Evaluasi 2 Tahun SBY – Boediono:
Kemiskinan, Salah Siapa?
P
|
ermasalahan kemiskinan menjadi salah satu hal besar yang
masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Negara ini sudah 66 tahun merdeka,
namun kemiskinan masih saja tinggi. Berbagai program pengentasan kemiskinan
dari dulu hingga sekarang terus menerus dilakukan. Demikian pula dengan dana
yang digelontorkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas
perekonomian, jumlahnya sekitar Rp95 triliun pada APBN 2011. Namun tetap saja
hal ini dinilai belum efektif. Pemerintah gagal dalam mengentaskan kemiskinan
secara optimal.
BPS (Badan Pusat Statistik) melansir bahwa pada tahun 2010
sebanyak 31.023.400 jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13.33%). Hal
baiknya adalah jumlah ini menurun dibandingkan 2009 yang mencapai 32.530.000
jiwa (14.15%). Namun hal buruknya justru terletak pada aspek fundamental, yaitu
perbedaan indikator kemiskinan.
World Bank melansir
bahwa seseorang dikatakan miskin ketika tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori
standar untuk tubuhnya (2000 – 2500 kalori per hari), dimana jika dikonversi ke
dalam dolar, dibutuhkan minimal $1 per hari atau $30 per bulan (sekitar Rp270.000,00). Namun,
BPS menggunakan indikator lebih rendah, yaitu Rp211.726,00 per kapita per
bulan. Belum lagi masalah perhitungan lain, dimana seseorang yang telah bekerja
sudah tidak dianggap miskin. Padahal, bekerja bukan jaminan semua kebutuhannya
terpenuhi. Walaupun pemerintah sudah menentukan batas-batas Upah Minimum
Regional (UMR), namun nyatanya masih banyak pelanggaran yang terjadi, sehingga
cacat indikator terjadi apabila semua orang yang bekerja dianggap bebas dari
kemiskinan. Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa jumlah penduduk
miskin jauh lebih besar dari data-data tersebut.
Tidak hanya itu masalahnya. Menurut teori ekonomi, indikator
$30 per hari nilainya semakin hari semakin turun untuk mendapatkan 2000 – 2500
kalori dikarenakan faktor inflasi. Sehingga kita tidak bisa serta merta
menggunakan indikator $30 per hari ini sepanjang waktu. Harus ada evaluasi dan
perubahan terhadap indikator kemiskinan.
Inilah permasalahan awal dalam memahami kemiskinan. Bahwa indikator
yang cacat sengaja diterapkan untuk mendapatkan citra bahwa kemiskinan menurun
tiap tahunnya. Padahal, ini semua hanyalah indikator semu. Seharusnya indikator
yang hakiki dari kemiskinan adalah kemampuan tiap individu dalam sebuah negara
untuk makan makanan yang bergizi dan layak tiap harinya. Negara dinyatakan
gagal apabila masih ada penduduknya, sedikit apapun jumlahnya, yang tidak makan
makanan yang bergizi dan layak meskipun pertumbuhan ekonominya dua digit
sekalipun.
Tidak Berhubungan
Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia bagus dengan tingkat kestabilan perekonomian yang juga baik. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia berkisar 6,5% tiap tahunnya, dengan inflasi berkisar 5 – 6%
tiap tahunnya. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kita berkisar Rp 6.300 triliun
pada tahun 2010 dan diprediksi akan menembus Rp 7.000 triliun di tahun 2011. Pendapatan
per kapita rata-rata masyarakat Indonesia adalah Rp2.252.308,87 per bulan,
jumlah yang cukup untuk membeli 20.000 kalori setiap harinya. Sehingga dari
indikator ini seharusnya kita mendapat kesimpulan bahwa penduduk Indonesia
mendapat kalori yang cukup, tidak ada lagi masalah-masalah kelaparan dan
kekurangan gizi yang terjadi.
Namun, indikator hanyalah sekedar indikator makro yang
lagi-lagi cacat. Angka-angka yang menggambarkan ‘kehebatan’ ekonomi anggota
G-20 ini tidak bisa menjadi kebanggaan. Pasalnya masih ada lebih dari 32 juta
masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan kalori 2000 – 2500 per hari. Kita bahkan
tidak tahu berapa di antara mereka yang tidak makan dalam satu hari. Sehingga wajar
jika kita menjustifikasi bahwa negara ini dan pemerintahnya gagal. Walaupun
banyak keberhasilan-keberhasilan lain, namun nyatanya kebutuhan dasar manusia
menurut Teori Hierarchy Needs karya
Abraham Maslow ini belum terpenuhi.
Dari kondisi yang ada kita belajar bahwa tidak ada hubungan
langsung antara indikator-indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi,
PDB, dan inflasi dengan indikator kemiskinan. Apalagi dengan kondisi kekayaan
14 orang terkaya di Indonesia 2011 menurut majalah Forbes yang jika dijumlahkan,
nilainya mencapai Rp290,7 triliun atau setara dengan 22% APBN 2011 dan 4,5% PDB
2010. Sehingga seakan-akan pertumbuhan ekonomi berjalan ke tempat yang tinggi,
sementara kemiskinan terus saja semakin parah.
Dengan hitungan matematis, 32 juta rakyat miskin negara ini
membutuhkan uang senilai Rp 100,5 triliun untuk menjamin mereka semua makan
dalam satu tahun. Bandingkan dengan harta 14 orang terkaya tadi, jumlah ini
mampu menjamin makan rakyat miskin hampir 3 tahun. Sehingga dalam 3 tahun ke
depan kemiskinan di Indonesia 0%. Namun nyatanya, itulah yang terjadi. Bahwa kesenjangan
juga semakin memperparah kondisi kemiskinan di negeri ini. Hak-hak mereka
terabaikan, dan lagi-lagi pemerintah gagal menjamin hak mereka.
Kegagalan Program
Jika kita melihat postur APBN kita yang senilai Rp 1.300
triliun, kita dapat melihat sejauh mana efektivitas program pengentasan
kemiskinan yang sudah dilakukan pemerintah. Setidaknya, pos-pos anggaran yang
besar dari APBN antara lain fungsi untuk peningkatan kualitas dan kuantitas
perekonomian sebesar Rp 95,6 triliun, pendidikan Rp 81,98 triliun, dan subsidi energi
sebesar Rp 133,806 triliun.
Kita juga melihat program pengentasan kemiskinan yang saat
ini popularitasnya sedang naik, yaitu PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Setiap tahunnya, untuk PNPM Mandiri sekitar Rp 9 triliun dialokasikan
dari APBN kepada seluruh desa dan kota di Indonesia yang dinilai layak untuk
program pengentasan kemiskinan. Untuk KUR, setiap tahunnya dialokasikan sekitar
Rp 20 triliun dengan kerja sama dari perbankan untuk menjangkau debitur di
daerah-daerah.
Kita juga mengenal program Program Keluarga Harapan (PKH)
untuk mengentaskan kemiskinan, yang menyedot uang negara Rp 1,6 triliun per
tahunnya. Juga kita mengenal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
besarnya sekitar Rp 16,8 triliun tiap tahunnya. Ada juga program Beras Untuk
Rakyat Miskin (Raskin) yang menyedot anggaran sekitar Rp 15 triliun per tahun,
dan beragam program lainnya seperti Jamkesmas yang menyedot dana Rp 5,6 triliun
per tahun.
Lagi-lagi mari kita menggunakan pendekatan matematis. Jika kesemua
program pengentasan kemiskinan itu dijumlahkan, besarnya mencapai Rp 68 triliun
per tahun. Nilai ini seharusnya bisa memangkas penduduk miskin Indonesia
sekitar 20.980.000 jiwa per tahun, yaitu dengan terjaminnya makan mereka
sebanyak 2000 – 2500 kalori per hari. Namun, sudah sekitar 2 tahun
program-program tersebut berjalan, namun pengurangan kemiskinan tiap tahunnya
hanya sekitar 1.500.000 orang saja. Artinya, program-program yang dirancang
sedemikian rupa gagal untuk mengentaskan kemiskinan.
Tidak hanya itu, dari segi kualitasnya, program tersebut
juga sangat tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Kita dapat mengambil
contoh seperti PNPM yang kebanyakan alokasi anggarannya digunakan untuk perbaikan
dan atau pembangunan infrastruktur pedesaan dan kota. Sehingga wajar jika
penduduk yang terbebas dari jerat kemiskinan sangatlah sedikit. Ambil contoh
lain adalah program BOS yang sering diberitakan terjadi banyak penyelewengan. Dana
BOS hanya berdampak pada murah dan atau gratisnya sekolah, namun tidak berarti
buku LKS, seragam, ataupun biaya naik angkot dari rumah ke sekolah juga gratis.
Darimana rakyat miskin dapat memperoleh kekuatan untuk mengeluarkan biaya-biaya
yang dibebankan tersebut jika program yang ada tidak efektif.
Kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan lewat
program-program dan politik anggarannya seharusnya menjadi perhatian penting
SBY dan Boediono sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam 2 tahun ini.
Bahkan terlebih lagi, SBY yang sudah memimpin lebih dari separuh usia reformasi
negeri ini harus bertanggung jawab penuh atas kegagalannya mengentaskan
kemiskinan secara optimal. Harus ada evaluasi program dan penemuan langkah-langkah
yang lebih efektif untuk memberantas kemiskinan yang masih menjadi musuh bangsa
ini. Jangan sampai ada hak-hak rakyat yang terabaikan lagi. Jangan sampai ada
rakyat yang kelaparan ataupun mengalami gizi buruk lagi.
Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan
pengelolaan negara ini. Namun biar bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti
kita semua harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar
pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini, karena mengatakan yang
benar adalah kesetiaan yang tulus. Semoga tenaga kita untuk mengevaluasi SBY
tetap terjaga dan memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kebaikan bangsa ini.
Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan!
Penulis adalah mahasiswa
Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga
Mahasiswa (KM) ITB
Opini ini dimuat pada Pikiran Rakyat hari Kamis, 6 Oktober 2011
***
Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
ramadhani.pratama@ymail.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar