Titik Semu Perekonomian Indonesia
B
|
aru-baru ini isu mengenai krisis ekonomi Eropa kembali
menghiasi media kita. Negara-negara seperti Yunani dan Italia adalah dua negara
terparah yang sedang dilanda krisis. Sontak pertemuan G20 diadakan untuk membahas permasalahan ini dan
mencari solusi agar negara yang dilanda krisis dapat tetap selamat dan krisis
ini tidak merambat ke negara lainnya. Pertemuan itu diadakan di Prancis pada 3
- 4 November lalu. Dua hari sebelum itu, tanggal 2 November, dalam pertemuan
UNESCO SBY memberikan pidato terkait pengalaman Indonesia dalam menghadapi
krisis moneter dan kepercayaan diri yang dibangun untuk menghadapi krisis 1998
lalu.
Benar adanya, kala itu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada
di nilai minus, yaitu -13%. Kurs rupiah terhadap dollar anjlok hingga mencapai
titik terendah sekitar Rp 18.000,00 per dollar AS. Krisis kepercayaan terjadi
di mana-mana, ketakutan menyebar di masyarakat, sehingga akhirnya menimbulkan
gejolak. Namun, pasca Soeharto mengundurkan diri pada 20 Mei 1998, semua
kegelisahan tersebut seakan hilang. Selanjutnya, harapan masyarakat akan
pemerintahan yang adil dan demokratis dalam bidang ekonomi dan sosial semakin
meningkat. Sehingga saat itu masyarakat menaruh harapan besar pada B.J. Habibie
dan proses reformasi pemerintahan untuk membawa bangsa keluar dari krisis
multidimensi dan perlahan kepercayaan diri itu meningkat.
Saat ini, kita boleh sedikit berbangga dengan capaian
pembangunan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kita pasca reformasi berada
di nilai plus tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahunnya dari
mulai 3%, 4%, 5%, hingga mencapai 6,1% pada tahun 2010. BPS mencatat PDB negara
ini mencapai Rp 6.300 triliun (US$ 706,7 miliar) pada 2010 dan diprediksi kuat akan
menembus Rp 7.000 triliun (US$ 785.2 miliar) pada tahun 2011. World Bank mencatat GDP per kapita
masyarakat Indonesia tahun 2010 ada pada kisaran US$ 2.946 (Rp 26,2 juta),
lebih tinggi dari India yang hanya pada kisaran US$ 1.477 (Rp 13,2 juta),
hampir setengah GDP per kapita kita. Begitu pula dengan pertumbuhan industri
kita. BPS mencatat pertumbuhan industri Indonesia naik pada tahun 2010,
mencapai sekitar 4,2% dan untuk tahun 2011 diperkirakan mencapai 6%. Inflasi
juga tetap berada pada range yang
normal berkisar 6%, dan diprediksi tidak akan menembus angka 5% pada akhir
tahun ini.
Namun, baru-baru ini banyak pemberitaan media massa dan juga
opini masyarakat terkait dengan melorotnya posisi Indonesia dalam Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia menurut UNDP bernilai 0.617, dimana
walaupun meningkat, namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan peningkatan
IPM negara lain. Sehingga secara posisi, peringkat kita menurun. Hal ini
menurut Guru Besar FE UI Firmanzah, adalah sebuah kesalahan mengingat hakikat
pembangunan ekonomi adalah pembangunan manusia, dan IPM merupakan salah satu
tolak ukurnya. Hal ini menjadi pemantik diskursus mengenai kualitas pertumbuhan
ekonomi Indonesia secara umum, sehingga timbul pertanyaan tentang kualitas
angka-angka “hebat” tersebut. Pada akhirnya timbul stigma bahwa “kehebatan”
ekonomi Indonesia sesungguhnya adalah semu.
Titik semu
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi argumen
mengapa terjadi stigma perekonomian semu Indonesia. Pertama, kondisi bursa efek kita yang mendapat prestasi terbaik
se-Asia Pasifik namun kemajuan sektor riil kita tidak optimal. Kedua, PDB yang tinggi namun rendah
dalam pemerataan. Ketiga, anggaran
yang semakin tinggi dan diiringi angka kemiskinan yang juga tinggi. Keempat, pengembangan ekonomi kreatif
namun terjadi pembiaran perampasan aset negara.
Pada akhir 2010
kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat kinerja terbaik se-Asia Pasifik.
Indeks saham pada akhir perdagangan 2010 ditutup pada 3.703,51 poin atau
menguat sebesar 46,13% dibandingkan penutupan akhir 2009 yang berada di posisi
2.534,36. Pencapaian ini adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia. Sehingga
wajar ketika waktu itu SBY memberikan apresiasi dengan menghadiri proses
penutupannya. Dengan jumlah emiten yang mencapai lebih dari 400, pasar modal
kita berhasil meraih pencapaian tersebut. Tidak hanya itu, menurut Bapepam-LK selama
ini kontribusi pasar modal Indonesia dalam PDB mencapai 35%.
Namun sejatinya pencapaian tersebut adalah sebuah hal yang
semu. Meskipun pasar modal kita terbaik se-Asia Pasifik, nyatanya kondisi
sektor riil kita terutama perindustrian, hingga saat ini masih jauh dari
harapan. Jika kontribusi pasar modal dalam PDB mencapai 35%, peran industri
manufaktur negeri ini hanya sekitar 23%. Hal ini masih jauh jika dibandingkan
dengan negara Asia Pasifik lainnya. Singapura yang negaranya tidak lebih besar
dari luas Jabodetabek dapat membawa industri manufaktur, terutama biomediknya,
menyumbang sekitar 28% PDB negara tersebut. Lain lagi dengan Malaysia yang
berhasil meningkatkan peran industri manufakturnya menjadi 26% PDB. Untuk
tataran Asia Tenggara saja kita masih kalah dibandingkan Singapura dan Malaysia,
belum jika dalam tataran Asia Pasifik. Hal ini membuat pemerintah seharusnya
malu karena sektor industri yang seharusnya menjadi motor perekonomian dan juga
basis yang kuat bagi perekonomian berada dalam kondisi lemah. Sebaliknya,
sektor keuangan yang rapuh dan rentan terjangan krisis malah menjadi andalan
perekonomian negeri ini. Pemerintah gagal menciptakan kekuatan sektor riil,
terutama manufaktur.
PDB Indonesia digadang-gadang akan menembus Rp 7.000 triliun
pada tahun 2011, yang meningkatkan posisi Indonesia menjadi sekitar 15 besar
perekonomian dunia, mengalahkan Turki dan Belanda. Namun sejatinya, hal ini
juga semu. Pasalnya menurut BPS pulau Jawa menyumbang sekitar 58% PDB nasional
pada tahun 2010, dan masih berkisar di angka tersebut hingga triwulan III tahun
2011 ini. Sementara, berada pada urutan kedua yaitu Sumatera dengan sumbangan
sekitar 23%, Kalimantan 9,5%, Sulawesi 4,6%, Bali-Nusa Tenggara 2,6%, dan
sisanya Maluku-Papua sebesar 2%. Maka wajar jika seringkali rakyat Papua
bergejolak, dikarenakan mereka hanya menikmati tidak lebih dari 2% pendapatan
nasional. tidak hanya itu, dari segi peringkat kemiskinan, dua provinsi yaitu
Papua dan Papua Barat menduduki peringkat dua terbawah (32 dan 33) dari 33
provinsi di Indonesia. Tentunya hal ini merupakan sebuah prestasi ekonomi yang
hakikatnya semu, karena pemerintah gagal menciptakan pemerataan ekonomi.
Titik semu berikutnya ada pada anggaran kita yang semakin
tinggi, dengan pengentasan kemiskinan yang minim prestasi. APBN kita pada 2011
sudah menyentuh angka Rp 1.229 triliun dan pada 2012 menyentuh angka Rp 1.435
triliun. Sejatinya, anggaran tersebut haruslah kembali kepada rakyat, dan
prioritas pertama dalam anggaran tersebut adalah mengentaskan kemiskinan. Menurut
BPS, penduduk miskin negara ini mencapai 32.530.000 jiwa pada 2009 dan
31.023.400 jiwa pada 2010. Jumlah ini belum termasuk kecacatan indikator dimana
ada perbedaan antara BPS yang menetapkan garis batas Rp 211.726 per bulan
dengan World Bank yang menetapkan US$
30 (Rp 270.000) per bulan. Juga kecacatan indikator lain seperti anggapan orang
yang sudah bekerja bebas dari kemiskinan.
Jika kita melihat, dengan kenaikan anggaran belanja sekitar
Rp 100 triliun per tahun, pemerintah hanya bisa mengentaskan kemiskinan sekitar
1,5 juta jiwa per tahun. Fakta yang membuat hal ini semakin mencengangkan
adalah bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mencapai 4 juta jiwa.
Artinya, bila tidak ada terobosan berarti, potensi kemiskinan di Indonesia
semakin besar, karena jumlah yang dipangkas jauh lebih kecil ketimbang
pertumbuhan jumlah penduduk itu sendiri. Hakikat perekonomian selanjutnya
adalah pengentasan kemiskinan, dan lagi-lagi pemerintah gagal memenuhinya.
Titik semu yang terakhir berkaitan dengan pengembangan aset
manusia lewat ekonomi kreatif, namun pembiaran perampasan aset alam Indonesia. Sejak
dicanangkan pada sekitar tahun 2006, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia
semakin ditingkatkan dengan dirombaknya Kementerian Budaya dan Pariwisata
menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 ini. Menurut
Kementerian Perdagangan, selama ini ekonomi kreatif yang terdiri dari 14 subsektor
menyumbang rata-rata 6,3 % PDB tiap tahunnya, dengan nilai yang dihasilkan
rata-rata Rp 104,6 miliar per tahun. Pemerintah bagus dalam menangkap peluang
ini di masyarakat, sehingga jumlah yang dihasilkanpun tidak sedikit.
Namun hal ini bertolak belakang dengan usaha pengembangan
aset yang lainnya dari negara ini. Hal ini berkaitan dengan renegosiasi kontrak
pertambangan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Bayangkan, dari rentang
2005 hingga September 2010, negara hanya menerima royalti Rp 6,6 triliun dari
PT Freeport Indonesia (PT FI). Itu berarti penghasilan Indonesia dari royalti kekayaan
di buminya sendiri rata-rata hanya Rp 1,3 triliun per tahun. Bandingkan dengan
total penjualan PT FI dalam kurun waktu yang sama, yang mencapai Rp 260
triliun. Pada tahun 2010 PT FI berhasil menjual tembaga senilai Rp 39,42
triliun dan menjual emas senilai Rp 20,59 triliun. Sementara itu pada tahun
yang sama, Pendapatan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan hanya senilai
Rp 9,7 triliun. Sebagai contoh lagi, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang
jelas-jelas milik negara dikenakan royalti untuk produksi emas sebesar 3,7% dan
untuk produksi nikel sebesar 4 – 5%. Bandingkan dengan PT FI yang hanya
dikenakan 1 – 3%. Ini baru perkara PT FI, belum lagi mengenai 34 perusahaan
tambang lainnya dan juga di sektor migas. Hakikatnya, negara ini belum berkuasa
atas tanah dan kekayaannya sendiri, malah justru menjadi pihak yang dirugikan.
Pemerintah gagal mempertahankan kekayaan negara dan menggunakannya untuk
kemakmuran rakyat.
Hebatkah ekonomi
kita?
Dari empat titik semu seharusnya kita dapat menemukan
jawaban terkait dengan kualitas perekonomian Indonesia, yang juga dinilai dari
indikator kualitatif, dan tidak hanya kuantitatif. Masihkah pemerintah
berbangga dengan pencapaian mereka dengan angka-angka yang diagung-agungkan dan
status menjadi anggota G20 yang sejatinya rakyat sendiri belum merasakan kehebatan
ekonomi Indonesia.
Hakikat dari perekonomian ada pada empat hal: pengentasan
kemiskinan, pemerataan ekonomi, berbasis sektor riil, dan pengelolaan aset
negara yang baik. Jika ada prestasi di luar indikator tersebut, kita bisa
mengambil justifikasi bahwa prestasi tersebut hakikatnya adalah semu.
Pemerintah lagi-lagi gagal untuk menciptakan perekonomian yang berkualitas.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Semoga pemerintah kembali
berfokus pada hakikat ekonomi dan membuat terobosan-terobosan baru dalam
programnya dan juga politik anggarannya. Jangan sampai rakyat dibodoh-bodohi
lagi dengan banyaknya klaim dan iming-iming yang sejatinya tidak mereka
rasakan. Semoga kesejahteraan rakyat menjadi semangat pembangunan ekonomi kita
kedepannya.
Penulis adalah Menteri
Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Peneliti
Senior Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik (KSSEP) ITB
***
Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 54, Bandung
dhani_aja_lah@yahoo.com
085691053532
http://iniblogdhani.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar