Kesalahan Paradigma Sekolah Bertaraf Internasional
Namun pada kenyataannya, pelaksanaan SBI ini masih mengundang banyak kritikan. Aspek yang biasa menjadi sorotan masyarakat adalah aspek pengelolaan operasionalnya, terutama biaya penyelenggaraan pendidikan yang mahal. Hal ini wajar karena jika kita melihat SBI adalah sekolah yang harus mampu menyiapkan fasilitas yang baik. Beberapa SBI menyediakan proyektor lengkap dengan perangkat audio visual untuk menunjang proses belajar mengajar. Tidak jarang juga kita menemukan ruangan kelas yang mempunyai penyejuk ruangan (air conditioner). Juga ada SBI yang mempunyai ruang computer yang canggih, menyediakan wireless connection, dan sebagainya.
Mahalnya biaya pendidikan ini mau tidak mau turut mempersempit segmentasi pendidikan. Teorinya, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh siapa saja. Namun dengan biaya yang malah, SBI berpotensi besar untuk tidak dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Sehingga pada akhirnya status sebuah sekolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat, apalagi bertaraf internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat karakter masyarkat Indonesia yang masih lebih memandang simbol dan status luar. Dengan adanya gengsi ini, masyarakat dari kalangan menengah ke bawah sudah mengalami penekanan mental dari awal, sehingga pesimisme semakin sering muncul. Belum lagi kultur pergaulan setelah masuk di SBI tersebut, yang harus bergaul dengan masyarakat menengah ke atas, yang mungkin pola hidupnya akan berbeda jauh.
Padahal semestinya, pendidikan adalah membentuk karakter sebagai individu dan budaya sebagai masyarakat, sehingga hal yang lebih penting dalam sebuah SBI adalah kurikulum apa yang disampaikan pada peserta didik bertaraf internasional tersebut. SBI seharusnya berbasis kurikulum dengan kearifan-kearifan global yang baik, sehingga peserta didik tidak hanya memiliki kapasitas seorang intelektual dunia, tetapi memiliki karakternya.
Seharusnya yang diajarkan bukan lagi hafalan-hafalan tahun dan definisi-definisi normatif tentang sebuah objek kajian, tatapi yang daiajarkan adalah nilai-nilai peradaban, kemanusiaan, kesejahteraan dunia, pluralitas (bukan pluralisme), dan moral spiritual. Intinya adalah bagaimana menyiapkan peserta didik agar menjadi kontibutor-kontributor yang siap membangun peradaban dunia internasional. Bukan lagi menjadikan mereka penghafal dan tempat penyimpanan pengetahuan tanpa dikeluarkan.
Dengan kesalahan paradigma ini, akan tidak ada perbedaan signifikan antara siswa lulusan sekolah reguler maupun SBI. Bahkan lulusan SBI sekarang lebih berpotensi menjadi lulusan yang tinggi gengsinya namun rendah daya juangnya, hal ini dikarenakan peserta SBI terus saja dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap tanpa diiringin kurikulum yang mengajarkan kemandirian misalnya.
Ramadhani Pratama Guna
Mahasiswa Program Studi Teknik Industri ITB 2007
5 komentar:
mantaplah bos dhani:D
lanjut dhan:D
haha.. ini commentnya lagi buru2 kali ya? kasih opini temen2 juga dong, biar kita makin kaya pengetahuan.. : )
betul, jangan sampai jadi sekolah bertarif internasional bertaraf lokal. hehe...
mungkin maksudnya SBI itu 'think globally, act locally'
kita punya visi yang jauh ke depan dan ruang lingkupnya skala peradaban, tapi tetep harus punya tindakan nyata untuk lingkungan di sekitar kita.
nais kk..
setuju banget, fungsi utama otak kita adalah untuk berpikir, bukan untuk menyimpan data-data dan menjadi ensiklopedi yang bisa kita dapatkan dimana2, bahkan gratis dan lebih baik.
blogwalking.. tukeran link yup! ;D
Posting Komentar