Minggu, 01 Maret 2009

Untukmu Kader Da'wah [3. Habis]

Buah mengimani hari akhir

 

“Mengapa da’wah itu pahit? Karena balasannya manis...”

 

Kalimat di atas mungkin sangat sering terdengar di kalangan aktivis da’wah. Kalimat ini mengandung sebuah motivasi, janji, sebab akibat, dan juga merupakan penegasan. Disebut sebuah motivasi karena ada sebuah “iming-iming” yang akan di dapatkan dari da’wah. Yaitu sebuah kenikmatan, dan kenikmatan yang hakikilah yang akan dirasakan di hari akhir nanti.

 

Dengan mengimani hari akhir, seorang aktivis da’wah seakan mendapat sebuah oase penyegar di tengah tanah tandus nan kering. Bagaimana tidak, balasan di hari akhir adalah “sebuah” surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang airnya jernih dan tidak pula deras, yang datarannya hijau rimbun dengan pepohonan yang subur, sebagian besar pohon tersebut berbuah dengan lebat, dan buahnyapun manis. Angin sepoi-sepoi, udara yang sejuk, dan cahaya terang yang tidak menyilaukan turut menambah kenikmatan surga yang tiada tara.

 

Oase di hari akhir inilah yang menjadi pembangkit kembali semangat-semangat da’wah di tengah kepenatan dan hawa dunia yang tenang menghanyutkan, dan inilah yang mengubah paradigma mereka bahwa surga adalah tempat akhir dimana kita bisa berleha-leha, bersantai-santai, tidur, dan duduk-duduk bercengkerama sebagai balasan kerja keras mereka di dunia yang hanya sebentar.

 

Iman ini juga menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan semangat juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

 

 

Kerendahan hati dan kepekaan sosial

 

Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang

Berkilau di pandang orang

Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi

Janganlah seperti asap

Yang mengangkat diri tinggi di langit

Padahal dirinya rendah-hina

 

Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya. Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka?

 

Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak diragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh keikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.

 

Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.

 

Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan membuktikan), “Bila Anda perlu mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan kami akan antar ke rumah rawat”.

 

Mereka tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.

 

 

Gairah cinta dan kelesuan ukhuwwah

 

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW: "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

 

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

 

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah: "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

 

Ukhuwwah adalah salah satu faktor besar mengapa seseorang kader masih “betah” dalam bekerja keras berda’wah. Mereka merasa nyaman dengan perhatian, nasihat, larangan, dan peringatan ikhlas dari saudara jamaah mereka sendiri. Apabila ia berbuat sesuatu yang salah, maka saat itu pula saudara ukhuwwahnya memperingatkannya, di saat ia sedang dapat kesenangan, maka saudara ukhuwwahnyapun turut senang dan bahagia, ketika ia mendapat kesulitanpun, saudara ukhuwwahnya dengan ikhlas dan kesungguhan membantunya keluar dari kesulitan ini. Juga yang terpenting di saat imannya sedang menurun, maka akibat bergaul dengan saudaranya yang imannya sedang naik, ikutlah imannya naik. Sekarang imannya bukan lagi seperti grafik sinus-cosinus, akan tetapi menjadi grafik sinus-cosinus mutlak, yang letaknya selalu di atas sumbu horison.

 

Namun kondisi ideal seperti itu sekarang perlahan sudah mulai luntur. Entah apa yang turut menyumbang kelunturan itu. Para ikhwah sekarang sangat lebih disibukkan dengan syuro-syuro, siasat-siasat, dan pekerjaan mereka sendiri dan sudah jarang melakukan jaulah ke rumah saudara-saudara mereka.  Mereka lupa bahwa saat mereka tertidur pulas, mungkin ada saudara mereka yang tidak bisa tidur pulas karena sakit yang dideritanya, atau mungkin yang lebih parah, ikhwah tersebut “lupa” untuk mendoakan saudara mereka itu di setiap munajatnya kepada Allah.

 

Tapi mudah-mudahan kasus yang terjadi hanya sebagian kecil dari fenomena ukhuwwah di antara para kader. Sesungguhnya Allah tidak tidur atas segala yang dilakukan hamba-Nya.

 

 

Ramadhan, stasiun besar musafir iman

 

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.

 

Kini –di bulan ini– ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan –diluar Ramadhan– saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

 

Marhaban ya Syahra Ramadhan Marhaban Syahra’ Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadhan Marhaban Syahra’l Qiyami.

 

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.

 

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

 

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

 

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.

 

 

Shalawat atas Nabi SAW

 

Tidak ada orang semulia ia, tidak ada manusia secerdas ia, tidak ada da’i yang lebih militan dari dia, tidak ada yang dapat mengalahkan ukhuwwah beliau kepada sahabat beliau, tidak ada yang dapat mengalahkan rasa cinta beliau terhadap anak dan istrinya, terlebih lagi rasa cinta beliau terhadap ummatnya.

 

Ummati.. ummati..

 

Tidak ada kata-kata terakhir yang ia ucapkan kecuali rasa perhatiannya kepada ummatnya, ummat Islam, ummat terbaik di penjuru bumi Allah ini. Termasuk juga mungkin kita, saya, kamu, dan kalian. Pengorbanannya untuk mentransformasi masyarakat menjadi masyarakat Rabbani sudah tidak diragukan lagi, meskipun setiap harinya celaka mengintainya, pedang, batu, dan kotoranpun menjadi saksi atas keikhlasannya menerima itu semua, karena ia tahu, bahwa mereka belum mengerti dan memahami.

 

Sayangnya beliau terhadap setiap orang yang rela berkorban demi risalahnya, demi Islam, demi tegaknya kalimat “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah..” di muka bumi Allah ini. Sudah sepatutnya kita yang merasakan hidup nikmat di tengah-tengah masyarakat iman dan islam mengirimkan shalawat kepadanya, di setiap awal doa kita, dan di setiap akhir doa kita. Dan di setiap saat kita mendengar namanya disebut.

 

Allahumma shalli wa sallim wa baarik ‘alaih...

 

Tidak ada komentar: