Evaluasi 2 Tahun SBY – Boediono:
Menggugat Efektivitas Program Aksi Bidang Pendidikan
Oleh:
Ramadhani Pratama Guna
M
|
enjelang tanggal 20 Oktober 2011 sebagai hari evaluasi dua
tahun pemerintahan SBY – Boediono dan tujuh tahun pemerintahan SBY, berbagai isu
mengenai SBY mewacana di berbagai media. Isu yang tentu paling hangat adalah
wacana reshuffle kabinet yang
digadang-gadang akan dilakukan sebelum 20 Oktober. Terlepas dari banyaknya isu
lain yang terus menerus dihembuskan, entah untuk mengalihkan perhatian atau
memang isu itu benar-benar penting, kita harus tetap menyoroti kinerja
pemerintah menjelang 20 Oktober ini.
Sadar atau tidak sadar, isu reshuffle ini merupakan pengalihan isu secara halus. Bagaimana
tidak, masyarakat seakan sibuk mencari-cari siapa menteri yang akan diganti
oleh presiden dan diganti dengan siapa. Namun hal yang justru lebih penting
tentang sejauh apa kinerja pemerintahan dalam mengelola negara ini tertutupi. Banyak isu mengatakan bahwa menteri ESDM, meneg BUMN, menteri perhubungan, dan
lainnya akan diganti, namun tidak banyak yang menjelaskan sejauh mana
perkembangan pemnafaatan energi kita, sejauh mana BUMN dapat menyerap banyak
tenaga kerja, ataupun seberapa besar prestasi olah raga sepak bola kita di
dunia. Justru, isu reshuffle ini
seakan mencitrakan bahwa yang mempunyai kinerja buruk hanya semata-mata
menterinya.
Terlepas dari hal itu, dalam upaya evaluasi pemerintahan
SBY, kita harus mengevaluasi dan membandingkan antara janji-janji politik
ketika masa kampanye, dan realisasi yang ada di lapangan. Sehingga dengan itu,
kita dapat mengevaluasi secara komprehensif dan lengkap, agar tuntutan yang ada
benar-benar konstruktif untuk perbaikan kinerja pemerintahan, bukan untuk
hal-hal yang berbau politis.
Dalam bundel janji kampanye SBY – Boediono berjudul
“Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan: Visi, Misi,
dan Program Aksi” dijelaskan bahwa SBY dalam kebijakannya akan memprioritaskan
13 program aksi, salah satunya adalah program aksi bidang pendidikan. Sebagai
langkah awal dalam upaya evaluasi yang terstruktur, kali ini akan kita bahas
mengenai capaian yang masih perlu dievaluasi dalam bidang pendidikan.
Adapun hal-hal yang harus kita soroti dalam program aksi
bidang pendidikan ini antara lain mengenai pemanfaatan 20% APBN dalam bidang
pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun yang gratis, kesenjangan
aksesibilitas dan kualitas pendidikan, perbaikan kurikulum secara fundamental, serta
partisipasi dan tanggung jawab pemerintah.
Hal yang mendasar dan paling disoroti dari pendidikan adalah
mengenai politik anggaran. Sehingga hal ini kita jadikan bahasan pertama. Sesuai
yang ada dalam UUD 1945, pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran
pendidikan minimal 20% APBN. Namun sayangnya, hal ini dijadikan pemanfaatan
celah kebijakan oleh pemerintah untuk membungkus besaran 20% ini atas nama
pendidikan, meskipun –sebagai contoh– anggaran ini salah satunya dipakai untuk
program pendidikan dan latihan (diklat) pegawai kementerian. Bagaimana tidak, dari
Rp248,9 triliun anggaran pendidikan 2011, hanya sebesar Rp89,7 triliun yang dikelola
oleh pemerintah pusat, sementara Rp158,2 triliun sisanya dikelola oleh daerah.
Dari Rp89,7 yang dikelola oleh pemerintah pusat, Rp55,5 triliun dikelola oleh
Kemendiknas, Rp27,2 triliun oleh Kementerian Agama, dan Rp6,8 triliun sisanya
dibagikan ke 13 kementerian dan 4 lembaga lain. Sedangkan dari Rp158,2 triliun
yang dikelola oleh daerah, sebanyak Rp104 triliun dialokasikan untuk Dana
Alokasi Umum (DAU) yang mayoritas dimanfaatkan untuk gaji guru, Rp10 triliun
untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Rp18,5 triliun untuk tunjangan profesi guru,
Rp16,8 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lainnya sebesar
Rp8,3 triliun.
Politik anggaran pemerintah pusat sangat kontraproduktif
dengan semangat pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun
gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk hal-hal yang
bersifat rutin dan tidak efektif untuk meningkatkan semangat pendidikan dasar
gratis dan aksesibilitas yang baik. Nyatanya, masih banyak SD maupun SMP yang
memungut iuran dari orang tua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Hal ini
terutama terjadi pada sekolah-sekolah bertaraf RSBI yang sedang menjadi tren. Rata-rata
orangtua siswa dikenakan biaya Rp5 juta agar anaknya mengenyam pendidikan
bertaraf “internasional” yang hanya menggunakan Air Conditioner dan bahasa inggris tanpa mengajarkan wawasan
internasional yang lebih luas dan komprehensif.
Tidak hanya RSBI, sekolah standarpun masih banyak yang
menarik iuran, terutama dengan embel-embel biaya buku, praktek, LKS, dan
lainnya yang kesemuanya bisa menghabiskan uang tidak kurang dari Rp1 juta per
tahun. Belum lagi mengenai keluhan kualitas sekolah gratis. Pertanyaannya,
apakah seorang anak petani atau tukang cuci hanya berhak memperoleh pendidikan
dengan kualitas yang biasa-biasa saja atau bahkan dengan kualitas yang buruk?
Tidak bolehkah mereka mengenyam pendidikan yang bertaraf internasional?
Pendidikan adalah hak semua orang dan merupakan kebutuhan primer, sehingga seharusnya
tidak ada pengkhususan pendidikan dan tidak boleh ada hak-hak masyarakat yang
terabaikan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.
Sementara itu, kurikulum pendidikan nasional juga hingga
sekarang masih jauh dari ideal. Isu mengenai pendidikan karakter hingga
sekarang masih menjadi wacana tanpa dampak yang nyata. Ditambah lagi dengan
tergerusnya nilai-nilai kearifan masyarakat dengan nilai-nilai globalisasi yang
mengedepankan kompetisi dibandingkan kerja sama (gotong royong), individualistis
dibandingkan sosialisasi. Dampaknya, masyarakat Indonesia hanya menjadi
masyarakat mekanistik yang dibenaknya hanya terpikirkan tentang kesejahteraan
diri, bukan kesejahteraan bersama. Kalau menggunakan falsafah pendidikan Paulo
Freire, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. Manusia yang benar-benar
terasah ketiga potensinya, tidak hanya pikiran dan raganya, namun juga hatinya.
Sorotan yang terakhir adalah terkait dengan tanggung jawab
pemerintah. Kita harus membedakan antara tanggung jawab dan partisipasi.
Dimanapun, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah cita-cita negara yang ada dalam konstitusi, dan negara adalah
sebuah institusi yang dibentuk untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Wajar jika UU Badan Hukum Pendidikan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun
2010 lalu dikarenakan adanya pasal yang menerangkan bahwa masyarakat
bertanggung jawab atas pendidikan. Sehingga kita dapat mengambil sikap tegas
bahwa partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan adalah sesuatu
yang sifatnya opsional. Kuncinya kembali lagi kepada political will pemerintah, yang juga diwujudkan dalam politik anggaran
dalam APBN.
Beberapa poin yang dijabarkan dalam pembahasan ini
memberikan kesimpulan kepada kita bahwa pemerintah SBY – Boediono harus
membenahi politik anggaran dalam pendidikan sehingga benar-benar murni menjadi
20% APBN. Karena hal ini merupakan sebuah masalah yang berdampak bagi
masalah-masalah lain dalam pendidikan seperti aksesibilitas dan kesenjangan
pendidikan, kurikulum, dan partisipasi masyarkat dalam pendidikan. Biar
bagaimanapun, kita harus tetap memosisikan bahwa pendidikan adalah barang
publik yang tanggung jawab penyelenggaraannya ada pada pemerintah, dan bukan
pada masyarakat.
Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan
pengelolaan negara ini. Namun biar bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti
kita semua harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar
pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini, karena mengatakan yang
benar adalah kesetiaan yang tulus. Semoga tenaga kita untuk mengevaluasi SBY
tetap terjaga dan memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kebaikan bangsa ini.
Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan!
Penulis adalah
Mahasiswa Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang Eksternal
KM ITB
Opini ini telah dimuat di detik.com pada alamat:
http://www.detiknews.com/read/2011/09/29/095903/1732912/471/menggugat-efektivitas-program-aksi-bidang-pendidikan
Opini ini telah dimuat di detik.com pada alamat:
http://www.detiknews.com/read/2011/09/29/095903/1732912/471/menggugat-efektivitas-program-aksi-bidang-pendidikan
Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
ramadhani.pratama@ymail.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar