Sekarang, kita beralih ke Indonesia. Rencana pemerintah
untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi per 1 April 2012 sudah mulai hangat
dibicarakan. Sejauh ini skenario yang akan diterapkan adalah hanya kendaraan
umum (plat kuning) dan sepeda motor yang boleh membeli BBM bersubsidi jenis Premium
di Jawa-Bali. Sedangkan, mobil pribadi di Jawa-Bali semuanya akan “dipaksa”
menggunakan –minimal– Pertamax yang harganya sekitar dua kali lipat Premium. Tidak
hanya itu, pemerintah juga mengklaim akan mendorong pengalihan konsumsi BBM ke
konsumsi BBG secara bertahap.
Namun, melihat kesiapan infrastruktur BBG yang masih jauh
dari ideal, pemerintah tidak bisa menjadikan argumen ini (pengalihan ke BBG)
untuk melakukan pembelaan agar pembatasan subsidi BBM ini dapat diterima dengan
lega oleh masyarakat sehingga kita tidak akan membahas mengenai BBG dalam
bahasan kali ini. Sebaliknya, justru argumen-argumen dan skenario yang diajukan
pemerintah untuk mengatur subsidi BBM sangat tidak dapat diterima. Setidaknya
ada beberapa hal yang harus dibahas terkait hal ini. Pertama, berkaitan dengan
penyelamatan anggaran negara agar tidak membengkak seperti 2011. Kedua, reorientasi
subsidi BBM kepada orang-orang yang berhak. Ketiga, skenario hanya kendaraan
umum yang dapat membeli Premium di Jawa-Bali.
Menyelamatkan
Anggaran atau Masyarakat?
Terus terang nurani saya kurang bisa menerima alasan yang
satu ini untuk menjadi justifikasi membatasi subsidi BBM. Betapa tidak, alasan
menyelamatkan anggaran negara menjadi hal yang dipilih ketimbang menyelamatkan rakyat.
Konstitusi kita mengatur bahwa bumi dan segala kekayaan yang terkandung di
dalamnya –termasuk minyak bumi– digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Substansi dalam pasal tersebut adalah negara mempunyai hak untuk
menguasai harta kekayaan yang terkandung di bumi dan rakyat mempunyai hak untuk
makmur dengan kondisi semakmur-makmurnya. Jadi, tidak boleh ada penghambat
kemakmuran rakyat yang disebabkan oleh energi.
Nyatanya, konsumsi minyak kita hanya mencapai sekitar 1,3
juta barel per hari (setara dengan 206,7 juta liter per hari) atau rata-rata
penduduk kita mengonsumsi 0,86 liter per hari untuk keperluan energinya
(listrik, transportasi, dll). Jumlah ini masih kalah bahkan dengan negara
tetangga kita Malaysia yang konsumsinya sekitar 87,45 juta liter per hari. Hal
ini berarti rata-rata penduduk Malaysia mengonsumsi energi 3,12 liter per hari.
Ini fakta yang memprihatinkan kita, bahwasanya tingkat aksesibilitas rakyat
Malaysia terhadap energi untuk meningkatkan kualitas hidupnya jauh lebih besar
ketimbang rakyat Indonesia.
Jelas, dengan pembatasan subsidi BBM yang berdampak pada
semakin mahalnya harga BBM (Premium ke Pertamax) akan membuat tingkat
aksesibilitas ini berkurang. Hal ini berarti ada hambatan bagi rakyat Indonesia
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran. Belum lagi mengenai kenaikan harga
terutama bahan pokok yang akan terjadi ataupun biaya transportasi yang akan
meningkat terutama berkaitan dengan transportasi industri.
Dengan penerapan skenario yang ada, sekitar 34 persen kendaraan
pribadi (karena hanya di Jawa-Bali) akan beralih ke Pertamax. Itu artinya,
pemerintah “mengirit” sekitar Rp 30 triliun untuk APBN 2012. Sebuah ironi
mengingat APBN 2012 sebesar Rp 1.435,4 triliun, selisih hampir Rp 150 triliun
dibanding APBN 2011. Itu berarti, sebenarnya pemerintah mampu untuk
meningkatkan APBN kita, namun “tidak mau” memberikan subsidi BBM seperti
sekarang untuk rakyatnya. Jadi sebenarnya menurut saya, alasan untuk
“menyelamatkan” APBN sangat tidak dapat diterima. Namun, rakyat harus
“dicederai” oleh kenaikan harga barang dan “kenaikan” harga BBM ini. Bahkan hal
ini diamini oleh BPS, yang memperkirakan akan terjadi inflasi yang cukup tinggi
akibat kebijakan ini.
Tepat Sasaran atau
Salah Sasaran?
Subsidi pada hakikatnya memang untuk golongan yang tidak
mampu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sejauh ini penduduk miskin
Indonesia berjumlah sekitar 31 juta jiwa jika menggunakan garis kemiskinan BPS
(Rp 211.726 per bulan). Jika menggunakan indikator kemiskinan absolut Bank
Dunia yang besarnya 1 dollar AS per hari tentu jumlahnya akan semakin besar.
Apalagi jika menggunakan indikator kemiskinan menengah sebesar 2 dollar per
hari, bisa jadi jumlahnya sampai 60 juta penduduk. Kebijakan ini secara tidak
langsung dipastikan akan menambah jumlah penduduk miskin.
Dengan skenario sekarang, kita dapat melihat bahwa
pembatasan ini tetap saja tidak tepat sasaran. Bagaimana tidak, orang yang
tidak mampu di Indonesia akan semakin diberatkan karena mobil pribadi plat hitam
tidak akan diberikan subsidi. Seperti yang kita ketahui, mobil pribadi plat
hitam tidak hanya mobil dengan merk yang bagus dan mobil yang mewah. Dalam
kategori tersebut juga ada mobil niaga jenis van, pick up, dan mobil box yang selama ini digunakan oleh para
pelaku industri untuk mengirimkan barangnya. Tidak hanya itu, para distributor
besarpun menggunakan mobil plat hitam jenis ini untuk mendistribusikan barang
dagangannya. Jumlah mobil niaga sekitar 35 persen dari jumlah kendaraan pribadi
yang ada. Artinya, di setiap tiga kendaraan pribadi, ada satu mobil niaga. Hal
inilah yang dikhawatirkan akan memicu kenaikan harga barang dengan tingkat
kenaikan yang cukup tinggi.
Seharusnya jika ingin menekan konsumsi, sektor yang harus
dibatasi adalah murni sektor konsumtif. Sektor produktif haruslah tetap
mendapat subsidi karena secara langsung akan mengakibatkan kenaikan harga
barang. Sektor konsumtif seperti kendaraan pribadi dan motor non-niagalah yang
seharusnya dikenakan kebijakan pembatasan. Ini hanya sekedar gambaran mengenai
subsidi yang benar, yaitu kepada golongan yang tidak mampu dan sektor-sektor
yang produktif, bukan konsumtif.
Pembatasan atau
Pencabutan?
Setelah dicabut subsidinya, harga BBM per liter di Nigeria
menjadi 150 naira (sekitar Rp 8.460) dari yang tadinya 65 naira atau sekitar Rp
4.050 (Kompas, 10/01/2012). Sebenarnya skenario ini sangat mirip dengan yang
akan diterapkan di Indonesia. Mobil pribadi di Jawa-Bali akan “dicabut”
subsidinya dan beralih dari Rp 4.500 per liter menjadi sekitar Rp 9.000 per
liter. Lantas pertanyaan yang ada sekarang, kebijakan yang akan diterapkan
adalah pembatasan subsidi atau pencabutan subsidi?
Keduanya adalah sesuatu yang merugikan rakyat, terutama
rakyat kecil. Pembatasan ataupun pencabutan secara definisi jelas mengurangi
kuota subsidi yang diberikan dari tahun ke tahun. Seharusnya jika alasannya
adalah subsidi BBM saat ini tidak tepat sasaran, bukan pembatasan subsidi
jawabannya, akan tetapi pengaturan subsidi agar tepat sasaran. Lain halnya jika
alasan pemerintah untuk menyelamatkan APBN. Namun alasan ini –sesuai pembahasan
di atas– tidak dapat diterima. Pengaturan inilah yang seharusnya menjadi
penelitian lebih lanjut, mengenai bagaimana skenario yang tepat agar subsidi
tepat sasaran. Dengan skenario yang ada saat ini, yang akan terjadi adalah
pengaturan teknis yang sulit di lapangan dan rawan penyimpangan. Beberapa yang
dikhawatirkan terjadi seperti penjualan kembali premium oleh sepeda motor atau
angkutan umum dengan harga lebih mahal dari Rp 4.500 namun lebih murah dari
Pertamax secara ilegal. Juga berpotensi terjadinya “sogok” kepada petugas SPBU.
Tentunya hal ini akan memakan biaya dan tenaga yang juga cukup besar.
Pemerintah harus mengkaji skenario yang lebih tepat untuk
mengatur subsidi agar tepat sasaran. Misalnya, dengan menaikan harga Premium
secara flat menjadi Rp 6.000 per
liter. Menurut perhitungan saya, dengan dinaikkan secara flat seharga tersebut, Pemerintah tetap bisa “mengirit” Rp 30
triliun dan mengalihkan subsidi tersebut kepada program-program yang langsung
diterima oleh rakyat yang tidak mampu. Inflasi yang ditimbulkanpun tidak
terlampau tinggi, seperti yang pernah disimulasikan Kementerian Keuangan pada
pertengahan Juni 2011 lalu.
Seperti apapun skenario yang diambil pemerintah dalam
pembatasan subsidi BBM nantinya, pasti akan berdampak secara langsung pada
rakyat. Hal yang perlu diingat adalah agar kebijakan yang diambil ini membawa
kerugian seminimal mungkin bagi rakyat. Sudah cukup rakyat “dicederai” oleh
pelanggaran amanah yang dilakukan oleh pemerintah dengan banyaknya kasus-kasus
korupsi, HAM, pertanahan, dan lainnya. Jangan sampai kemarahan rakyat seperti
di Nigeria terjadi akibat pemerintah yang “menciderai” rakyatnya. Jikalau ini
terjadi, mahasiswa akan siap untuk turut serta dalam demonstrasi rakyat untuk
menolak segala ketidakadilan.
Penulis adalah Menteri
Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Koordinator Kajian
Isu Energi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar