Jumat, 11 November 2011

Menyingkap Makna di Balik Nyanyian Presiden


Menyingkap Makna di Balik Nyanyian Presiden


M
anusia adalah makhluk Tuhan yang dibekali akal, jiwa, dan raga. Akal digunakan untuk memahami, berpikir, dan melakukan sintesis atas gajala dan informasi yang dirasakan oleh raganya. Sementara jiwa, merupakan entitas yang juga digunakan untuk mengolah, namun dengan cara memahami, merasa, dan merespon gejala-gejala yang dirasa oleh raga, menjadi sebuah perasaan jiwa. Perasaan ini bermacam-macam, ada yang bersifat bahagia, sedih, gelisah, ataupun marah.

Perasaan manusia yang bermacam-macam ini dapat diungkapkan dalam berbagai macam cara. Salah satunya adalah lewat nyanyian. Mungkin itulah yang dilakukan oleh Presiden SBY dengan meluncurkan album keempatnya yang berjudul Harmoni. Beliau mencoba mengutarakan isi hatinya lewat nyanyian, yang dirangkum dalam album tersebut. Hal ini dibenarkan oleh kata-kata Menteri ESDM Jero Wacik, yang menyebutkan bahwa album ini adalah ungkapan perasaan SBY berupa harapan terhadap kondisi bangsa ini.

Boleh dibilang, album ini adalah ungkapan perasaan kesekian kali dari SBY kepada publik. Sebelumnya SBY sering mengungkapkan isi hatinya kepada publik. Hal ini di masyarakat biasa disebut curhat. Belum lepas dari ingatan kita curhatan-curhatan SBY, di antaranya yaitu mengenai uang negara yang dirampok, gaji presiden yang tidak naik-naik, isu kasus Nazaruddin, isu wikileaks, dan lainnya. Kali ini, boleh jadi hal-hal yang menjadi curhatan SBY berkaitan dengan gejolak di Papua, kisruh di internal koalisi, isu penurunan citra dan semakin banyak masyarakat yang tidak simpati kepadanya, atau isu lainnya yang sempat mengganggu “keharmonisan” keberjalanan pengelolaan negara ini. Lantas pertanyaan timbul mengenai hal ini. Mengapa SBY sampai membuat album dan menyebarkannya pada masyarakat?

Krisis Kepemimpinan

Kita sama-sama mengetahui bahwa dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu jilid II tidak ada lembaga atau badan penampung curhatan presiden. Mungkin kita mengenal adanya staff khusus presiden. Namun entitas ini berfungsi untuk membantu kinerja pribadi dalam rangka menjalankan tugas kepresidenan. Kita juga mengenal adanya dewan pertimbangan presiden (wantimpres). Namun lagi-lagi, entitas ini bukan berfungsi sebagai tempat menampung curhatan presiden, namun lebih kepada pemberi pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan. Adapun, tempat yang resmi untuk curhat bagi presiden adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, tiada lain adalah menteri-menterinya dan beberapa lembaga di bawahnya. Entitas-entitas itulah yang selayaknya dijadikan tempat mengeluh. Mengeluh akan kinerja pemerintahan yang tidak optimal dalam mencapai capaian-capaian yang diharapakan masyarakat, mengeluh akan kondisi bangsa yang semakin hari semakin kompleks masalahnya, dan sebagainya.

Namun, pada akhirnya peluncuran album ini perlahan-lahan menguatkan tabir yang sudah terbuka sebelumnya. Tabir tersebut adalah krisis kepemimpinan SBY sendiri. Menteri-menteri dan para pembantu di bawah SBY yang seharusnya bisa menjadi tempat yang tepat untuk curhat namun nyatanya tidak bisa terwujud. SBY malah menggunakan media lain untuk curhat dan menyebarkannya ke publik. Tidak ada kesimpulan yang bisa dijustifikasi selain daripada SBY sendiri yang tidak nyaman dengan menteri-menterinya, sehingga tidak memilih mereka untuk tempat curhat. Tentunya, ketidaknyamanan ini terjadi lantaran tidak patuhnya menteri-menteri tersebut dengan instruksi dan arahan presiden. Harapan dan ekspektasi SBY yang tidak terpenuhi terhadap menteri-menteri dan pembantunya membawa hasil pada ketidakpuasan SBY sendiri.

Dalam ilmu psikologi, dikenal teori hierarchy needs karya Abraham Maslow. Dalam teori itu dikemukakan bahwa kebutuhan manusia jika diurutkan dari yang paling dasar hingga paling atas adalah kebutuhan dasar itu sendiri, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan keindahan dan kesenangan, kebutuhan aktualisasi diri, dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk turut membahagiakan orang lain.

Rasanya tidak tepat jika kita menganggap SBY mengalami masalah pada kebutuhan dasar. Meskipun gaji presiden tidak naik-naik selama tujuh tahun. Tidak tepat juga jika SBY mengalami masalah pemenuhan kebutuhan keamanan. Meskipun ada kasus Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) kecolongan, yang terakhir oleh pedagang kebun. Tidak juga tepat jika kita menganggap SBY bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan hubungan sosial. Meskipun terkadang partai-partai politik anggota koalisi bandel. Tidak juga tepat jika kita menganggap SBY mengalami masalah pada pemenuhan kebutuhan keindahan dan kesenangan. Baru-baru ini SBY dan Ibu Negara berlibur di sela-sela agenda kerja di sebuah pantai di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Bisa jadi hal yang bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan SBY adalah pada kebutuhan mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia. Kita dapat mengambil contoh pada beberapa kasus. Pertama, pada pelaksanaan instruksi-instruksi presiden soal mafia pajak. Kedua, semakin banyaknya tekanan masyarakat akan kepemimpinannya beberapa bulan terakhir ini. Ketiga, banyaknya gejolak pada internal kabinet sendiri, yang ditandai dengan tidak patuhnya menteri-menteri atas kepemimpinannya.

Belum hilang ingatan kita pada ramainya perbincangan bahwa sebanyak 12 instruksi presiden mengenai pemberantasan mafia pajak tidak dilaksanakan. Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, gagalnya implementasi Inpres ini dikarenakan dua hal. Pertama, kemauan aparat di bawah presiden untuk menyelesaikannya. Kedua, kemampuan presiden untuk mengontrol bawahannya. Sehingga, semua kembali lagi pada kualitas kepemimpinan dan ketegasan presiden. Dalam hal ini, SBY gagal mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.

Selanjutnya, mengenai banyaknya tekanan dari masyarakat beberapa bulan terakhir terhadap kepemimpinannya. Belum surut ingatan kita di bulan Oktober kemarin banyak sekali opini-opini yang disampaikan. Beberapa mengatakan SBY gagal memenuhi hak-hak rakyat, SBY gagal memberikan manfaat sebagai seorang presiden, bahkan ada yang sampai menuntut SBY dan Boediono mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak hanya itu, survei-survei ilmiah dari beberapa lembaga survei juga menguatkan bahwa citra SBY menurun drastis. Hal ini, suka tidak suka menambah kuat hipotesis kita bahwa SBY gagal mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.

Ketiga, mengenai isu reshuffle yang kemarin juga sempat menghangat. Menghangat juga dikarenakan pengangkatan wakil-wakil menteri pada beberapa pos kementerian. Penunjukan wakil menteri ini juga turut memicu opini masyarakat. Beragam opini muncul, seperti pemborosan anggaran negara, melanggar undang-undang, dan tidak beresnya kinerja menteri yang berarti tidak puasnya SBY terhadap curhatannya karena tidak terlasana. Sementara, menteri-menteri tersebut tidak bisa dengan mudah diganti karena banyaknya kepentingan politik yang menaungi, entah dari partai politik, ataupun dari pihak-pihak lain baik dalam dan luar negeri. Hal ini menambah kegagalan aktualisasi diri SBY sebagai Presiden Republik Indonesia yang sah.

Kepentingan Konstituen

Sadar atau tidak sadar, kegagalan SBY dalam mengaktualisasikan diri sebagai Presiden Republik Indonesia disebabkan karena tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Konstituen di sini bisa dari berbagai kalangan, baik parpol, pengusaha, politisi lain, atau kelompok-kelompok penguasa lainnya yang berada di balik layar. Sebagai akibatnya, wajar jika masyarakat banyak menekan SBY pada beberapa bulan terakhir, terutama bulan Oktober ini. Masyarakat merasa SBY tidak memenuhi kepentingan-kepentingan mereka. Bahkan, untuk kebutuhan dasar saja SBY masih gagal dalam memenuhinya. Masih ada sekitar 32 juta masyarakat Indonesia yang hanya mendapat penghasilan di bawah satu dolar per hari.

Tidak kuatnya figur seorang presiden di kabinet juga merupakan akibat tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Sehingga SBY tidak berani bertindak tegas, misalnya untuk mengganti menteri-menteri yang mempunyai kinerja buruk, bukan malah memilih wakil menteri untuk “menambal” kecacatan ini.

Isu mengenai gagalnya pemberlakuan 12 instruksi presiden, ataupun banyaknya perampokan uang negara dan lemahnya penegakan hukum yang dikeluhkan presiden juga menyiratkan adanya kepentingan konstituen yang bermain di balik bayang-bayang besar presiden SBY. Sehingga, analoginya SBY tidak bisa bergerak atau bergeser sedikitpun agar konstituen yang ada di balik bayang-bayang SBY tetap dapat melancarkan kepentingannya tanpa diketahui banyak pihak.

Mungkin itulah makna yang dapat kita tarik di balik nyanyian SBY kali ini dalam album yang berjudul Harmoni. Semoga dalam sisa waktu yang ada SBY dapat mentransformasikan curhatan mengenai makna harmoni tersebut dari yang tadinya harmoni konstituen menjadi harmoni dalam kehidupan masyarakat. SBY harus tegas dan kembali menegaskan kepemimpinannya dan dapat mengaktualisasikan dengan baik, sehingga menteri dan pembantu-pembantunya dapat kembali bekerja secara maksimal dan kepercayaan rakyatpun dapat kembali diperoleh. Tidak takut mengambil langkah tegas dan beresiko asalkan semuanya bertujuan untuk membela kepentingan rakyat.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB

Tidak ada komentar: