Dan Ketika Kemerdekaan
Kembali Dipertanyakan
Ada sesuatu yang mengganjal ketika kita sering meneriakkan kata-kata merdeka, dengan lantang dan penuh semangat. Merdeka, merupakan harapan semua entitas di dunia ini, mulai dari entitas yang besar, berupa bangsa, hingga entitas terkecil, yaitu setiap individu.
Bangsa-bangsa di dunia rela melakukan totalitas dalam meraih kemerdekaan. Sebut saja perjuangan para pahlawan Indonesia yang bersatu untuk menentang penindasan dan meraih kemerdekaan dari Belanda, Jepang, Portugis, dan penjajah lainnya. Belum pergi dari ingatan kita kegagahan seorang Fatahillah yang mengusir portugis dari sunda kelapa (Batavia), atau kepiawaian Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri melawan imperialisme Belanda, dan tentunya, itulah harga dari sebuah kemerdekaan: jiwa dan harta.
Tidak pernah terpikir dalam benak-benak mereka seperti apa nantinya kemerdekaan ini akan diisi kedepannya, karena saat itu mereka masih mempercayai generasi-generasi penerus mereka, yang mereka pikirkan saat itu adalah bagaimana meraih kemerdekaan, meskipun dengan taruhan nyawa sekalipun.
Kemerdekaan adalah amanah
Ternyata, kemerdekaan selama ini adalah amanah. Amanah dari mereka yang berkorban dalam memberikan hadiah terindah mereka kepada penerusnya. Bahwa harapan mereka adalah agar kemerdekaan yang sudah ada ini tidak lagi bisa direbut oleh pihak lain, dan kita berhak menentukan ke mana arah bangsa kita akan melangkah, bukan didikte oleh bangsa lain.
Menjaga amanah adalah hal yang sulit, namun mungkin. Bahwa kemerdekaan fisik yang selama ini sudah diraih, hendaknya diiringi dengan kemerdekaan dimensi lainnya, yaitu kemerdekaan hati, dan kemerdekaan pikiran. Kemerdekaan pikiran adalah kemerdekaan yang pertama, di mana, semua harapan akan waktu di depan berawal dari pikiran, segala tindakan yang akan terlaksana berawal dari pikiran, dan pikiran ini adalah inisiator, dan hati adalah legislator, yang mentransformasikan dimensi pikiran ke dalam dimensi kenyataan. Motivasi dan tekad dibangun di sini, dan legalitas tentang pikiran dilakukan di sini.
Ketika kita sudah mempunyai kesempatan dan potensi yang besar untuk menentukan arah kita melangkah, itu berarti merupakan sebuah amanah. Kita dipercaya untuk mengambil langkah sendiri. Untuk itu, setiap amanah ini hendaknya harus dimanfaatkan dengan baik, kemerdekaan harus dikelola dengan baik dan benar, karena amanah akan dipertanggungjawabkan, dan kesabaran adalah jalan yang harus ditempuh terlebih dahulu.
Kemerdekaan bukan kebebasan
Merdeka berbeda dengan kebebasan. Letak perbedaannya ada pada peran tiga dimensi kemerdekaan. Dimensi insiator, dimensi legislator, dan dimensi eksekutor. Kemerdekaan mengenal semua dimensi ini, karena pada dasarnya tujuan kemerdekaan adalah kesejahteraan dan kebahagiaan. Sementara kebebasan hanya melibatkan dua dimensinya, yaitu inisiator dan eksekutor.
Kebebasan tidak lagi mengenal legislator. Tidak lagi mengenal apa yang disebut dengan aturan, tata nilai, dan norma. Ketika kebebasan diagung-agungkan, maka akan ada pihak-pihak lain yang tertindas, dan ini bukan kemerdekaan. Ketika kebebasan menjadi kelakuan, maka akan banyak penindasan hak-hak manusia lainnya. Setiap manusia akan selalu merebut hak-haknya tanpa peduli juga hak-hak orang lain, itulah kebebasan.
Kemerdekaan, seberapa bebaspun ia, tetap akan membawa kebahagiaan, karena tidak akan ada kewajiban-kewajiban yang dilanggar dan tidak ada hak-hak yang dirampas. Untuk itulah, jangan sekali-kali hilangkan dimensi legislator pada kemederdekaan, sebelum semua bergeser menjadi kebebasan. Terkadang manusia sebagai entitas terkecil ini lupa atau bahkan terbaik dalam menafsirkan kemerdekaan. Terkadang manusia meletakkan pikiran pada dimensi legislator dan meletakkan hati pada dimensi inisiator. Pikiran seharusnya tunduk pada hati, tiada perbuatan yang terejawantahkan sebelum mendengar kata hati.
Hati yang merdeka
Hati yang merdeka adalah hati yang berfungsi sempurna sebagai legislator. Kesempurnaan ini dapat dibangun dengan terus menerus melatih hati, hingga hati itu bersih dan tidak pula terbelenggu. Lalu kepada siapa hati akan tunduk? Bagaimana hati itu merdeka?
Hati yang merdeka adalah hati yang hanya tunduk kepada pencipta-Nya, pada-Nya lah sumber legislasi itu, sebuah indikator adil dan merdeka. Allah itulah kemerdekaan hakiki, yang mempunyai kuasa atas segalanya, dan berhak mengatur segalanya. Dia telah memberikan legislasi itu dengan prinsip-prinsip yang jelas. Hati yang tidak merdeka dan tunduk pada pencipta-Nya niscaya akan tunduk pada hal lainnya, dan itu sangat banyak.
Mulai dari yang terdekat dari hati, yaitu pikiranpun, bisa menjadi tempat hati tunduk. Belakangan, hal ini semakin bervariasi. Uang, kekayaan, kekuasaan, wanita, atau manusia lainnya sangat berpotensi menjadi tempat hati tunduk. Dan bahayanya ketika hati telah tunduk pada hal tersebut, maka yang timbul adalah kebebasan, bukan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar