Idul Fitri Dalam Konteks Kebangsaan
Banyak persepsi orang dalam memaknai momentum idul fitri. Kita dapat melihat orang yang menyambut idul fitri dengan sesuatu yang serba baru. Segala halnya harus baru, mulai dari yang terluar hingga terdalam: pakaian hingga jiwa. Sehingga, idul fitri dijadikan momentum untuk berubah. Ada juga yang memaknai sebagai momentum bermaafan. Setiap orang yang ia pernah rasa berbuat salah ia mintakan maaf, begitu pula dengan orang yang memohon maaf padanya, langsung ia maafkan. Ada pula orang yang memaknai idul fitri sebagai kemenangan. Kemenangan dalam melawan hawa nafsu. Setelah sudah sebulan lamanya berhasil melatih diri untuk dapat mengendalikan hawa nafsu. Ada pula yang memaknai idul fitri sebagai momentum untuk bermuhasabah, dikarenakan sudah meninggalkan bulan Ramadhan yang mulia, dan pengharapan akan pertemuan kembali di Ramadhan selanjutnya.
Sebenarnya, kita juga bisa melihat idul fitri dari sisi lain dari yang selama ini terlihat dari kehidupan sosial masyarakat. Idul fitri, sesuai arti harfiahnya adalah kembali kepada fitrah. Kembali kepada fitrah sebenarnya tidak sebatas seperti bayi yang lahir yang putih dan (insya Allah) semua dosa diampuni. Kembali kepada fitrah adalah kembali kepada pola kehidupan sosial yang seharusnya sesuai bimbingan Allah SWT. Kita dapat melihat bahwa sebenarnya bulan Ramadhan adalah bulan ‘pendidikan’. Saat itu kita ditempa untuk menjadi karakter taqwa. Sebulan penuh seharusnya sudah cukup untuk membiasakan diri seseorang untuk mengubah karakternya. Dan kita bisa melihat bagaimana seharusnya pola kehidupan sosial yang ideal ada di kala Ramadhan.
Saat Ramadhan kita dilatih untuk tidak bermalasan. Pagi-pagi benar kita sudah bangun untuk ‘sarapan’. Kemudian beribadah dan berdzikir pagi hari sebelum melaksanakan aktivitas. Siang hari hingga sore hari kita pakai untuk bekerja. Dan maghrib untuk kembali berdzikir sembari makan (berbuka). Malam hari, saatnya untuk maksimalisasi ibadah. Menyedikitkan tidur, menahan dari hawa nafsu seperti marah, menggunjing, berdusta, dan lain sebagainya. Di akhir bulan berzakat, dan semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.
Itulah yang dimaksud dengan kehidupan fitri kita. Seharusnya pola hidup sosial manusia adalah yang seperti kita lakukan saat Ramadhan. Meskipun memang tidak mesti sama. Dan hari raya idul fitri adalah momentum ‘wisuda’ dan kita, para pesertanya mendapat gelar ‘sarjana taqwa’. Diharapkan kehidupan selanjutnya –pasca Ramadhan– kembali kepada fitrah seperti saat Ramadhan.
Mungkin kita terlalu banyak mengadopsi kearifan-kearifan bangsa lain yang mungkin saja tidak sesuai dengan kondisi sosial kita. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah berkata bahwa sebuah bangsa yang melawan prinsipnya sendiri tidak akan mampu bertahan. Jika kita tengok dari segi geografis, 70% wilayah Indonesia adalah lautan. Namun hingga sekarang, mengapa ‘jales viva jaya mahe’ hanya sekedar menjadi jargon belaka? Nelayan kita masih saja menjadi lapisan sosial yang termarjinalkan. Perahu melautnya tetap saja dalam kondisi seadanya. Ikan kita masih sering dijarah pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, ayam masih jauh lebih populer dibandingkan ikan.
Pembangunan besar-besaran ladang dimulai sejak adanya Revolusi Hijau. Kita dapat melihat bahkan sampai tanah miring di kaki pegunungan atau perbukitanpun tidak luput dari perubahan penggunaan. Akibatnya, tanah longsor terjadi di mana-mana.
Ini baru masalah geografis. Belum lagi masalah lain yang lebih sering kita temui seperti masalah sosial, budaya, bahkan pengelolaan kenegaraan. Kita mungkin terlalu sering mengadopsi hal-hal baru tanpa melihat apakah cocok diterapkan dalam kehidupan berbangsa ini atau tidak. Tidak semua adopsi kemodernan bangsa lain cocok untuk masyarakat Indonesia. Jauh-jauh sebelum ini Soepomo juga pernah mengatakan hal serupa saat sidang BPUPKI tahun 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar