ACFTA dan
peran KM ITB dalam menghadapinya
ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) yang telah resmi diberlakukan tahun 2010 mau tidak mau akan mempengaruhi arah gerak KM ITB ke depannya. Hal ini dikarenakan kebijakan ini berlangsung dalam jangka yang panjang dan akan berpengaruh luas bagi kehidupan bangsa Indonesia kedepannya. Berbeda dengan isu lain yang masih hangat, seperti kasus Century, yang masih sangat penting, namun sifatnya hanya insidental.
Mahasiswa dengan segala idealismenya juga harus mulai tanggap terhadap kebijakan ini dan mulai membagi fokusnya, serta harus menyiapkan langkah strategis untuk menanggapi dampak hal ini. KM ITB sebagai institusi kemahasiswaan ITB yang juga berfungsi sebagai pencetak mahasiswa yang utuh harusnya bisa berperan lebih aktif dan memikirkan langkah strategis dan fundamental apa yang harus dipersiapkan dalam menghadapi ACFTA ini, yang mungkin selama mahasiswa masih hidup dalam dunia kampus tidak terlalu terasa dampaknya. Namun, ketika sudah memasuki dunia pasca kampus, hal ini akan terasa, dan untuk itulah perlu dipersiapkan.
Sekilas tentang ACFTA
Sejak November 2004 pemerintah sebenarnya telah menyepakati perjanjian dengan lima negara ASEAN lainnya dan China untuk menerapkan perdagangan bebas untuk area terbatas (free trade area) pada tahun 2010. Perjanjian ini dianggap menguntungkan disebabkan oleh estimasi nilai GDP regional US $ 2 Triliun, dan total perdagangan sekitar US $ 1.23 Triliun, dan akan menjadi free trade area terbesar dengan market sekitar 1.7 millyar manusia. (sumber: ACFTA: A Primer)
Perjanjian yang telah disepakati sejauh ini meliputi dua hal, pertama perjanjian tentang barang (goods), dan yang kedua tentang jasa (services). Perjanjian tentang goods telah disepakati pada awal yaitu tahun 2004. Sedangkan perjanjian tentang services telah disepakati pada Juli 2007 yang lalu. Sebenarnya masih ada satu perjanjian lagi yang masih dalam tahap negosiasi, yaitu tentang investasi (investment). Belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai negosiasi ini.
Kondisi perindustrian
Indonesia
Secara umum, industri di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan prosesnya. Pertama, industri primer. Kedua, industri sekunder, dan ketiga industri tersier. Industri primer adalah industri hulu, yang proses bisnisnya berhubungan langsung dengan sumber daya alam (SDA), yaitu bagaimana mengambil langsung dari alam, dan mengolahnya hingga tetap menjadi bahan baku sebagai input dari industry sekunder. Beberapa produk ekspor Indonesia yang berbasis industry primer adalah minyak kelapa, ikan segar, konsentrat alumunium, dan sebagainya.
Industri sekunder adalah industry yang proses bisnisnya adalah mengubah input berupa bahan baku, menjadi output, dengan menambah nilai guna dari suatu barang tersebut. Industry sekunder lebih dikenal dengan industry yang menghasilkan produk nyata, atau juga disebut industry manufaktur, produksi, dan sebagainya. Sebagai contoh, hasil industry sekunder Indonesia yang telah diekspor antara lain motor elektrik dan generator, jaket, kemeja, kaos, furniture, kerajinan tangan, dan sebagainya.
Menurut Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009), 100 jenis barang ekspor utama Indonesia masih didominasi produk output hasil industry primer. Beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya. Dua terbesar dari segi volume, yang merupakan barang ekspor Indonesia adalah coal, briquettes, and derivates sebanyak 201.103.511.924 ton, dan palm oil and its fraction sebanyak 14.290.685.404 ton pada tahun 2008.
Sedangkan, untuk produk hasil Industri sekunder, Indonesia masih belum mempunyai produk unggulan yang benar-benar unik dan menjadi barang andalan Indonesia. Berikut beberapa barang industry sekunder yang cukup besar volume ekspornya ke mancanegara:
1.
Printing machinery; machines for
use ancillary to printing. cutting man-made textile
materials.
Sebanyak 68 juta ton pada tahun 2008.
2. Primary
cells and primary batteries.
Sebanyak 77 juta ton pada tahun 2008.
3.
Insulated (including enamelled or
anodised) wire, cable (including co-axial cable) and other insulated electric
conductors.
Sebanyak 111 juta ton pada tahun 2008.
4.
Women's or girls' suits, ensembles,
jackets, blazers, dresses, skirts, divided skirts, trousers, bib and brace
overalls, breeches and shorts. Sebanyak 59 juta ton pada tahun 2008.
Walaupun Indonesia sudah bisa mengekspor sampai printing machinery dan primary cells and batteries dalam jumlah yang cukup besar, kita tidak bisa sepenuhnya berbangga dikarenakan, sebagai contoh, sampai saat ini belum ada industry printer yang asli merk Indonesia. Semua merk printer yang ada di Indonesia dan diproduksi di Indonesia adalah investasi pihak asing yang membangun pabrik di Indonesia. Juga untuk teknologi printer tersebut, belum sepenuhnya 100% dibuat di Indonesia, masih ada beberapa komponen yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan harus diimpor oleh perusahaan printer tersebut, sebagai contoh IC (Integrated Circuit) dan beberapa komponen lainnya.
Sementara untuk industry jasa, Indonesia boleh dibilang sangat banyak dalam hal industri tersier ini. Mulai dari yang skala kecil (pinggir jalan), hingga skala besar, jasa penerbangan misalnya. Industri tersier memang dalam sebuah negara pastilah merupakan industry yang paling banyak. Namun, untuk menghadapi ACFTA ini, sebenarnya yang dibutuhkan adalah kekuatan industry sekunder di Indonesia untuk menghasilkan produk yang berdaya guna tinggi dan dapat diterima banyak kalangan.
Potensi dan Tantangan
Bagi Indonesia Untuk Menghadapi ACFTA
ACFTA sebenarnya tidak boleh kita pandang sebelah mata hanya sebagai sesuatu yang akan berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia, kita harus memandang ini semua dari berbagai sudut pandang dengan bijak. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ACFTA ini membawa tantangan dan sekaligus potensi bagi Indonesia. Ada yang bilang bahwa kehebatan itu apabila kita sanggup mengubah tantangan menjadi peluang sekaligus keuntungan.
Kita harus bersyukur bahwa Indonesia diberi banyak nikmat oleh Tuhan. Nikmat itu berupa sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya. Sejak dahulu Indonesia sudah menjadi incaran bangsa-bangsa penjajah untuk menguasai harta berharga berupa kekayaan alamnya, bahkan hingga sekarang. Laut kita menyimpan banyak kekayaan dan potensi, cadangan minyak kita diperkirakan masih ada hingga 45 milliar barel, kekayaan batu bara kita merupakan yang keempat di dunia, timah nomor dua, dan banyak lagi (Menjadi Bangsa Pintar, Heppy Trenggono, 2009).
Permasalahan yang ada sekarang adalah jangan sampai bangsa kita menjadi bangsa yang kufur nikmat, dalam artian segala potensi besar yang kita miliki harusnya membawa manfaat besar bagi kita sendiri dan juga dunia luas pada umumnya. Indonesia haruslah menjadi negara yang kuat dengan segala potensinya.
Soal SDM, Indonesia juga tidak kalah potensial. Sudah banyak bukti-bukti yang menguatkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cerdas. Berkali-kali menjuarai olimpiade tingkat dunia, lomba-lomba keilmuan, dan banyak inovasi yang telah ditelurkan anak bangsa menjadi bukti yang kuat bahwa manusia Indonesia punya potensi dasar yang unggul.
ACFTA ini membawa potensi tersendiri bagi bangsa Indonesia, yaitu berupa terbukanya segmen pasar yang lebih luas dan besar. Bayangkan, potensi pasar yang besar, sekitar 1.7 millyar manusia yang ada di region ini adalah sasaran yang empuk apabila –sekali lagi- kita mempunyai barang yang menjadi andalan yang dapat kita jual kepada region ini. Prinsipnya sederhana, bagaimana barang yang kita hasilkan tidak dapat ditemui atau jarang terdapat di negara asal mereka, atau jikapun barang itu ada, kita bisa memainkan dari segi feature (fungsi dan kelebihan tambahan) barang tersebut, misal dengan harga yang murah, atau dengan desain yang unik, dan sebagainya.
Pengelolaan industry yang baik merupakan hal yang menjadi ujung tombak terakhir (artinya paling pamungkas) dalam menghadapi perjanjian ini. Pasalnya, hampir segala potensi Indonesia punya dengan baik. Bagaimana pengelolaan ini memacu agar industry sekunder di Indonesia berkembang lebih pesat lagi dan sampai pada produk-produk yang menggunakan teknologi yang tinggi. Ujungnya, bagaimana pemerintah dapat menyediakan iklim yang kondusif untuk berkembanganya industry ini.
Peran KM ITB untuk
ACFTA
Nampak tidak baik apabila kita sebagai mahasiswa terus menerus member kritik kepada pemerintah tentang pengelolaan industry nasional tanpa memikirkan hal apa yang bisa kita lakukan dalam membantu bangsa ini agar dapat ikut bersaing di regional ini. Minimal menyelamatkan produsen-produsen barang dalam negeri agar barang yang dihasilkan minimal diterima oleh penduduknya sendiri dan menjadi pilihan utama sebelum produk asing.
KM ITB bisa mengambil peran yang pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu persiapan karakter mahasiswa di kampus, yaitu melalui kaderisasi dan kegiatan kultural yang bersifat pembiasaan, dan hal yang sifatnya gerakan langsung yang merupakan wujud konkrit untuk masyarakat.
Persiapan karakter mahasiswa di kampus ini bisa diterjemahkan ke dalam dua peran. Pertama, bagaimana KM ITB memacu mahasiswa menjadi wirausaha dalam bidang produksi/manufaktur barang nyata (industry sekunder). Selama ini sudah mulai banyak mahasiswa yang melatih dirinya menjadi seorang pengusaha mulai dari kampus. Namun, tidak banyak mahasiswa yang bergerak di bidang produksi. Mahasiswa lebih tertarik pada wirausaha di bidang jasa, seperti usaha rumah makan, jasa percetakan, jasa pencucian, warnet, fotokopian, dan lain sebagainya. Hal ini tidaklah salah, namun kita perlu memacu perkembangan jiwa kewirausahaan ini untuk menjadi produsen-produsen produk nyata. Contohnya produk kerajinan tangan.
Kemudian, secara massif, mahasiswa bisa membuat gerakan nyata untuk masyarakat, dengan dua peran. Pertama, tentang pengembangan teknologi aplikatif, dalam artian teknologi yang dihasilkan mahasiswa harus benar-benar terasa secara luas manfaatnya oleh masyarakat, bukan hanya oleh beberapa industry besar yang mempunyai modal, sehingga mengesankan komersialisasi berlebihan atas teknologi, dimana seharusnya teknologi digunakan untuk membantu manusia mencapai kesejahteraan hidup. Teknologi aplikatif ini lebih menekankan pada easy to use dan dapat digunakan secara instan.
Kedua, dengan gerakan community development, yaitu memberdayakan masyarakat agar dapat menghasilkan produk unggulan sesuai potensi masyarakat setempat. Jika hal ini berhasil diaplikasikan secara massif, kita dapat membayangkan tumbuhnya area pemukiman masyarakat yang terkenal karena potensinya. Misalkan, kampung kelinci, kampung rotan, kampung bola, ataupun lainnya. Apabila karakter wirausaha mahasiswa dipadukan dengan community development, bisa menjadi gerakan baru yang dikenal dengan sociopreneur, bukan lagi technopreneur atau artpreneur.
Mimpi inilah yang harus dibangun oleh mahasiswa sekarang, mengikuti perkembangan zaman yang menuntut seseorang mempunyai keahlian yang membuatnya mampu berkompetisi (The World is Flat, Friedman).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar