Bismillahirrahmaanirrahim…
Sedikit Pengantar
Catatan sebelumnya dari saya lebih menekankan pada makna pendidikan (seharusnya). Review dikit ah, bahwa pendidikan itu semestinya mengembangkan, atau menumbuhkan, atau menyuburkan potensi dasar (fitrah) manusia yang dibawa sejak lahir. Tetapi, pengembangan di sini tetap harus dituntun atau diarahkan. Jadi, bukan mengubah atau mengganti, oke?
Manusia di satu sisi bisa menjadi subjek pendidikan dan si lain sisi bisa menjadi objek pendidikan, bahkan mungkin bisa keduanya sekaligus, yang dinamakan dengan Pendidikan Orang Dewasa (POD). POD menyatakan bahwa manusia seharusnya sadar dan mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan potensi-potensi dasar yang ada pada diri mereka sehingga mereka merancang sendiri metode yang dapat dilakukan, serta melakukannya untuk mereka sendiri.
Tahap selanjutnya adalah kita akan membahas tentang untuk apa pendidikan itu dilaksanakan? Tapi terlebih dahulu mari kita bahas mengenai hakikat penciptaan manusia, kenapa? Karena ya tadi, manusia itu merupakan subjek sekaligus objek pendidikan. Jadi, mari kita bahas tentang manusia.
Hakikat Penciptaan Manusia
Tujuan pendidikan dapat kita lihat dari tujuan
penciptaan manusia secara umum. Dari berbagai agama samawi (agama yang turun
dari “langit”) dan sumber referensi lain dapat disimpulkan bahwa tujuan
penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Penciptanya. Ibarat, kita
diciptakan karena ada sesuatu yang harus kita lakukan, dan hal yang harus kita
lakukan adalah melaksanakan apa yang diinginkan Pencipta manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang menanggung amanah, atau
disimpulkan mengabdi kepada Tuhan.
Selain makhluk Tuhan, manusia juga dijabarkan dari
berbagai sisi bahasa. Manusia menurut bahasa, salah satu referensinya dapat
kita temukan dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, manusia dikenal dengan tiga
kata, yaitu al-insan, an-nas, dan al-basyar. Dari tiga kata ini, terdefinisilah secara jelas hakikat
manusia. Pertama, kata al-insan
merujuk kepada arti manusia sebagai sesuatu yang diciptakan, maksudnya adalah
pemikul amanah/tanggung jawab, seperti yang telah kita bahas di atas.
Kedua, kata an-nas
menunjukkan manusia secara jamak, atau secara golongan, atau secara
ramai-ramai. Ini pertanda, bahwa manusia selain makhluk ciptaan Tuhan juga
makhluk sosial, yang hidup harus saling bergolongan/beramai-ramai. Saling bahu
membahu dalam rangka mewujudkan tanggung jawab yang diberikan Tuhan.
Ketiga, kata basyar
yang berasal dari kata basyarah, yang
berarti permukaan kulit, wajah, dan tubuh. Artinya, dalam makna yang luas,
manusia adalah makhluk biologis. Inilah mengapa, Rasul atau pemuka-pemuka agama
–yang dijunjung atau disucikan- tetap “dianggap” manusia. Karena memang, secara
biologis sama dengan manusia pada umumnya. Namun, memang ada perbedaan,
terutama dalam hal insaniyah, yaitu
dalam hal kesadaran tanggung jawab. Kebanyakan, orang-orang yang “diagungkan”
lebih utama dalam hal insaniyah,
yaitu lebih sadar akan tanggung jawabnya sebagai pemikul amanah, yang kemudian insaniyah ini mengejawantah kepada an-nas dan basyar ini.
Dari penjabaran di atas, dapat kita simpulkan
premis awal, bahwa memang tujuan pendidikan itu dalam rangka menunjang peran
kita dalam ketiga hal tersebut, yaitu peran kita sebagai makhluk Tuhan, yang
tidak bisa sendiri dan harus beramai-ramai dalam mengemban amanah di alam ini,
sebagai tempat kita dapat menjalankannya.
Ki Hajar Dewantara menjabarkan tujuan pendidikan
adalah untuk menjadi manusia yang sempurna, yaitu manusia yang hidup selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Kemudian, Sayid Sabiq juga mengatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah agar manusia menjadi anggota masyarakat yang
bermanfaat, baik bagi diri maupun masyarakatnya (ummatnya).
Kesimpulannya, dapat kita pahami bahwa pendidikan
yang kita lakukan bertujuan untuk menunjang diri kita/mengarahkan diri kita
agar kita dapat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, serta
menjaga dan memakmurkannya dalam rangka mengemban tanggung jawab yang diberikan
Tuhan kepada kita. Sepakat?
Jadi, secara umum, Pendidikan adalah usaha yang dilakukan, baik mandiri ataupun
bersama-sama dalam rangka mengembangkan, menumbuhkan, atau menyuburkan potensi
dasar manusia yang dibawa saat lahir (fitrah), untuk menunjangnya agar dapat bermanfaat
bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, serta menjaga dan memakmurkannya, dalam
rangka mengemban tanggung jawab yang diberikan Tuhan.
Peran Mahasiswa Untuk
Mencapai Tujuan Pendidikan
Mahasiswa identik dengan peralihan dari anak-anak
menjadi dewasa, bahkan sampai ke tahap dewasa. Sesuai dengan yang dijabarkan
oleh Alan Rogers, bahwa dewasa adalah mempunyai kesadaran atau tanggung jawab
terhadap dirinya.
Muhammad Hatta secara tersirat mengatakan bahwa
seharusnya mahasiswa, dalam periodenya di perguruan tinggi adalah dalam rangka
mengembangkan diri, ataupun mempersiapkan diri. Sehingga pada saat mereka
keluar dari bangku kuliah, mereka diharapkan sudah siap untuk mengemban “amanah
besar” mereka, yaitu bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, dalam
rangka mengemban tanggung jawab yang diberikan Tuhan.
Dalam masa peralihan ini (dari anak menuju
dewasa), mahasiswa masih perlu “pembimbing” yang membimbing dan mengarahkan
dalam rangka menumbuhkan potensi mereka. Namun, di suatu sisi, mahasiswa
sebagai orang yang mulai dewasa juga seharusnya sadar akan tanggung jawabnya,
sehingga setiap mahasiswa seharusnya dapat menemukan potensi diri manakah yang
masih kurang dan harus mereka kembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut.
Pendidikan di Indonesia secara umum sudah ideal
dari segi konsep, hal ini terlihat dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, dalam tataran implementasi, hal ini sangat jauh dari konsep yang
dijabarkannya. Untuk itulah, ada dua peran yang dapat kita lakukan kedepannya
dalam menghadapi hal ini. Pertama, perubahan yang bersifat sangat mendasar, yaitu, kita persiapkan diri kita sebagai
politikus-politikus pengambil kebijakan, yang akan merubah kebijakan
implementasi pendidikan Indonesia agar lebih baik. Namun, itu hal yang perlu
persiapan sangat baik dan eskalasi yang jelas. Sementara menunggu itu, kita
dapat melakukan langkah kedua, yaitu perubahan yang bersifat instant tapi tetap mendasar, bagaimana kita menyiasatinya. Itu tadi, kembali kepada
kedewasaan kita, yaitu tanggung jawab terhadap diri kita sendiri untuk mencari
yang terbaik. Itulah maksud dari continuous
improvement, makna pendidikan yang hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar