Kebijakan (Absurd) Subsidi BBM
Saya akan mengawali tulisan ini dengan kalimat menarik dalam
sebuah buku berjudul The Future of
Capitalism karya Lester Carl Thurow. Beliau adalah seorang profesor dalam
ilmu ekonomi dan manajemen di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Dalam buku tersebut beliau mengutip kata-kata Adam Smith yang kurang lebih
berarti seperti ini: “seseorang dapat dipercaya untuk meraih kepentingan
pribadinya (self interest) tanpa
merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan hukum, tetapi juga
karena adanya pengendalian diri (self
restraint) yang berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan”.
Kata-kata Adam Smith inilah yang sedikit banyak mengubah pandangan ekonomi
dunia dari yang tadinya amat liberal (semua diserahkan pada invisible hand) tanpa intervensi
sedikitpun, menjadi pandangan ekonomi yang tetap mempunyai “kendali” (restraint).
Hal ini ternyata membawa kesadaran bahwa kepentingan pribadi
yang tidak dibatasi akan menghasilkan sebuah “pertarungan” rimba, dimana yang
kuatlah yang akan menang. Dalam konteks kenegaraan, pihak yang kuat adalah yang
bermodal dan dapat mengintervensi kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan
rakyat banyak. Maka jika hal ini (intervensi terhadap kebebasan pribadi) tidak
dilakukan, yang terjadi adalah peristiwa “memakan” manusia oleh manusia
lainnya. Pada posisi inilah negara hadir, yaitu untuk mengintervensi
“pertarungan” ini agar yang terjadi bukan pertarungan, namun proses kehidupan
yang lebih adil.
Pembukaan UUD 1945 meletakkan cita-cita “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” sebagai cita-cita pertama.
Melindungi dari apa? Tentunya dari “predator buas” para bangsa-bangsa penjajah
dengan serangkaian kebijakan-kebijakannya. Predator yang pada hakikatnya selalu
“bertarung” untuk menjadi penguasa rimba dunia ini, termasuk berkuasa atas
manusia dan sumber daya alamnya. Sekarang, mari kita lihat bentuk intervensi
negara Indonesia dalam sektor energi untuk melindungi rakyatnya.
Subsidi BBM adalah salah satu bentuk perlindungan hukum
sekaligus moral negara kepada rakyatnya. Mengapa? Karena subsidi melindungi
rakyat Indonesia dari kebuasan para spekulan dan produsen “tamak” minyak di
dunia dalam memainkan harga minyak dunia. Harga yang diserahkan kepada pasar
tentu adalah bentuk harga pertarungan, dimana yang mempunyai uang yang banyak
adalah pemenangnya. Tidak hanya itu, Pertamina juga akan dipaksa bertarung
bebas dengan perusahaan sekelas Total, Shell, dan Petronas yang lebih mumpuni
dari segi kesiapannya.
Saya kembali teringat mengenai Putusan Perkara Nomor
002/PUU-I/2003 Oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Dalam putusan tersebut MK membatalkan
secara penuh Pasal 28 (2) dan (3). Lagi-lagi, pasal ini berkaitan dengan
penyerahan harga BBM dan Gas Bumi kepada harga pasar. Hal ini berarti argumen
mengenai subsidi BBM sebagai pelindung rakyat adalah benar adanya. Bahwa hal
ini adalah hak konstitusional rakyat Indonesia, siapapun ia, kaya ataupun
miskin. Karena sejatinya tidak ada jaminan warga negara Indonesia yang kaya
hari ini keesokan hari akan tetap kaya.
Kebijakan absurd
Saya mengatakan absurd
karena inti dari berbagai kisruh mengenai kebijakan BBM dalam beberapa bulan
ini adalah pengurangan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sebagai eksekutif
negara. Lebih jelas lagi, hal ini adalah skema yang rapi untuk mencabut subsidi
BBM secara bertahap hingga 2014. Hal itu berarti negara berusaha mengurangi
perlindungan kepada rakyatnya secara bertahap. Bahasa lebih halusnya lagi
adalah negara berusaha mengabaikan hak konstitusional rakyatnya secara
bertahap. Bukankah ini adalah pengkhianatan yang paling nyata dari pemerintah
terhadap hak konstitusional rakyat Indonesia?
Hal absurd lainnya
adalah pemerintah menyatakan bahwa subsidi BBM yang jumlahnya sekitar Rp. 180
triliun selama ini juga menjadi beban negara. Saat ini, sekitar 85% pendapatan
negara berasal dari pajak, dimana pajak adalah representasi uang yang ditarik
secara memaksa ataupun tidak memaksa dari rakyat. Bahkan hampir semua pajak
diberlakukan sama antara si kaya dan si miskin. Orang miskin tetap saja harus
membayar pajak. Maka, tuan sebenarnya dari anggaran negara adalah rakyat, dan
rakyatlah yang harus menerima kembali dalam bentuk yang lebih bermanfaat.
Ironisnya, subsidi yang jelas-jelas dari rakyat dianggap beban dan harus
dicabut “bertahap”. Lalu dimana logika pemerintah?
Dengan skenario yang sudah berkembang sekarang, semisal
melarang konsumsi BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi di Jawa-Bali dan atau
mengurangi subsidi premium sebesar Rp 1.000 – Rp 1.500 per liter, penghematan
negara yang tercipta bisa mencapai Rp 38 triliun. Namun apakah dengan dalih
ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pengurangan subsidi ini harus
dilakukan? Betapa ironisnya jika kita mengetahui bahwa kebanyakan blok migas
dan tambang kita yang dikuasai asing, sangat menyumbang pendapatan yang tidak
layak bagi negara? Sebagai contoh, kasus Freeport yang baru-baru ini terjadi
membuat mata kita terbelalak bahwa pendapatan negara dari pajak, deviden, dan
royalti PT Freeport (PT FI) tahun 2011 hanya sekitar Rp 20 triliun, yang hanya
secuil dari keuntungan (ingat, keuntungan, bukan pendapatan kotor) PT FI yang
mencapai sekitar Rp 60 triliun per tahun. Artinya, dari satu kasus PT FI saja,
negara kehilangan potensi pendapatan (potential
lost) sebesar Rp 40 triliun! Belum lagi dari blok-blok lainnya yang
dikuasai oleh “predator” besar seperti CNOOC, Total, Chevron, ExxonMobil, dan
lainnya.
Dari PT FI saja, jika itu dinasionalisasi dan diserahkan
kepada BUMN, pemerintah bisa mendapat Rp 40 triliun untuk “membayar”
penghematan Rp 38 triliun tersebut. Sungguh ironis. Belum lagi mengenai
kesaksian Prof. Soemitro dan Dr. Fuad Bawazier yang menyatakan bahwa rata-rata
kebocoran APBN tiap tahunnya mencapai 30%! Jika semua blok migas dan
pertambangan yang dikuasai asing kita nasionalisasi –sesuai amanat UUD 1945
Pasal 33 (3)– dan semua kebocoran APBN ini bisa diselesaikan, niscaya tidak ada
lagi alasan untuk “merengek” negara merasa terbebani dengan adanya subsidi BBM.
Bahkan, negara bisa meningkatkan subsidi BBM tersebut sebagai bentuk
perlindungan (restraint) negara
kepada rakyatnya dari pertarungan pasar.
Kembali pada semangat
UUD 1945
Rakyat sudah muak dengan segala bentuk alasan yang
dikemukakan pemerintah untuk –seakan-akan– kebijakan pengurangan subsidi BBM
ini adalah pilihan yang tepat. Nyatanya, hal ini jelas melanggar konstitusi
kita. Konstitusi yang menjadi ruh dasar kita bernegara. Pelanggaran ini
jelas-jelas sudah diamini oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang saya
kutip di atas. Lalu apa lagi justifikasi yang akan dicari? Cukuplah semangat
Pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945 menjadi sikap kita yang tidak akan berubah.
Sebaliknya, kondisi-kondisi turunan yang ada sekaranglah yang harus pemerintah
rekayasa agar sesuai dengan amanat ini.
Sebagai penutup, saya memberikan kutipan pernyataan Prof.
Dr. Soepomo sebagai arsitek UUD 1945 dalam salah satu bukunya. Bahwa pengertian
"dikuasai" sebagai berikut: "termasuk pengertian mengatur
dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan
produksi”.
Demikian juga pernyataan dari Dr. Mohammad Hatta, founding
fathers negara Indonesia, yang
juga tokoh ekonomi Indonesia dan salah satu arsitek UUD 1945. Beliau
mengemukakan ruh Pasal 33 (2) dan (3) ini dalam tulisan di Majalah Gema
Angkatan 45 terbitan tahun 1977, dengan judul: "PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 PASAL 33". Dalam tulisan ini beliau menyatakan: "Pemerintah
membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga
listrik, persediaan air minum, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggris
"public utilities" diusahakan oleh Pemerintah. Milik perusahaan besar
tersebut sebaik-baiknya di tangan Pemerintah".
Maka, jelas sudah apa yang dimaksud Pasal 33 (2) dan (3)
ini. Sekarang pilihan bagi pemerintah adalah menentukan sikap untuk memilih
salah satu dari dua opsi. Opsi pertama adalah menghentikan kehendak mencabut
subsidi BBM (baik secara bertahap ataupun secara langsung) atau opsi kedua,
kami, mahasiswa yang akan menjadi pengawal rakyat dalam mencabut mandat
pemerintah sebagai pengelola negara ini, baik secara bertahap ataupun secara
langsung. Karena kami rindu pemimpin yang adil, yang melindungi rakyatnya, dan
membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
***
Penulis adalah Menteri
Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sekaligus Koordinator
Kajian Isu Energi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI).
Opini ini dimuat pada link:http://satunegeri.com/berita-623-kebijakan-absurd-subsidi-bbm.html
4 komentar:
saya juga gerah dengan opini anda yang sama dengan opini media yang ga ngerti makroekonomi.
bro, ekonomi bukan cuman pajak dan subsidi. anda bilang banyak warga di pedalaman yang untuk sekedar menyalakan api saja hanya menggunakan kayu bakar, ya gimana mau nambah listrik lha wong alokasi belanja modal di APBN aja sepertiga subsidi. negara itu ngutang juga buat mbayarin subsidi BBM. ente pro BBM ga dinaikin sama dengan pro negara nambah utang.
Kebijakan kenaikan bbm dengan fenomena perusahaan minyak asing itu ga relevan, tau ga kalo perusahaan asing di Indonesia itu lebih taat bayar pajak daripada WNI kita sendiri? tanya tuh sama pak Aburizal Bakrie.
anda jangan sembarangan beropini tanpa dasar fakta yang bisa dipertanggungjawabkan ya, antum kira gampang ngurus negara yang penuh politik kotor ini? ana sih bersyukur punya menteri ekonomi yang ngerti ekonomi dan masih berniat membangun bangsa walopun sedikit2 masih terpengaruh kondisi politik di pemerintah. sekian komentar dari saya.
Salam,
Rmahasiswa ekonomi yang seengaknya tau kondisi perekonomian Indonesia dan masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
Jangan samakan freeport dan perusahaan migas. Keduanya merupakan industri yang jauh berbeda bro. Begitu juga dengan contact sharingnya yg jauh berbeda. Untuk membuat 1 sumur minyak saja butuh jutaan sampai ratusan juta dollar, dgn tingkat succes rate 1:10. Darimana investor akan datang? Bagaimana indonesia memenuhi kebutuhan energi kita yg terus meningkat? Kita itu negara yg miskin migas bila dibandingkan dgn jmh penduduknya. Kita harus IMPOR MINYAK MENTAH untuk memenuhi kebutuhan negara. Ditambah lagi sifat masyarakat kita yang konsumtif. Dikit2 kredit motor / mobil, sehingga semakin besar kebutuhan BBM kita.
Mending dikaji lagilah sama temen2 anda yg tau ttg industri Migas dan Perekonomiannya..
Maaf ya, saya alhamdulillah sudah sarjana, dengan topik penelitian saya tentang kebijakan fiskal. Sehingga saya mengerti benar mengenai kebijakan fiskal. Kalau ga ngerti, ga mungkin penguji2 saya yg sudah bergelar Doktor mau meluluskan saya :)
Satu lagi, saya tergelitik ketika anda bilang, "ya gimana mau nambah listrik lha wong alokasi belanja modal di APBN aja sepertiga subsidi"..
Cek lagi ya di APBN, buka2 lagi gih.. subsidi energi aja cuma 10% APBN.
Maaf ah, saya tidak berminat berdebat dengan anda, banyak argumen2 anda yg ngawur :)
Posting Komentar