Menjelang pergantian tahun, banyak media ataupun lembaga
kajian mengadakan diskusi terkait perekonomian negara ini. Pembahasan dimulai
dengan melihat kemajuan yang terjadi selama setahun ke belakang, dan berusaha
‘meramal’ kondisi perekonomian di tahun berikutnya. Saat itu saya tergelitik
dengan istilah yang dipergunakan pengamat ekonomi yang menjadi narasumber saat
itu. Beliau menggunakan istilah auto
driven economy pada kondisi perekonomian kita. Lebih detail, beliau
mengambil contoh pada pelaku usaha kecil menengah yang berusaha terus
mengembangkan usahanya dengan perjuangan sendiri, tanpa adanya bantuan dari
pemerintah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejak 2007 terus menerus berkisar di angka 6 persen, kecuali di 2009
yang sempat anjlok di angka 4,6
persen. Pertumbuhan di 2011 mencapai 6,7 persen. Sektor yang paling berpengaruh
pada pembentukan PDB Indonesia sejak tahun 1991 adalah industri pengolahan,
sekitar 20 persen, dan di tahun 2010 sebesar 24,2 persen. Sedangkan peringkat
kedua ada pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan sebesar
15,3 persen, dan di peringkat ketiga sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
memberikan kontribusi 13,7 persen.
Dengan kontribusi sektor industri yang sangat besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, kita sah-sah saja mengambil justifikasi bahwa auto driven atau tidaknya perekonomian
Indonesia, ditentukan sangat besar oleh auto
driven atau tidaknya perindustrian Indonesia. Pasalnya, peringkat kedua dan
ketiga dalam penyumbang PDB besarnya hampir separuh kontribusi sektor industri.
Karena itulah, fokus pembahasan kita adalah pada sektor industri.
Namun, kontribusi yang besar dari sektor industri ternyata
didominasi oleh industri besar. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan
bahwa industri besar mendominasi PDB industri sekitar 70 persen, jauh di atas
kontribusi industri kecil yang hanya 15 persen. Padahal, industri kecil
jumlahnya lebih dari 95 persen jumlah industri di Indonesia, dengan jumlah
tenaga kerja 60 persen dari total tenaga kerja sektor industri. Jelas hal ini merupakan
gejala yang perlu kita analisis lebih dalam. Pasalnya, hal ini menunjukkan
bahwa kinerja industri kecil Indonesia tidak optimal jika dibandingkan dengan
kinerja industri besar. Padahal, nasib sekitar tujuh juta pekerja ditentukan
oleh keadaan industri kecil ini.
Kehilangan Pengemudi
Jika kita coba menerka, kemungkinan hal yang dimaksud dengan
auto driven itu adalah kemampuan
industri kecil kita untuk tetap bertahan di tengah derasnya persaingan dengan
produk-produk murah impor dari negara yang industrinya sudah maju. Industri
kecil kita terus mengembangkan dirinya untuk tetap menjadi motor perekonomian
bagi rakyat yang tidak mempunyai modal besar dan tujuh juta orang yang
menggantungkan penghasilannya. Hal ini akibat tidak dirasakannya peran pemerintah
untuk memajukan industri kecil ini.
Pada 2010, BPS melansir bahwa industri kecil yang mengalami
kesulitan dalam bertahan dan mengembangkan diri sangatlah banyak. Jumlahnya
mencapai 2.133.133 unit industri. Sedangkan yang tidak mengalami kesulitan hanya
599.591 unit industri (hanya 21 persen dari keseluruhan). Jenis kesulitan yang
paling banyak dirasakan oleh industri kecil adalah kesulitan modal. Sebanyak
806.758 unit industri kecil mengalami kesulitan ini. Kesulitan berikutnya yang
dirasakan oleh sekitar 495.123 unit industri kecil adalah kesulitan pemasaran.
Sebanyak 483.468 unit industri kecil mengalami kesulitan bahan baku. Sisanya
mengalami kesulitan yang bervariasi, mulai dari keterampilan, transportasi,
BBM/energi, upah buruh, dan lainnya.
Kesulitan modal, pemasaran, dan bahan baku menjadi kendala
utama dalam pengembangan industri kecil. Hal ini mau tidak mau membuat kita
bertanya kepada peran pemerintah. Program pemerintah yang ada ternyata tidak
efektif untuk mengembangkan industri kecil ini. Hal ini dilihat dari besarnya
anggaran yang telah dikeluarkan namun dengan hasil yang tidak sebanding. Program-program
untuk mengembangkan industri kecil sangatlah banyak. Kita mengenal Program Pemberdayaan
Industri Kecil dan Menengah (IKM) sekitar Rp 56,98 milyar per tahun. Program selanjutnya
adalah program bantuan dana langsung, sekitar Rp 241 juta per tahun. Program
lainnya adalah Program Pembantuan dan Pembinaan IKM senilai Rp 45 milyar per
tahun. Ada pula Program Pengembangan IKM Unggulan Daerah yang besarnya tidak
kurang dari Rp 60 milyar per tahun. Juga ada Program Peningkatan Kerjasama
Lintas Sektor IKM yang menelan dana Rp 71,8 milyar per tahun. Total keseluruhan
untuk program-program ini adalah Rp 234 milyar per tahun. Itu baru program yang
khusus untuk IKM, belum lagi program yang ditujukan untuk industri secara
keseluruhan, baik untuk meningkatkan teknologi ataupun sumber daya manusia
industri. Secara umum, Kementerian Perindustrian menerima alokasi anggaran
lebih dari Rp 2 triliun per tahunnya. Dengan anggaran seperti itu, lebih dari
80% industri kecil kita mengalami masalah dalam mengembangkan usahanya.
Pertanyaannya adalah, apakah dana tersebut terlalu kecil? Ataukah penyerapannya
yang tidak optimal?
Nyatanya, dengan segala keterbatasan bantuan yang ada,
industri kecil di negara ini berhasil meraih pendapatan sekitar Rp 187 triliun
per tahun. Lebih dari 57 persen dari industri kecil ini berpendapatan lebih
dari Rp 1 miliar per tahun. Selama ini, sekitar 2.172.510 unit industri kecil
(79,5 persen) menggunakan modal sendiri untuk mengembangkan dan menjalankan
usahanya. Hal ini merupakan kebanggaan besar sekaligus keprihatinan yang besar.
Kebanggaan bahwa masyarakat kita adalah
masyarakat yang cukup tangguh dan berjuang dengan keras. Dengan bantuan yang
minim dari pemerintah, industri kecil dapat menyerap tujuh juta tenaga kerja
dan menghasilkan pendatapan lebih dari 15 persen PDB industri. Keprihatinan
karena pemerintah gagal menjadi pihak yang diandalkan oleh rakyatnya ketika
meminta bantuan, bahkan penghasilan industri kecil jauh lebih besar daripada
besaran anggaran yang diterimanya. Dimanakah dampak program-program itu?
Siapakah pengemudi yang diandalkan dari industri kecil kita? Pada bagian ini,
jelas kita telah mendapat kesimpulan mengenai terjadinya auto driven small industry.
Terlalu Kecil
Pemerintah biar bagaimanapun berkewajiban untuk memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan yang setiap orang berhak menikmatinya,
termasuk para pelaku industri kecil kita dan tujuh juta orang yang bekerja di
sana.
Pada 2010 saja, menurut BPS sebanyak 2.524.399 usaha atau
sekitar 92,38 persen industri kecil mengaku tidak mendapatkan bantuan usaha
dalam melaksanakan usahanya. Dari jumlah tersebut, 56,69 persen berasalan tidak
mengetahui ada bantuan tersebut. Sedangkan yang tidak mengetahui prosedur sebesar
14,72 persen. Sisanya 21,90 persen malah tidak berminat untuk meminta bantuan
kepada pemeritah. Lebih parahnya, untuk pembimbingan usaha, sebanyak 2.513.984
unit usaha tidak tersentuh program ini. Hanya sekitar 218.740 unit usaha yang
mendapat bimbingan. Dari jumlah itupun, hanya 83.196 unit usaha yang
pembimbingannya dari pemerintah. Hal ini menggambarkan betapa terabaikannya
mereka di mata pemerintah. Bahkan sampai ada yang tidak berminat meminta
bantuan kepada pemerintah, bisa jadi karena sudah berjalan dengan lancar, namun
bisa jadi juga karena menganggap pemerintah sudah tidak bisa lagi diandalkan
untuk meminta bantuan. Anggaran yang dialokasikanpun terlalu kecil, sehingga
industri kecil semakin berjuang sendiri untuk bertahan.
Pemerintah harusnya sadar bahwa dengan anggaran yang selama
ini dialokasikan kepada industri kecil sangatlah kurang. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi industri kecil, padahal realisasi
anggaran sudah sangat tinggi, mencapai lebih dari 95 persen. Lewat permasalahan
ini, kita sama-sama belajar bahwa keberpihakan terhadap industri kecil yang
menyerap tenaga kerja sangat besar harus dimulai dari poltik anggarannya. Jangan
ragu-ragu untuk menggelontorkan anggaran bantuan yang besar agar industri kita
bisa tumbuh dengan optimal. Selanjutnya, pemerintah lewat pegawai negeri yang
tersebar sampai ke pelosok harus dapat menjangkau keberadaan industri kecil ini
dan memantaunya dengan berkala. Semoga pemerintah tidak malas dalam mengurusi
rakyatnya, dan dapat kembali menjadi pengemudi pembangunan industri kecil di
Indonesia.
Penulis
adalah mahasiswa Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang
Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar