Mengusahakan
Renegosiasi,
Mengusahakan
Kedaulatan dan Harga Diri
B
|
elakangan
ini isu mengenai mogoknya pekerja PT Freeport Indonesia kembali terjadi dan
mengemuka di masyarakat. Seakan beriringan, terjadi juga konflik di Papua yang
sempat menewaskan anggota kepolisian RI. Beberapa pengamat mengaitkan isu ini
kepada banyak hal, seperti UU Otonomi Khusus untuk Papua, isu kesenjangan
kesejahteraan, hingga isu renegosiasi kontrak pertambangan dengan PT Freeport
Indonesia.
Topik
yang akan kita jadikan diskursus adalah mengenai renegosiasi kontrak
pertambangan. Saat ini pemerintah sedang gencar mengusahakan untuk memenuhi
amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang
juga berkaitan dengan PT Freeport Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, PT
Freeport Indonesia sudah beroperasi sejak tahun 1967 berdasarkan UU Nomor 11
Tahun 1967. Freeport memperoleh hak ‘mengambil’ harta kekayaan bumi Indonesia
selama 30 tahun, dan pada 1991 berhasil memperoleh izin memperpanjang kontrak
hingga tahun 2021. Belum lagi kontraktor lain seperti Nabire Bakti Mining, Irja
Eastern Minerals, dan lainnya yang juga mempunyai hak untuk ‘mengambil’
kekayaan bumi Indonesia. Itu berarti, selama kurang lebih 50 tahun pemerintah
membiarkan hal tersebut, dan yang lebih parahnya lagi, melanggar UUD 1945 Pasal
33 (3) yang berbunyi Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.
Dengan
redaksi di atas kita dapat mengambil kesimpulan yang tegas dan jelas, dan
seharusnya tidak ada lagi celah multi tafsir terhadap pasal tersebut. Dimensi
‘dikuasai’ mempunyai makna jauh lebih berhak daripada kata ‘memiliki’. Hal ini
menandakan kepemilikan seluruh suber daya alam tanpa kecuali adalah kepemilikan
publik, bukan kepemilikan privat, dan negara adalah representasi kepemilikan
publik tersebut. Tujuannya jelas, yaitu ‘sebesar besar kemakmuran rakyat’.
Jadi, mendapatkan hasil yang maksimal dari pengelolaan kekayaan bumi negara ini
merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia. Perhatikan frase ‘sebesar
besar’, yang bermakna nilai maksimal.
Bukan
hanya untuk pendapatan negara
Menurut
UU Minerba, ketentuan peralihan dikenakan aturan yang sama dengan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Ketentuan ini mencakup beberapa persyaratan.
Namun beberapa hal yang sering disoroti terkait dengan luas wilayah kerja,
perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak dan royalti), kewajiban
divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan
barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Semua itu seharusnya diselesaikan
paling lambat satu tahun sejak UU ini diberlakukan tanggal 12 Januari 2009,
yaitu tanggal 14 Januari 2010. Namun hingga sekarang, pemerintah mengklaim baru
65% perusahaan yang setuju penuh dan setuju sebagian atas semua persyaratan
yang ada. Sisanya sebanyak 5 perusahaan menolak poin-poin renegosiasi ini.
Salah
satu dari perusahaan yang menolak dan mempunyai kontribusi besar dalam
‘perampasan’ harta negara adalah PT Freeport Indonesia, yang memang bagian dari
Freeport McMoran di Amerika. Poin yang harus diusahakan oleh pemerintah dalam
renegosiasi ini adalah agar hak konstitusional rakyat untuk mendapat manfaat
‘maksimal’ dapat terlaksana. Saat ini, royalti yang dibayarkan PT FI kepada
negara ini hanya berkisar 1 – 3 persen dari pemasukannya. Detailnya adalah 1
persen untuk emas, 1 persen untuk perak, dan 1,5 untuk tembaga. Padahal di
suatu sisi, kita melihat ironi bahwa PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang sudah
jelas-jelas milik negara saja dikenakan kewajiban royalti 3,7 persen untuk
produksi emas, dan 4 – 5 persen untuk nikel. Tidak hanya itu, menurut IRESS,
royalti yang diterapkan sekarang masih berada di bawah rata-rata jika
dibandingkan dengan royalti perusahaan pertambangan pada negara lain. Contohnya
adalah di tiga negara bagian Kanada yang mencapai 20 persen; Argentina, Cile,
Venezuela, Azerbaijan, dan Ghana masing-masing 3 persen; Angola, Botswana, dan
Uzbekistan 5 persen.
Dalam
rentang 2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6
triliun dari PT FI. Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan di
buminya dari emas Papua sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun.
Bandingkan dengan total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang
mencapai Rp 260 triliun. Menurut Laporan Keuangan PT FI, pada tahun 2010 PT FI
berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42 triliun dan menjual emas senilai Rp
20,59 triliun. Sementara itu pada tahun yang sama, Pendapatan Negara Bukan
Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai Rp 9,7 triliun. Hal ini menandakan
bahwa negara telah kehilangan potensi (potential
lost) keuntungan sebesar Rp 60,01
triliun per tahun dari PT FI.
Persoalan
kontrak karya PT FI ini bukan hanya masalah untung rugi pendapatan negara,
namun lebih dari itu. Persoalan ini juga menyangkut manfaat yang diberikan PT
FI terhadap masyarakat Papua pada umumnya, atau ‘pengembalian’ uang yang
diperoleh negara dari PT FI kepada masyarakat Papua pada khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Hingga
detik ini, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mencatat
bahwa PT FI masih belum memberikan kesejahteraan bagi ribuan pekerja dan
kondisi masyarakat setempat. Menurut IHCS, sekitar 83,3 persen rumah tangga di
Papua masih diselimuti kemiskinan. Tidak hanya itu, dalam peringkat kemiskinan,
dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32
dan 33) dari 33 provinsi di Indonesia. Itu artinya, keberadaan PT FI tidak
membawa dampak berarti bagi masyarakat Papua.
Bagaimana
dengan peran pemerintah dengan dana yang diterima dari PT FI? Menurut Laporan
Kontrak Karya kedua antara pemerintah dan PT FI yang berlaku sejak Desember
1991 sampai sekarang, kontribusi PT FI kepada Pemerintah Republik Indonesia
mencapai sekitar US$ 12 miliar (pajak, deviden, dan royalti). Itu artinya,
selama 20 tahun ini PT FI hanya menyumbangkan Rp 106,8 triliun bagi negeri ini.
Tahun 2010 lalu, negara menerima Rp 18 triliun dari pajak, royalti, dan dividen
PT FI. Sedangkan dari Januari 2011 hingga September 2011, PT FI sudah membayar
pajak, royalti, dan dividen kepada negara ini sebesar Rp 19 triliun. Jumlah Rp
18 triliun per tahun ini seharusnya berdampak pada optimalnya pengurangan
jumlah penduduk miskin. Untuk menghidupi seorang rakyat miskin dalam satu
bulan, diperlukan 60000 – 75000 kalori atau sekitar US$ 30. Dengan kurs Rp
8.900 per dollar, dibutuhkan uang Rp 267.000,00 untuk menjamin seorang miskin
makan dengan standar layak dalam satu bulan. Jika jumlah ini dikalikan dengan
12 bulan, maka dibutuhkan Rp 3.204.000,00 untuk menjaminnya. Uang senilai Rp 18
triliun tersebut harusnya dapat menjamin makan 5.617.978 jiwa penduduk miskin.
Namun nyatanya, pengurangan kemiskinan di Indonesia hanya bisa mentok sampai angka 1.500.000 per tahun.
Belum lagi dengan anggaran pengentasan kemiskinan yang tiap tahunnya berjumlah
sekitar Rp 60 triliun. Lagi-lagi, kehadiran PT FI tidak membawa dampak
signifikan pada perbaikan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sangat jauh dari
cita-cita konstitusi. Sayangnya, pemerintah yang seharusnya mengetahui hal ini
seakan tidak menemukan mudharat
adanya PT FI dan besaran pajak, royalti, serta dividen yang dibayarkannya.
Apalah
gunanya idiom-idom bijak yang sudah menjadi warisan turun temurun bangsa ini,
dimana sesuatu yang mudharat-nya
lebih besar ketimbang manfaatnya, maka dengan segera ia harus ditinggalkan. Dimana
pemerintah yang seharusnya menaungi rakyat? Dimana pemerintah yang seharusnya
menjamin perwujudan hak konstitusional warganya? Bahkan untuk sekedar tegas
dalam memilih antara perkara yang dominan mudharat
dan dominan manfaat saja tidak bisa.
Tidak
hanya sekedar renegosiasi
Pada
dasarnya renegosiasi tidak akan menyelesaikan masalah, jika memang definisi
masalahnya adalah terciptanya gap
antara cita-cita pada Pasal 33 (3) UUD 1945 dengan realitas yang terjadi di
lapangan. Selama ini persentase sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB
berkisar 11%. Pada tahun 2010, nilai ini berada pada angka Rp 705,6 triliun. Sebagaimana
kita ketahui dalam teori ekonomi, nilai PDB menggambarkan besarnya nilai
produksi barang dan jasa dalam satu tahun, jika dikonversi ke dalam harga yang berlaku
di pasar. Itu artinya, nilai produksi yang dihasilkan dari sektor pertambangan
dan penggalian, terlepas dari milik perusahaan asing atau nasional, yaitu
sebesar Rp 705,6 triliun.
Penerimaan
negara dari pajak pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 850,3 triliun. Sedangkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA migas dan non-migas adalah
sekitar Rp 169,4 triliun. Dengan perhitungan yang sederhana, jika semua kontrak
baik itu migas ataupun nonmigas yang dikuasai asing kita nasionalisasi dan
diberikan kepada BUMN seperti Pertamina dan Antam, maka PDB dari sektor
penggalian dan pertambangan yang berkisar Rp 705,6 triliun per tahun tersebut
mayoritas akan berputar kembali di masyarakat Indonesia, dan menjadi kekayaan
kita sepenuhnya. Meskipun dengan skenario pengandaian ini, mungkin PNBP dari
SDA migas dan non-migas tidak akan sebesar jumlah saat ini. Namun dengan
skenario itu, uang yang diputar kembali kepada masyarakat bisa mencapai minimal
Rp 2.000 triliun. Jumlah ini didapat dari besaran APBN ditambah Rp 705,6
triliun dari GDP pertambangan.
Hal
penting dari perhitungan sederhana di atas bukan pada nilainya, akan tetapi gambaran
akan seberapa berharganya sebuah kedaulatan. Dari aspek materi saja, kita dapat
memperkirakan dampak signifikan dari keuntungan kita apabila seluruh aset
kekayaan bumi kita kita kuasai sepenuhnya, dan tentu tantangannya adalah
bagaimana kesemua itu dikembalikan kepada rakyat untuk menciptakan kemakmuran
bagi mereka. Dari segi sosiologisnya, kita dapat menciptakan ketenangan hati
masyarakat dengan bagi hasil yang adil dan merata. Dari sisi teknologi, kita
juga dapat belajar dan berjuang keras untuk meningkatkan kapabilitas sumber
daya manusia kita agar apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita dapat
termanfaatkan dengan optimal. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, kita juga
dapat sepenuhnya mengatur konsumsi kekayaan bumi kita dan mewariskannya kepada
generasi penerus kita, dan manfaat-manfaat lainnya.
Sepatutnya,
hal yang dilakukan pemerintah tidak hanya sekedar renegosiasi. Namun lebih dari
itu, adalah meningkatkan kedaulatan dan harga diri kita atas kekayaan yang
merupakan hak rakyat kita sendiri. Semisal dengan peningkatan royalti yang
signifikan, atau penguasaan sebagian besar saham, atau dengan mempercepat masa
kontrak dan menyiapkan BUMN untuk dapat mengelolanya saat waktu kontrak telah
habis. Sudah cukup rakyat Indonesia kenyang dengan perampasan apa-apa yang
termasuk hak mereka.
Kembali
ke UUD 1945
Diskursus
ini pada akhirnya berujung pada political
will institusi pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memenuhi hak
konstitusional rakyat yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 (3). Sebuah
cita-cita yang mulia, untuk memanfaatkan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan
menjadi sebuah potensi untuk mencapai kemakmuran. Tidak boleh lagi ada
kesengajaan dalam menafsirkan pasal ini.
Adalah
sebuah kewajaran jika konflik seperti yang terjadi di Papua kembali berulang
setiap tahunnya, selama ‘ikatan’ yang mengikat kita sebagai sebuah
negara-bangsa tidak dapat mencengkeram dengan kuat. Ikatan itu ialah konsensus
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh. Selama pemenuhan
hak-hak konstitusional rakyat terabaikan, jangan heran jika kecintaan dan
harapan rakyat pada konstitusi tersebut dan pada pihak yang bertanggung jawab
dalam menjamin pemenuhannya semakin memudar. Pihak yang bertanggung jawab
tersebut adalah pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar