Rabu, 12 Mei 2010

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita?

Mau Dibawa Ke Mana Pendidikan Kita?

Peringatan hari pendidikan yang berlangsung 2 Mei 2010 kemarin memaksa kita untuk kembali berpikir sejenak tentang pendidikan kita saat ini. Kesan yang ada adalah masih banyak permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia. Permasalahanpun beragam, mulai dari software sampai hardware pendidikan itu sendiri. Software lebih didekatkan kepada undang-undang yang mengatur pendidikan itu sendiri, kurikulum yang diajarkan peserta didik, hingga ke metode pendidikan itu sendiri.

Sementara hardware lebih berupa sarana fisik yang menunjang pendidikan itu sendiri, mulai dari sekolah, bangku sekolah, buku-buku, laboratorium, hingga tenaga pengajar itu sendiri, guru dan karyawan lainnya. Kali ini kita tidak akan membahas terlebih dahulu permasalahan pendidikan yang ada dari software dan hardware, namun metode yang akan kita bahas kali ini adalah metode top-down, atau output-inside. Kita tidak akan mengetahui pendidikan kita bermasalah atau tidak jika kita tidak melihat dari outputnya, bagaimana manusia-manusia Indonesia saat ini.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi sorotan dari manusia Indonesia sebagai hasil didikan dari sistem pendidikan Indonesia dewasa ini. Pertama tentang pragmatisme yang semakin tumbuh, dan kedua tentang kemandirian yang semakin menjauh.

Kenapa bisa dikatakan pragmatisme karena ternyata apa yang diamanatkan undang-undang dan beberapa hakikat pendidikan dari beberapa tokoh pendidikan tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara1.

Ki Hajar Dewantara menjabarkan tujuan pendidikan adalah untuk menjadi manusia yang sempurna, yaitu manusia yang hidup selaras dengan alam dan masyarakatnya2. Senada, seorang tokoh pendidikan timur tengah, Sayid Sabiq juga mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah agar manusia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, baik bagi diri maupun masyarakatnya (ummatnya)3.

Teori-teori di atas dewasa ini nampaknya hanyalah sekedar pemanis definisi pendidikan saja, sebab banyak masyarakat sekarang yang pragmatis dan serba instan. Jika kita berkaca pada diri sendiri, misalnya, pada saat kita SMA ingin memilih sebuah universitas yang bonafit dan jurusan yang juga bonafit. Kebanyakan dari kita waktu itu jika ditanya alasannya mungkin akan memberi alasan yang pragmatis, misalnya karena prospek kerjanya baik, gaji yang besar, dancepat kaya”. Sebuah tujuan yang kerdil untuk sebuah hal yang mulia (pendidikan), namun itulah kenyataannya.

Kepragmatisan ini juga dapat kita lihat pada disorientasi nilai pada pendidikan. Seringkali kita hanya belajar pada saat akan ujian, dengan hanya berorientasi nilai-nilai yang itu adalah hanya sebatas angka, dan akhirnya kesemua itu cepat hilang jika periode uji materi tersebut sudah terlewati. Masih banyak ciri-ciri pragmatisme yang dapat kita temui dari hasil output pendidikan di negara ini. Kita menyadari bahwa memang era globalisasi yang banyak digembar-gemborkan negara-negara kapitalisme turut berpengaruh besar pada pembentukan karakter manusia, namun ini juga menunjukkan bahwa pendidikan yang ada selama ini gagal mengubah budaya masyarakat bahkan pendidikan semakin terpengaruh budaya masyarakat, tidak peduli budaya itu baik atau buruk.

Hal selanjutnya adalah masalah kemandirian. Mandiri dalam banyak definisi lebih kepada kesadaran manusia bahwa dirinya adalah yang paling bertanggung jawab pada dirinya4. Hal ini juga senada dengan definisi pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 terutama yang harus kita soroti adalah kalimatpeserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya”. Ini berarti pada hakikatnya pendidikan seharusnya membuat kita mandiri, membuat kita sadar bahwa kita harus senantiasa mengembangkan diri dan belajar sepanjang masa5, karena tidak selamanya pendidikan itu membutuhkan pendidik, karena yang paling mengetahui kebutuhan kita akan pendidikan adalah kita sendiri sehingga ada atau tidaknya pendidik, kita harus selalu mendidik diri kita sendiri.

Nyatanya, kemandirian ini semakin lama semakin jauh dari output pendidikan itu sendiri. Kedewasaan masyarakat Indonesia sedikit terlambat. Jika kita pukul rata, masyarakat Indonesia baru bisa kita anggap dewasa ketika ia sudah mulai masuk bangku kuliah, namun itupun baru hanya setengah, karena masih ada dosen juga yang sifatnya bukan membimbing, namun memberi suapan yang banyak kepada mahasiswanya. Dan yang parahnya lagi, sebagian besar paradigma masyarakat masih terkungkung bahwa pendidikan adalah bangku-bangku sekolah dan bangku-bangku kuliah. Padahal, hidup ini adalah pendidikan, jika memang kita sadari, ada perbaikan terus menerus yang harus kita lakukan dalam hidup.

Sekarang timbul pertanyaan, mau dibawa ke mana pendidikan kita?

1 UU RI No. 20 Tahun 2003.

2 Rianto, S.Kom. 2007. Pendidikan Dasar dan Dasar Pendidikan.

3 Yahya, M. Slamet. 2007. Pendidikan Islam Dalam Pengembangan Potensi Manusia.

4 Marzuki, M. Saleh. Beberapa Definisi Pendidikan Orang Dewasa.

5 Knowles, Malcolm. 1980. The Modern Practices of Adult Education, From Pedagogy to Andragogy.

Tidak ada komentar: