Liberalisasi pendidikan, sebuah penjajahan gaya baru
Pasca dibatalkannya UU No. 10 Tahun 2008 (UU BHP), usaha untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan tinggi terus menerus dilakukan. Kali ini, pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Tinggi, yang menurut banyak kalangan disebut sebagai UU BHP jilid 2.
Jika kita amati, usaha liberalisasi pendidikan ini sudah terjadi sejak Indonesia dilanda krisis moneter. Saat itu, Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian dengan International Monetary Fund (IMF) untuk membantu keuangan Indonesia yang sedang dilanda krisis. Perjanjian ini dikenal dengan nama Letter of Intent (LOI). Pada intinya, salah satu poin yang ditekankan adalah deregulasi dan privatisasi. Salah satu sektor yang diprivatisasi adalah pendidikan. Benar saja, tahun 2003 pemerintah mensahkan UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas), pengganti UU No. 2 Tahun 1989.
UU Sisdiknas ini menjadi jalan utama bagi liberalisasi pendidikan di Indonesia. Beberapa pasal yang mencirikan hal itu adalah tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada Pasal 53, yang menjadi cikal bakal pengesahan UU BHP. Juga pada Pasal 46 dan 54 tentang pendanaan perguruan tinggi.
Melengkapi UU Sisdiknas, keluarlah UU BHP pada tahun 2008. Dalam UU Tersebut, diatur bahwa pemerintah hanya menanggung biaya perguruan tinggi sebanyak 1/3. Sementara sisanya dibebankan pada perguruan tinggi dan mahasiswa. Sebenarnya hal yang harus diperhatikan dari hal ini adalah kebebasan perguruan tinggi dalam mencari biaya untuk menutupi operasional. Perguruan tinggi (PT) berhak mencari sumber dana dari perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan.
Kemudian UU BHP dibatalkan pada tahun 2010. Sebagai pengganti sementara, pemerintah mengesahkan PP No. 66 Tahun 2010, yang bahkan lebih parah dari UU BHP, dimana memerankan posisi pemerintah dalam menanggung beban pendidikan tinggi semampunya.
Sekarang, RUU Pendidikan Tinggi yang sedang dibahas juga sama parahnya. Pada draft terbaru, Pasal 88 diatur bahwa mahasiswa menanggung biaya paling banyak 1/3 biaya operasional. Hal ini bisa dikatakan politik pencitraan sekaligus pengalihan isu. Dengan ditambahkan kata 'paling banyak', seakan-akan mahasiswa mendapat keringanan biaya untuk menanggung biaya. Padahal tidak ada jaminan bahwa akan kurang jauh dari 1/3. Bahkan, hal yang lebih besarnya lagi, dalam draft tersebut tidak ditegaskan dan dijabarkan berapa persen atau bagian pemerintah dalam menanggung biaya perguruan tinggi. Jika dalam UU BHP 1/3, dalam PP No. 66/2010 adalah semampunya, maka dalam RUU ini sama sekali tidak diatur. Ini yang dimaksud dengan pengalihan isu. Dengan terbuai, kita lupa masalah yang lebih besar.
Liberalisasi pendidikan harus benar-benar bangsa ini hindari. Sebab, dengan sedikitnya biaya, perguruan tinggi akan kehilangan –minimal secara psikologis– independensinya. Dengan mencari dana kepada perseorangan ataupun korporat dan pemodal, tentunya perguruan tinggi akan mudah terjerembab ke dalam psikologi balas budi. Dimana pada suatu saat, akan mudah 'dirayu' dan diintervensi kepentingan.
Padahal, jika kita menilik ke belakang, penjajah dari bangsa belanda dahulu juga menerapkan hal serupa. Dahulu, yang menjajah kita bukanlah dari institusi negara Belanda (Netherland), namun dari institusi privat (korporat) yang bernama VOC, yang kebetulan mereka berbangsa Belanda. Itulah mengapa orang-orang pribumi menyebut mereka kompeni, berasal dari kata company (perusahaan). Merekalah yang memulai adanya pendidikan formal di Indonesia ini lewat politik etis. Namun konsekuensi politik etis itu sendiri adalah orang-orang dididik untuk kemudian dipekerjakan di pemerintahan Belanda, dan mengabdi kepada penjajah.
Itulah kejahatan dari liberalisasi pendidikan. Siapa lagi pihak yang bisa membantu biaya pendidikan tinggi jika bukan pemilik dana yang besar? Siapa yang memiliki dana besar kecuali para pemodal dan korporat? Dan berapa banyak korporasi-korporasi raksasa di dunia ini yang milik kaum-kaum –yang dulunya– adalah penjajah. Penjajah kesejahteraan bangsa, lahir dan batin.
Mempertanyakan tanggung jawab pemerintah
Pendidikan sudah seharusnya menjadi barang publik. Sebagai konsekuensinya, hal ini mestilah dikelola secara penuh oleh institusi negara. Tidak boleh dilepas ke dalam pertentangan free market. Karena hal ini krusial dan berpengaruh terhadap sumber daya manusia sebuah bangsa. Pendidikan pada akhirnya membentuk watak individu, dan ketika individu ini saling bertemu, maka akan terbentuk karakter masyarakat, dan pada skala yang lebih besar lagi, mempengaruhi karakter sebuah bangsa dan peradaban. Meliberalisasinya, bukan hanya meliberalisasi sekolah-sekolah, kampus, ataupun pengelolaannya, namun juga meliberalisasi pemikiran peserta didiknya.
Anggaran pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pos yang paling besar. Hal yang sudah diamanatkan dalam konstitusi adalah 20% APBN (sekitar Rp.250 Trilliun). Namun, jumlah ini menguap entah kemana, sehingga jika kita melihat, pos anggaran untuk pendidikan tinggi tidak lebih dari Rp.20 T setiap tahun.
Sudah sepatutnya pemerintah bertanggung jawab lebih mengenai pendidikan tinggi di negeri ini. Anggaran yang besar tidak sepatutnya dibarengi dengan pengurangan tanggung jawab dari 1/3 menjadi semampunya, dan bahkan tidak diatur sama sekali besarannya. Pendidikan adalah tanggung jawab penuh pemerintah, dan itu merupakan harga mati. Karena ini berhubungan dengan karakter bangsa.
Maka, jika bukan pemerintah yang mengintervensi pendidikan secara penuh atau minimal paling besar proporsinya, pihak privat yang mempunyai berbagai kepentinganlah yang akan mengintervensi pendidikan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar