Oleh:
Ramadhani Pratama Guna
Prolog: Semua berawal dari
ekonomi
“Perubahan masyarakat ditentukan oleh faktor ekonominya” (Karl Marx)
Seiring berjalannya
waktu, ketinggian peradaban manusia semakin meningkat. Jika dahulu kita mengenal ada zaman
batu dan zaman logam, sekarang
peradaban sudah meningkat menjadi zaman teknologi informasi dan inovasi.
Manusia dahulu nomaden. Berpindah-pindah
dimana alam bisa langsung dimanfaatkan
untuk kelangsungan hidupnya. Habis bahan makanan di
suatu tempat, mereka lantas berpindah
ke tempat lain.
Hingga pada akhirnya, penemuan-penemuan tentang teknologi sederhana berupa perkakas dari batu
ataupun logam membuat manusia dapat ‘merekayasa’ kondisi sekitarnya agar menunjang kelangsungan hidupnya. Mereka tidak lagi harus
berpindah-pindah. Energi yang dikeluarkan
untuk berpindah-pindah saat itu mulai
dapat dialihkan untuk melakukan hal lainnya. Dari situlah peningkatan
peradaban itu terjadi.
Sejarah telah mengajarkan bahwa ketika manusia telah mapan dalam
urusan ‘perut’, saat itu pula ia
dapat fokus memikirkan hal-hal lain yang bisa jadi lebih
penting dan lebih besar. Itulah yang dimaksud
oleh Karl Marx. Hal ini
juga diamini oleh Abraham Maslow dalam teorinya yang fenomenal: Hierarchy Needs. Kebutuhan manusia
yang utama adalah kebutuhan dasar, yang diperlukannya untuk bertahan hidup. Barulah ia
akan beranjak kepada kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang digambarkan olehnya dengan Piramida Kebutuhan Maslow.
Revolusi Melati di Tunisia pada tanggal 14 Januari 2011 yang menumbangkan rezim Zine Al-Abidine Ben Ali menjadi contoh bahwa faktor ekonomi
yang semakin buruk dapat menggiring pada hausnya masyarakat
akan perubahan. Rezim otoriter dan korup,
serta kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat membuat masyarakat geram. Akibatnya gejolak terjadi
di mana-mana, dan akhirnya pembangunan
ekonomi menjadi tersendat dikarenakan hal tersebut.
Serupa, begitu
juga yang dialami masyarakat Mesir. Revolusi Nil berhasil membuat
penguasa pongah Hosni
Mubarak menyerahkan tahta kepemimpinannya yang terus dipegang selama 30 tahun. Usut punya usut, tidak hanya sifat
represif yang menyebabkan rakyat bergejolak, namun juga kejenuhan
masyarakat yang merasakan langsung bahwa perekonomian Mesir jalan di tempat.
Pertumbuhan ekonomi Mesir hanya sekitar 5% per tahun.
Kritik keras terhadap pembangunan yang parsial
Sekalipun perubahan
masyarakat ditentukan oleh faktor ekonominya,
namun itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Peradaban tercipta karena
adanya manusia. Akan tetapi, manusia tidak hanya terdiri
dari ‘perut’, dan urusan yang ada padanya bukan
hanya pada ‘urusan perut’. Ia adalah
makhluk sempurna yang dianugerahkan tiga potensi dasar yang sangat berharga, meliputi jiwa, raga, dan akal pikiran.
Urusan ‘perut’ hanyalah sebagian kecil dari urusan manusia.
Sehingga membangun peradaban –yang identik dengan perubahan– tidak bisa hanya dari
sisi ekonominya saja.
Kita dapat belajar dari
Amerika Serikat. Negara adidaya
ini merupakan negara terkaya di dunia. GDP AS pada tahun 2010 adalah US$ 14,1 triliun. Kinerja ekspor industrinya
boleh jadi merupakan yang terbesar dan terbaik di
dunia. Sehingga banyak negara-negara
di dunia yang bergantung kepada AS dari segi ekonomi,
karena banyak komoditas yang dibutuhkan berasal dari AS. Sebagai contoh, pada pertengahan
tahun 2010, nilai impor dari AS kepada
Indonesia mencapai US$ 800 juta.
Jauh di atas
rata-rata nilai impor dari negara lain
yang hanya berkisar US$ 66 juta. Belum lagi,
ketika AS mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 kemarin akibat kredit macet properti
yang pada akhirnya merembet ke berbagai
negara, dan jadilah krisis ini menjadi krisis
ekonomi dunia. Hal ini membuat
kita berpikir tidak ada keraguan
lagi bahwa AS merupakan negara yang kuat di dunia
dalam segi ekonominya. Pembangunan fisiknya berkembang sangat pesat. Gedung-gedung pencakar langitnya, airport-nya yang besar, jaringan jalan tol yang sudah meliputi hampir seluruh daratan AS, begitu pula jaringan rel kereta apinya,
dan pembangunan-pembangunan
fisik yang lain.
Namun kita juga mengetahui bahwa sisi sosial
negara adidaya itu sangat buruk. Orang dewasa dan anak-anak muda mereka terjebak dalam pergaulan bebas. Virus HIV/AIDS menyebar
di mana-mana di kalangan pemudanya,
sampai-sampai Center for Disease Control and
Prevention (CDC) memperkirakan pada
tahun 2010 ada sekitar 1 juta penduduk AS yang menjadi penderita HIV/AIDS Belum lagi sindikat narkoba
dan obat-obatan terlarang lainnya. Pembunuhan, konflik ras, dan
pelecehan juga banyak mendera negara tersebut. Gangster-gangster yang sering membuat keonaran bertebaran di kota-kota
besar, dan masih banyak masalah
sosial lainnya yang terjadi di AS. Pada akhirnya, semua itu mengajarkan kepada kita bahwa
pembangunan yang parsial adalah pembangunan yang tidak baik, tidak
manusiawi, dan tidak mengedepankan aspek-aspek immaterial.
Pembangunan yang parsial juga
akan menghasilkan
peradaban yang parsial, peradaban yang materialistis, dan membuang jauh-jauh
aspek nilai dan norma yang memang tidak bisa
diukur dari indikator-indikator angka dan materi.
Sekarang kita beralih kepada negara kita. Sejak
tahun 1967 hingga 2004, perekonomian Indonesia mengalami perubahan struktur yang sangat signifikan. Peranan sektor industri terhadap PDB meningkat dari 7,3% menjadi 28,1%. Hal ini diiringi dengan
penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dari 53,9% menjadi 14,3%. Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sudah masuk ke fase
industrialisasi.
Perkembangan industri Indonesia hingga saat ini
menjadi motor ekonomi
Indonesia sehingga negara kita menjadi salah
satu anggota G-20. Cadangan devisa kita diperkirakan akan mencapai
US$ 120 miliar pada akhir tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
2010 mencapai 6,1 persen, yang walaupun belum tergolong sangat baik, namun
kita bisa memperlihatkan kinerja perekonomian yang semakin meningkat pasca krisis 1998.
Namun pertanyaannya,
mengapa indeks pembangunan manusia tidak jauh-jauh dari urutan 108 dunia? Padahal, dari segi ekonomi
kita sudah dianggap menjadi 20 besar negara dengan
perputaran ekonomi yang besar. Persentase buta huruf kita juga masih
tergolong tinggi, yaitu 27.9%. Itu dari indikator
yang memang sudah bisa ternilai dari
ukurannya. Indikator-indikator ekonomi jauh lebih
sering disebut dan dipertimbangkan ketimbang indikator sosial lainnya. Mengapa tidak ada
indeks religiusitas masyarakat Indonesia misalnya,
yang diukur dari banyaknya umat muslim yang menghadiri
shalat berjamaah di masjid, ditambah
juga dengan banyaknya umat kristiani yang beribadah di gereja pada
akhir pekan, dan sebagainya. Ternyata, pembangunan yang parsialpun masih kita temukan
di negara ini.
Epilog: Membangun peradaban yang imparsial
Kini saatnya
kita bertanya, bagaimana caranya mengubah paradigma pembangunan, dari yang tadinya parsial dan materialistik, menjadi peradaban yang imparsial dan seimbang
antara materi dan immateri.
Semua dibangun
dari bagaimana membangun manusianya sendiri. Hal ini dikarenakan
manusia adalah pelaku sistem yang ada di dunia
ini. Bahkan untuk beberapa
sistem, manusia sekaligus sebagai pembuatnya. Kembalikan lagi pada bagaimana manusia dipandang secara utuh. Manusia, bagaimanapun ia
tetaplah berdimensi pada tiga hal:
akalnya, hatinya, dan jasadnya. Peradaban yang mekanistik
dan tinggi namun diselimuti kerusakan moral adalah ciri pembangunan yang parsial seperti di AS. Peradaban yang mempunyai moralitas
yang cukup baik namun tidak maju
dengan pesat juga masih parsial,
seperti Papua New Guenia.
Pembinaan sumber
daya manusianya adalah hal yang sangat penting. Diawali dari pendidikan
di keluarga, lingkungan, dan sekolah-sekolahnya. Materi yang diajarkan
di sekolahpun harus seimbang. Sisi moral harus diangkat kembali dan dengan
pendidikan yang berpola learning by doing.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah pembangunan haruslah menjadi perhitungan. Hal ini untuk menghindari
cara pandang
yang parsial terhadap manusia. Cara pandang yang hanya mengedepankan akal, ataupun kesejahteraan
fisik saja, tanpa diiringin kesejahteraan batin.
Ramadhani Pratama Guna
Mahasiswa Teknik Industri ITB
Deputi Kajian Industri Kementrian Kajian Strategis KM ITB 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar