Inkonstitusional(isasi) Pengelolaan Pendidikan Tinggi
D
|
ewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI khususnya Komisi X saat ini
sedang membahas Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Panitia
Kerja (Panja) RUU PT menargetkan undang-undang ini disahkan pada Desember 2011.
Sehingga dengan berlakunya RUU ini, kekosongan payung hukum bagi pengelolaan
pendidikan tinggi pasca dibatalkannya UU Nomor 9 Tahun 2009 (UU BHP) oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 dapat tertutupi. Saat ini, pembahasan RUU
PT sudah dilakukan sampai pada pasal per pasal. Panja RUU PT juga sudah
mengundang beberapa stakeholder untuk
rapat dengar pendapat dan menerima masukan-masukan, termasuk dari kalangan
mahasiswa. Hasil pembahasan paling baru yang dipublikasikan adalah RUU PT versi
27 September 2011. Banyak kalangan menilai RUU PT ini akan menyerupai UU BHP,
yaitu adanya usaha meliberalisasi pendidikan tinggi.
Kita dapat belajar dari pengalaman pembatalan UU BHP oleh MK
tahun 2010 lalu, dimana banyak pasal-pasal dalam undang-undang tersebut
bersifat inkonstitusional. Rujukan masyarakat yang memohon uji materi jelas,
yaitu Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945. Sehingga,
pasal-pasal yang bermasalah dalam UU BHP ini terkait dengan tanggung jawab pendanaan
pendidikan, diskriminasi pendidikan, dan komersialisasi.
Namun, jika kita membaca RUU PT ini, harapan akan
terwujudnya pengelolaan pendidikan yang benar-benar memenuhi hak-hak rakyat
yang dijamin oleh UUD 1945 akan sirna. Hal ini dikarenakan banyak pasal-pasal
dalam RUU PT yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Melihat hal ini, kita
sah-sah saja mengambil salah satu atau lebih dari tiga hipotesis berikut.
Pertama, wakil kita di parlemen terutama Panja RUU PT tidak belajar dari
kesalahan UU BHP. Kedua, terjadi delegitimasi wakil rakyat di parlemen,
sehingga apa yang disuarakan dan diharapkan oleh rakyatnya tidak difasilitasi.
Ketiga, adanya inkonstitusionalisasi pengelolaan
pendidikan tinggi.
Rasanya tidak mungkin jika wakil rakyat yang terhormat di
parlemen tidak belajar dari kesalahan pada UU BHP yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi. Sangat mudah menemukan dokumen Putusan MK Nomor
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 ini, bahkan di internet sekalipun. Sementara
mengenai delegitimasi wakil rakyat, hal ini masih bisa diperdebatkan. Pasalnya,
Panja RUU PT ataupun beberapa fraksi dalam Komisi X sudah sering mengundang stakeholder dalam pendidikan tinggi,
seperti pemerintah, rektor, mahasiswa, dan elemen lainnya untuk dimintai
aspirasinya. Hipotesis yang paling kuat adalah inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi. Saya memaknai
sebutan inkonstitusionalisasi sebagai
proses yang sengaja, sadar ataupun tidak sadar, untuk menciptakan kondisi yang
tidak sesuai dengan konstitusi.
Aspek
Inkonstitusional
Masalah fundamental
yang ada pada RUU PT ini terkait pada beberapa aspek. Pertama, aspek pendanaan.
Kedua, aspek diskriminasi. Ketiga, aspek peran pemerintah. Ketiga aspek ini
adalah aspek ideologis dan sudah tertuang dalam bentuk pasal. Tidak hanya itu,
pasal-pasal yang bermasalah ini banyak yang mirip dengan UU BHP. Sehingga
mungkin wajar ketika banyak kalangan menilai semangat RUU PT sama dengan UU
BHP.
Dalam aspek
pendanaan dan peran pemerintah, kita dapat melihat pada bagian mengenai hak dan
kewajiban mahasiswa. Tertulis bahwa kewajiban mahasiswa salah satunya adalah
ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kalimat ini, jika kita
amati, menjadi celah awal bagi legalnya pembebanan tanggung jawab pendanaan
pemerintah kepada masyarakat. Karena hal ini bersifat wajib, seakan-akan
tanggung jawab pemerintah sama dengan masyarakat. Padahal, kita mengetahui
bahwa dalam cita-cita bangsa yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, dijabarkan
dengan tegas bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam hal
ini merujuk kepada pengelola negara, yaitu pihak eksekutif, legislative, bahkan
yudikatif. Seharusnya, bagian ini menegaskan bahwa mahasiswa tidak wajib
menanggung biaya pendidikan, namun dapat menanggungnya, jika berkenan. Konsep
awalnya adalah “tidak menanggung”, kecuali yang “berkenan”.
Serupa, pada bagian
pendanaan dan pembiayaan, disebutkan bahwa pendanaan pendidikan tinggi menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal ini lebih fatal. Hal ini jelas-jelas membebankan tanggung jawab pendanaan
yang seharusnya pada pemerintah sebagai pengelola negara, menjadi bersama
antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat
mencerdaskan kehidupan bangsa yang dibebankan kepada pemerintah sebagai
eksekutor institusi negara, sekaligus menyalahi Pasal 31 (3) UUD 1945. Frase pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
berarti bahwa biar bagaimanapun, pemerintahlah satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab atas usaha untuk menyelenggarakan pendidikan, sekalipun dana
yang ada terbatas. Bagian bermasalah ini juga ada pada bagian lain, seperti
kewajiban mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga biaya operasional
pendidikan tinggi.
Inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi pada RUU PT
juga berkaitan pada aspek yang diskriminatif. UUD 1945 Pasal 29I (2) menegaskan
bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Walaupun pada bagian awal
RUU PT ini dijelaskan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip
demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, nyatanya masih ada bagian
yang mengandung semangat diskriminatif.
Bagian yang
mengandung diskriminasi terutama yang berkaitan dengan penerimaan mahasiswa
baru dan juga pendanaan. Dalam RUU ini, setiap PTN diwajibkan menyiapkan kuota
minimal 20% bagi mahasiswa tidak mampu secara ekonomi namun mempunyai potensi
akademik tinggi untuk kuliah di PTN tersebut. Kalimat ini juga diulangi pada
bagian pembiayaan dan pengalokasian. Tentunya hal ini jelas menjadi
diskriminasi. Hal ini dikarenakan ada segmen calon mahasiswa yang tidak bisa
mengakses PTN, yaitu segmen calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi,
namun juga potensi akademiknya biasa-biasa saja. Hal ini harusnya menjadi
perhatian para wakil rakyat kita, karena jumlah dari segmen ini sangat banyak.
Hal yang perlu ditekankan adalah apabila calon mahasiswa dapat lulus seleksi
masuk PTN, dan ia diterima, maka ia dikatakan layak, meskipun belum tentu
mempunyai potensi akademik tinggi. Apalagi jika ia tidak mampu secara ekonomi,
sehingga masuk ke dalam skema ini.
Hal yang juga perlu
ditekankan adalah usaha PTN untuk memenuhi amanat ini. Beberapa pengalaman PTN
adalah bahwa dari calon mahasiswa yang mendaftar untuk selanjutnya mengikuti
proses seleksi saja sudah terseleksi secara psikologis, sehingga calon
mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi sudah “takut” sejak awal untuk
mendaftar PTN, terutama PTN ternama. Sehingga hal ini berakibat pada sedikitnya
mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi yang mengenyam kuliah di PTN. Perlu
dilakukan usaha lebih dari pemerintah dan pihak PTN untuk “memaksa” agar kuota
minimal ini terpenuhi. Pemerintah dan PTN harus proaktif dan “menjemput bola”,
meyakinkan agar tidak ada diskriminasi ekonomi dalam PTN. Sehingga calon
mahasiswa yang memang tidak mampu secara ekonomi berani untuk mendaftarkan
dirinya untuk mengikuti proses seleksi PTN tersebut, apalagi PTN yang favorit.
Hak Dasar Rakyat
Pengelola negara
ini (pemerintah dan wakil rakyat) harusnya sadar bahwa konstitusi meletakkan
pendidikan sebagai salah satu dari sekian banyak hak dasar rakyat yang mutlak
harus diwujudkan. Penanggung jawab perwujudan ini jelas, yaitu institusi negara
yang diwakili oleh wakil rakyat dan pemerintah. Miris ketika sejak pembahasan
undang-undang saja sudah tidak sesuai amanat konstitusi, yang berarti
mengkhianati hak-hak dasar rakyat. Sehingga mungkin wajar jika rakyat skeptis
terhadap pengelola negara ini, karena hak-hak rakyat terabaikan.
Pembukaan UUD 1945
dan Pasal 33 UUD 1945 benar-benar menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak
dasar rakyat Indonesia. Pasal 33 (1) menjadi justifikasi kuat hal ini karena di
sana ada frase “setiap”. Sehingga jika ada satu orang rakyat sekalipun, yang
tidak dapat mengakses pendidikan karena kebijakan para pengelola negara ini,
maka negara kita adalah negara gagal. Gagal dalam menunaikan hak rakyatnya.
Khusus untuk
pendidikan tinggi, Pasal 33 (3) UUD 1945 menjadi justifikasi yang kuat bahwa
pemerintah wajib dan bertanggung jawab mengusahakan dan menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional. Tidak ada kata-kata yang menjadi justifikasi agar
masyarakat bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Kecuali jika hal itu dianggap peran ataupun “bantuan” dari masyarakat, namun
bukan merupakan tanggung jawab yang berarti kewajiban. Pemerintah jelas harus
menjadi pihak yang berusaha, dan bukan beban “bersama” antara pemerintah dan
masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 33 (4) UUD 1945, yang selama ini menjadi
sorotan publik, yaitu terkait standar minimal 20% APBN dan APBD untuk
dialokasikan pada sektor pendidikan. Hal yang perlu ditekankan adalah bukan
pada standar minimal 20%, namun pada frase untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga, parameter
keberhasilan pengelola negara ini dalam melaksanakan pasal ini adalah bukan
pada aspek kuantitatif 20% tersebut, namun pada aspek kualitatif “memenuhi
kebutuhan”. Tidak boleh ada pembenaran bahwa dengan mengalokasikan lebih dari
20% APBN dan APBD, lantas pemerintah melepas tanggung jawabnya. Justru yang
benar adalah semua kebutuhan penyelanggaraan pendidikan terpenuhi, dari APBN
dan APBD kita.
Sebagai kesimpulan,
kita harus sama-sama sadar akan hak tiap elemen dalam keberjalanan negara ini.
Masyarakat haruslah sadar akan haknya dan berani menuntut pemenuhan haknya
kepada elemen lain yang secara legal harus memenuhi hak masyarakat. Begitupun
masyarakat, harus juga memenuhi hak-hak pemerintah, yaitu yang sesuai dengan
konstitusi kita. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi hak-hak yang
terabaikan dalam setiap elemen bangsa.
Penulis
Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB dan Peneliti
Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar