Mempertanyakan Ulang Kenaikan Harga BBM
*Dimuat pada Harian Tribun Jabar Rabu 28 Maret 2012
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM semakin bulat.
Pada sisi lainnya, rencana ini semakin mendapat tentangan dari berbagai
kalangan masyarakat. Para buruh, mahasiswa, dan organisasi masyarakat lainnya saling
menguatkan untuk membangun opini terkait penolakan ini. Begitu juga dengan
pemerintah yang selalu membangunan opini seakan-akan kenaikan harga BBM ini
merupakan solusi terbaik yang harus dilakukan. Pada akhirnya media-mediapun
terdistraksi pada dua kutub: menolak kenaikan harga BBM 1 April 2012 ini atau
mendukung kenaikan BBM 1 April 2012 ini.
Saya hanya ingin membahas beberapa hal terkait dengan
kenaikan BBM ini. Hal pertama mengenai alasan pemerintah untuk menaikkan harga
BBM dan bantahan yang bisa diberikan. Hal kedua mengenai antisipasi dampak
kenaikan harga BBM.
Mempertanyakan alasan
Alasan yang selalu dikemukakan pemerintah untuk menaikkan
harga BBM kali ini mengerucut pada tiga hal. Pertama, Indonesia adalah negara
yang tidak kaya minyak, dan net importer minyak.
Sehingga mau tidak mau negara kita harus mengikuti gejolak harga minyak di
pasar dunia. Kedua, kondisi naiknya harga minyak dunia dan memanasnya konflik
Selat Hormuz membawa kekhawatiran bahwa subsidi BBM akan membangkak dan semakin
membebani APBN. Ketiga, subsidi BBM yang dilakukan selama ini tidak tepat
sasaran.
Alasan pertama memang benar adanya. Negara kita adalah
negara yang tidak kaya minyak, namun hal itu jika dibandingkan dengan
negara-negara timur tengah, China, dan beberapa negara amerika latin. Jika
pembandingnya adalah Australia, Brunei Darussalam, Malaysia, India, Thailand,
dan Vietnam, Indonesia termasuk negara yang kaya minyak, apalagi ketika lifting minyak negara kita sempat
mencapai 1,6 juta barrel per hari.
Meskipun kondisi sekarang lifting minyak
kita berkisar 930 ribu barrel per
hari, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan lifting minyak di negara-negara tersebut.
Namun, angka rata-rata 930 ribu barrel per hari ini juga perlu dipertanyakan. Pertanyaan pertama adalah
mengapa angka produksi rata-rata minyak kita menurun sejak diberlakukannya UU
No. 22 Tahun 2001 (UU Migas)? Pertanyaan kedua adalah apakah angka 930 ribu barrel per hari ini sudah mewakili
kondisi nyata di lapangan? Sedangkan telah ditemukan sejumlah penyelewengan di
lapangan dalam hal pelaporan aktivitas eksploitasi migas, seperti jumlah sumur
yang dieksploitasi lebih banyak daripada data yang dilaporkan, kapasitas
produksi minyak yang juga lebih besar daripada yang dilaporkan, dan sejumlah
penyimpangan lain. Inilah pertanyaan untuk alasan pertama yang harus segera
dijawab dengan tindakan yang juga jelas.
Alasan kedua terkait dengan membengkaknya subsidi BBM jika
harga minyak dunia naik adalah benar adanya. Sebagai contoh, hal ini terjadi
pada kenaikan hebat harga minyak dunia tahun 2008 yang menembus angka 120 dollar per barrel. Namun, informasi ini
tidak boleh disampaikan secara parsial. Walaupun negara kita adalah net importer minyak, di satu sisi kita
juga eksportir minyak. Tepatnya, bukan pemerintah kita yang mempunyai kuasa
penentuan ekspor, namun perusahaan-perusahaan asing yang mengelola blok-blok
migas kita. Hal ini dimungkinkan karena perusahaan swasta asing mempunyai hak
atas 40% migas yang dieksploitasi dari perut bumi kita. Hak ini dijamin lewat
skenario Production Sharing Contract
(PSC), dimana negara membayar cost
recovery kepada perusahaan swasta asing yang beroperasi.
Ketika harga minyak dunia naik, perusahaan asing yang
mengekspor minyak dari perut bumi Indonesia ini juga mendapat penghasilan yang
besar. Kondisi ini semakin didukung oleh fakta bahwa sejak tahun 2007 harga
jual minyak dari bumi Indonesia (ICP) lebih tinggi dari rata-rata harga minyak
dunia. Sehingga, pendapatan negara dari perusahaan swasta asing ini (dalam
bentuk pajak dan bukan pajak) juga semakin meningkat. Jadi, meskipun kenaikan
harga minyak dunia menyebabkan subsidi energi membengkak, pendapatan negara
dari sektor migas juga meningkat drastis. Sebagai bukti, tahun 2008 ketika
harga minyak dunia meningkat tajam, subsidi energi membengkak hingga Rp 223
triliun. Namun di lain sisi, pendapatan pajak dan bukan pajak negara dari migas
juga meningkat hingga Rp 288 triliun.
Alasan ketiga terkait dengan subsidi yang tidak tepat
sasaran. Hal ini benar sekali adanya. Menurut Kementerian ESDM, 53% BBM
bersubsidi dinikmati oleh kendaraan roda empat pribadi, 40% oleh motor, 4% oleh
mobil barang, dan 3% oleh angkutan umum. Akan tetapi hal ini sama sekali bukan
alasan untuk menaikkan harga BBM, karena dengan menaikkan harga BBM, yang
paling terkena imbasnya justru rakyat miskin, hampir miskin, dan menengah yang
jika dijumlah bisa mencapai lebih dari setengah penduduk Indonesia. Imbas ini
jelas tidak hanya berkaitan dengan kenaikan harga BBM saja, namun kenaikan
harga bahan-bahan pokok dan barang lainnya. Kesalahan besar jika karena alasan
subsidi tidak tepat sasaran, lantas mengurangi subsidi untuk semua golongan
masyarakat.
Jika memang kebijakan teknis di lapangan sangat sulit untuk
mengatur agar subsidi BBM tepat sasaran, pemerintah seharusnya bisa menggunakan
opsi lain. Beberapa opsi yang bisa diterapkan adalah peningkatan pajak
penghasilan perorangan untuk masyarakat yang pendapatan per bulannya tinggi.
Cara lainnya adalah pemberlakuan pajak progresif untuk kendaraan roda empat
mewah dan kendaraan roda empat yang kedua. Hal ini jelas lebih bisa disiasati
secara teknis lapangan ketimbang mencari-cari cara agar subsidi BBM tepat
sasaran. Namun, hal yang kembali dipertanyakan adalah, mengapa pemerintah tetap
bersikeras menaikkan harga BBM?
Pikirkan ulang
Alasan yang disampaikan pemerintah yang setengah-setengah,
banyaknya kebohongan, penyelewengan, dan manipulasi perhitungan semakin
menggambarkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM ini bukanlah kebijakan yang
matang. Padahal dalam diskusi-diskusi yang dilakukan, banyak sekali alternatif
lain untuk menyelamatkan APBN tanpa harus mengurangi subsidi BBM. Seperti
membenahi kebocoran anggaran, moratorium utang negara, meningkatkan pajak bagi
orang yang kaya, dan melakukan renegosiasi kontrak migas agar pendapatan yang
diterima negara semakin besar. Selain itu, pemerintah juga harus mengetatkan
anggaran dan menghindari pengeluaran-pengeluaran yang menurut UUD 1945 tidak
lebih penting daripada energi. Apabila pemerintah mengurangi subsidi BBM tanpa
terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan-permasalahan ini, itu tandanya
pemerintah manja dan terlebih dahulu mengorbankan masyarakat sebelum melakukan
usaha yang keras untuk membenahi internalnya. Menurut saya, hal ini sangat
ironis.
Tidak hanya itu, rencana pengalihan penghematan dari subsidi
inipun sangat tidak cukup untuk menjawab kegelisahan masyarakat dan beratnya
kemampuan dalam menjangkau harga barang yang semakin melambung tinggi.
Pemerintah mengklaim menyiapkan skema BLSM, subsidi untuk pemilik angkutan
umum, dan menyiapkan beras untuk rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM.
Jika melihat betapa buruknya penyaluran BLT tahun 2009 dan potensi
penyelewengan yang ada, sepatutnya kita pesimis bahwa skema ini dapat menjamin
daya beli masyarakat, pun ini hanya sementara. Sedangkan subsidi untuk pemilik
angkutan umum juga merupakan langkah yang tidak tepat sasaran, karena hal ini
tidak dapat menjamin tarif angkutan umum tidak akan naik. Sementara raskin
sebenarnya sudah ada anggarannya tiap tahun, masuk ke dalam kategori program
pengentasan kemiskinan, sehingga ini bukan kompensasi, namun program rutin
tahunan yang dikamuflasekan sebagai kompensasi.
Oleh karena itu, dengan kondisi sekarang ini, pemerintah
wajib untuk memikirkan ulang rencananya untuk menaikkan harga BBM. Cukuplah
ancaman 8.000 orang berdemonstrasi menggambarkan betapa gelisah dan beratnya
masyarakat dalam menanggung beban ekonomi dan psikologis atas naiknya harga
BBM. Sementara itu, untuk masyarakat dan mahasiswa, mari kita sama-sama bersatu
untuk menuntut agar pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM ini dengan
cara-cara yang baik dan tidak melanggar undang-undang. Mari kita menyatakan
pendapat dan berdemonstrasi secara tertib tanpa tindakan anarkis. Jangan lupa
juga berdoa agar Allah yang Maha Kuasa segera membukakan hati pemimpin kita,
dan segera mengirimkan kita pemimpin yang adil dan membawa kesejahteraan bagi
rakyatnya.
***
Penulis adalah Menteri
Koordinator Bidang Eksternal Keluarga Mahasiswa (KM) ITB.
Ramadhani Pratama Guna
Jalan Tubagus Ismail XVII No. 57, Bandung
dhani_aja_lah@yahoo.com
085691053532
http://pratamaguna.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar