Pasar Tenaga Kerja,
Sumber Daya Manusia, dan Indeks
Pembangunan Manusia
Salah satu faktor produksi yang penting dalam perekonomian bangsa ini adalah tenaga kerja. Faktor lainnya adalah tanah, barang modal seperti mesin, bangunan, dan lainnya. Permasalahan mengenai tenaga kerja seakan tidak pernah habis-habis. Mulai dari pengangguran, link and match, ketersediaan tenaga ahli, kesejahteraan tenaga kerja, keamanan dan keselamatan kerja, hingga tuntutan-tuntutan serikat pekerja. Indonesia dikenal sebagai negara yang pasar tenaga kerjanya bagus. Dalam artian, merupakan negara yang mempunyai cadangan tenaga kerja yang banyak dan dengan upah yang tergolong murah.
Penduduk Indonesia, menurut Badan Kependudukan PBB adalah berkisar 241.973.879 jiwa. Hal ini merupakan karunia yang besar jika kita memandang manusia sebagai sebuah sumber daya. Menempati posisi keempat dunia, Indonesia merupakan salah satu penyedia pasar tenaga kerja yang banyak. Namun, banyaknya tenaga kerja ini tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pengetahuan dan keahlian yang baik, sehingga tingkat pengangguran tetap saja tinggi, terlepas juga dari ketersediaan lapangan pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik, pengangguran Indonesia masih berkisar 9 – 10 juta jiwa, atau masih sekitar 10% usia produktif Indonesia. Perhatikan tabel berikut.
Mayoritas pengangguran disebabkan karena minimnya keahlian, bahkan ada yang sampai tidak punya keahlian dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung. Data historis menunjukkan bahwa ada peningkatan drastis dari tahun 2008 ke 2009 terhadap pengangguran yang belum pernah sekolah/tamat SD.
Ketersediaan tenaga ahli dalam menunjang perekonomian merupakan hal yang penting. Tenaga ahli dalam hal ini tidak hanya disempitkan pada SDM yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi sehingga mempunyai keahlian. Tenaga ahli dalam arti seluas-luasnya adalah SDM yang mempunyai kemampuan, meskipun tidak mengenyam pendidikan secara formal. Keahlian bisa didapat dari kursus-kursus keahlian atau training di tempat bekerja. Memang, untuk beberapa sektor besar seperti industri terutama migas, Indonesia masih mengalami permasahalan dalam ketersediaan tenaga ahli yang benar-benar menguasai teknologi pengolahan SDA mineral. Dalam sektor lain, seperti manufaktur juga Indonesia masih kekurangan tenaga ahli professional yang dapat memajukan teknologi manufaktur. Jika kita ibaratkan tenaga ahli professional adalah mahasiswa, maka jumlahnya hanya sekitar 4 juta tiap tahunnya, dari total sekitar 113 juta angkatan kerja tiap tahunnya (sumber: BPS). Belum lagi ketersebaran tenaga ahli ini di sektor-sektor perekonomian lainnya seperti pertanian, kehutanan, listrik, gas, air, jasa, dan lainnya.
Ketersebaran tenaga ahli dan tenaga kerja di berbagai sektor juga menjadi sorotan tentang pengelolaan sumber daya manusia ini. Pada tahun 2006, jumlah tenaga kerja terbesar berada di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan besar 42,05% atau sekitar 40 juta jiwa. Sektor terbesar kedua adalah perdagangan, hotel, dan restaurant dengan besar 16,73% atau sekitar 16 juta jiwa. Sementara sektor industri pengolahan hanya sebesar 11,05% atau sekitar 10,5 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih belum siap untuk bekerja dengan kondisi lingkungan yang berteknologi modern. Dapat diinterpretasikan juga bahwa masih banyak tenaga yang –seperti dibahas sebelumnya– belum mempunyai keahlian yang tinggi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut (Sumber: Departemen Perdagangan RI).
Kesejahteraan tenaga kerja juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini mengingat tujuan utama para pencari pekerjaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, yang dalam hal ini disederhanakan dengan upah, gaji, atau pendapatan mereka. Pada tahun 2009, pendapatan per kapita RI adalah Rp 24,3 juta, itu berarti per bulannya sebesar sekitar Rp 2 juta, dan itu berarti per harinya adalah Rp 67 ribu. Pendapatan yang cukup besar sebenarnya bagi rakyat Indonesia. Namun indikator ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur. Salah satu kelemahan sistem ekonomi kapitalisme adalah ketimpangan sosial yang semakin tinggi. Ketimpangan sosial ini terlihat dengan jelas dari penguasaan 20% penduduk negara ini atas 80% keuangan di negeri ini. Pemerintah sendiri telah menetapkan kebijakan mengenai UMR (Upah Minimum Regional) yang diperbaharui tiap tahunnya. Untuk tahun 2010 ini berkisar Rp. 537.000,00 hingga Rp. 1.300.000,00. Langkah ini dinilai cukup menyelamatkan tenaga kerja, mengingat tidak semua pemilik perusahaan menganggap ‘manusia’ sumber daya manusia.
Salah satu hal yang menarik dalam paradigma ekonomi yang telah dibahas di atas adalah paradigma sumber daya manusia. Pandangan yang berkembang sejak dahulu adalah bahwa manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai salah satu faktor produksi, disamakan dengan faktor produksi lainnya seperti mesin, tanah, bahan baku, dan sebagainya. Padahal, manusia berbeda dengan mesin. Manusia mempunyai potensi kebajikan dan insane yang besar dan dengan variasi yang tinggi, berbeda dengan mesin. Konsep ini dikemukakan oleh Frans Mardi Hartanto, dalam bukunya Paradigma Baru Manajemen Indonesia (2009). Seharusnya manusia bukan disebut sebagai sumber daya manusia, tetapi manusia bersumber daya. Paradigma ini melihat manusia secara real sebagai makhluk yang tidak deterministik. Pandangan ini mengembalikan hakikat manusia bukan sebagai sesuatu yang dikendalikan untuk mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, manusia dipandang sebagai sesuatu yang juga harus disejahterakan, sama seperti pemilik perusahaan. Kebijakan UMR dan Keamanan Keselamatan Kerja sangatlah sejalan dengan pemikiran ini. Sehingga kedepannya tidak ada lagi permasalahan tentang perendahan status manusia dengan tidak memperlakukannya secara spesial seperti manusia, terutama kaum buruh yang seringkali mendapat perlakuan tidak layak. Inilah hal yang bisa meminimalisasi konflik serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang selama ini biasa terjadi.
Sektor tenaga
kerja juga terkait dengan keahlian dan link and match dari pihak
penyedia (supplier)
ke pihak penerima atau peminta
(consumer). Pihak
penyedia dalam hal ini adalah
institusi pendidikan, dan pihak penerima
adalah sektor-sektor dalam negara: publik,
privat, sektor ketiga. Institusi pendidikan dalam
hal ini tidak
hanya formal, bahkan
informal seperti keluargapun
bisa dianggap sebagai institusi pendidikan. Paradigma zaman globalisasi
membawa pemahaman bahwa institusi pendidikan diciptakan memang untuk itu
(bekerja). Namun, perlahan konsep triple helix seperti
dipaksa semakin dipersempit akibat perkembangan zaman ini dengan hanya
universitas, industri, dan pemerintah dalam rantai link and match ini. Konsep
ini dikemukakan oleh Henry Etzkowitz
dalam bukunya The Triple Helix: University – Industry – Government,
Innovation In Action (2008). Hal inilah
yang disoroti oleh beberapa kalangan bahwa orientasi pendidikan tinggi saat ini bukan
langsung untuk masyarakat, tetapi menyuplai kebutuhan industri besar. Seharusnya link and match ini juga dilakukan kepada industri kecil, menengah, koperasi, dan LSM. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Widjajono Partowidagdo dari Dewan Energi
Nasional (DEN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar