Kamis, 19 Januari 2012

Antara Nigeria dan Indonesia

S
ekitar 10.000 demonstran memenuhi pusat kota Lagos, ibu kota Nigeria. Mereka berunjuk rasa menolak kebijakan kontroversial pemerintah Nigeria yang mencabut secara total subsidi bahan bakar minyak (BBM). Demonstrasi ini terjadi lantaran sekitar 160 juta rakyat Nigeria berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS per hari (indikator miskin menengah versi Bank Dunia) merasa semakin kesulitan menghadapi biaya bahan pokok dan trasportasi yang melambung tinggi. Alasan Presiden Nigeria Goodluck Jonathan mencabut subsidi BBM lantaran penghematan pengeluaran negara sebesar 1 triliun naira atau sekitar Rp 54,9 triliun, dan juga bisa mendorong investasi sektor pengilangan minyak di Nigeria (Kompas, 10/01/2012).


Sekarang, kita beralih ke Indonesia. Rencana pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi per 1 April 2012 sudah mulai hangat dibicarakan. Sejauh ini skenario yang akan diterapkan adalah hanya kendaraan umum (plat kuning) dan sepeda motor yang boleh membeli BBM bersubsidi jenis Premium di Jawa-Bali. Sedangkan, mobil pribadi di Jawa-Bali semuanya akan “dipaksa” menggunakan –minimal– Pertamax yang harganya sekitar dua kali lipat Premium. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengklaim akan mendorong pengalihan konsumsi BBM ke konsumsi BBG secara bertahap.

Namun, melihat kesiapan infrastruktur BBG yang masih jauh dari ideal, pemerintah tidak bisa menjadikan argumen ini (pengalihan ke BBG) untuk melakukan pembelaan agar pembatasan subsidi BBM ini dapat diterima dengan lega oleh masyarakat sehingga kita tidak akan membahas mengenai BBG dalam bahasan kali ini. Sebaliknya, justru argumen-argumen dan skenario yang diajukan pemerintah untuk mengatur subsidi BBM sangat tidak dapat diterima. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dibahas terkait hal ini. Pertama, berkaitan dengan penyelamatan anggaran negara agar tidak membengkak seperti 2011. Kedua, reorientasi subsidi BBM kepada orang-orang yang berhak. Ketiga, skenario hanya kendaraan umum yang dapat membeli Premium di Jawa-Bali.    

Menyelamatkan Anggaran atau Masyarakat?

Terus terang nurani saya kurang bisa menerima alasan yang satu ini untuk menjadi justifikasi membatasi subsidi BBM. Betapa tidak, alasan menyelamatkan anggaran negara menjadi hal yang dipilih ketimbang menyelamatkan rakyat. Konstitusi kita mengatur bahwa bumi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya –termasuk minyak bumi– digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Substansi dalam pasal tersebut adalah negara mempunyai hak untuk menguasai harta kekayaan yang terkandung di bumi dan rakyat mempunyai hak untuk makmur dengan kondisi semakmur-makmurnya. Jadi, tidak boleh ada penghambat kemakmuran rakyat yang disebabkan oleh energi.

Nyatanya, konsumsi minyak kita hanya mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari (setara dengan 206,7 juta liter per hari) atau rata-rata penduduk kita mengonsumsi 0,86 liter per hari untuk keperluan energinya (listrik, transportasi, dll). Jumlah ini masih kalah bahkan dengan negara tetangga kita Malaysia yang konsumsinya sekitar 87,45 juta liter per hari. Hal ini berarti rata-rata penduduk Malaysia mengonsumsi energi 3,12 liter per hari. Ini fakta yang memprihatinkan kita, bahwasanya tingkat aksesibilitas rakyat Malaysia terhadap energi untuk meningkatkan kualitas hidupnya jauh lebih besar ketimbang rakyat Indonesia.

Jelas, dengan pembatasan subsidi BBM yang berdampak pada semakin mahalnya harga BBM (Premium ke Pertamax) akan membuat tingkat aksesibilitas ini berkurang. Hal ini berarti ada hambatan bagi rakyat Indonesia untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran. Belum lagi mengenai kenaikan harga terutama bahan pokok yang akan terjadi ataupun biaya transportasi yang akan meningkat terutama berkaitan dengan transportasi industri.

Dengan penerapan skenario yang ada, sekitar 34 persen kendaraan pribadi (karena hanya di Jawa-Bali) akan beralih ke Pertamax. Itu artinya, pemerintah “mengirit” sekitar Rp 30 triliun untuk APBN 2012. Sebuah ironi mengingat APBN 2012 sebesar Rp 1.435,4 triliun, selisih hampir Rp 150 triliun dibanding APBN 2011. Itu berarti, sebenarnya pemerintah mampu untuk meningkatkan APBN kita, namun “tidak mau” memberikan subsidi BBM seperti sekarang untuk rakyatnya. Jadi sebenarnya menurut saya, alasan untuk “menyelamatkan” APBN sangat tidak dapat diterima. Namun, rakyat harus “dicederai” oleh kenaikan harga barang dan “kenaikan” harga BBM ini. Bahkan hal ini diamini oleh BPS, yang memperkirakan akan terjadi inflasi yang cukup tinggi akibat kebijakan ini.  

Tepat Sasaran atau Salah Sasaran?

Subsidi pada hakikatnya memang untuk golongan yang tidak mampu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sejauh ini penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 31 juta jiwa jika menggunakan garis kemiskinan BPS (Rp 211.726 per bulan). Jika menggunakan indikator kemiskinan absolut Bank Dunia yang besarnya 1 dollar AS per hari tentu jumlahnya akan semakin besar. Apalagi jika menggunakan indikator kemiskinan menengah sebesar 2 dollar per hari, bisa jadi jumlahnya sampai 60 juta penduduk. Kebijakan ini secara tidak langsung dipastikan akan menambah jumlah penduduk miskin.

Dengan skenario sekarang, kita dapat melihat bahwa pembatasan ini tetap saja tidak tepat sasaran. Bagaimana tidak, orang yang tidak mampu di Indonesia akan semakin diberatkan karena mobil pribadi plat hitam tidak akan diberikan subsidi. Seperti yang kita ketahui, mobil pribadi plat hitam tidak hanya mobil dengan merk yang bagus dan mobil yang mewah. Dalam kategori tersebut juga ada mobil niaga jenis van, pick up, dan mobil box yang selama ini digunakan oleh para pelaku industri untuk mengirimkan barangnya. Tidak hanya itu, para distributor besarpun menggunakan mobil plat hitam jenis ini untuk mendistribusikan barang dagangannya. Jumlah mobil niaga sekitar 35 persen dari jumlah kendaraan pribadi yang ada. Artinya, di setiap tiga kendaraan pribadi, ada satu mobil niaga. Hal inilah yang dikhawatirkan akan memicu kenaikan harga barang dengan tingkat kenaikan yang cukup tinggi.

Seharusnya jika ingin menekan konsumsi, sektor yang harus dibatasi adalah murni sektor konsumtif. Sektor produktif haruslah tetap mendapat subsidi karena secara langsung akan mengakibatkan kenaikan harga barang. Sektor konsumtif seperti kendaraan pribadi dan motor non-niagalah yang seharusnya dikenakan kebijakan pembatasan. Ini hanya sekedar gambaran mengenai subsidi yang benar, yaitu kepada golongan yang tidak mampu dan sektor-sektor yang produktif, bukan konsumtif.

Pembatasan atau Pencabutan?

Setelah dicabut subsidinya, harga BBM per liter di Nigeria menjadi 150 naira (sekitar Rp 8.460) dari yang tadinya 65 naira atau sekitar Rp 4.050 (Kompas, 10/01/2012). Sebenarnya skenario ini sangat mirip dengan yang akan diterapkan di Indonesia. Mobil pribadi di Jawa-Bali akan “dicabut” subsidinya dan beralih dari Rp 4.500 per liter menjadi sekitar Rp 9.000 per liter. Lantas pertanyaan yang ada sekarang, kebijakan yang akan diterapkan adalah pembatasan subsidi atau pencabutan subsidi?

Keduanya adalah sesuatu yang merugikan rakyat, terutama rakyat kecil. Pembatasan ataupun pencabutan secara definisi jelas mengurangi kuota subsidi yang diberikan dari tahun ke tahun. Seharusnya jika alasannya adalah subsidi BBM saat ini tidak tepat sasaran, bukan pembatasan subsidi jawabannya, akan tetapi pengaturan subsidi agar tepat sasaran. Lain halnya jika alasan pemerintah untuk menyelamatkan APBN. Namun alasan ini –sesuai pembahasan di atas– tidak dapat diterima. Pengaturan inilah yang seharusnya menjadi penelitian lebih lanjut, mengenai bagaimana skenario yang tepat agar subsidi tepat sasaran. Dengan skenario yang ada saat ini, yang akan terjadi adalah pengaturan teknis yang sulit di lapangan dan rawan penyimpangan. Beberapa yang dikhawatirkan terjadi seperti penjualan kembali premium oleh sepeda motor atau angkutan umum dengan harga lebih mahal dari Rp 4.500 namun lebih murah dari Pertamax secara ilegal. Juga berpotensi terjadinya “sogok” kepada petugas SPBU. Tentunya hal ini akan memakan biaya dan tenaga yang juga cukup besar.

Pemerintah harus mengkaji skenario yang lebih tepat untuk mengatur subsidi agar tepat sasaran. Misalnya, dengan menaikan harga Premium secara flat menjadi Rp 6.000 per liter. Menurut perhitungan saya, dengan dinaikkan secara flat seharga tersebut, Pemerintah tetap bisa “mengirit” Rp 30 triliun dan mengalihkan subsidi tersebut kepada program-program yang langsung diterima oleh rakyat yang tidak mampu. Inflasi yang ditimbulkanpun tidak terlampau tinggi, seperti yang pernah disimulasikan Kementerian Keuangan pada pertengahan Juni 2011 lalu.

Seperti apapun skenario yang diambil pemerintah dalam pembatasan subsidi BBM nantinya, pasti akan berdampak secara langsung pada rakyat. Hal yang perlu diingat adalah agar kebijakan yang diambil ini membawa kerugian seminimal mungkin bagi rakyat. Sudah cukup rakyat “dicederai” oleh pelanggaran amanah yang dilakukan oleh pemerintah dengan banyaknya kasus-kasus korupsi, HAM, pertanahan, dan lainnya. Jangan sampai kemarahan rakyat seperti di Nigeria terjadi akibat pemerintah yang “menciderai” rakyatnya. Jikalau ini terjadi, mahasiswa akan siap untuk turut serta dalam demonstrasi rakyat untuk menolak segala ketidakadilan.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Koordinator Kajian Isu Energi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

Tidak ada komentar: