Buah mengimani hari akhir
“Mengapa da’wah itu pahit? Karena balasannya
manis...”
Kalimat
di atas mungkin sangat sering terdengar di kalangan aktivis da’wah. Kalimat ini
mengandung sebuah motivasi, janji, sebab akibat, dan juga merupakan penegasan.
Disebut sebuah motivasi karena ada sebuah “iming-iming” yang akan di dapatkan
dari da’wah. Yaitu sebuah kenikmatan, dan kenikmatan yang hakikilah yang akan
dirasakan di hari akhir nanti.
Dengan
mengimani hari akhir, seorang aktivis da’wah seakan mendapat sebuah oase
penyegar di tengah tanah tandus nan kering. Bagaimana tidak, balasan di hari
akhir adalah “sebuah” surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang airnya
jernih dan tidak pula deras, yang datarannya hijau rimbun dengan pepohonan yang
subur, sebagian besar pohon tersebut berbuah dengan lebat, dan buahnyapun
manis. Angin sepoi-sepoi, udara yang sejuk, dan cahaya terang yang tidak
menyilaukan turut menambah kenikmatan surga yang tiada tara.
Oase
di hari akhir inilah yang menjadi pembangkit kembali semangat-semangat da’wah
di tengah kepenatan dan hawa dunia yang tenang menghanyutkan, dan inilah yang
mengubah paradigma mereka bahwa surga adalah tempat akhir dimana kita bisa
berleha-leha, bersantai-santai, tidur, dan duduk-duduk bercengkerama sebagai
balasan kerja keras mereka di dunia yang hanya sebentar.
Iman
ini juga menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan
semangat juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka
yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
Kerendahan hati dan kepekaan sosial
Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah-hina
Alangkah
nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya. Alangkah
mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak
membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki
bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa
jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka?
Dukungan
ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di
pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak diragukan. Yang
kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh
keikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau
berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari
sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.
Akan
teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih
berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan?
Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah
menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.
Rakyat
terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut
mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya
ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku
reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan
kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang
sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan
pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan membuktikan), “Bila Anda perlu
mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan
kami akan antar ke rumah rawat”.
Mereka
tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah
serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga
saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau
‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk
paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja,
untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.
Gairah cinta dan kelesuan ukhuwwah
Mungkin
terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan
sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang.
Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW: "Cintailah saudaramu
secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci.
Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan
menjadi kekasih yang kau cintai." (HR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani,
Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan
kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah
"La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada
ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim,
Ahmad dan Hakim).
Doktrin
ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam
senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level
terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr
(lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar
(memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi
kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati
setiap ikhwah: "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in
lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia
tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama
selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam
ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara
iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun
Ukhuwah).
Ukhuwwah
adalah salah satu faktor besar mengapa seseorang kader masih “betah” dalam
bekerja keras berda’wah. Mereka merasa nyaman dengan perhatian, nasihat,
larangan, dan peringatan ikhlas dari saudara jamaah mereka sendiri. Apabila ia
berbuat sesuatu yang salah, maka saat itu pula saudara ukhuwwahnya
memperingatkannya, di saat ia sedang dapat kesenangan, maka saudara
ukhuwwahnyapun turut senang dan bahagia, ketika ia mendapat kesulitanpun,
saudara ukhuwwahnya dengan ikhlas dan kesungguhan membantunya keluar dari
kesulitan ini. Juga yang terpenting di saat imannya sedang menurun, maka akibat
bergaul dengan saudaranya yang imannya sedang naik, ikutlah imannya naik.
Sekarang imannya bukan lagi seperti grafik sinus-cosinus, akan tetapi menjadi
grafik sinus-cosinus mutlak, yang letaknya selalu di atas sumbu horison.
Namun
kondisi ideal seperti itu sekarang perlahan sudah mulai luntur. Entah apa yang
turut menyumbang kelunturan itu. Para ikhwah sekarang sangat lebih disibukkan
dengan syuro-syuro, siasat-siasat, dan pekerjaan mereka sendiri dan sudah
jarang melakukan jaulah ke rumah saudara-saudara mereka. Mereka lupa bahwa saat mereka tertidur pulas,
mungkin ada saudara mereka yang tidak bisa tidur pulas karena sakit yang
dideritanya, atau mungkin yang lebih parah, ikhwah tersebut “lupa” untuk mendoakan
saudara mereka itu di setiap munajatnya kepada Allah.
Tapi
mudah-mudahan kasus yang terjadi hanya sebagian kecil dari fenomena ukhuwwah di
antara para kader. Sesungguhnya Allah tidak tidur atas segala yang dilakukan
hamba-Nya.
Ramadhan, stasiun besar musafir iman
Tak
pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah,
menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api
selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum,
angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia
dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim
dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan
karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan
dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan
penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.
Kini
–di bulan ini– ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan
–diluar Ramadhan– saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai
empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam
hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan
saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah
momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan
mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.
Marhaban ya Syahra Ramadhan Marhaban Syahra’
Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadhan Marhaban Syahra’l Qiyami.
Orang
yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri
lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus,
atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi
masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau
kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang
dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa
menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa
menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka
terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri
keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing.
Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami
ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya
apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu
pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di
Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini
menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni
unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila
mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga
menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg
menunggu jawaban serius.
Shalawat atas Nabi SAW
Tidak
ada orang semulia ia, tidak ada manusia secerdas ia, tidak ada da’i yang lebih
militan dari dia, tidak ada yang dapat mengalahkan ukhuwwah beliau kepada
sahabat beliau, tidak ada yang dapat mengalahkan rasa cinta beliau terhadap
anak dan istrinya, terlebih lagi rasa cinta beliau terhadap ummatnya.
Ummati.. ummati..
Tidak
ada kata-kata terakhir yang ia ucapkan kecuali rasa perhatiannya kepada
ummatnya, ummat Islam, ummat terbaik di penjuru bumi Allah ini. Termasuk juga
mungkin kita, saya, kamu, dan kalian. Pengorbanannya untuk mentransformasi
masyarakat menjadi masyarakat Rabbani sudah tidak diragukan lagi, meskipun
setiap harinya celaka mengintainya, pedang, batu, dan kotoranpun menjadi saksi
atas keikhlasannya menerima itu semua, karena ia tahu, bahwa mereka belum
mengerti dan memahami.
Sayangnya
beliau terhadap setiap orang yang rela berkorban demi risalahnya, demi Islam,
demi tegaknya kalimat “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah..” di muka
bumi Allah ini. Sudah sepatutnya kita yang merasakan hidup nikmat di
tengah-tengah masyarakat iman dan islam mengirimkan shalawat kepadanya, di
setiap awal doa kita, dan di setiap akhir doa kita. Dan di setiap saat kita
mendengar namanya disebut.
Allahumma shalli wa sallim wa baarik
‘alaih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar