Senin, 16 Januari 2012

Mencari Pengemudi Auto Driven Industri Kecil Indonesia

Menjelang pergantian tahun, banyak media ataupun lembaga kajian mengadakan diskusi terkait perekonomian negara ini. Pembahasan dimulai dengan melihat kemajuan yang terjadi selama setahun ke belakang, dan berusaha ‘meramal’ kondisi perekonomian di tahun berikutnya. Saat itu saya tergelitik dengan istilah yang dipergunakan pengamat ekonomi yang menjadi narasumber saat itu. Beliau menggunakan istilah auto driven economy pada kondisi perekonomian kita. Lebih detail, beliau mengambil contoh pada pelaku usaha kecil menengah yang berusaha terus mengembangkan usahanya dengan perjuangan sendiri, tanpa adanya bantuan dari pemerintah.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2007 terus menerus berkisar di angka 6 persen, kecuali di 2009 yang sempat anjlok di angka 4,6 persen. Pertumbuhan di 2011 mencapai 6,7 persen. Sektor yang paling berpengaruh pada pembentukan PDB Indonesia sejak tahun 1991 adalah industri pengolahan, sekitar 20 persen, dan di tahun 2010 sebesar 24,2 persen. Sedangkan peringkat kedua ada pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan sebesar 15,3 persen, dan di peringkat ketiga sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang memberikan kontribusi 13,7 persen.

Dengan kontribusi sektor industri yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, kita sah-sah saja mengambil justifikasi bahwa auto driven atau tidaknya perekonomian Indonesia, ditentukan sangat besar oleh auto driven atau tidaknya perindustrian Indonesia. Pasalnya, peringkat kedua dan ketiga dalam penyumbang PDB besarnya hampir separuh kontribusi sektor industri. Karena itulah, fokus pembahasan kita adalah pada sektor industri.

Namun, kontribusi yang besar dari sektor industri ternyata didominasi oleh industri besar. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa industri besar mendominasi PDB industri sekitar 70 persen, jauh di atas kontribusi industri kecil yang hanya 15 persen. Padahal, industri kecil jumlahnya lebih dari 95 persen jumlah industri di Indonesia, dengan jumlah tenaga kerja 60 persen dari total tenaga kerja sektor industri. Jelas hal ini merupakan gejala yang perlu kita analisis lebih dalam. Pasalnya, hal ini menunjukkan bahwa kinerja industri kecil Indonesia tidak optimal jika dibandingkan dengan kinerja industri besar. Padahal, nasib sekitar tujuh juta pekerja ditentukan oleh keadaan industri kecil ini.

Kehilangan Pengemudi

Jika kita coba menerka, kemungkinan hal yang dimaksud dengan auto driven itu adalah kemampuan industri kecil kita untuk tetap bertahan di tengah derasnya persaingan dengan produk-produk murah impor dari negara yang industrinya sudah maju. Industri kecil kita terus mengembangkan dirinya untuk tetap menjadi motor perekonomian bagi rakyat yang tidak mempunyai modal besar dan tujuh juta orang yang menggantungkan penghasilannya. Hal ini akibat tidak dirasakannya peran pemerintah untuk memajukan industri kecil ini.

Pada 2010, BPS melansir bahwa industri kecil yang mengalami kesulitan dalam bertahan dan mengembangkan diri sangatlah banyak. Jumlahnya mencapai 2.133.133 unit industri. Sedangkan yang tidak mengalami kesulitan hanya 599.591 unit industri (hanya 21 persen dari keseluruhan). Jenis kesulitan yang paling banyak dirasakan oleh industri kecil adalah kesulitan modal. Sebanyak 806.758 unit industri kecil mengalami kesulitan ini. Kesulitan berikutnya yang dirasakan oleh sekitar 495.123 unit industri kecil adalah kesulitan pemasaran. Sebanyak 483.468 unit industri kecil mengalami kesulitan bahan baku. Sisanya mengalami kesulitan yang bervariasi, mulai dari keterampilan, transportasi, BBM/energi, upah buruh, dan lainnya.

Kesulitan modal, pemasaran, dan bahan baku menjadi kendala utama dalam pengembangan industri kecil. Hal ini mau tidak mau membuat kita bertanya kepada peran pemerintah. Program pemerintah yang ada ternyata tidak efektif untuk mengembangkan industri kecil ini. Hal ini dilihat dari besarnya anggaran yang telah dikeluarkan namun dengan hasil yang tidak sebanding. Program-program untuk mengembangkan industri kecil sangatlah banyak. Kita mengenal Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (IKM) sekitar Rp 56,98 milyar per tahun. Program selanjutnya adalah program bantuan dana langsung, sekitar Rp 241 juta per tahun. Program lainnya adalah Program Pembantuan dan Pembinaan IKM senilai Rp 45 milyar per tahun. Ada pula Program Pengembangan IKM Unggulan Daerah yang besarnya tidak kurang dari Rp 60 milyar per tahun. Juga ada Program Peningkatan Kerjasama Lintas Sektor IKM yang menelan dana Rp 71,8 milyar per tahun. Total keseluruhan untuk program-program ini adalah Rp 234 milyar per tahun. Itu baru program yang khusus untuk IKM, belum lagi program yang ditujukan untuk industri secara keseluruhan, baik untuk meningkatkan teknologi ataupun sumber daya manusia industri. Secara umum, Kementerian Perindustrian menerima alokasi anggaran lebih dari Rp 2 triliun per tahunnya. Dengan anggaran seperti itu, lebih dari 80% industri kecil kita mengalami masalah dalam mengembangkan usahanya. Pertanyaannya adalah, apakah dana tersebut terlalu kecil? Ataukah penyerapannya yang tidak optimal?

Nyatanya, dengan segala keterbatasan bantuan yang ada, industri kecil di negara ini berhasil meraih pendapatan sekitar Rp 187 triliun per tahun. Lebih dari 57 persen dari industri kecil ini berpendapatan lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Selama ini, sekitar 2.172.510 unit industri kecil (79,5 persen) menggunakan modal sendiri untuk mengembangkan dan menjalankan usahanya. Hal ini merupakan kebanggaan besar sekaligus keprihatinan yang besar. Kebanggaan bahwa  masyarakat kita adalah masyarakat yang cukup tangguh dan berjuang dengan keras. Dengan bantuan yang minim dari pemerintah, industri kecil dapat menyerap tujuh juta tenaga kerja dan menghasilkan pendatapan lebih dari 15 persen PDB industri. Keprihatinan karena pemerintah gagal menjadi pihak yang diandalkan oleh rakyatnya ketika meminta bantuan, bahkan penghasilan industri kecil jauh lebih besar daripada besaran anggaran yang diterimanya. Dimanakah dampak program-program itu? Siapakah pengemudi yang diandalkan dari industri kecil kita? Pada bagian ini, jelas kita telah mendapat kesimpulan mengenai terjadinya auto driven small industry.

Terlalu Kecil

Pemerintah biar bagaimanapun berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan yang setiap orang berhak menikmatinya, termasuk para pelaku industri kecil kita dan tujuh juta orang yang bekerja di sana.

Pada 2010 saja, menurut BPS sebanyak 2.524.399 usaha atau sekitar 92,38 persen industri kecil mengaku tidak mendapatkan bantuan usaha dalam melaksanakan usahanya. Dari jumlah tersebut, 56,69 persen berasalan tidak mengetahui ada bantuan tersebut. Sedangkan yang tidak mengetahui prosedur sebesar 14,72 persen. Sisanya 21,90 persen malah tidak berminat untuk meminta bantuan kepada pemeritah. Lebih parahnya, untuk pembimbingan usaha, sebanyak 2.513.984 unit usaha tidak tersentuh program ini. Hanya sekitar 218.740 unit usaha yang mendapat bimbingan. Dari jumlah itupun, hanya 83.196 unit usaha yang pembimbingannya dari pemerintah. Hal ini menggambarkan betapa terabaikannya mereka di mata pemerintah. Bahkan sampai ada yang tidak berminat meminta bantuan kepada pemerintah, bisa jadi karena sudah berjalan dengan lancar, namun bisa jadi juga karena menganggap pemerintah sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk meminta bantuan. Anggaran yang dialokasikanpun terlalu kecil, sehingga industri kecil semakin berjuang sendiri untuk bertahan.

Pemerintah harusnya sadar bahwa dengan anggaran yang selama ini dialokasikan kepada industri kecil sangatlah kurang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi industri kecil, padahal realisasi anggaran sudah sangat tinggi, mencapai lebih dari 95 persen. Lewat permasalahan ini, kita sama-sama belajar bahwa keberpihakan terhadap industri kecil yang menyerap tenaga kerja sangat besar harus dimulai dari poltik anggarannya. Jangan ragu-ragu untuk menggelontorkan anggaran bantuan yang besar agar industri kita bisa tumbuh dengan optimal. Selanjutnya, pemerintah lewat pegawai negeri yang tersebar sampai ke pelosok harus dapat menjangkau keberadaan industri kecil ini dan memantaunya dengan berkala. Semoga pemerintah tidak malas dalam mengurusi rakyatnya, dan dapat kembali menjadi pengemudi pembangunan industri kecil di Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa Teknik Industri ITB, sekaligus Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB

Tidak ada komentar: