Menyingkap Makna di Balik Nyanyian Presiden
M
|
anusia adalah makhluk Tuhan yang dibekali akal, jiwa, dan
raga. Akal digunakan untuk memahami, berpikir, dan melakukan sintesis atas
gajala dan informasi yang dirasakan oleh raganya. Sementara jiwa, merupakan
entitas yang juga digunakan untuk mengolah, namun dengan cara memahami, merasa,
dan merespon gejala-gejala yang dirasa oleh raga, menjadi sebuah perasaan jiwa.
Perasaan ini bermacam-macam, ada yang bersifat bahagia, sedih, gelisah, ataupun
marah.
Perasaan manusia yang bermacam-macam ini dapat diungkapkan
dalam berbagai macam cara. Salah satunya adalah lewat nyanyian. Mungkin itulah
yang dilakukan oleh Presiden SBY dengan meluncurkan album keempatnya yang
berjudul Harmoni. Beliau mencoba
mengutarakan isi hatinya lewat nyanyian, yang dirangkum dalam album tersebut. Hal
ini dibenarkan oleh kata-kata Menteri ESDM Jero Wacik, yang menyebutkan bahwa
album ini adalah ungkapan perasaan SBY berupa harapan terhadap kondisi bangsa
ini.
Boleh dibilang, album ini adalah ungkapan perasaan kesekian
kali dari SBY kepada publik. Sebelumnya SBY sering mengungkapkan isi hatinya
kepada publik. Hal ini di masyarakat biasa disebut curhat. Belum lepas dari ingatan kita curhatan-curhatan SBY, di antaranya yaitu mengenai uang negara yang
dirampok, gaji presiden yang tidak naik-naik, isu kasus Nazaruddin, isu wikileaks, dan lainnya. Kali ini, boleh
jadi hal-hal yang menjadi curhatan
SBY berkaitan dengan gejolak di Papua, kisruh di internal koalisi, isu penurunan
citra dan semakin banyak masyarakat yang tidak simpati kepadanya, atau isu
lainnya yang sempat mengganggu “keharmonisan” keberjalanan pengelolaan negara
ini. Lantas pertanyaan timbul mengenai hal ini. Mengapa SBY sampai membuat
album dan menyebarkannya pada masyarakat?
Krisis Kepemimpinan
Kita sama-sama mengetahui bahwa dalam struktur Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II tidak ada lembaga atau badan penampung curhatan presiden. Mungkin kita mengenal
adanya staff khusus presiden. Namun entitas ini berfungsi untuk membantu
kinerja pribadi dalam rangka menjalankan tugas kepresidenan. Kita juga mengenal
adanya dewan pertimbangan presiden (wantimpres). Namun lagi-lagi, entitas ini
bukan berfungsi sebagai tempat menampung curhatan
presiden, namun lebih kepada pemberi pertimbangan kepada presiden dalam
menjalankan pemerintahan. Adapun, tempat yang resmi untuk curhat bagi presiden adalah para pembantunya dalam menjalankan roda
pemerintahan, tiada lain adalah menteri-menterinya dan beberapa lembaga di
bawahnya. Entitas-entitas itulah yang selayaknya dijadikan tempat mengeluh.
Mengeluh akan kinerja pemerintahan yang tidak optimal dalam mencapai
capaian-capaian yang diharapakan masyarakat, mengeluh akan kondisi bangsa yang
semakin hari semakin kompleks masalahnya, dan sebagainya.
Namun, pada akhirnya peluncuran album ini perlahan-lahan
menguatkan tabir yang sudah terbuka sebelumnya. Tabir tersebut adalah krisis
kepemimpinan SBY sendiri. Menteri-menteri dan para pembantu di bawah SBY yang
seharusnya bisa menjadi tempat yang tepat untuk curhat namun nyatanya tidak bisa terwujud. SBY malah menggunakan
media lain untuk curhat dan
menyebarkannya ke publik. Tidak ada kesimpulan yang bisa dijustifikasi selain
daripada SBY sendiri yang tidak nyaman dengan menteri-menterinya, sehingga
tidak memilih mereka untuk tempat curhat.
Tentunya, ketidaknyamanan ini terjadi lantaran tidak patuhnya menteri-menteri
tersebut dengan instruksi dan arahan presiden. Harapan dan ekspektasi SBY yang
tidak terpenuhi terhadap menteri-menteri dan pembantunya membawa hasil pada
ketidakpuasan SBY sendiri.
Dalam ilmu psikologi, dikenal teori hierarchy needs karya Abraham Maslow. Dalam teori itu dikemukakan
bahwa kebutuhan manusia jika diurutkan dari yang paling dasar hingga paling
atas adalah kebutuhan dasar itu sendiri, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan
bersosialisasi, kebutuhan keindahan dan kesenangan, kebutuhan aktualisasi diri,
dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk turut membahagiakan orang lain.
Rasanya tidak tepat jika kita menganggap SBY mengalami
masalah pada kebutuhan dasar. Meskipun gaji presiden tidak naik-naik selama
tujuh tahun. Tidak tepat juga jika SBY mengalami masalah pemenuhan kebutuhan keamanan.
Meskipun ada kasus Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) kecolongan, yang terakhir oleh pedagang kebun. Tidak juga tepat
jika kita menganggap SBY bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan hubungan sosial.
Meskipun terkadang partai-partai politik anggota koalisi bandel. Tidak juga tepat jika kita menganggap SBY mengalami masalah
pada pemenuhan kebutuhan keindahan dan kesenangan. Baru-baru ini SBY dan Ibu
Negara berlibur di sela-sela agenda kerja di sebuah pantai di Lombok, Nusa
Tenggara Barat.
Bisa jadi hal yang bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan SBY
adalah pada kebutuhan mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang Presiden
Republik Indonesia. Kita dapat mengambil contoh pada beberapa kasus. Pertama,
pada pelaksanaan instruksi-instruksi presiden soal mafia pajak. Kedua, semakin
banyaknya tekanan masyarakat akan kepemimpinannya beberapa bulan terakhir ini.
Ketiga, banyaknya gejolak pada internal kabinet sendiri, yang ditandai dengan
tidak patuhnya menteri-menteri atas kepemimpinannya.
Belum hilang ingatan kita pada ramainya perbincangan bahwa
sebanyak 12 instruksi presiden mengenai pemberantasan mafia pajak tidak
dilaksanakan. Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, gagalnya
implementasi Inpres ini dikarenakan dua hal. Pertama, kemauan aparat di bawah
presiden untuk menyelesaikannya. Kedua, kemampuan presiden untuk mengontrol
bawahannya. Sehingga, semua kembali lagi pada kualitas kepemimpinan dan
ketegasan presiden. Dalam hal ini, SBY gagal mengaktualisasikan dirinya sebagai
seorang Presiden Republik Indonesia.
Selanjutnya, mengenai banyaknya tekanan dari masyarakat beberapa
bulan terakhir terhadap kepemimpinannya. Belum surut ingatan kita di bulan
Oktober kemarin banyak sekali opini-opini yang disampaikan. Beberapa mengatakan
SBY gagal memenuhi hak-hak rakyat, SBY gagal memberikan manfaat sebagai seorang
presiden, bahkan ada yang sampai menuntut SBY dan Boediono mengundurkan diri
dari jabatannya. Tidak hanya itu, survei-survei ilmiah dari beberapa lembaga
survei juga menguatkan bahwa citra SBY menurun drastis. Hal ini, suka tidak
suka menambah kuat hipotesis kita bahwa SBY gagal mengaktualisasikan dirinya
sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.
Ketiga, mengenai isu reshuffle
yang kemarin juga sempat menghangat. Menghangat juga dikarenakan pengangkatan
wakil-wakil menteri pada beberapa pos kementerian. Penunjukan wakil menteri ini
juga turut memicu opini masyarakat. Beragam opini muncul, seperti pemborosan
anggaran negara, melanggar undang-undang, dan tidak beresnya kinerja menteri
yang berarti tidak puasnya SBY terhadap curhatannya
karena tidak terlasana. Sementara, menteri-menteri tersebut tidak bisa dengan
mudah diganti karena banyaknya kepentingan politik yang menaungi, entah dari
partai politik, ataupun dari pihak-pihak lain baik dalam dan luar negeri. Hal
ini menambah kegagalan aktualisasi diri SBY sebagai Presiden Republik Indonesia
yang sah.
Kepentingan Konstituen
Sadar atau tidak sadar, kegagalan SBY dalam
mengaktualisasikan diri sebagai Presiden Republik Indonesia disebabkan karena
tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Konstituen di sini bisa dari
berbagai kalangan, baik parpol, pengusaha, politisi lain, atau
kelompok-kelompok penguasa lainnya yang berada di balik layar. Sebagai
akibatnya, wajar jika masyarakat banyak menekan SBY pada beberapa bulan
terakhir, terutama bulan Oktober ini. Masyarakat merasa SBY tidak memenuhi
kepentingan-kepentingan mereka. Bahkan, untuk kebutuhan dasar saja SBY masih
gagal dalam memenuhinya. Masih ada sekitar 32 juta masyarakat Indonesia yang
hanya mendapat penghasilan di bawah satu dolar per hari.
Tidak kuatnya figur seorang presiden di kabinet juga
merupakan akibat tersanderanya SBY pada kepentingan konstituen. Sehingga SBY
tidak berani bertindak tegas, misalnya untuk mengganti menteri-menteri yang
mempunyai kinerja buruk, bukan malah memilih wakil menteri untuk “menambal”
kecacatan ini.
Isu mengenai gagalnya pemberlakuan 12 instruksi presiden,
ataupun banyaknya perampokan uang negara dan lemahnya penegakan hukum yang
dikeluhkan presiden juga menyiratkan adanya kepentingan konstituen yang bermain
di balik bayang-bayang besar presiden SBY. Sehingga, analoginya SBY tidak bisa
bergerak atau bergeser sedikitpun agar konstituen yang ada di balik
bayang-bayang SBY tetap dapat melancarkan kepentingannya tanpa diketahui banyak
pihak.
Mungkin itulah makna yang dapat kita tarik di balik nyanyian
SBY kali ini dalam album yang berjudul Harmoni.
Semoga dalam sisa waktu yang ada SBY dapat mentransformasikan curhatan mengenai makna harmoni tersebut
dari yang tadinya harmoni konstituen menjadi harmoni dalam kehidupan
masyarakat. SBY harus tegas dan kembali menegaskan kepemimpinannya dan dapat
mengaktualisasikan dengan baik, sehingga menteri dan pembantu-pembantunya dapat
kembali bekerja secara maksimal dan kepercayaan rakyatpun dapat kembali diperoleh.
Tidak takut mengambil langkah tegas dan beresiko asalkan semuanya bertujuan
untuk membela kepentingan rakyat.
Penulis
adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB
sekaligus Peneliti Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP)
ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar