Menyoal Pembatasan Subsidi BBM
M
|
enyaksikan “drama” dan pencitraan
yang dilakukan beberapa pejabat negeri ini terkait dengan pembatasan subsidi
BBM, saya jadi semakin gerah untuk memberikan opini mengenai rencana kebijakan
ini. Hal yang akan saya soroti terutama mengenai tidak logisnya alasan penyebab
dan alasan yang memperkuat agar kebijakan ini bisa diterapkan dengan sikap legowo rakyat. Beberapa poin dalam opini
ini juga terinspirasi dari opini pengamat ekonomi dan energi. Namun, saya
kembangkan lebih lanjut menurut apa yang selama ini saya pelajari terkait
ekonomi-energi.
Saya pikir sudah jelas bahwa
landasan landasan pengelolaan sumber daya alam (termasuk minyak) di Indonesia
berlandaskan pada UUD 1945 terutama Pasal 33 (3). Pada batang tubuh inilah terkandung
hak elemen yang ada di dalamnya. Hak yang pertama adalah hak negara untuk
menguasai minyak bumi yang ada di bumi Indonesia. Institusi yang mewakili
negara dalam konteks ini adalah pemerintah sebagai pihak eksekutif. Hak yang
kedua adalah hak rakyat untuk makmur dalam arti semakmur-makmurnya dengan
mempergunakan kekayaan alam tersebut. Sedangkan kalimat sambung “dan
dipergunakan” dalam pasal ini mengandung makna bahwa hak negara berada di bawah
hak rakyat. Hak rakyatlah yang dituju dari diberikannya hak penguasaan atas
negara.
Sekarang, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa ada satu orangpun di negeri ini yang tidak dapat mengakses
energi (termasuk BBM) karena ketidakmampuan biaya, pemerintah dikatakan gagal.
Berapa banyak warga di pedalaman yang untuk sekedar menyalakan api saja hanya
menggunakan kayu bakar. Nyatanya, konsumsi BBM kita hanya mencapai sekitar 1,3
juta barel per hari (setara dengan 206,7 juta liter per hari) atau rata-rata
penduduk kita mengonsumsi 0,86 liter per hari untuk keperluan energinya
(listrik, transportasi, dll). Jumlah ini masih kalah bahkan dengan negara
tetangga kita Malaysia yang konsumsinya sekitar 87,45 juta liter per hari. Hal
ini berarti rata-rata penduduk Malaysia mengonsumsi energi 3,12 liter per hari.
Ini fakta yang memprihatinkan kita, bahwasanya tingkat aksesibilitas rakyat
Malaysia terhadap energi untuk meningkatkan kualitas hidupnya jauh lebih besar
ketimbang rakyat Indonesia. Apalagi dengan dibatasinya subsidi BBM, pasti akan
semakin banyak rakyat kita yang tidak mampu mengakses energi. Sedangkan
alternatif energi lain seperti BBG untuk transportasi sangatlah tidak
mencukupi.
Beragam alasan
Alasan demi alasan diungkapkan
pemerintah untuk mendapat “restu” rakyat agar pembatasan BBM bersubsidi tetap
saja dilakukan. Alasan pertama dan yang paling klasik adalah mengenai
penghematan anggaran. Dengan penerapan skenario yang ada, sekitar 34 persen
kendaraan pribadi (karena hanya di Jawa-Bali) akan beralih ke Pertamax. Itu
artinya, pemerintah “mengirit” sekitar Rp 30 triliun untuk APBN 2012. Sebuah
ironi mengingat APBN 2012 sebesar Rp 1.435,4 triliun, selisih hampir Rp 150
triliun dibanding APBN 2011. Itu berarti, sebenarnya pemerintah mampu untuk
meningkatkan APBN kita, namun “tidak mau” memberikan subsidi BBM seperti
sekarang untuk rakyatnya.
Alasan kedua adalah mengenai
pembengkakan subsidi BBM yang terjadi 2011 lalu. Pembengkakan ini harus
ditutupi dengan membatasi subsidi BBM tahun ini. Hal ini jelas-jelas merupakan
pembohongan publik yang sangat besar. Masih ingat sekali di benak saya,
Februari sampai April 2011 lalu, saya dan teman-teman mahasiswa se-Indonesia
disibukkan dengan keinginan pemerintah untuk membatasi subsidi BBM. Kalau tidak
percaya, silakan akses media massa pada sekitar waktu tersebut. Itu artinya,
“niat” ini sudah ada sejak tahun lalu. Sehingga alasan kedua ini ketahuan
belangnya.
Alasan ketiga adalah mengenai
keinginan dilaksanakannya diversifikasi energi, yaitu konversi BBM menjadi BBG.
Berdasarkan hasil kesepakatan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia
(BEM-SI) dalam Konferensi Energi Nasional Mahasiswa Indonesia, Maret 2011 lalu,
kami sepakat dan sangat mendukung agar pemerintah segera mengoptimalkan
diversifikasi energi. Sehingga memang diversifikasi merupakan sebuah hal
mutlak. Namun, meminjam bahasa Pri Agung Rakhmanto dari ReforMiner Institute,
usaha konversi ini jangan dicampuradukkan dengan kebijakan pembatasan subsidi
BBM 1 April nanti. Sebab, hal ini jelas-jelas tidak saling mendukung dalam
kenyataan sekarang. Evaluasi saja apa yang sudah dilakukan sekarang, berapa converter kit yang sudah tersedia?
Berapa unit mobil yang sudah siap? Berapa SPBG umum yang sudah siap? Jelas keinginan
konversi ke BBG ini tidak bisa dijadikan alasan penguat karena infrastruktur
BBG sangatlah belum siap.
Apalagi terkait pembagian 250.000
converter kit LGV dan 44.000 converter kit CNG secara gratis. Jika
kita hitung dengan harga pasaran sebutlah Rp 10 juta per unit, akan menelan
biaya sekitar Rp 2,9 triliun. Sedangkan anggaran untuk konversi BBM ke BBG
tahun ini hanya Rp 960 miliar. Dengan fakta ini, saya pesimis bahwa BBG akan
siap untuk menggantikan Premium.
Jujur pada rakyat
Belakangan malah terbuka opsi
untuk menaikkan harga premium. Namun Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan bahwa
SBY masih mempertimbangkan yang terbaik karena rasa sayangnya pada rakyat. Maka
segenap rekan-rekan saya yang berada di ruang sekretariat tertawa mendengar
saya membacakan berita ini. Ada sebuah keraguan sekaligus sikap pesimistis
bahwa SBY benar-benar menyayangi rakyat.
Opsi menaikkan harga premium yang
semakin terbuka menurut saya adalah akibat ketidaksiapan BBG dan lemahnya
alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah untuk mendapat restu rakyat. Nyatanya
rakyat malah semakin menunjukkan gejala tidak setuju dengan banyaknya tekanan
yang timbul. Bahkan kenaikan harga BBM-pun menurut saya akan tetap ditentang
rakyat selama barang substitusi –seperti BBG– belum “dipercaya” masyarakat dan
penyediaan transportasi massal yang nyaman tidak terlaksana.
Sekarang sudah saatnya pemerintah
jujur kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan sah di negeri ini. Jujur
mengenai apa yang melatarbelakangi “niat” pemerintah untuk membatasi subsidi
BBM ini. Apakah itu berkaitan dengan tekanan para pemilik modal ataupun tekanan
lembaga asing yang ingin mengintervensi kita agar terus menerus menyalahi
konstitusi. Kebijakan seperti apapun terkait pembatasan subsidi BBM ini, selama
barang substitusi –seperti BBG– belum siap untuk menggantikan BBM bersubsidi,
selama itu pula kebijakan ini akan menjadi menghambat rakyat untuk mencapai
kondisi sebesar-besarnya kemakmuran. Ibarat mengganti beras dengan gandum, jika
gandum tidak siap secara massal menggantikan beras sedangkan harga beras
dinaikkan (ataupun subsidinya dibatasi), pastinya akan semakin banyak rakyat
yang tidak makan. Nyatanya konstitusi kita meletakkan bobot yang sama antara
beras dan BBM.
Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang
Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Koordinator Kajian Isu Energi
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI).
*Dimuat pada satunegeri.com
pada link:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar