambarkan pada film Tekken. Namun, kita juga tentu tidak ingin agar penguasaan negara ini untuk tujuan immateri, namun tidak sejalan dengan apa yang masyarakat inginkan. Pada akhirnya biarkan masyarakat mendapatkan pemimpin yang benar-benar murni berasal dari mereka (atas pilihan mereka), bukan pemimpin yang berasal dari pihak privat pragmatis, ataupun dari pihak privat namun direkayasa agar terkesan dari pihak publik.
Hal yang perlu ditekankan adalah, bahwa kita tidak boleh anti terhadap pihak privat dan korporat. Bahkan, para pengusaha di negara ini jumlahnya masih jauh dari ideal. Hal ini berarti kita membutuhkan pengusaha. Justru yang menjadi tantangan adalah memenuhi kekurangan jumlah pengusaha. Kita harus memenuhi dengan pengusaha yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan ini bukan hanya kesejahteraan lahir, namun juga kesejahteraan batin. Agar jangan sampai kasus Tekken Corporation, Vereenigde Oostindische Compagnie(VOC), ataupun korporat lainnya terjadi lagi di negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar