ITB Fair 2012
Prolog: ITB Fair sebelumnya
ITB
Fair 2010 menjadi tonggak bersejarah sendiri bagi mahasiswa Indonesia umumnya dan mahasiswa
ITB khususnya. Hal ini
dikarenakan event
ini menjadi milestone bagi
gerakan mahasiswa
Indonesia, dari yang tadinya
lebih terlihat dengan gerakan vertikalnya, kini diseimbangkan dengan gerakan horizontal. 50 perwakilan kampus se-Indonesia berkumpul untuk mengikuti konferensi untuk menjadikan Community Development menjadi basis gerakan horizontal mahasiswa, dengan berbasis pada karya,
teknologi, dan seni.
Dengan ITB Fair 2010, dua isu tersebut:
community development dan karya mahasiswa,
coba disatukan dalam sebuah gerakan.
Bergerak, bersinergi, berkarya. Itu tagline yang selalu
didengungkan. Karena
hakikatnya memang karya teknologi dan seni akan tumpul jika tidak menyentuh
masyarakat dalam bentuk aplikasi nyata di kehidupan.
Sehingga, karya itupun bisa
terus berkembang, dan menggiring peradaban menjadi lebih meningkat dari sebelumnya.
Ketika karya bertemu dengan “preneur”
Kini, tugas
kita adalah menjawab tantangan peradaban.
Tantangan pertama adalah masih sedikitnya wirausaha di Indonesia. Jumlah ini baru
mencapai angka sekitar 0,18%, jauh
dari angka ideal yaitu 2%. Oleh karena itulah,
tantangan bagi mahasiswa sekarang bukan lagi sekedar
tentang how to
create, tetapi how to apply. Kita ditantang
bukan hanya sekedar berkarya, namun sampai pada
tahap karya kita dapat teraplikasi
secara nyata di masyarakat, bahkan hingga teraplikasi
secara massal.
Untuk itu,
ada kemampuan lebih yang harus kita endorse agar
cita-cita besar itu tercapai. Kemampuan itu
adalah kemampuan entrepreneurship. Hasil karya kita
haruslah bisa benar-benar kita sebarkan ke seantero
bangsa ini, baik dengan kerja
sama dengan
pihak investor besar, ataupun dengan mengembangkan modal sendiri. Kedua cara
itu sangatlah memerlukan kemampuan kewirausahaan. Hingga pada akhirnya terciptalah seorang wirausaha dalam bidang teknologi (technopreneur) dan seni (creativepreneur).
Tantangan yang harus
kita jawab selanjutnya adalah peradaban dunia yang sedang mengalami peningkatan yang sangat drastis dari sisi
material, namun boleh jadi menurun dari
sisi moral. Sehingga entrepreneur yang kita
ciptakan mempunyai jiwa sosial yang baik dan tidak
termakan oleh ambisi pribadi untuk hanya kaya
tanpa juga meng-kaya-kan orang lain. Sisi moral ini yang harus
senantiasa ditingkatkan.
kita tidak
ingin lagi ada seorang pengusaha
sukses dan kaya raya serta
assetnya dimana-mana hanya mempekerjakan manusia tanpa meningkatkan
taraf hidup mereka secara drastis.
Sebagai contoh, dalam sebuah
film dokumenter disebutkan bahwa pemilik sebuah
industri pakaian ternama mengadakan pesta pernikahan yang nilainya setara dengan 500 bulan gaji seorang pekerjanya
di pabrik. Sangat menyayat hati kita.
Untuk itulah,
kita perlu membumikan opini sociopreneur untuk mengiringi pembagunan isu technopreneur dan creativepreneur, dalam kerangka pembangunan opini kewirausahaan di Indonesia.
Membumikan sociopreneur
ITB
Fair 2010 boleh dikatakan sangat berhasil dalam menularkan cita-cita pengembangan komunitas (community
development) yang dilakukan oleh
mahasiswa. Sehingga kita bisa melihat misalnya untuk di lingkungan
ITB sendiri, sudah banyak himpunan yang mulai “mencoba” melaksanakan community
debelopment. Hal ini
sudah menjadi trendsetter baru
bagi gerakan kemahasiswaan Indonesia.
Ketika kita
berbicara mengenai pengembangan komunitas, kita akan
mendapat kesimpulan bahwa pengembangan komunitas ini bisa
dilakukan dengan berbagai pendekatan. Syarat yang diperlukan hanya dua: mobilisasi
potensi komunitas sehingga dapat tercipta sesuatu dari mobilisasi tersebut, dan sesuatu
yang tercipta tersebut (creation) adalah
milik komunitas, bukan milik individu.
Karena itulah, kita bisa
menemukan pengembangan komunitas dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, budaya, ekonomi, infrastruktur, dan lainnya.
Sociopreneur adalah salah
satu upaya pengembangan komunitas melalui pendekatan ekonomi dan kewirausahaan
massal.
Pola yang dijalankan adalah menularkan jiwa kewirausahaan kepada setiap anggota komunitas untuk melakukan bisnis terhadap suatu komoditas yang dipilih komunitas tersebut untuk dikembangkan. Setiap permasalahan akan dibahas
secara bersama-sama dan akan dicarikan
solusinya. Jaringan dengan pihak luar
yang dibangunpun atas kerja sama
semua anggota komunitas tersebut. Itulah mengapa, dalam pengembangan komunitas berbasis pendekatan ekonomi, kita akan
menemukan satu kawasan dengan komoditas yang sama. Sebutlah desa kelinci
Cihanjuang Rahayu, desa craft Rajapolah, ataupun desa akar wangi
dan minyak asiri karya ASGAR MUDA Garut.
Impian yang akan
dibangun melalui ITB Fair
2012 ini adalah karya mahasiswa ITB –baik berupa karya
teknologi maupun seni– bisa “diproduksi”
karena jiwa kewirausahaan yang terbangun, dan proses produksi
tersebut melibatkan sebanyak-banyaknya komunitas, sehingga kita nanti
bisa melihat komunitas ternak ayam oleh HME, komunitas daur ulang kertas oleh
U-Green, dan komunitas-komunitas
lainnya. Itulah hakikat dari membumikan sociopreneur.
Epilog: Membangun Indonesia dengan karya
Kita
percaya, bahwa tidak ada syarat
yang diperlukan untuk membangun Indonesia, kecuali dengan karya. Bahasa lazimnya
adalah perbuatan. Tentu pertanyaan selanjutnya adalah perbuatan seperti apa yang diperlukan
untuk membangun Indonesia. Jawabannya adalah perbuatan yang bermanfaat. Karena kita yakin, bahwa
sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat, sebaik-baiknya mahasiswa adalah yang paling bermanfaat, sebaik-baiknya kampus adalah kampus yang paling bermanfaat bagi masyarakat, bagi bangsa, bagi dunia.
Kita juga yakin, bahwa
kita akan
bisa melakukan perbuatan yang bermanfaat ketika kita bisa
menikmati perjuangan itu, perjuangan untuk selalu bermanfaat.
Salam cinta untuk perdamaian dan perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar