Minggu, 30 Mei 2010

Refleksi Empat Abad Jakarta: Potret Kesemrawutan Wajah Indonesia

Refleksi Empat Abad Jakarta: Potret Kesemrawutan Wajah Indonesia

Jakarta kini sudah berusia empat abad lebih, bahkan sudah mendekati lima abad. 483 tahun adalah sebuah usia yang tidak muda untuk sebuah kota. Melihat usianya, seharusnya kita sudah bisa menganggap Jakarta sebagai kota yang dewasa, dimana masalah-masalah yang ada pada sebuah kota sudah bisa diselesaikan secara mandiri oleh kota tersebut, dan yang lebih penting dari sebuah kedewasaan adalah beban untuk menjadi panutan.

Sebagai ibu kota Indonesia, tentunya Jakartalah yang menjadi kota yang mewakili Indonesia jika disejajarkan dengan kota-kota lain di dunia. Dalam pandangan pragmatis, Jakarta adalah miniatur Indonesia. Bagaimana kondisi Indonesia secara umum bisa dilihat dengan bagaimana Jakarta saat ini.

Jika kita melihat, problematika yang paling kentara dari Jakarta adalah kesemrawutan. Walaupun bagian pusat kota Jakarta sudah terlihat rapi, namun itu hanya sabagian kecil dari Kota Jakarta yang luasnya hampir sama dengan Singapura. Seorang dosen Teknik Arsitektur ITB dalam sebuah seminar pernah berkata bahwa kita bisa melihat kerapian pengelolaan suatu kota cukup hanya dari jalan-jalan raya di kota tersebut. Dan ini bisa kita lihat di Jakarta, kesemrawutan yang terjadi tidak hanya jalan raya, tapi bagian-bagian lain seperti pemukiman padat penduduk, tata kota, dan aspek lainnya.

Setiap hari, ribuan kendaraan memasuki Jakarta pada jam-jam sibuk pagi hari. Jutaan orang berpacu dengan kerasnya arus lalu lintas Kota Jakarta. Kemacetan terjadi di mana-mana, sejak dari pinggiran hingga pusat kota, membuat sebagian waktu kita habis di perjalanan. Langkah antisipatif memang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mulai membenahi dan membuat sistem transportasi massal seperti busway dan perbaikan sarana kereta commuter. Namun, langkah baik ini cenderung terkesan setengah-setengah. Kita dapat melihat bagaimana nasib busway terutama pada koridor-koridor yang belum sustain, nasibnya terbengkalai. Serupa, tiang-tiang pancang monorail yang banyak terlihat di Jalan Rasuna Said bagaikan tidak jelas nasibnya.

Belakangan, sistem ERP akan diterapkan di Jakarta demi mengurai kesemrawutan dan kemacetan. Ibarat pengobatan, kebijakan ini hanya akan menyelesaikan gejalanya saja, yaitu kemacetan, namun tidak menyelesaikan hingga ke penyakitnya. Problem utamanya adalah ketidaknyamanan masyarakat pada sarana transportasi yang ada sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih cara yang lebih nyaman. Alhasil, semakin bertambahlah kendaraan pribadi di jalanan ibukota, karena kendaraan pribadi lebih nyaman. Problem utama ini dapat diselesaikan dengan menyediakan sarana transportasi massal yang nyaman.

Jakarta bisa belajar dari Tokyo, kota yang berpenduduk sekitar 35 juta jiwa termasuk pada area metropolitannya (penyangganya). Kota Tokyo memang padat, tidak jarang kita menemukan pemukiman padat di sana. Namun, pengelolaan fasilitas-fasilitas publik di sana baik. Kita dapat melihat jutaan orang percaya pada transportasi massalnya yaitu kereta commuter sehingga kemacetan dan kesemrawutan di jalan dapat dihindari.

Jika kita melihat pada konteks yang lebih besar, yaitu Negara Indonesia, kita bisa lihat kesemrawutan ternyata memang menjadi karakter kita. Pengelolaan negara ini terlihat pada suatu titik lemah, yaitu bagaimana keseriusan terhadap program yang telah berjalan kurang bisa dipertahankan. Ini yang dimaksud kesemrawutan, yaitu tidak bisa menjaga. Kita mungkin cepat bosan dan selalu ingin sesuatu yang baru, ini karakter kita, bahwa selama ini program-program yang ada sebenarnya bagus, namun kesemrawutan pengelolaan pasca berjalannya program tersebut yang masih harus menjadi sorotan.

Cukuplah busway dan monorail di Jakarta menjadi potret bahwa kita masih kurang memperhatikan hal-hal yang telah ada. Jika perlu contoh lain, kita bisa melihat pada pendidikan kita, yang sering mencoba hal-hal yang baru dengan seringnya pergantian-pergantian kurikulum dan undang-undangnya, kita juga bisa melihat pada pembangunan-pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang berkembang lebih pesat ketimbang perbaikan dan pengembangan kereta api yang lebih efisien, dan banyak contoh lainnya.

Semoga kedepannya Jakarta menjadi kota yang lebih rapi dan teratur, baik dalam pengelolaannya maupun dalam aktivitas setiap penduduknya, sehingga bisa menjadi panutan kota-kota lain di Indonesia dan bisa mencerminkan kondisi Indonesia yang lebih baik di mata dunia. Mari kita bersama-sama, rakyat dan pemerintah, bekerja bahu membahu menjadikan Kota Jakarta, di usianya yang sudah dewasa semakin membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya, dan Indonesia pada umumnya.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB 2007

2 komentar:

Andhita Nur Suryantini mengatakan...

mending pake sepeda aja ya, lebih aman tanpa polusi..
masyarakat di indonesia pada umumnya, dan jakarta pada khususnya sudah mengalami "kejenuhan" dengan nasib yang dialaminya..
moral masyarakat saat ini harus mengalami perbaikan dan perhatian lebih darri berbagai sisi..

Ramadhani Pratama Guna mengatakan...

iya tha, bener.. cuma pake sepeda ga efektif.. kapan nyampenya? hehe.. yang mesti dilakukan adalah pengembangan transportasi massal. titik, haha