Rabu, 16 November 2011

Mengusahakan Renegosiasi, Mengusahakan Kedaulatan dan Harga Diri

Mengusahakan Renegosiasi,
Mengusahakan Kedaulatan dan Harga Diri
                                                       
B
elakangan ini isu mengenai mogoknya pekerja PT Freeport Indonesia kembali terjadi dan mengemuka di masyarakat. Seakan beriringan, terjadi juga konflik di Papua yang sempat menewaskan anggota kepolisian RI. Beberapa pengamat mengaitkan isu ini kepada banyak hal, seperti UU Otonomi Khusus untuk Papua, isu kesenjangan kesejahteraan, hingga isu renegosiasi kontrak pertambangan dengan PT Freeport Indonesia.

Topik yang akan kita jadikan diskursus adalah mengenai renegosiasi kontrak pertambangan. Saat ini pemerintah sedang gencar mengusahakan untuk memenuhi amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang juga berkaitan dengan PT Freeport Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, PT Freeport Indonesia sudah beroperasi sejak tahun 1967 berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967. Freeport memperoleh hak ‘mengambil’ harta kekayaan bumi Indonesia selama 30 tahun, dan pada 1991 berhasil memperoleh izin memperpanjang kontrak hingga tahun 2021. Belum lagi kontraktor lain seperti Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Minerals, dan lainnya yang juga mempunyai hak untuk ‘mengambil’ kekayaan bumi Indonesia. Itu berarti, selama kurang lebih 50 tahun pemerintah membiarkan hal tersebut, dan yang lebih parahnya lagi, melanggar UUD 1945 Pasal 33 (3) yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

Dengan redaksi di atas kita dapat mengambil kesimpulan yang tegas dan jelas, dan seharusnya tidak ada lagi celah multi tafsir terhadap pasal tersebut. Dimensi ‘dikuasai’ mempunyai makna jauh lebih berhak daripada kata ‘memiliki’. Hal ini menandakan kepemilikan seluruh suber daya alam tanpa kecuali adalah kepemilikan publik, bukan kepemilikan privat, dan negara adalah representasi kepemilikan publik tersebut. Tujuannya jelas, yaitu ‘sebesar besar kemakmuran rakyat’. Jadi, mendapatkan hasil yang maksimal dari pengelolaan kekayaan bumi negara ini merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia. Perhatikan frase ‘sebesar besar’, yang bermakna nilai maksimal.     

Bukan hanya untuk pendapatan negara

Menurut UU Minerba, ketentuan peralihan dikenakan aturan yang sama dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Ketentuan ini mencakup beberapa persyaratan. Namun beberapa hal yang sering disoroti terkait dengan luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak dan royalti), kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Semua itu seharusnya diselesaikan paling lambat satu tahun sejak UU ini diberlakukan tanggal 12 Januari 2009, yaitu tanggal 14 Januari 2010. Namun hingga sekarang, pemerintah mengklaim baru 65% perusahaan yang setuju penuh dan setuju sebagian atas semua persyaratan yang ada. Sisanya sebanyak 5 perusahaan menolak poin-poin renegosiasi ini.

Salah satu dari perusahaan yang menolak dan mempunyai kontribusi besar dalam ‘perampasan’ harta negara adalah PT Freeport Indonesia, yang memang bagian dari Freeport McMoran di Amerika. Poin yang harus diusahakan oleh pemerintah dalam renegosiasi ini adalah agar hak konstitusional rakyat untuk mendapat manfaat ‘maksimal’ dapat terlaksana. Saat ini, royalti yang dibayarkan PT FI kepada negara ini hanya berkisar 1 – 3 persen dari pemasukannya. Detailnya adalah 1 persen untuk emas, 1 persen untuk perak, dan 1,5 untuk tembaga. Padahal di suatu sisi, kita melihat ironi bahwa PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang sudah jelas-jelas milik negara saja dikenakan kewajiban royalti 3,7 persen untuk produksi emas, dan 4 – 5 persen untuk nikel. Tidak hanya itu, menurut IRESS, royalti yang diterapkan sekarang masih berada di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan royalti perusahaan pertambangan pada negara lain. Contohnya adalah di tiga negara bagian Kanada yang mencapai 20 persen; Argentina, Cile, Venezuela, Azerbaijan, dan Ghana masing-masing 3 persen; Angola, Botswana, dan Uzbekistan 5 persen.

Dalam rentang 2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6 triliun dari PT FI. Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan di buminya dari emas Papua sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun. Bandingkan dengan total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang mencapai Rp 260 triliun. Menurut Laporan Keuangan PT FI, pada tahun 2010 PT FI berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42 triliun dan menjual emas senilai Rp 20,59 triliun. Sementara itu pada tahun yang sama, Pendapatan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai Rp 9,7 triliun. Hal ini menandakan bahwa negara telah kehilangan potensi (potential lost) keuntungan sebesar Rp 60,01 triliun per tahun dari PT FI.

Persoalan kontrak karya PT FI ini bukan hanya masalah untung rugi pendapatan negara, namun lebih dari itu. Persoalan ini juga menyangkut manfaat yang diberikan PT FI terhadap masyarakat Papua pada umumnya, atau ‘pengembalian’ uang yang diperoleh negara dari PT FI kepada masyarakat Papua pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Hingga detik ini, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mencatat bahwa PT FI masih belum memberikan kesejahteraan bagi ribuan pekerja dan kondisi masyarakat setempat. Menurut IHCS, sekitar 83,3 persen rumah tangga di Papua masih diselimuti kemiskinan. Tidak hanya itu, dalam peringkat kemiskinan, dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32 dan 33) dari 33 provinsi di Indonesia. Itu artinya, keberadaan PT FI tidak membawa dampak berarti bagi masyarakat Papua.

Bagaimana dengan peran pemerintah dengan dana yang diterima dari PT FI? Menurut Laporan Kontrak Karya kedua antara pemerintah dan PT FI yang berlaku sejak Desember 1991 sampai sekarang, kontribusi PT FI kepada Pemerintah Republik Indonesia mencapai sekitar US$ 12 miliar (pajak, deviden, dan royalti). Itu artinya, selama 20 tahun ini PT FI hanya menyumbangkan Rp 106,8 triliun bagi negeri ini. Tahun 2010 lalu, negara menerima Rp 18 triliun dari pajak, royalti, dan dividen PT FI. Sedangkan dari Januari 2011 hingga September 2011, PT FI sudah membayar pajak, royalti, dan dividen kepada negara ini sebesar Rp 19 triliun. Jumlah Rp 18 triliun per tahun ini seharusnya berdampak pada optimalnya pengurangan jumlah penduduk miskin. Untuk menghidupi seorang rakyat miskin dalam satu bulan, diperlukan 60000 – 75000 kalori atau sekitar US$ 30. Dengan kurs Rp 8.900 per dollar, dibutuhkan uang Rp 267.000,00 untuk menjamin seorang miskin makan dengan standar layak dalam satu bulan. Jika jumlah ini dikalikan dengan 12 bulan, maka dibutuhkan Rp 3.204.000,00 untuk menjaminnya. Uang senilai Rp 18 triliun tersebut harusnya dapat menjamin makan 5.617.978 jiwa penduduk miskin. Namun nyatanya, pengurangan kemiskinan di Indonesia hanya bisa mentok sampai angka 1.500.000 per tahun. Belum lagi dengan anggaran pengentasan kemiskinan yang tiap tahunnya berjumlah sekitar Rp 60 triliun. Lagi-lagi, kehadiran PT FI tidak membawa dampak signifikan pada perbaikan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sangat jauh dari cita-cita konstitusi. Sayangnya, pemerintah yang seharusnya mengetahui hal ini seakan tidak menemukan mudharat adanya PT FI dan besaran pajak, royalti, serta dividen yang dibayarkannya.

Apalah gunanya idiom-idom bijak yang sudah menjadi warisan turun temurun bangsa ini, dimana sesuatu yang mudharat-nya lebih besar ketimbang manfaatnya, maka dengan segera ia harus ditinggalkan. Dimana pemerintah yang seharusnya menaungi rakyat? Dimana pemerintah yang seharusnya menjamin perwujudan hak konstitusional warganya? Bahkan untuk sekedar tegas dalam memilih antara perkara yang dominan mudharat dan dominan manfaat saja tidak bisa.

Tidak hanya sekedar renegosiasi

Pada dasarnya renegosiasi tidak akan menyelesaikan masalah, jika memang definisi masalahnya adalah terciptanya gap antara cita-cita pada Pasal 33 (3) UUD 1945 dengan realitas yang terjadi di lapangan. Selama ini persentase sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB berkisar 11%. Pada tahun 2010, nilai ini berada pada angka Rp 705,6 triliun. Sebagaimana kita ketahui dalam teori ekonomi, nilai PDB menggambarkan besarnya nilai produksi barang dan jasa dalam satu tahun, jika dikonversi ke dalam harga yang berlaku di pasar. Itu artinya, nilai produksi yang dihasilkan dari sektor pertambangan dan penggalian, terlepas dari milik perusahaan asing atau nasional, yaitu sebesar Rp 705,6 triliun.

Penerimaan negara dari pajak pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 850,3 triliun. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA migas dan non-migas adalah sekitar Rp 169,4 triliun. Dengan perhitungan yang sederhana, jika semua kontrak baik itu migas ataupun nonmigas yang dikuasai asing kita nasionalisasi dan diberikan kepada BUMN seperti Pertamina dan Antam, maka PDB dari sektor penggalian dan pertambangan yang berkisar Rp 705,6 triliun per tahun tersebut mayoritas akan berputar kembali di masyarakat Indonesia, dan menjadi kekayaan kita sepenuhnya. Meskipun dengan skenario pengandaian ini, mungkin PNBP dari SDA migas dan non-migas tidak akan sebesar jumlah saat ini. Namun dengan skenario itu, uang yang diputar kembali kepada masyarakat bisa mencapai minimal Rp 2.000 triliun. Jumlah ini didapat dari besaran APBN ditambah Rp 705,6 triliun dari GDP pertambangan.

Hal penting dari perhitungan sederhana di atas bukan pada nilainya, akan tetapi gambaran akan seberapa berharganya sebuah kedaulatan. Dari aspek materi saja, kita dapat memperkirakan dampak signifikan dari keuntungan kita apabila seluruh aset kekayaan bumi kita kita kuasai sepenuhnya, dan tentu tantangannya adalah bagaimana kesemua itu dikembalikan kepada rakyat untuk menciptakan kemakmuran bagi mereka. Dari segi sosiologisnya, kita dapat menciptakan ketenangan hati masyarakat dengan bagi hasil yang adil dan merata. Dari sisi teknologi, kita juga dapat belajar dan berjuang keras untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia kita agar apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita dapat termanfaatkan dengan optimal. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, kita juga dapat sepenuhnya mengatur konsumsi kekayaan bumi kita dan mewariskannya kepada generasi penerus kita, dan manfaat-manfaat lainnya.

Sepatutnya, hal yang dilakukan pemerintah tidak hanya sekedar renegosiasi. Namun lebih dari itu, adalah meningkatkan kedaulatan dan harga diri kita atas kekayaan yang merupakan hak rakyat kita sendiri. Semisal dengan peningkatan royalti yang signifikan, atau penguasaan sebagian besar saham, atau dengan mempercepat masa kontrak dan menyiapkan BUMN untuk dapat mengelolanya saat waktu kontrak telah habis. Sudah cukup rakyat Indonesia kenyang dengan perampasan apa-apa yang termasuk hak mereka.

Kembali ke UUD 1945

Diskursus ini pada akhirnya berujung pada political will institusi pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memenuhi hak konstitusional rakyat yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 (3). Sebuah cita-cita yang mulia, untuk memanfaatkan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan menjadi sebuah potensi untuk mencapai kemakmuran. Tidak boleh lagi ada kesengajaan dalam menafsirkan pasal ini.

Adalah sebuah kewajaran jika konflik seperti yang terjadi di Papua kembali berulang setiap tahunnya, selama ‘ikatan’ yang mengikat kita sebagai sebuah negara-bangsa tidak dapat mencengkeram dengan kuat. Ikatan itu ialah konsensus yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh. Selama pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat terabaikan, jangan heran jika kecintaan dan harapan rakyat pada konstitusi tersebut dan pada pihak yang bertanggung jawab dalam menjamin pemenuhannya semakin memudar. Pihak yang bertanggung jawab tersebut adalah pemerintah.

Tidak ada komentar: