Cermin diri
Paham
dan sadar akan kemampuan diri menjadi obrolan besar tentang cerminan diri. Di
mana, setiap kita, kader da’wah, harus paham dan sadar akan potensi diri kita
sendiri. Banyak di antara kita yang “tumpul” dalam berda’wah karena memilih
untuk terjun ke dalam hal yang mereka sendiri tidak mampu mengimbanginya (lebih
tinggi kualitasnya), juga banyak pula yang futur karena memilih untuk terjun ke
dalam hal yang terlalu rendah dibanding potensi diri kita karena merasa sudah
sangat bisa, sehingga pada akhirnya membuat malas untuk belajar dan selalu
memperbaharui kondisi ruhiyah yang berdampak pada futur tadi.
Memahami
potensi dan sadar akan itu memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan
da’wah. Posisikan diri kita pada posisi yang benar dalam barisan da’wah ini.
Ketika potensi ini telah dipahami dan diaplikasikan, maka hasilnyapun bisa
menjadi sarana da’wah yang bagus ketimbang berda’wah tanpa hasil potensi.
Sudah
banyak sekali kader yang meraih prestasi gemilang di lingkungannya
masing-masing. Betapa banyak di antara kader da’wah kampus yang mencapai IP cum laude, betapa banyak juga mereka
yang menjadi pengusaha kaya raya yang ber-afilliasi
terhadap Islam, betapa banyak kader da’wah yang berhasil membangun keluarga
Islami, di mana setiap anak mereka juga merupakan tonggak-tonggak da’wah di
lingkungan masing-masing, yang orang tua-orang tua mereka senang mengikuti
majelis-majelis ilmu, betapa banyak juga kader yang menduduki jabatan penting
di lingkungan mereka dan berhasil membuat lingkungan mereka subur akan da’wah.
Dan semua itu terjadi atas izin Allah lewat potensi diri yang telah
diaplikasikan.
Khutbah ‘Idul Adha 1421 H
Ada
tiga hal yang patut disorot dalam bagian ini, yang pertama adalah ketaatan pada
Allah, yang kedua adalah mendahulukan Allah di atas segalanya, dan yang ketiga
adalah keyakinan pada Allah. Setidaknya tiga hal ini yang harus dimiliki hamba
yang beriman. Di manapun ia berada, kapanpun itu, dan dalam kondisi seperti
apapun, seorang hamba yang beriman haruslah mempertahankan ketaatannya kepada
Allah, bukan malah menjual hal itu kepada sesuatu yang murah. Kemudian, sikap
ketaatan kepada Allah akan membawa dampak pada sikap mendahulukan Allah di atas
segalanya. Saat sikap ini muncul, selayaknya seorang hamba melengkapinya dengan
keyakinan kepada Allah. Untuk lebih jelasnya, simak sebuah episode Nabi Ibrahim
berikut.
Suatu
saat Nabi Ibrahim membawa istri dan anaknya (Ismail) yang masih kecil (masih
disusui) sampai ke Baitullah di Dauhah, di atas Zamzam, di daerah perbukitan
gurun yang terik dan tandus. Di Makkah waktu itu belum ada manusia dan belum
ada air. Ia letakkan mereka disana. Ia bekali mereka dengan sekantung kurma dan
sekantung air dan segera bergegas pergi. Ummu Ismail (Ibu Ismail) mengikutinya
sambil bertanya “Wahai Ibrahim, akan kemana kau pergi meninggalkan kami di
lembah ini tanpa siapa-siapa tanpa apa-apa?”. Diucapkannya kalimat itu
berulang-ulang, namun ia tak juga menoleh.
Akhirnya
Ummu Ismail bertanya: “Allahkah yang menyuruhmu melakukan ini?”. Ia menjawab:
“Ya”. Ummu Ismail berkata: “Jika begitu, tentulah Ia (Allah) takkan sia-siakan
kami”, kemudian ia kembali dan Ibrahim berangkat. Sesampainya di Tsaniyah
(jalan tinggi di bukit) tempat mereka tak lagi melihatnya, ia hadapkan wajahnya
ke Baitullah, berdoa dengan beberapa kalimat dan mengangkat kedua tangannya: “Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Lihatlah,
betapa lurusnya keluarga ini memandang perintah Allah. Betapa ringannya mereka
melaksanakan titah agung ini. Mereka utamakan ketaatan daripada kesenangan
pribadi. Dari ketiga permintaan, ternyata yang pertama dimintanya agar keturunannya
menjadi penegak shalat, kemudian untuk menopang da’wah ia minta mereka dicintai
ummat manusia, barulah permintaan ketiga agar Allah memberikan mereka rezki.
Padahal keadaan sangat sulit; tak ada sanak, kerabat bahkan manusia, tak ada
air dan sumber makanan. Hanya mereka berdua; seorang perempuan yang baru
melahirkan dan bayi kecil yang baru beberapa belas atau beberapa puluh tahun
kedepan diangkat menjadi rasul.
Militansi
“Hai Yahya, ambillah (pelajarilah) Al Kitab (Taurat) itu dengan
sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” (QS. Maryam,
19:12).
Kita dapat mengambil pelajaran
penting dari satu ayat di atas, yaitu militansi. Militansi sendiri dapat
dimaknai dengan kesungguhan dan keseriusan. Tatkala Allah memerintahkan kepada
Yahya untuk mempelajari Taurat, maka saat itu pula Allah menekankan untuk
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Sungguh-sungguh ini kemudian akan
menjadi “ruh” dalam setiap gerak dan kontribusi seseorang, apalagi seseorang
itu adalah da’i. Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang bersungguh-sungguh
akan menyemai hasil yang baik, bukan dengan berleha-leha, berfoya-foya, dan
bersantai ria. Sudah banyak pepatah dan nasihat-nasihat yang menegaskan arti
militansi atau kesungguhan dalam setiap perbuatan. Bukan karena akan menjadi
“ruh” dalam setiap gerakan saja, militansi juga dapat memberi proses dan
output/hasil yang baik. Karena kesungguhan akan berdampak pada seluruh bagian
dari setiap pergerakan, baik fase inisiasi, fase dinamisasi, maupun fase
terminasi.
Orang yang bersungguh-sungguh
biasanya terlihat dari hasil/output yang ia keluarkan. Jika output itu baik,
maka dapat disimpulkan bahwa orang itu bersungguh-sungguh. Dan output yang baik
juga akan membawa keberhasilan yang ia ingin capai. Rasulullahpun pernah
menyinggung tentang militansi: “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan
berhasil”.
Di
antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan
azam dan tekad, bukan kemiskinan harta. Misalnya anak yang mendapatkan warisan
berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena
merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya
sendiri. Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya
pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga
sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang
yang berilmu, kaya dan seterusnya.
Demikian
pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi
Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat
tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar