Kelahiran Para Aktivis dan Kematian Para Idealis
Siapa tidak kenal aktivis mahasiswa seperti Sjahrir, Hariman Siregar, Fadjroel Rachman, Mustafa Kamal, dan aktivis mahasiswa lainnya di masa lalu? Orang-orang seperti mereka menjadi inspirasi di eranya. Suara lantang mereka yang terus bergaung di telinga penguasa pongah di eranya hingga saat ini terekam secara manis di benak penerus-penerusnya. Getir perjuangan yang dilakukannya selama mahasiswa tidak lekang ditelan zaman.
Kebaikan-kebaikan bangsa ini beserta kesejahteraannya menjadi hal yang mereka dambakan selagi mahasiswa. Mereka itulah aktivis sejati. Penjara tidak pernah menghentikan langkah mereka. Tahanan politik adalah
hal biasa. Cekalan dan cacian orang-orang
yang tidak suka pada mereka adalah
batu penghalang yang segera mereka lewati.
Sekali lagi, mereka itulah
aktivis sejati. Aktivis mahasiswa sejati. Pemuda gagah, pahlawan-pahlawan
kecil yang akan
menjadi pahlawan besar. Pemuda enerjik yang kritis.
Itulah aktivis. Ditambah dengan kecerdasan
dan keahliannya, mereka itulah aktivis
mahasiswa.
Aktivis saja tidak cukup
Sejarah kemudian mencatat
bahwa Sjahrir (sekarang almarhum) menjadi ekonom sejati. Mendapat gelar doktor dalam
bidang ekonomi politik dari kampus
paling prestisius dunia:
University of Harvard. Kemudian puncak
karirnya sebelum ia meninggal
adalah menjadi penasehat presiden untuk urusan ekonomi.
Presidennya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia yang dahulu
lantang menentang modal asing bersama Hariman
Siregar, harus juga merasakan menjadi pihak yang dikritik. Bahkan, SBY yang selalu ia
nasehati termasuk orang yang pro dengan modal asing, privatisasi, dan liberalisasi. Hasilnya,
Krakatau Steel sudah setengah
privatisasi. Maka satu
orang idealis telah mati. Namun Sjahrir tetaplah dikenal sebagai aktivis.
Sosok seorang Sjahrir
mungkin tidak terlalu terlihat telak jika kita
ingin menggambarkan matinya seorang idealis. Kita bisa megambil contoh lain, tidak perlu
Sjahrir. Sebagai contoh, ada seseorang yang dahulu ketika mahasiswa sangat lantang berbicara mengenai kesejahteraan bangsa. Kritiknya selalu pedas dan
menjadi inspirasi rekan-rekannya. Geraknya dan manuver-manuvernya bahkan bisa sampai
mengguncang sedikit penguasa pongah di gedung putih
sana.
Akan tetapi,
setelah ia
lulus, namanya bagaikan tersapu hembusan angin. Tidak ada lagi kritik-kritik darinya, tidak ada lagi
manuver-manuver darinya.
Tekanan hidup mungkin membelenggunya,
hal ini tiada
mengapa. Namun jika kenyamanan hiduplah yang mematahkan langkahnya, mematikan degup jantungnya saat melihat ketidakadilan,
dan mengeringkan air matanya terhadap penderitaan bangsanya, maka ia benar-benar mati. Ia aktivis,
namun bukan idealis. Perusahaan asing
menjadi belenggu baginya, kerajaan bisnis menjadi pemenuh pikirannya. Ia benar-benar
mati.
Idealis juga tidak cukup
Lain halnya dengan Hariman Siregar. Pasca lulus sebagai mahasiswa, ia tetaplah
aktivis, tetaplah idealis. Manuver-manuvernya tetap terasa hingga kini. Kata-kata pedasnya masih santer terdengar. Pernah mendengar isu pencabutan
mandat SBY-JK pada tahun 2007? Itu adalah manuvernya.
400 orang pada
hari itu bergerak memenuhi jalanan ibukota dengan mengusung tema “Pawai Cabut
Mandat SBY-JK”. Kegelisahannya masih
menyala-nyala, getir perjuangan itu masih terasa hingga
saat ini, meskipun usianya sudah lebih dari
setengah abad.
Kita menemukan kelahiran sosok aktivis dan juga
kelahiran sosok idealis sekaligus. Sosok seperti Hariman Siregar juga makin
jarang ditemukan saat ini. Sosok seperti ini
yang harus terus menerus ditularkan kepada generasi sekarang, sebuah karakter yang cukup lengkap: ia
aktivis, dan ia idealis.
Namun masih ada hal yang mengganjal dari sosok seorang Hariman Siregar. Ketika banyak pihak mempertanyakan motif gerakan-gerakan yang ia buat, maka seketika itu ia menjawab bahwa motifnya adalah memperbaiki keadaan bangsa. Kata-kata itu diikuti dengan ketidakinginannya untuk meraih kekuasaan.
Ternyata idealis juga masih belum cukup.
Ada satu instrumen yang hilang. Instrumen dalam mewujudkan
mimpi-mimpi besar para aktivis-idealis. Instrumen itu adalah kekuasaan.
Sekarang adalah zaman globalisasi,
kapitalisasi, glamourisasi,
dan nyaman-isasi. Gerakan-gerakan seperti itu memang bagus
untuk dinamisasi sebuah proses demokrasi.
Namun, kita perlu memilih proses
yang lebih efektif dalam hal dampaknya,
meskipun itu tidak efisien. Belum sempurna suatu idealisme tanpa proses yang lebih berintegritas lagi, yaitu mewujudkan
idealisme tersebut dengan kekuasaan. Kita melihat idealisme Hariman Siregar adalah kesejahteraan bangsanya, namun dengan membatasi dirinya tidak pada
area kekuasaan, maka semakin lama idealismenya akan terkebiri
menjadi “pewacanaan dan pengembangan opini” saja. Sadar atau
tidak sadar.
Idealisme tidak boleh tercapai. Boleh jika target-targetnya
yang tercapai. Karena, jika
idealisme tercapai, berhentilah kita dan tidak bergerak.
Idealisme akan
selalu berada beberapa langkah di depan diri
kita, dan tidak akan pernah
berhasil kita gapai. Itulah yang menarik kita
untuk terus menerus bergerak mengejarnya.
Melahirkan generasi idealis
Kini pekerjaan rumah
terbesar kita adalah bagaimana melahirkan sebuah generasi idealis. Generasi yang terus menerus bergerak
dan semakin lama gerakannya semakin berintegritas dan progressif. Generasi-generasi yang tidak termakan
oleh opini buruk zaman. Generasi yang berprinsip dan berkomitmen kokoh. Generasi yang mempunyai idealisme yang sama
dengan pendahulu-pendahulunya,
yaitu kebaikan-kebaikan masyarakat dan kesejahteraannya.
Untuk itu, basis ideal yang harus ditanamkan pada generasi-generasi selanjutnya adalah basis ideal
yang kokoh juga. Basis ideal yang kuat hujjah-hujjahnya,
basis ideal yang hebat pondasi-pondasinya.
Basis ideal yang juga memberikan spirit, ruh, dan jiwa-jiwa penggerak.
Suatu konstruksi yang komprehensif: unsur ideologis dan unsur
spiritualnya. Sehingga karakter-karakter yang terbangun kedepannya adalah karakter yang akan
selalu digerakkan oleh spiritnya untuk mewujudkan idealisme dari sisi ideologisnya.
1 komentar:
Halo,
Salam kenal. Kami menemukan blog kamu ini, setelah menelusuri tautan, dari salah seorang sahabat blogger. Kebetulan, kami memang ingin menyapa mahasiswa dan alumni ITB, yang biasa berbagi rasa dan ilmu di media daring ( blog) maya.
Kami dari masukitb.com, ingin mengajak blogger yang sedang atau pernah menjadi warga Kampus Ganesha, untuk membagi pengalamannya, bisa berupa artikel teks, foto, bahkan video, seputar kehidupannya, selama belajar di Kampus Ganesha.
Masukitb.com adalah tampilan kehidupan Kampus Ganesha ITB, wadah bertanya, berdiskusi, dan berinteraksi, antara para mahasiswa atau alumni ITB, dengan para pelajar SMU dari seluruh Indonesia, yang berminat menjadi bagian dari komunitas ITB. Kami memahami, bahwa banyak sekali yang berminat menjadi warga kampus Ganesha, dan semoga media maya ini, bisa mengurangi kasus salah jurusan, serta membuat siswa SMU lebih mempersiapkan diri, dengan segala dinamika pembelajaran, di Kampus Ganesha.
Terima kasih banyak, atas kesediaan Kamu untuk berbagi dengan para pelajar SMU se-Indonesia, semoga kebaikannya bisa bermanfaat untuk semua.
Divisi Teknologi Informasi
Layanan Produksi Multimedia (LPM USDI)
Jl. Ganesha No. 10, TVST Building
Bandung 40132, Indonesia
Phone : +62 22 4254012
Posting Komentar